Wednesday 31 August 2011

JOMPO KEDEPAN

Beberapa hari setelah idul fitri, kami sekeluarga mampir di rumah orang tua sahabat saya di bilangan pesisir pantai “Pantura”, dalam perjalan kami ikut-ikutan mudik. Luar biasa sambutan kedua sepuh yang memapak kami sekeluarga dari halaman. Kedatangan kami tidak diketahui sebelumnya maklum kejadian itu di era belum ada “hape”. Tatapan mata kedua mertua sahabat saya itu ke anggota rombongan kami turun satu persatu dari kendaraan bagaikan tidak berkedip. Rupanya harapan beliau di dalam rombongan kami itu ada ikut anak atau menantu atau cucunya. Betapa besar rupanya angan beliau di hari seperti ini hadir anak dan cucunya yang mukim di Surabaya.

Harapan seperti itu baru dirasakan oleh seorang teman saya nulis di face book, “Dulu saya mudik kumpul di rumah orang tua bersama saudara dan anak-anak, rasanya biasa saja. Sekarang giliran anak dan mantu serta cucu kumpul di rumah di suasana lebaran, bukan main rasanya bahagia atas nikmat yang diberikan Allah terasa luar biasa, tidak ternilai”.

Begitulah agaknya perasaan dikandung sanubari sepasang jompo yang mertua teman saya itu. Kedatangan kami sedikit membawa bahagia, sekaligus membuat ia kecewa, karena anak dan mantunya serta cucunya satupun tidak ada yang ikut, Nampak berkaca di mata beliau “sudah lama tidak ada kabar, biasanya lebaran gini datang” kata si bapak disela pembicaraan. Maklum anak beliau yang diperisteri sahabat saya itu satu-satunya. Saya tak siap mengarang pesan dari sahabat saya itu, sebab kebiasaan kami setelah pulang mudik baru kunjung ke sahabat sekota, kebetulan belakangan sebelum berangkat belum pernah ketemu, sebab kami bukan sekantor.

Demikianlah perasaan orang tua, utamanya disaat lebaran begini. Kejadian ini membuat saya berandai-andai tentang masa depan.

Budaya bangsa ini sudah tergerus oleh arus budaya asing, kadang justru budaya asing yang di stempel “realistis dan logis”, lebih diterima anak muda. Kelak bilamana angkatan-angkatan kita tua belum juga mati, jika kurang pandai mendidik anak-anak kita ada harapan akan menghuni “panti jompo”.

Kecendrungan itu didukung pula oleh kondisi; kadang anak bekerja di kota lain bahkan di negara lain dari orang tua mereka. Kehidupan mencari nafkah dewasa ini membuat orang bekerja demikian sibuk. Bila orang tua sakit, jika zaman angkatan ayah-ayah kita, anak berusaha untuk menjenguk orang tuanya walau untuk itu harus meninggalkan pekerjaan, jika sakit berat biar berlainan kota juga berusaha datang. Kelak dengan pola pikir yang “realistis dan logis”, jika orang tua sakit mungkin anaknya tidak lagi menyempatkan diri untuk datang, segera masuk ke bilik ATM mentransfer uang ke saudara sekediaman dengan orang tua mereka. Kemudian menghubungi per HP bahwa “saya tidak sempat datang,
sibuk sekali itu ada uang untuk ongkos berobat”. Orang tua dikunjungi dengan melalui telepon seluler. Alam pikiran “realistis dan logika” memang melegalisasi sikap ini, alasannya: orang sakit perlu pengobatan dan perawatan oleh tenaga medis. Sedang si anak mungkin bukan tenaga medis, kalaupun pulang toh tidak dapat merawat, mending dikirim biaya. Tetapi kehadiran anak sibiran tulang, apalagi dalam sakit berat dan mungkin menjelang maut, sangat didambakan. Boleh jadi sakit berat akan menjadi ringan dan tidak jarang menjadi sembuh jika si anak datang menjenguk ketika sakit.

