Monday 26 September 2016

LOGIKA dan WAHYU.



Di dalam kemahnya, Rasulullah Muhammad berdua dengan sahabatnya Abu Bakar, menangis berurai air mata. Peristiwa itu terjadi belum lama usai perang Badr yang dimenangkan dengan gemilang oleh kaum muslimin. Kemenangan ditandai dengan dengan 70 orang musyrikin terbunuh dan 70 orang tertawan. Tawanan adalah penduduk Makkah dan adalah kerabat Rasulullah, juga mereka kerabat dari para sahabat beliau yang hijrah ke Madinah. Dalam tawanan itu diantaranya terdapat paman Nabi; Abbas bin Abdul Muthalib, Sepupu Nabi; Aqil bin Abu Thalib dan menantunya; Abul ‘Ash suami dari putri beliau Zainab.
Kejadian menangisnya Rasulullah berserta Abu Bakar itu diketahui oleh Umar bin Khatab, ketika dia masuk ke kemah beliau dipagi hari setelah kemarinnya diambil suatu keputusan mengenai tawanan perang Badr. Keputusan mengenai tawanan perang itu sebenarnya diambil melalui suatu musyawarah. Pada musyawarah dihadiri sahabat Rasululah dan para pahlawan Badr itu terdapat dua opsi:
·         Opsi Pertama; di gagas Umar, Semua tawanan dibunuh, dengan argumentasi bahwa mereka telah memesuhi Islam, telah mengusir Rasulullah dan para sahabat dari Makkah dan selama ini berbuat kejam dan jahat kepada ummat Islam. Bukan mustahil mereka nanti bila dibebaskan akan menyusun kekuatan kembali memerangi ummat Islam. Pendapat ini didukung sebagian besar kelompok pemuda.
·         Opsi Kedua; di gagas Abu Bakar, setiap diri tawanan diberi kesempatan menebus diri, dengan pertimbangan bahwa semua mereka adalah kerabat, masih ada pertalian darah dan diharapkan mereka nantinya akan bertaubat. Pendapat ini didukung sebagain besar pahlawan Badr meskipun motivasi dari pendukung gagasan ini beda dengan Abu Bakar; sebagian besar ada yang membayangkan harta yang banyak dari tebusan itu.
Rasulullah memutuskan memilih opsi yang digagas Abu Bakar, memberi kesempatan kepada setiap tawanan menebus dirinya dengan sejumlah Emas.  Sebetulnya keputusan tersebut tidaklah diambil Rasulullah langsung begitu saja sesaat ketika musyawarah berlangsung. Rasulullah lebih dahulu masuk ke kemahnya mempertimbangkan dengan seksama kedua opsi tersebut. Ketika Rasulullah keluar dari kemahnya yang memang sudah ditunggu para sahabatnya itu, sebelum menyampaikan keputusannya Rasulullah terlebih dahulu menyampaikan prolog mengutip ayat-ayat Al-Qur’an yang telah turun sebelumnya sampai saat itu (ketika itu ayat-ayat Al-Qur’an belum diwahyukan seluruhnya oleh Allah)
Prolog yang dikemukakan Rasulullah terhadap opsi yang dikemukakan Abu Bakar adalah:
a)      laksana Nabi Ibrahim a.s. ( Al-Qur’an surat Ibrahim 36) “Siapa yang mengikuti aku, maka dia itu adalah dari golonganku. Dan barangsiapa yang mendurhakai aku, Engkau Ya Tuhan – adalah Maha Pengampun lagi Penyayang”.
b)      Dan juga Opsi yang dikemukakan Abu Bakar, laksana Isa a.s.  yang berkata (Al-Qur’an surat Al-Maidah 118) “Jika Engkau siksa mereka, mereka itu adalah hamba-hamba Engkau semua. Dan jika Engkau beri ampun mereka, maka sesungguhnya Engkau adalah Maha Gagah lagi Maha Bijaksana”.
