Sunday 29 April 2012

DEBAT KANDIDAT MENYOAL BANJIR

Orang Indonesia yang tidak pernah tinggal di Jakarta, apalagi belum pernah ke Jakarta, ibu kota negara yang sering disebut kota metropolitan itu, adalah serba mengerikan walau disisi lain menggiurkan. Ketika saya masih dinas di Jawa Timur,  ada sebagian teman-teman seangkatan saya sampai ngomong kalau misalnya dimutasi kemana saja boleh, asalkan jangan ke Jakarta. Dalam pada itu Jakarta punya daya tarik tersendiri bagi  setiap anak negeri ini ingin mengunjunginya. Tidak jarang ingin mengadu untung menjajal nasib, sebab banyak orang yang merantau ke Jakarta terdengar sukses.
Keluarga di daerah sering merasa was-was, bila menonton televisi ada tawuran antar penduduk, atau dimusim hujan, banjir dan lihat jalan macet. Bila banjir, sering juga ada keluarga dari daerah nelpon, menanyakan apa rumah kami kebanjiran. Orang di daerah mengira bahwa seluruh Jakarta itu banjir bila turun hujan. Kenyataannya tidak semua wilayah Jakarta itu rawan banjir. Sama halnya tidak semua wilayah Jakarta itu jalannya macet seperti yang di TV. Kebetulan kami mendiami daerah yang tidak selalu banjir di musim hujan. Daerah kami di Jakarta pusat baru akan banjir bila pintu air Manggarai dibuka. Kalau pintu air Manggarai dibuka maka istana negara juga akan kekelep air. Pokoknya dapat dikatakan bahwa kalau Istana kebanjiran barulah daerah kami juga kebanjiran.
Itulah mungkin sebabnya barangkali, maka di suatu kawasan di Jakarta yang sering kebanjiran, ketika digelar pemilihan Ketua Rukun Warga baru, diadakan debat kandiddat dengan isu mengatasi banjir. Niru-niru pemilihan gubernur; sebelum pencoblosan untuk memilih salah satu RW terpilih dari 3 orang calon dilakukan debat kandidat dimediasi oleh panitia pemilihan RW.
Menyoal isu yang dilemparkan di forum debat ada empat masalah yang selama ini menjadi persoalan dari periode ke periode ketua RW di wilayah itu tidak dapat menyelesaikan dengan baik. Pertama masalah banjir yang sering merendam kampung. Kedua masalah semerawutnya lalu lintas dan yang ketiga adalah kemiskinan sehingga banyak rumah-rumah kumuh. Keempat adalah pencurian kendaraan bermotor.
Sesaat debat kandidat Ketua RW dimulai, Moderator mengangkat isu  Pertama yaitu Banjir.
Masing-masing calon diberi kesempatan 15 menit mengemukakan pandangan mereka, untuk selanjutnya calon lain diberikan kesempatan mendebat sambil mengemukan pendapatnya yang terbaik menanggapi isu yang dipaparkan.
Calon A memaparkan untuk mengatasi banjir intinya adalah:
Wilayah RW kita yang hanya ada 21 RT ini diurug, supaya lebih tinggi sekurangnya 175 cm dari yang sekarang, karena dari tahun ke tahun bila hujan turun air tergenang sebatas pinggang orang dewasa.  Dengan yakin sang calon kemukakan bahwa “penduduk kita rata-rata tingginya 170 cm. Maka nanti tidak akan ada lagi yang menderita kebanjiran”. Pemaparan didukung oleh data jumlah penduduk dan statistik populasi ukuran tinggi masing-masing penduduk dewasa mulai dari 150 cm sampai 172 cm. Cukup memukau penjelasan beliau karena dilengkapi slide yang diproyeksikan dengan LCD di layar, terdapat photo-photo RW ketika banjir 3 tahun terakhir, walau disajikan hanya dalam durasi hanya 15 menit. Kemudian riuh tepuk tangan seluruh warga yang hadir.
Giliran calon B. Kepada calon ini disamping dipersilahkan oleh moderator memaparkan solusi beliau terhadap isu; juga sekaligus diberi kesempatan menanggapi pemaparan oleh calon sebelumnya,  oleh karena itu waktu tersedia 20 menit.