Harapan hidup orang Indonesia, menurut data Biro Pusat Statistik, dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Bahkan pada 2025 nanti, harapan hidup orang Indonesia diproyeksikan bisa mencapai rata-rata 73 tahun. Kalaulah anda tergolong manusia panjang umur sampai ke lebih dari delapan puluhan tahun, ada harapan sudah kurang berdaya. Paling hebat lagi bila diusia tersebut masuk ke pikun, maka jika nasib kurang baik, ada harapan dimasukkan oleh anak cucu ke panti jompo. Anak cucu bila sudah tidak lagi berpegang kepada kaidah agama dan budaya bangsa kita maka kondisi tersebut besar kemungkinan terjadi. Agama memerintahkan anak untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Budaya kita menganggap tabu memindahkan tanggung jawab pemeliharaan orang tua kepada pihak lain sebutlah panti jompo. Tapi anak-anak yang sudah dangkal pemahaman agama dan tipis keterikatan pada budaya, menganggap panti jompo adalah pilihan untuk orang tua yang sudah berusia lanjut atau tidak berdaya. Lebih realistis dan logis, alasan mereka di panti jompo ada tenaga khusus yang dapat merawat dan membantu memenuhi kebutuhan si “jompo”. Tiap bulan masing-masing anak iuran untuk pembayaran biaya di panti jompo. Orang tua tidak merepotkan anak-anak, tidak mengganggu aktifitas.

Kita tidak mengetahui taqdir yang akan datang buat diri kta masing-masing, apakah kita sampai keusia menjadi pikun sehingga merepotkan anak cucu. Atau sebelum merepotkan sudah dipanggil pulang kehadirat Allah. Tidak ada yang mengetahui urusan itu. Sebab urusan maut tidak dapat diundurkan atau dimajukan dan itu rahasia Allah.

Hanya saja sebagai ikhtiar untuk menghindari panti jompo itu ada do’a yang diajarkan oleh Rasulullah Muhammad s.a.w. dipetik syarah Mukhtaarul Ahaadiits halaman 1070-1071. Allahumma au’dzubika minal a’jzi wal kasali wal bukhli wal harami wa a’zabul qabri ......

(Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada Mu dari ketidak mampuan, dari kemalasan, kekikiran, ketuaan (pikun) dan siksa kubur).

Tulisan ini kuturunkan pada hari idulfitri 1432H. Semoga menjadi bahan renungan bagi pembaca yang masih punya ORTU. Taqabalallahu minna waminkum taqabbal yaa kariim. Minal aidzin wal faidzin. Mohon maaf lahir dan batin.

Sunday 21 August 2011

BILA MARAH JAUHKAN KERTAS DAN PENA

Sore itu sekitar pukul setengahlima, suasana di kantor kami sudah sepi sebab sebagian pegawai ada yang sudah pulang sebab jam kantor hanya sampai pukul empat petang. Pegawai kantor kami jarang tepat pukul empat pulang kalau tidak kebetulan ada urusan penting, sekitar seperempatjaman mereka masih berkemas-kemas merapikan sisa pekerjaaan, maklum di daerah belum mengenal macet seperti Jakarta. Tiba-tiba terdengar seperti ada jeritan suara seorang wanita, melengking menggema, sehingga jelas terdegar ke lantai tiga tempat meja kerja saya. Kontan saja pegawai yang masih tersisa berhamburan mencari sumber suara. Rupanya sumber suara itu ada di lantai dasar, suara seorang Ibu kepala bagian .

Saya juga ikut ke lokasi, terlihat sumber suara sudah duduk di kursinya dikelilingi anak buahnya, sementara beberapa meter dari si ibu, seorang kepala bagian juga dikerubungi anak buahnya duduk di kursi kerjanya. Kami yang tidak menyaksikan langsung peristwa tentu bertanya-tanya apa yang terjadi sementara begitu melihat saya datang perhatian orang tertuju kepada saya kebetulan ketika itu sebagai kepala bagian personalia. Satpam mnghampiri saya, “pak anu dan bu anu bekelai” katanya dengan dialeg daerah maksudnya BERKELAHI di Jakarta istilah prokemnya “BERANTEM”.

Kejadian itu terpicu karena Ibu kepala bagian tidak terima dengan ucapan dari Pak Kepala bagian, yang dirasanya sangat menyinggung, sehingga secara spontan menggingit tangan pak kepala bagian. Malah setelah menggigit dengan keras partner berantemnya, justru yang menjerit histeris adalah si ibu, mungkin lantaran menggigit saja belum puas menumpahkan kekesalannya.