Adapun Prolog yang disampaikan Rasulullah terhadap opsi yang digagas Umar:
a)      Laksana Nabi Nuh (surat Nuh 26) yang berkata “Ya Tuhanku Jangan Engkau biarkan di atas bumi ini, dari orang kafir itu, seeorangpun penduduk
b)      Laksana Musa a.s. (surat Yunus 88) “Ya Tuhan kami  musnahkanlah harta benda mereka dan keras sangatkanlah hati mereka, maka tidaklah mereka mau beriman sehingga siksaan yang pedih
Nabi Muhammad bersama sahabat utama beliau Abu Bakar sampai menangis tersedu sedu disebabkan keputusan yang beliau ambil merifer kapada gagasan Abu Bakar dan sebagian besar pahlawan Badr dikoreksi oleh Allah, dengan turunnya tiga ayat dari surat Al-Anfal ayat 67, 68 dan 69.
67. Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
68. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil.
69. Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Ternyata Opsi Umar bin Khatab dalam hal ini yang dibenarkan oleh Wahyu yang turun sesudah keputusan diambil. Akan tetapi Allah telah menetapkan sebelumnya, bahwa pahlawan-pahlawan Badr telah diberikan keistimewaan pengampunan dosa atas kealfaan itu (termuat di ayat 68 Al-Anfal)
Dari peristiwa itu dapat dipetik pelajaran bahwa hendaklah seluruh aturan yang akan di ambil pemeluk agama Islam, apakah dia sebagai rakyat biasa dalam mengambil langkah-langkah aktivitas perbuatan hidup mencari nafkah bergaul di masyarakat, maupun sebagai pemimpin yang mengambil keputusan penting untuk rakyat banyak, sudah jelas acuannya di dalam petunjuk Al-Qur’an dan Hadist.
Dari peristiwa menangisnya Rasulullah karena salah mengambil keputusan itu, maka dapat diambil hikmahnya bahwa Rasulullah saja, bila hanya mempertimbangkan keputusan dengan menggunakan logika dan perasaan, tanpa petunjuk Allah langsung, maka masih dapat keliru bila diukur dengan kebenaran yang datang dari Allah.
Itulah sebabnya sebelum perang Badr berlangsung seorang sahabat bernama  Al-Habbab dengan segala hormat bertanya: “Apakah dalam memilih tempat berkemah atas dasar tuntunan wahyu”? Karena nabi menjawab “Atas dasar siasat perang saja”, maka Al-Habbab mengemukakan bahwa tempat berkemah tersebut tidak tepat karena akan sulit menambah air.  Rasulullahpun menuruti saran Al-Habbab. Bila keputusan datang dari Allah mereka melaksanakan tanpa ragu-ragu, tetapi bila Nabi menjawab ini bukan dari Allah, mereka memberikan usulan, seperti yang dilakukan oleh Al-Habbab itu.
Keputusan yang diambil atas dasar musyawarah, telah pula mempertimbangkan dengan melalui pemikiran mendalam dan merifer pula kepada apa yang pernah dilakukan para nabi terdahulu, masih saja dapat salah bila tanpa bimbingan Allah. Sebab opsi nabi-nabi terdahulu menghadapi kaumnya adalah situasional sesuai LOGIKA masing-masing nabi tersebut.  Karena akal manuia terbatas, kebenaran menurut manusia nisbi tidak mutlak.
Kini dengan sudah rampungnya Al-Qur’an turun ke bumi secara lengkap, sebagaimana di tegaskan Allah ketika penutup wahyu yang turun melalui Rasulullah di dalam surat Al-Maidah ayat 3, ketika di padang Arafah pada saat Rasulullah melaksanakan Hajji (disebut Hajji Wada’)
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.