Calon B megemukakan solusi mengatasi banjir adalah dengan setiap hari Sabtu warga dikerahkan untuk kerja bhakti membersihkan saluran air di RT masing-masing. Mengawasi dengan ketat pembuangan sampah jangan sampai ada warga yang membuang sampah ke dalam got. Menurut calon ini banjir lebih disebabkan tersendatnya pembuangan air ke kali yang melintasi wilayah RW lantaran banyak sampah menyumbat got-got yang ada. Presentasi dilengkapi foto got seantero RW di musim kemarau dan dimusim hujan ditayangkan dilayar yang tersedia. Dimana tampak sumbatan sampai yang mengganggu jalannya air. Menanggapi pemaparan calon A calon B mendebat, kalau RW kita di urug tentu RW tetangga tidak akan terima, karena banjir akan pindah ke RW-RW tetangga. Itu namanya bukan mengatasi masalah, cetus beliau dengan lantang, tetapi memindahkan masalah. Tak ayal disambut tepuk tangan meriah dari team sukses calon B. Sementara team sukses calon A terlihat senyum geram.
Kini giliran calon C dapat kesempatan 25 menit yaitu untuk memaparkan solusi terhadap isu banjir 15 menit,  masing-masing 5 menit mendebat pemaparan calon A dan calon B. Calon C maju dengan sangat percaya diri, berpenampilan berkumis tipis dan berjenggot lebat. Dengan lantang dia katakan bahwa jika dianya terpilih jadi ketua RW. Maka RW ini tidak akan kebanjiran lagi. Lebih jauh dikemukakan bahwa banjir harus dilihat dari akar masalahnya. Dilontarkannya pertanyaan kepada hadirin. Apa sebenarnya yang membuat banjir, banyak jawaban dari sudut tempat duduk para hadirin. Antara lain ada yang menjawab karena luapan air dari kali, karena kiriman dari hulu sungai, karena pendangkalan sungai sebab got tersumbat lantaran drainase yang tidak baik, seperti argumentasi calon B. Semuanya itu dibenarkan oleh sang calon, untuk menarik simpati tentunya, tetapi saya perlu luruskan lanjut beliau: “akar masalahnya adalah curah hujan”. “Pernahkan RW kita kebanjiran dimusim kemarau? tanya beliau”. Walau hadirin senyap tidak ada yang menjawab, beliau melanjutkan. Dimusim kemarau bahkan seluruh kali kering kerontang, tidak akan ada banjir. Oleh karena itu solusi yang paling pas untuk mengatasi banjir yang saya tawarkan ini  “MMP” kemudian dijelaskan“murah, mudah dan praktis”, tidak merepotkan. Tidak terlalu merepotkan warga dengan kerja bhakti seperti apa yang dikemukakan calon B dan  tidak perlu mengeluarkan biaya yang tinggi seperti dikemukakan calon A dengan mengurug tanah dan mengundang perseteruan dengan RW lain.  Suasanya menjadi hening dan si calon ketua RW yang mendapat giliran bicara ketiga malam itu, sengaja menghentikan pembicaraannya agak beberapa saat, membuat hadirin terpana menunggu apa solusi yang “murah, mudah dan praktis” tersebut. Selanjutnya ia melanjutkan pembicaraannya. Karena akar masalahnya adalah “air” dan air bersumber dari curah hujan yang tinggi maka solusi yang paling tepat mengatasi banjir adalah mengendalikan hujan. Air hujan bagaimanapun banyaknya kalau langsung dapat dihalau ke laut maka tidak mungkin akan membuat daratan bakal banjir. Bagaimana cara saudara-saudaraku warga RW?............. Caranya tidak perlu berbiaya yang mahal cukup menggaji sejumlah paling banyak 7 orang “Pawang Hujan” yang gajinya jauh lebih rendah dari berapa kubik tanah untuk mengurug wilayah RW dan tidak mengganggu kesibukan warga yang lain harus menyisihkan waktu guna kerja bhakti secara berkala seperti solusi yang ditawarkan calon lain.