Hampir bersamaan waktunya dengan saya datang ke lokasi, seluruh kepala bagian dan karyawan yang tersisa memadati lantai satu, termasuk kepala kantor yang diinstansi kami disebut pemimpin cabang, dengan beberapa wakil pemimpinnya.

Tidak bijaksana kalau kami masuk menanyakan ke salah satu kelompok, satu-satunya nara sumber yang harus kami dengar adalah satpam, sedangkan kedua kubu untuk sementara tidak kami datangi, kebetulan ketika kami tiba, kejadian sudah berlalu dan tidak ada tanda-tanda akan bergolak lagi. Bagaikan sudah ada “police line”, hidup oleh anak buah masing-masing.

Pemimpin cabang memanggil saya keruangannya kemudian “buat telex laporan ke kantor pusat, usulkan mereka dimutasikan”, begitu instruksi beliau dihadapan wakil-wakil pemimpin kepada saya selaku kepala bagian personalia, “baik pak”. Jawab saya sambil langsung permisi meninggalkan ruang kerja beliau. Saya tidak punya pilihan jawaban selain “baik pak” itu, karena suasana sedang hangat dan tatapan wajah dari para wakil pemimpin tertuju kepada saya seolah merekomendasi perintah pemimpin tersebut.

Selang beberapa lama redaksi telex telah dimuat dalam formulir untuk diteruskan ke operator, prosedurnya karena telex ini menyangkut mutasi adalah wewenang pemimpin cabang untuk membubuhkan persetujuan di dalam naskah telex, disamping saya sebagai kepala bagian sekurangnya membubuhkan paraf. Saya sengaja tidak membubuhkan paraf di atas naskah telex itu. Saya sengaja mengulur waktu untuk keruangan pemimpin membawa naskah telex, sambil menunggu bapak-bapak wapin keluar dari ruangan pemimpin. Untunglah para wakil pemimpin cepat keluar dan kini tinggal bos sendirian diruangannya. Saya bawa naskah telex yang sudah siap itu, saya lekatkan di map tetapi tidak langsung saya letakkan di hadapan beliau.

Memang persoalan seperti ini langka terjadi di kantor, untunglah tamu dan nasabah sudah tidak ada lagi, pintu utama kantor sudah di kunci. Pemimpin cabang merasa risau dengan kejadian ini, sebab dikhawatirkan dampak selanjutnya terhadap pekerjaan, sebab kebetulan kedua bagian yang dikepalai oleh si Pak anu dan Bu anu itu urutan kerjanya berhubungan langsung. Selain itu memberikan tuntunan yang kurang baik buat karyawan.

Setelah dengan berbasa basi sejenak memberi informasi yang saya tau tentang peristiwa yang baru saja terjadi. Saya usulkan agar telex ke kantor pusat tidak usah diteruskan. Kebetulan pemimpin saya juga termasuk penganut agama yang baik, saya sering mendengar ustadz mengatakan “jangan membuat keputusan diwaktu marah”. Ungkapan ustadz itu yang saya kemukakan kepada beliau.

Beruntung beliau tidak malah marah kepada saya dan bahkan akhirnya menyetujui usul saya itu. Sebab kalau terlanjur dikirim telex ke kantor pusat, persoalannya tidak akan berhenti sampai disitu. Kantor pusat ingin lebih dalam mengetahui permasalahannya, maklum bahasa telex tidak cukup jelas rinciannya. Selain itu juga akan berdampak yang sangat kurang baik bagi karier mereka berdua, waktu itu masing-masing masih punya peluang sebab usia masih di bawah empatpuluhan.

Kebetulan cabang kami punya cabang pembantu sekota lokasinya dengan kantor cabang induk, atas jalan keluar yang saya usulkan, esoknya si Bapak kepala bagian dimutasikan ke cabang pembantu. Mutasi dari cabang induk ke cabang pembantu wewenang pemimpin cabang. Begitulah sementara persoalan tersebut teratasi, meskipun suasana tetap tidak nyaman kalau ada pertemuan rapat antar pejabat di mana cabang induk dan cabang pembantu ketemu, atau ada hajatan salah seorang karyawan atau ada even olahraga yang mana di daerah selalu terjadi.

