Saturday 22 June 2019

Jangan menyerah kpd Taqdir

Nabi Muhammad S.A.W. berkunjung kerumah anaknya Fatimah, di dalam kunjungan itu beliau bertanya “apakah kamu tidak menunaikan shalat malam” pertanyaan tersebut dijawab oleh Ali bin Abithalib, menantu beliau. “wahai Rasulullah sesungguhnya kami berada di bawah kuasa Allah. Jika Allah berkehendak agar kami bangun, tentu Dia akan membangunkan kami”. Mendengar jawaban itu,Rasulullah s.a.w. terus pergi. Kemudian beliau menepuk pahanya, seraya membaca firman Allah “ Wa kanal insanu aktsara syai-in jadala = dan memang manusia itu adalah mahluk yang banyak membantah.” (Q.s, Al Kahfi 54).
   وَكَانَ الْاِنْسَانُ اَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلًا
"Tetapi manusia adalah memang yang paling banyak membantah."

Hadist ini dirawayatkan Ali bin Abi Thalib r.a. HR. Muttafaq ‘Alaih halaman 380 hadist no.425.

Peristiwa tersebut kita yakin terjadi bukan kebetulan, tentu atas kehendak Allah untuk menjadikan teladan buat kita dikemudian hingga saat ini. Dari peristiwa tsb. dpt dipetik 8 (delapan) sikap yang dicontohkan Rasulullah s.a.w.   sebagai berikut:
1. Tidak menyerah kepada Taqdir
2. Rasulullah s.a.w. jika tidak menyenangi  berbantah, memilih lebih baik meninggalkan tempat berlangsungnya kejadian.
3. Hidup ini adalah pilihan, untuk meningkatkan amal atau tidak.
4. Orang tua, haruslah tetap melakukan pemantauan terhadap kehidupan rumah tangga anaknya terutama dalam hal beribadah; walau sdh menikah.
5. Peristiwa di atas memberikan pelajaran kepada kita bahwa harus diberikan pengertian kepada anak bahwa sebagai anak walau sudah menikah, dimana sudah dewasa namun orang tua masih berwenang untuk mengontrol.
6. Contoh yang patut diteladani ialah bila Rasulullah marah ia tidak menyakiti orang lain baik secara fisik maupun mental, memilih memukul paha sendiri.
7. Rasulullah, jika marah tetap berada dalam koridor Al-Qur’an.
8. begitu pentingnya shalat malam, bagi keluarga Rasulullah.

Keterbatasan ruang, spy tdk terlalu panjang artikel ini, izinkan saya membahasnya berseri. Kita bahas butir pertama.

1. Tidak menyerah kepada Taqdir
a. Rasulullah tidak menyenangi, jika anak dan menantunya tentu saja ummatnya menyandarkan diri semata-mata kepada taqdir atas setiap aktivitasnya, termasuk kemampuan untuk ibadah, harus dengan kemauan yang keras. Dengan ikhtiar sendiri yang cukup bukan hanya mengandalkan gerak dari Allah. Buktinya Rasulullah s.a.w. menunjukkan ketidak setujuannya atas jawaban Ali Bin Abi Thalib dan memilih pergi. Meninggalkan rumah anak dan mantunya, sambil menggumamkan potongan ayat 54 surat Al-Kahfi.

Isyarat dmkn sdh cukup mendalam diberikan seorang Rasul, bahwa beliau tak berkenan. Dpt disimpulkan bahwa beliau tak suka anak mantunya segala sesuatu langsung serahkan taqdir, tanpa upaya. Bgt juga tentunya buat kita ummat beliau.

Zaman itu blm tersedia jam weker yg dpt di stel mau bangun pukul berapa diujung malam nanti. Era kita skrg  bahkan tlh  tersedia HP yg senantiasa setia berbunyi sesuai pesanan alarmnya pd pukul berapapun. Hampir tak beralasan kalau tak terbangun. Saya katakan "hampir tak beralasan", sebab bukan mustahil, saking pulasnya tidur alarm tak terdengar. O.k.i. tetap saja sandarkan diri kpd Allah dlm do'a mhn dibangunkan di pukul berapa. Insya Allah mesti di  bangunkan Allah sesuai niat. Persoalannya awak mau bangun atau tidak. Kadang sdh terbangun terserang malas. Lalu bathin bergumam "ntar lagi". Nah inilah dibanyak kasus tertidur lagi, syukur kalau masih dengar azan subuh, kadang sampai pagi.

Contoh mudah bila anda akan bepergian dg pesawat terbang terjadwal hrs berangkat dari rumah ke bandara pukul 03.00 dini hari; buktinya bisa tuu. Kenapa  praktek ini tdk di terapkan untuk bangun malam persiapan menuju ruang tunggu di bandara penerbangan ke akhirat.

b. Memang, taqdir ada berupa taqdir ajali dan ada yang berupa taqdir ikhtiari. Taqdir ajali ialah taqdir yang tidak dapat dirubah, misalnya kita ada yang ditaqdirkan sebagai lelaki dan ada juga yang ditaqdirkan jadi perempuan. Sedangkan taqdir ikhtiari adalah taqdir yang dapat dikondisikan dengan upaya yang sungguh-sungguh walaupun hasil akhir setelah upaya sungguh-sungguh tersebut barulah merupakan taqdir.

Ucapan Umar bin Khattab yg terkenal mengenai "taqdir" di
suatu peristiwa:

"Umar Ibn Khattab kemudian bermusyawarah dengan para sahabat Muhajirin dan Anshar untuk mencari jalan keluar yang baik. Akhirnya mereka sepakat untuk kembali ke Madinah, tidak memasuki daerah yang berbahaya itu.

Tiba-tiba Abu Ubaidah bin Jarrah, salah seorang anggota rombongan berkata:

“Wahai Amirul Mu'minin, apakah kita hendak lari menghindari takdir Allah?”

Umar menjawab: “Benar, kita menghindari suatu takdir Allah dan menuju takdir Allah yang lain,”

Dmkn perihal Taqdir, smg memandu kita menyikapinya, dg tdk bgt saja menyerah kpd taqdir, tdk gampang menyalahkan taqdir.

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ
Barakallahu fikum
وَ الْسَّــــــــــلاَمُ
M. Syarif arbi.

No comments:

Post a Comment