Omongan ini segera dibuktikan beliau dengan memanggil dua orang pawang hujan ke atas panggung. Pawang pertama memperagakan kesaktiannya bagaimana menenteng sebuah tempayan (sejenis bejana) transparan termuat air sekira 20 liter dengan posisi terbalik, terlihat air di dalam bejana tidak tumpah sedang mulutnya hanya ditutup dengan sehelai kertas. Disambut tepuk tangan berdiri meriah dari salah satu sudut arena debat kandidat. Rupanya sambutan standing applauds  itu dari para pendukung calon C. 
Pawang kedua membawa semprotan yang biasa dipergunakan ibu-ibu merapikan setrikaan. Begitu air disemprotkan jatuhan air tidak jatuh ke tempat seharusnya jatuh, walau di bawahnya digelar kertas, sebab dihembus dengan kipas angin. Hujan tidak akan turun di wilayah RW kita, biar turun di tempat lain dan kalaupun juga turun di RW kita jatuhkan airnya ketempat lain, dengan kekuatan “perpawangan yang ada”. Bukankah RW kita hanya beberapa kilometer dengan laut, biarkan air jatuh ke laut. Demikian komentar calon ini selanjutnya atas aksi sang pawang.
Hadirinpun agak terkesima menyaksikan pertunjukan yang tak dinyana itu, walau sebagian ada yang geleng kepala, karena pastilah air nggak tumpah sebab tekanan udara dari bawah, begitu pula pawang kedua karena tiupan angin. Sebagian tidak juga berani komentar sebab ada juga yang sudah dapat “perskot” pendahuluan sebelum hari “H”. Oleh karena itu memlilih diam.
Calon A punya waktu masing-masing  10 menit untuk mendebat kandidat lainnya. Calon A menganggap bahwa kegiatan yang diusulkan oleh calon B sudah rutine dilakukan di RW selama ini, tapi banjir tetap saja melanda RW. Sedangkan solusi calon C menurut A adalah tidak realitas, diera modern ini sudah tidak lagi mujarab penyelesaian dengan cara magis.
Calon B, punya waktu 5 menit mengomentarai Calon C, di penghujung debat kandidat. Calon B mendebat bahwa solusi yang ditawarkan oleh calon C hanya cocok di zaman “Kuda Gigit Besi” maksudnya zaman dimana kota Jakarta masih belum ada mobil dan motor, angkutan masih pakai delman ditarik kuda. Solusi demikian menurut calon B adalah sebagai khayalan yang hanya cocok untuk tayangan hiburan di TV pada acara “master of magition”. Di era teknologi dan informasi ini setiap problem tidak akan dapat lagi diselesaikan dengan cara majik. Tak lupa ia meyakinkan bahwa solusi yang ditawarkannyalah yang paling tepat.
Sementara tetua kampung yang ikut juga hadir dalam acara debat kandidat malam itu, hanya bergumam: “Siapapun menjadi ketua RW di RW kita ini tetap akan banjir tiap taun, saya sudah umur 80 tahun, dulu disini rawa, tigapuluh tahun belakangan ini jadi pemukiman mulanya diurug dengan sampah. Yah boleh dikata ini  RW sampah. Ngomong kosong, siapapun  jadi ketua RW tidak  akan dapat mengatasi banjir.
Debat kandidat malam itu ditutup karena waktu sudah cukup larut, sebab sebelumnya ada acara serimonial, dengan sambutan Bapak Camat dan Bapak Lurah serta ketua panitia. Debat kandidat akan dilanjutkan Sabtu malam Minggu yang akan datang dengan topik lainnya yaitu isu macet, isu gubug kumuh dan isu curanmor.

Monday 23 April 2012

KIBANG AYOK

Di era sekarang untuk melakukan penjagaan gedung misalnya, tersedia petugas yang mengkhususkan diri untuk berjaga selama 24 jam lazim disebut SATPAM. Begitu pula bila ada lahan perkebunan dan pertambakan untuk keamanan perkebunan, pertambakan agar hasilnya tidak dipanen orang lain, disiapkan penjaga berupa Satpam. Mereka  juga berpatroli siang dan malam utamanya di saat krusial, ketika musin panen.