Adalah merupakan kelaziman di instansi kami, pemimpin cabang dan pejabat mulai pembantu kepala bagian, tidak akan berlama-lama di suatu cabang, mesti dimutasi ke cabang lain, atau ke kantor pusat. Harapan saya sepasang pejabat yang pernah berantem ini, dalam waktu dekat mendapatkan mutasi wajar dari kantor pusat. Yang terjadi justru yang mendapat mutasi lebih dahulu adalah pemimpin cabang kami.

Seterimanya telex mutasi, pemimpin cabang minta kepada saya agar dapat menyelesaikan persoalan kedua kepala bagian ini, supaya mereka dapat berdamai. “Saya malu dengan pengganti saya, bila ini tidak terselesaikan”, ujar bos saya.

Pendek cerita, saya terpaksa berbohong ke masing-masing pihak, ke yang satu saya katakan bahwa pihak yang satunya menyesali perbuatannya dan ingin mohon maaf, hal yang sama saya kemukakan juga kepada yang lainnya. Kesimpulanya bahwa, sebenarnya kedua belah pihak cukup tidak nyaman dengan suasana perseteruan itu, dan ingin juga segera mengakhirinya, cuma menunggu saat yang tepat dan alasan yang tepat dan mediator tentunya. Buktinya keduanya menyambut tawaran saya agar mereka mengadakan islah dihadapan pemimpin cabang. Alhamduliilah di saat yang sudah dijanjikan kedua kepala bagian yang pernah digigit dan menggigit itu, bersalaman di ruangan pemimpin cabang. Pasca islah mereka betul-betul menjadi akur dan pemimpin cabang kami yang baru sama sekali tidak pernah mengetahui bahwa anak buah mereka itu pernah berantem.

Setelah pensiun dari instansi tersebut, barulah saya dapatkan referensi yang saya jadikan acuan untuk mengusulkan “jangan mengambil keputusan dalam keadaan marah dulu saya hanya mendengar kata ustadz dan ibu saya pernah memberikan kata-kata hikmah “Bila engkau dalam keadaan marah jauhkan kertas dan pena”. Betul pesan hikmah Ibu saya itu, kalau dalam keadaan marah, kemudian kita tumpahkan kemarahan kita itu di dalam tulisan dan tulisan itu diteruskan kepada orang ke mana marah kita alamatkan, tentu sudah sukar untuk diralat lagi. Ketika telex sudah di ketik oleh anak buah saya, kata hikmah ibu saya sempat terngiang, itu pula agaknya yang mendorong saya memberanikan diri menyampaikan masukkan kepada Bos saya yang Alhamdulillah berujung baik.

Referensi pesan nabi supaya jangan mengambil keputusan kalau sedang marah sebagai berikut:

Hadis riwayat Abu Bakrah, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Seseorang tidak boleh memutuskan perkara antara dua orang ketika ia sedang marah"

Sedangkan berbohong untuk kebaikan boleh dilakukan dengan menyandarkan diri kepada hadits antara lain sebagai berikut ini:

عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ يَزِيدَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ يَحِلُّ الْكَذِبُ إِلاَّ فِى ثَلاَثٍ يُحَدِّثُ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ لِيُرْضِيَهَا وَالْكَذِبُ فِى الْحَرْبِ وَالْكَذِبُ لِيُصْلِحَ بَيْنَ النَّاسِ ». وَقَالَ مَحْمُودٌ فِى حَدِيثِهِ « لاَ يَصْلُحُ الْكَذِبُ إِلاَّ فِى ثَلاَثٍ ». قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ لاَ نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيثِ أَسْمَاءَ إِلاَّ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ خُثَيْمٍ

Artinya:

Dari Asma’ binti Yazid dia berkata: Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: “Bohong itu tidak halal kecuali dalam tiga hal (yaitu) suami pada istrinya agar mendapat ridho istrinya, bohong dalam perang, dan bohong untuk mendamaikan diantara manusia”.

Bila pembaca yang budiman terbaca ke blog saya ini dan kebetulan ikut dalam peristiwa tersebut, kini saya buka agar mengetahui yang melatar belakangi kebijakan kami waktu itu, karena mungkin ada yang berkata “kok tindakannya cuma begitu” . Bapak ibu yang kejadiannya mirip dengan cerita ini anggaplah ini sebagai nostalgia, mungkin kebetulan mirip saja kejadiannya, tetapi bukan bapak atau ibu, sebab tulisan ini tidak menyebut nama diri dan nama tempat, dengan maksud tidak membuka aib, semoga dapat menjadi inspirasi bagi generasi penerus.