Semua petunjuk mengenai perihal apa saja dalam hidup dan kehidupan ini dengan penegasan Allah tersebut ayat 3 surat Al-Maidah  di atas sudah diatur dalam Al-Qur’an, sejak manusia menikah, sampai mempunyai anak keturunan, sampai membagi harta warisan. Misalnya ketentuan tentang pembagian waris a.l. lelaki mendapatkan dua bagian perempuan. Mungkin ada logika yang kurang menerimanya menganggap kurang adil, namun itulah keadilan yang diatur menurut ketentuan Al-Qur’an.
Hikmah yang kita ambil dari peristiwa pengambilan keputusan mengenai tawanan perang Badr, adalah:
1.       Keputusan Rasulullah saja, walau sudah dengan melalui musyawarah difikirkan dengan matang, mengacu kepada referensi yang pernah dilakukan nabi-babi terdahulu saja bisa salah. Apalagi keputusan itu diambil oleh kita manusia biasa, bila tidak mengacu kepada petunjuk Allah.
2.       Bahwa apabila keputusan sudah diambil, meskipun sedikit keliru harus dilaksanakan. Asalkan keputusan telah diambil dengan musyawarah dan sejauh mungkin sudah merifer kepada apa yang telah dilakukan nabi-nabi terdahulu.
3.       Terbukti bahwa keputusan yang salah itu yang telah diambil dengan musyawarah, dengan berupaya membertimbangkan dengan saksama dan sedapat mungkin merifer lkepada nabi nabi terdahulu, akhirnya dilegalisir oleh Allah dan berujung kepada kebaikan. Terbukti bahwa para itu tawanan  itu setelah dibebaskan satu persatu masuk Islam dan menjadi pahlawan-pahlawan penting dalam Perkembangan Islam selanjutnya.
Bangsa kita secara keseluruhan, sering orang perorang dihadapkan untuk mengambil keputusan misalnya dalam memilih Pengurus masjid, ketua RT, ketua RW dan pemilihan yang dilakukan orang perorangan untuk memilih seseorang sebagai pemimpin di daerah masing-masing bahkan pemimpin negara, sepanjang hal itu harus melalui pemilihan. Al-Qur’an telah memberikan petunjuk dengan jelas tentang hal itu.
Persoalannya, jika anda memilih dengan tidak sesuai petunjuk Allah, maka tanggung jawab andalah kepada Allah. Allah dan Rasulnya tidak dapat anda paido, bila sesudah itu terdapat akibatnya yang tidak mengenakkan baik di dunia lebih lagi di akhirat.  
Belakangan ini, ada Pendapat bahwa dalam memilih pemimpin “Asalkan dia benar, harus didukung tidak perlu dilihat apa agamanya, siapa bapaknya”.
Masalahnya apa itu “benar”?.
Setiap agama mungkin punya definisi kebenaran menurut persi agama masing-masing. Yang saya tau Islam memberikan batasan bahwa kebenaran hanya datang dari Allah, seperti yang termuat dalam ayat 147  surat Al-Baqarah dan surat  Ali Imran ayat 60.
147. Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.
60. (Apa yang telah Kami ceritakan itu), itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu.
Jadi tentulah siapapun dia tidak akan boleh menyalahkan kalau orang Islam mengacu kepada sumber agamanya kitab Al-Qur’an untuk mencari kebenaran bahwa kebenaran hanya datang dari Allah.
Tentulah tidak seorangpun yang dapat melarang kalau setiap penganut agama yang diakui di negeri ini mengamalkan dan menjalankan apa yang diperintahkan agamanya. Demikian pula kiranya siapapun dia, baik orang Islam yang hanya sekedar beriman saja tetapi belum betul-betul menjadi pengamal agamanya dan juga orang diluar agama Islam, adalah tidak pada tempatnya untuk menilai SARA orang Islam yang membaca, kemudian menginformasikannya (mendakwahkannya), menghayati dan mengamalkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Demikian pula pemeluk Islam-pun tidak boleh melarang pemeluk agama lain mengimani dan mengamalkan ajaran kitab sucinya masing-masing, sepanjang agama itu diakui di negeri ini. Ini nampaknya harus disadarkan, difahamkan bagi seluruh anak negeri, arti dari toleransi antar ummat beragama.