Berbeda keadaannya dengan sekitar lima dekade yang silam, masa itu belum dikenal Satpam. Para pemilik kebun menempatkan penunggu di kebunnya dengan sesuatu yang tidak berwujud, kekuatan supra natural, diantaranya dengan apa yang dikenal dengan “Kibang”.
Saya jadi ingin memperkenalkan kembali “Kibang”, karena belakangan ini, rakyat di daerah-daerah perkebunan sering dihadapkan atau dibenturkan oleh pemilik kebun dengan Satpam. Banyak peristiwa antara lain di Lampung, di Riau dan Kalimantan rakyat menjadi korban Satpam perkebunan “menjalankan tugas”, tidak sedikit pula Satpam perkebunan yang menjadi bulan-bulanan rakyat.
Persolannya bermula dari suatu kebijakan penguasa yang mengatasnamakan investasi memberikan lahan-lahan milik rakyat yang telah dikuasai secara turun-temurun itu, kepada pengusaha. Itu buntut dari Penguasa berpartnership dengan Pengusaha. Penguasa memihak kepada pengusaha, sekali lagi atas nama kemajuan perekonomian bangsa dengan membuka luas lahan-lahan perkebunan memasukkan investor baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Memang Penguasa dengan Pengusaha beda tipis dari ejaan.
Hak atas lahan secara turun temurun rakyat tersebut memang tidak punya bukti administrasi, jauhkan lagi berupa sertifikat, keterangan secarik kertaspun rakyat tidak punya. Tapi sejak turun temurun itulah lahan tempat mereka berladang huma. Di tanah hutan itulah mereka mencari rotan dan damar, tempat berkeliaran hewan buruan mereka. Dihutan itulah terdapat pohon-pohon besar tempat lebah bersarang memproduksi madu, dimana satu sarang dapat menghasilkan duaratus-tigaratus liter madu, saking besarnya koloni lebah liar dihutan belantara kita itu. Kini tinggal kenangan semua sudah menjadi perkebunan Sawit milik pengusaha.
Ketika kebun sawit mulai dibangun, banyak kebun rakyat diantaranya kebun karet yang diambil paksa oleh pengusaha dengan berbekal surat izin dari penguasa bahwa pengusaha mengklaim wilayah tersebut punya mereka. Rakyat  terpaksa menyerahkan tanah yang telah mereka tanami karet atau tanaman lainnya itu karena memang mereka kalah secara “administrasi”, tidak punya secarik kertaspun sebagai bukti.
Begitulah keadaan di pedalaman, sangat tertinggal akan pengakuan sesuatu hak di atas kertas. Patok batas antara milik si Anu dengan si Ani hanya ditandai dengan batang-batang pohon. Sedangkan usia seseorangpun baru-baru ini saja tercatat tanggal kelahiran, lima dekade lalu orang di pedalaman masih menandai kelahiran dengan pohon yang ditanam, atau peristiwa-peristiwa alam.  Misalnya ketika anaknya menanyakan usianya, jawabnya “waktu kau lahir nenekmu menanam pohon Durian disamping rumah kita”. Contoh lain, almarhumah seorang nenek menceritakan bawa ketika Lampung pecah, beliau sudah dapat membawa air “selabu”. Lampung pecah maksudnya gunung Krakatau meletus.  Sedang air “selabu” secara singkat dapat dijelaskan: Di desa si nenek zaman dulu belum dikenal ember plastik atau ember dari kaleng. Wadah air dibuat dari sejenis labu yang kulitnya keras setelah tua, isi dalamnya dikuras di dekat tangkainya ke bawah sedikit bebera sentimeter dibuat lobang sekira tangan dapat menentengnya. Lobang berfungsi setelah jadi wadah air, sebagai jalan masuk keluar air dan dari lobang itu pula isi labu dikuras. Maksud si nenek ketika gunung Krakatau meletus usianya sekira empat lima tahun, sudah mampu membawa air “selabu” dari sungai yang tak jauh dari rumah beliau. Tinggal diurut kembali kapan gunung Krakatau meletus dan kurangilah sekitar 4 atau 5 tahun, itulah kira-kira tanggal/tahun kelahiran nenek.