Dari tulisan ini dapat dipetik antara lain:

· Usahakan mengendalikan lisan dan emosi di dalam pergaulan di masyarakat, baik di tetangga, keluarga apalagi di kantor. Semasa masih bekerja, kehidupan kantor menyedot hidup kita lebih dari duapertiga. Karena itu peliharalah hubungan baik dengan sesama kolega, atasan/bawahan dan manusia di dalam tempat bekerja.

· Bahwa pesan moral dan agama adalah jalan terbaik dalam menyelesaikan masalah, sekalipun kelihatannya pelik.

· Bahwa sabagai bawahan usah takut mengusulkan pemecahan masalah kepada atasan, asalkan pilih waktu yang tepat dan bahasa yang santun.

· Ternyata atasan memerlukan bawahan yang tidak serta merta melaksanakan instrusksi tanpa reserve. Buktinya di dalam kasus ini atasan menerima usul anak buahnya dan setelah dilaksanakan justru berujung kepada kebaikan.

Semoga generasi muda kita lebih baik dari generasi kami-kami yang lalu, karena apa yang kami alami yang baik dapat dijadikan acuan untuk diikuti dan apa yang kami alami yang kurang baik segera anak-anak muda dapat menghindari.

Hidup ini ternyata singkat, seluruh kejadian yang sudah berbilang tahun ternyata seperti baru saja terjadi kemarin, maha benar Allah dengan firman-Nya di surat Al-Mu’minuun ayat 113:

Qaaluu labitsnaa yauman au ba’dha yaumin fas alil ’aaddiin (Mereka menjawab: "Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung." )

Seluruh peristiwa amal kita di dunia ini rupanya dicatat di dalam kitab yang akan menuturkan sendiri segala perbuatan kita di dunia, di hari perhitungan seperti terungkap pada surat Jatsiah ayat 29

Hadzaa kitaabunaa yanthiku ‘alaikum bilhaqqi innaa kunnaa nastansikhu maa kuntum ta’maluun (Allah berfirman): "Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan."

Tulisan ini kumuat di blogspot Rhamadan 1432 H, semoga ada manfaatnya buat pengunjung semua, sebagai kilas balik amal bagi yang tua, untuk yang muda mudah-mudahan dapat buat panduan.

Friday 19 August 2011

BELAJAR DARI JEMARI DALAM KEPALAN

Pak anu yang kini jadi direktur, dulu masuk kerja sama waktunya dengan saya. Demikian antara lain penuturan bosku dalam suasana santai bernostalgia perihal ia meniti karier di instansi tempatku kerja. Juga diceritakan tentang tugas-tugas berat pernah dilaluinya semasa hampir 30 tahun dinas, diantaranya kerja sama dengan rekan seangkatan yang kini sudah jadi direktur. Kemudian dilanjutkan “nggak tau bagaimana kiatnya, orang bisa sukses begitu ya”.

Saya juga tidak mengetahui persis ini bos suka sekali berbincang sesuatu masalah (curhat kata orang sekarang) kepada saya dan kadang sepertinya minta komentar. Alasannya setahu saya mungkin karena kami pernah bertemu di beberapa cabang selama berdinas dengan beliau. Begitu baiknya hubungan dengan beliau, sampai terakhir waktu sehari sebelum beliau memasuki masa pensiun, disempatkan menelpon saya. Saat itu beliau memimpin salah satu cabang utama di Jakarta dan saya berdinas di cabang lain. Terakhir kami bersama di cabang luar jawa dimana beliau sebagai pemimpin cabang dan saya sebagai kepala bagian.