Era reformasi membuat rakyat sebagian daerah berani mengemukakan pendapat mengunjukkan perasaan, itulah sebabnya baru belakangan ini terdengar, rakyat menggugat kembali tanah nenek moyang mereka. Di orde lampau suara terbungkam, rakyat dengan terpaksa mengalah, kini ada sebagian penduduk pedalaman yang dulunya tanah mereka  diambil oleh pengusaha atas nama investasi tersebut. Berhadapanlah mereka dengan keamanan perkebunan dan kadang meluas berhadapan dengan aparat keamanan negara.
Peristiwa demi peristiwa bentrokan antara pengusaha versus rakyat yang sekarang terjadi dan peristiwa pra kebun sawit, dimana rakyat yang sebagian punya kebun harus menyerahkan lahan mereka ke pengusaha. Ini mengingatkan saya dengan kedikdayaan nenek moyang zaman dahulu. Mereka mempercayakan penjagaan kebun mereka dengan kekuatan tidak berwujud seperti saya kemukakan di atas,  yaitu dengan KIBANG.
“Kibang” ada yang digantungkan di areal pekarangan perkebunan ada yang ditanam di dalam tanah di perkebunan. Diantara sekian banyak jenis kibang tersebut ada yang disebut “Kibang Ayok”. Cara kerjanya; apabila orang masuk kebun tersebut dan mengambil buah atau memanfaatkan hasil kebun tanpa izin pemilik, maka orang yang bersangkutan tidak dapat keluar dari wilayah perkebunan itu. Dia tidak berhasil menemukan jalan pulang, keadaan orang  itu akan berjalan maju mundur, maju mundur terus menerus. Jika sampai beberapa lama si pemilik kebun tidak meninjau kebunnya, ada harapan yang bersangkutan mati kelaparan atau kecapean karena  terus menerus maju mundur (ter ayok-ayok bahasa daerahnya) itu sebabnya namanya “Kibang Ayok”. Begitu ketemu pemilik kebun, setelah meminta maaf dan minta dihalalkan mengambil buah atau pengambil hasil kebun (misalnya menyadap karet), langsung orang yang masuk kebun dan mengambil tanpa izin itu sembuh dan dapat pulang.
Itulah sebabnya sampai sekarang masih membekas di budaya setempat, jika masuk kebun-kebun  bukan miliknya, kalau ketemu buah, tidak ada yang berani sembarang memetik, walau “kibang ayok” kini sudah tidak ada lagi. Kecuali ketika masuk kebun sudah permisi dulu dengan pemilik dan secara jelas menyebut kalau ada buah minta izin memetik. Sampai ketika kebun sawit belum ada, jika di hutan belantara terdapat sarang lebah diatas sebatang pohon yang tinggi, sementara di batang pohon itu sudah ada tanda silang, atau tanda apa saja yang mengidenditifikasikan bahwa sudah ada orang lain yang menemukan lebih dahulu, maka orang yang datang belakangan tidak akan mengganggu sarang lebah tersebut, hak memanen sudah ada ditangan yang memberi tanda. Begitulah kesepakatan tak tertulis di paguyuban masyarakat desa yang orisinal. Budaya ini terkikis setelah banyaknya pendatang dari daerah lain, yang kadang diantaranya ada punya budaya main serobot.
Timbul pertanyaan kenapa mereka mengalah dengan pengusaha yang mengambil lahan mereka, kenapa tidak dipertahankan dengan “Kibang ayok”. Pertanyaan itu pernah kutanyakan kepada pemuka masyarakat di pedalaman daerah kelahiranku yang dulunya punya piranti disebut “Kibang ayok” tersebut. Masalahnya adalah generasi angkatan orang tua kami, jawab mereka, sudah tidak percaya lagi dengan kekuatan supra natural itu, sehingga tidak minta diturunkan  dari angkatan di atas mereka. Ilmu kanuragan sudah tidak lagi diwarisi, karena lebih yakin dengan yang kasat mata. Rupanya yang menjadi soal adalah kemampuan seperti itu tidak bisa diturunkan begitu saja, kalau pihak yang ingin mewarisi tidak meminta, tidak seperti warisan harta berwujud benda. Semboyan mereka bahwa air di sungai itu tidak akan naik ke rumah bila tidak di ambil. Begitulah diibaratkan kemampuan seperti itu tidak bisa diberikan tetapi harus diminta. Sementara angkatan baru tidak meminta dari angkatan sebelumnya. Kalau diberikan tidak diminta ilmu tersebut tidak “mandi” (istilah bahasa Jawa = mujarab).
Kebetulan pada saat sudah tak punya lagi “Kibang ayok”  lahan merekapun dirampas dengan cara yang lembut dan/atau  bahkan bila perlu dengan intimidasi oleh pengusaha. Kini “Kibang ayok” tinggal kenangan, tinggal menjadi kisah obrolan ketika ketemu-ketemu warga membahas betapa; dulu lahan di sana pernah saya berladang lahan disitu pernah saya tanam karet.  Rakyat tempat asal yang lahir di desa mereka sendiri, sekarang sudah menjadi tamu dan bahkan tidak sedikit menjadi kuli di kampung sendiri.  Sambil menyaksikan mewahnya dan megahnya kantor perkebunan yang dijaga ketat oleh Satpam.  Masih untung kalau diantara Satpam dan buruh perkebunan merekrut rakyat setempat, kalau tidak benar-benar penduduk asli termarginalkan.
Ooh andaikan kita masih mewarisi “Kibang ayok” lahan kita tidak akan diambil oleh penguasa, kata sebagian penghuni asli desa yang kebetulan tidak dapat ikut menikmati nilai ekonomi setelah mengucurnya minyak dari atas pohon itu.
Tidak pula dapat dinafikan ada juga segelintir penduduk asli yang ikut merasakan manisnya kehidupan lantaran perkebunan Sawit. Bahkan ada yang punya mobil sampai berbilang empat lima unit model terbaru. Tentu saja mobil double gardan karena jalannya tidak siap untuk dilalui sejenis mobil sedan mewah. Andaikan tersedia jalan untuk mobil sedan mewah, sebagian mereka sanggup memilikinya, karena ada yang punya truck pengangkut Tandan Buah Segar Sawit puluhan unit sampai ratusan unit.

Friday 20 April 2012

SEMBADA DAN BERUANG

Sembada, adalah sejenis semut hitam yang besar; hidupnya biasanya di hutan-hutan yang rindang karena banyak pohon dan di tanah tebal dedaunan dari pohon yang gugur. Jenis semut ini lumayan besar, panjangnya sekitar satu centimeter, giginya jelas terlihat tersembul di depan kepalanya di posisi kiri dan kanan, mirip tangan kepiting.
Bukan bentuk tubuh dan giginya yang mengerikan tapi kalau menggigit, terasa gigitannya. Bila di gigit di kaki bisanya terasa sampai ke dada. Itu sebabnya barangkali di daerah hutan di mana komunitas semut itu banyak  berdiam, semut itu dalam logat daerah dinamainya “Sembada” mungkin ada hubungan dengan singkatan bahwa semut ini  “Sempat ia menggigit meski di kaki sakit sampai ke dada”.
Suatu hari musin kemarau,  Sembada remaja dalam tugasnya seharian mencari makan dan membawa misi komunitasnya untuk mencari bahan renovasi sarang, ia sampai di sebuah sungai yang airnya jernih dan mengalir deras, tiba-tiba rasa hausnya menggoda untuk dipenuhi. Perlahan Sembada menuju pinggir sungai, tidak diduga kakinya terpeleset dan terbawa arus, refleks ia masih sempat memegang sehelai daun kecil yang hanyut dibawa arus sungai, dengan susah payah dipegangnya daun kecil dan licin itu untuk naik di atasnya. Sebab kalau terus berpegang ke daun itu sementara badan masih di air, sebentar lagi akan terlihat oleh ikan “Kelik” yang banyak di sungai itu dan langsung ditelan tak berbekas. Akhirnya berhasil juga dia naik di atas daun hanyut, sambil menunggu nasib entah dimana daun itu akan tersangkut.