Hubungan baik kami terjalin baik bukan karena saya jadi bawahan yang penurut, justru sering kali mengoreksi dan berseberangan dengan apa yang beliau ingin putuskan. Salah satu diantaranya, suatu ketika beliau harus mengambil suatu keputusan yang berat, yaitu membayar suatu wesel ekspor dimana barang belum loading/belum ada B/L. Keputusan itu diambil menyangkut nasabah besar yang bila tidak dipenuhi nasabah mengancam akan pindah. Eksportir menginginkan dana sebelum libur suatu hari raya keagamaan, karena sebagian besar karyawannya merayakan hari raya tersebut, dana akan dipergunakan membayar tunjangan keagamaan. Sementara tidak memungkin diberikan kredit, kebetulan waktu itu ada kebijakan “uang ketat (bank-bank tidak boleh memberikan kredit baru)”. Komoditi yang akan diekspor sudah siap, persoalannya kapalnya belum tiba di pelabuhan muat (domisili perusahaan nasabah dan kantor kami). Entah bagaimana approarch nasabah, maskapai pelayaran bahkan siap membantu dengan memberikan B/L kopi dengan tanggal muat hari itu juga, walau kapal masih belum tiba. Saya tidak bersedia menandatangani schedule of remittance (SR) sebagai sarana pembayaran (negosiasi) ekspor tersebut. Tetapi setelah dengan berbantahan yang panjang, dan pemimpin saya ini mau memenuhi syarat saya, yaitu membuat berita acara ditanda tangani di atas meterai cukup, bahwa saya hanya ikut menanda tangani sekedar sebagai formalitas karena syarat SR harus di tandatangani dua orang dan atas perintah pemimpin. Di dalam berita acara itu pemimpin membebaskan diri saya dari segala tuntutan hukum dan akibat apapun juga apabila L/C tersebut unpaid.

Setelah pembayaran dilaksanakan ternyata kapal yang ditunggu baru datang 43 hari kemudian, B/L asli baru dikeluarkan oleh maskapai pelayaran hari ke 43 setelah negosiasi, berkaitan dengan itu dokumen barulah dapat dikirim hari ke 43. Persoalan yang baru timbul adalah, the latest presentations of document terlewati dan L/C mati, sehingga sangat berpotensi unpaid. Singkat cerita setelah saya pelajari UCP 500 yang berlaku waktu itu terdapat peluang yang dapat dimanfaatkan, dengan meminta bantuan perusahaan pengirim dokumen. Setelah dengan pendekatan yang alot perusahaan pengirim dokumen bersedia mengabulkan permintaan saya. Pembayaran dapat diterima sepekan setelah documen dikirim. Suasana batin beliau semenjak minggu-minggu pertama sesudah pembayaran dilaksanakan, terutama setelah habis masa berlaku L/C dan pengiriman dokumen, nampak beliau begitu sangat gelisah, tercermin dari raut wajah belaiu. Bahkan beliau pernah memanggil saya dan mengatakan “disinilah tamat karier saya”, secara tidak langsung mengakui bantahan/kekhawatiran saya sebelum negosiasi, “anda si sudah lepas dengan berita acara”. Demikian cerita singkat kasus yang berkesan buat beliau sampai ketika menelepon waktu akan pensiun sempat diunggapkannya. Panjang ceritanya perbantahan kami itu hanya sekelumit sempat saya petik ditulisan ini, untuk menggambarkan bahwa persahabatan antara saya sebagai bawahan dengan beliau sebagai atasan bukan berbalut adonan yang lemak dan manis, sebaliknya penuh perbantahan. Tetapi rupanya justru terakhir diketahui bahwa beliau menyukai bawahan yang sanggup menjadi sparing partner. Bawahan yang tidak asal atasan senang.

Barang kali itu juga yang membuat beliau sering curhat kepada saya berbagai masalah, mulai dari problem keluarga, problem menghadapi hubungan antar instansi dan juga termasuk karier, yang saya petik sedikit dialognya di awal tulisan ini.

Komentar saya kepada beliau, menyoal temannya yang kini sudah jadi direktur itu, bahwa sebetulnya kita dapat belajar dari jari-jari di dalam tangan kita sendiri, disitu dapat kita lihat bagaimana peruntungan kita masing-masing. Komentar ini tentu makin menarik bagi beliau untuk mencari lebih tahu, “apa yang anda maksud ramalan?”. “Bukan ramalan pak, kalau boleh saya perjelas”:

Demikian penjelasan saya kehadapan beliau:

Jari jari yang ada dalam kepalan kita masing-masing umumnya jumlahnya lima di sebelah tangan. Kelima jari kita itu bentuknya berbeda-beda:

· Ibu jari lebih besar dari jari-jari lainnya, tetapi ia agak pendek

· Telunjuk lebih kecil dari ibu jari tapi agak panjang, tingginya dikalahkan oleh jari tengah dan jari manis.