Rupanya setelah beberapa waktu berselang daun hanyut mengikuti lekuk liku sungai di hutan itu, akhirnya tersangkut di sudut  tanjung, tapi tak cukup buat Sembada untuk naik ke daratan. Disamping tenaga sudah begitu letih dan grogi, juga jika diupayakan merambat disangkutan daun yaitu akar pohon, dikhawatirkan sebelum akar dapat digapai, daun lepas dan dapat dibayangkan “plug” nyemplung ke air dan hanyut dibawa air deras. Seperti kata pepatah: “Buang tangga berayun kaki” artinya kira-kira “mengharap sesuatu yang belum tentu, yang ada sekarang terlepas”. Dalam kepasrahan itu tiba tiba ada seekor Beruang menuju sungai melalui tanjung tempat Sembada dengan daun tumpangan tersangkut diakar itu. Entah melihat atau tidak, si Beruang meraih daun dengan tangannya dengan maksud mengambil air untuk minum dan mencuci muka. Gerakan menciduk air dan mengarahkannya ke muka, sehingga terpelantinglah Sembada ke atas kepala si Beruang dan untuk sementara menempel di bulu Beruang dengan berdiam diri, tidak membuat gerakan yang mengundang perhatian. Selesai memenuhi kebutuhannya, minum dan “tempungas” (cuci muka), beruangpun balik kanan dan berlenggang lenggok menuju ke daratan. Tak lama kemudian bulu Beruang-pun kering begitu juga Sembada yang bergendong di badan Beruang segar kembali dan badannyapun terasa hangat. Hap,  diapun melompat dan langsung mencari arah pulang ke sarangnya untuk berkoordinasi dengan rekan lainnya. Pengalaman hampir seharian itu diceritakannya runtut kepada seluruh kelompoknya.
Betapa kalau tidaklah ada Beruang minum dan cuci muka tidak taulah bagaimana nasib keberuntungan Sembada, mungkin sudah mati beragan (mati pelan-pelan) karena ketakutan dan tidak makan, atau sudah dimangsa ikan. Peristiwa itu sungguh dijadikannya pengalaman yang berharga untuk lebih hati-hati kalau ingin minum ke sungai.
Menjadi cacatan dalam hidupnya, merasa berhutang budi kepada Beruang yang telah menyelamatkannya.  Entah bagaimana cara membalasnya, dia tau bahwa diri ini hanya seekor semut.  Walau dianya semut yang cukup besar, namun tetap saja tidak bandingannya dengan Beruang yang jutaan kali lebih besar dari dirinya.
Tidak menyangka suatu hari entah berapa lama setelah peristiwa itu, di habitat Beruang dan Sembada ada seorang pemburu dengan posisi bersender dibalik pohon dengan mengendap membidikkan senapannya. Agaknya bidikan ditujukan kepada Beruang yang pernah menolong Sembada. Dengan gerak cepat dan cekatan si Sembada menuju ke kaki pemburu, tapi si pemburu pakai sepatu lars, tak dapat digigit. Segera Sembada merambat di tubuh si pemburu menuju ke bagian atas tubuh pemburu yang kini sudah siap. Pemburu memicingkan matanya sebelah untuk memastikan arah tembakan. Untung, kurang lebih setengah detik sebelum pelatuk ditarik, Sembada sempat menggigit sekuat-ukuatnya di belakang daun telinga disisi mata pemburu mengkeker sasaran tembak. Pemburu terlanjur menarik pelatuk senapan tapi karena terasa sengatan dibelakang telinganya arah senapan melenceng ke kanan dan “door” terdengar ledakan, tetapi peluru menjadi salah sasaran. Mendengar bunyi ledakan, Beruangpun dengan cepat melarikan diri di kelebatan hutan. Dan selamatlah si Beruang.
Setelah menggiggit dengan segera Sembada melarikan diri, untung tangan si pemburu tidak sempat memites dirinya karena kebetulan tangan kiri pemburu memegang tengah senapan dan tangan kanan di posisi pelatuk. Seperti diungkap di atas bahwa betapa sakitnya bekas gigitan Sembada, betul-betul mengganggu konsentrasi si pemburu setidaknya kurang lebih setengah jam. Bayangkan bila digigit di kaki reaksi bisanya sampai ke dada, bagaimana kalau di belakang daun telinga mungkin ke atas sampai ke otak dan ke bawah sekurangnya sampai ke perut.