· Jari tengah paling tinggi agak besar tetapi masih kalah besar dengan ibu jari

· Jari manis lebih rendah dari jari tengah lebih tinggi dari telunjuk

· Kelingking paling kecil sendiri dan paling rendah diantara empat jari lainnya

PADAHAL MEREKA LAHIR KE DUNIA DALAM WAKTU YANG BERSAMAAN. Masing-masing jari mempunyai fungsi masing-masing yang dapat saling melengkapi.

Maksud saya utuk menggambarkan bahwa si anu yang jadi direktur masuk ke dunia kerja di institusi tempat kami bekerja adalah sama, tetapi ternyata si direktur sudah sejak semula tersurat menjadi direktur.

Untuk melengkapi tulisan ini saya petikkan surat al hadid ayat 23 (waktu dialog dengan beliau tidak saya ungkapkan), tetapi ini mungkin sebagai referensi buat pembaca yang budiman.

Likailaa ta’sau a’laa maa faatakum walaa tafrahuu bimaa aataakum. Wallahu laa yuhibbu kulla mukhtaalin fahuur (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira[1459] terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,

Jadi tenang saja, bahwa semuanya sudah ditetapkan Allah tentang bagaimana nasib peruntungan kita masing-masing. Sehingga bila kebetulan mendapat tempat yang tinggi, jangan sampai kita melampaui batas kegembiraan, sampai kadang ada yang mendabik dada membanggakan diri, bahwa keberuntungan/keberhasilannya adalah karena usahanya yang gigih, karena kepintarannya, dan banyak lagi kebanggaan yang dimunculkan oleh orang berhasil. Itu tidak dikehendaki Allah sebab itu ujung ayat ditutup dengan “Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri”. Dalam pada itu bila hasilnya pas-pasan atau wajar dan bahkan kurang atau luput, di awal ayat sudah diingatkan jangan bersedih hati.

Ayat ini terhubung erat dengan ayat 22 sebelumnya walau yang dibicarakan bukan soal keberuntungan seperti kebahagian hidup, atau kurang suksesnya seseorang meniti karier. Tetapi jika direnungkan mendalam bahwa di dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa segala nasib keberuntungan sudah ditulis sebelum kita diciptakan, lengkap ayatnya adalah:

Maa ashaba min mushiibatin fil ardhi wala fii anfusikum illa fii kitaabin min qabli an nabra ahaa. Inna dzalika ‘alallahi yasiir. Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.

Selanjutnya dapat pula difahami sebagai penawar untuk kita tidak terlalu silau melihat keberhasilan orang lain, adalah surat Al-Baqarah ayat 245(sebagian):

Wallahu yaqbidhu wa yabshuthu wailaihi tur ja’un (Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan).

Dengan demikian, masing-masing orang sudah ditetapkan porsi rezekinya.

Allah telah memberitahukan kepada kita dengan ayat KAULIAH melalui kitab Al qur’an telah kita petik di atas beberapa diantaranya, disamping itu ayat KAUNIAH berupa alam sekitar kita dan termasuklah diri kita sendiri diantaranya jari jemari dalam kepalan yang bila direnungkan mempunyai makna yang sangat dalam.

Bahwa jari jemari walau mereka tidak sama bentuk dan besarnya tetapi kesemuanya mempunyai fungsi yang saling melengkapi, Banyak akhli hikmah menyebutkan bahwa fungsi masing-masing adalah:

· Ibu jari berfungsi sebagai salutasi, seragam seluruh dunia untuk menyatakan pujian atau setuju dengan mengangkatkan ibu jari ke atas.

· Telunjuk berfunsgi sebagai komando, karena seseorang yang memberikan perintah atau memberitahukan sesuatu, banyak bangsa yang menggunakan telunjuk.

· Jari tengah befungsi untuk kebersihan klas berat

· Jari manis sebagai bendahara

· Kelingking kebersihan ringan.

Tulisan ini saya turunkan pada Ramadhan 1432 H. Terkenang kembali hubungan baik dengan atasan saya, semoga Allah menerima semua ibadah beliau dan mengampuni dosa beliau. Untuk pembaca semoga tulisan ini ada manfaatnya untuk kita mendekatkan diri kepada Allah.