Pikir Sembada kini kesempatan untuk membalas budi sudah dapat dilaksanakan, hutang nyawa sudah dibalas nyawa. Walau sebenarnya Beruang tidak mengetahui bahwa keselamatannya adalah karena Sembada membalas budi, juga diapun tidak pernah tau bahwa telah menanam budi kepada Sembada.
Paling kurang dari kisah ini dapat diketahui bahwa: Orang kecil dan orang lemah, selalu mengingat suatu kebaikan walaupun kebaikan itu kecil sekali dan bahkan oleh orang besar mungkin dianggap biasa-biasa saja. Saya teringat ketika dikantor dulu, seorang wakil pemimpin kantor, belum lama menjabat di cabang kami waktu itu pidahan dari kota lain. Dianya, punya suatu kebiasaan baik. Beliau sanggup mengingat nama orang sampai ke panggilan akrabnya. Misalnya anak buahnya namanya “Mardjuki” dia cari tahu betul dengan sapaan apa si Mardjuki itu biasa disapa kawan-kawannya. Umpama panggilan”Mar” atau “aju” atau “Juki” atau “Ajuk. Panggilan akrab itulah yang ia sapakan kalau bertemu. Seorang tukang sapu di pagi hari begitu bertemu langsung disapa dengan sapaan akrabnya, kemudian diajak berdialog agak sejenak. Bukan main peristiwa itu sudah dicatat sebagai kebaikan yang besar bagi si tukang sapu. Tak kurang diceritakannya ke keluarganya di rumah dengan rasa bangga. Pembalasannya, segala kepentingan bos ini akan diprioritaskan. Benar petunjuk Allah dalam surat Al-Baqarah 263:

Qaulum ma’rufun wamaghfiratun khairummin shadaqatin yatbau’haa adza. Wallahu ghaniyun haliim.
(Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun).
Ketika si Bos dimutasikan dari cabang kami ke cabang lain, oleh kantor cabang kami,  karena satu dan lain alasan tidak mengadakan perpisahan antara beliau dengan seluruh pegawai. Perpisahan hanya diadakan dengan mengundang pejabat dan keluarganya saja. Maklum cabang kami itu lumayan banyak pegawainya jumlah kurang lebih 350 orang. Yang terjadi adalah para pegawai “kecil” di cabang kami itu urunan dana mengadakan upacara perpisahan dan bahkan mengundang para pejabat. Itu rupanya wujud pembalasan pegawai kecil kepada atasan yang baik itu.
Agaknya psychologi rakyat kecil ini terbaca dan dimanfaatkan benar oleh kaum politisi kita. Manakala mendekati pemilihan umum untuk duduk menjadi pejabat publik, menebar kebaikan kepada rakyat kecil. Banyak sumbangan yang mengalir untuk rakyat. Beberapa masa pemilihan umum yang lalu,  rakyat masih terpedaya dengan kebaikan sesaat menjelang pemilihan pejabat publik itu. Moga-moga kedepan rakyat kecil sudah mulai memahami kebaikan ini bukun tulus, hanya sekedar untuk meluluskan maksudnya saja, setelah tercapai maksudnya sampai di atas kebanyakan mereka tidak baik lagi bahkan menghisap darah rakyat dengan korupsi.
Kebiasaan umum kita, justru sering memberi lebih kecil ke orang yang kurang mampu, orang lemah dan  memberi lebih banyak kepada orang kaya dan orang besar (berjabatan tinggi). Contoh konkrit akan memberikan sumbangan yang besar dan berupaya untuk hadir jika seorang atasan atau pejabat tinggi yang mengundang “mantu”. Sebaliknya kadang tidak mau hadir dan titip sumbangan ala kadarnya bila orang miskin atau bawahan yang mengundang mengawinkan anak. Padahal orang kecil sangat mengingat dan menghargai kebaikan orang besar walau dimata orang besar itu sendiri kebaikan itu adalah kecil. Sebaliknya orang besar kurang menghargai bantuan dari orang kecil walau si kecil sudah dengan susah payah melakukan bantuan itu, apalagi memang bantuannya sangat kecil.