Semoga kiranya, penganut agama Islam, semakin hari semakin taat menjalankan agamanya, semakin meningkat ketakwaannya kepada Allah.
Semoga ummat Islam Indonesia diberikan kekuatan oleh Allah menjalankan agamanya di negara yang mayoritas Islam ini.
Semoga ummat Islam yang belum begitu memahami ajaran agamanya dapat lebih meningkat pemahamannya  sekaligus dapat mengamalkannya dengan baik.
Semoga Allah menerima taubat pemeluk Islam yang masih saja ragu-ragu akan kebenaran Al-Qur’an, selagi mereka mau bertobat sebelum berakhirnya hayat.
Amien.
Barakallahu ……….min na waminkum.

Wednesday 21 September 2016

INGIN KAYA SECARA INSTAN???



Masa kecilku boleh dikatakan banyak sekali dongeng mengelilingi kehidupan kami, maklum kota yang belum diterangi lampu penerangan di jalan. Rumah-rumah masih pakai pelita, keluar malam pakai suluh daun kelapa. Begitu malam tiba, suasana mulai hening, bunyi binatang malam yang kecil sekalipun terdengar nyaring, termasuk cacing tanah suaranya melengking menghiasi kesunyian malam.
Kadang dikebeningan malam, sering terdengar sayup-sayup dari kejauhan suara sekelompok orang menabuh gendang. Diyakini tidak satu kampungpun disekitar kediaman kami, sedang ada upacara benambuh gendang. Karena gendang ditabuh dengan istilah setempat disebut “BEGEDANG”, hanya apabila ada pesta perkawinan. Beberapa malam di rumah bahagia, tempat “pengantin baru” tergantung permintaan sahibul hajat, dapat semalam, atau dua malam, tigamalam upacara “Begedang”. Itulah sebabnya jika tak ada mantenan yakin tidak ada gendang ditabuh dimalam hari, kalaupun ada adalah group gendang mengadakan latihan, tapi hal itu akan terpantau; group mana yang latihan, maklum kota kami begitu kecil waktu itu, bahkan ada ungkapan “Sendok jatuh saja, orang tau”.
Tetua kami menjawab, bahwa suara gendang itu bersumber dari kampung orang “Bunian” juga bahasa setempat disebut “Orang Kebenaran” dan ada juga yang menyebutnya “Orang Limunan” .  Orang Bunian adalah sebangsa mahluk seperti manusia, mereka bermasyarakat berpemerintahan dan berkehidupan serta berbudaya seperti manusia, tetapi tidak kasat mata. Kampungnya diyakini bertambiran dengan kota kami, doelo orang tua-tua menyebutnya kawasan kampung orang Bunian itu namanya“SENTAP”. Belakangan ini daerah Sentap sudah banyak bangunan manusia biasa, entah kemana sekarang orang Bunian bermukim.
Masyarakat Bunian ini, disebut “Orang Kebanaran”, karena mereka jujur sangat jujur, maka julukannya “benar” orang-orangnya disebut orang kebenaran. Konon, ada orang yang pernah diterima masuk ke kampung orang Bunian, pulangnya dibekali “sepeti’ kunyit”, (sepeti’ = satu rimpang atau satu buah kunyit utuh). Apa yang terjadi?  Setelah sampai dirumah, kunyit pemberian orang Bunian tersebut ternyata berubah wujut menjadi “Emas” sebesar “Septi’ Kunyit”. Tentu saja berita ini menyebar keseluruh kampung dan menjadi cerita “dongeng” turun temurun.
Sejak selesai shalat Subuh, dua orang “pemancing hoby dihari llibur” yang berkampung di ujung bagian hilir sungai Pawan, meluncur mendayung sampannya menuju tempat pemancingan ke SENTAP.  Tempat pemancingan itu diketahui banyak ikan, karena cukup jauh dan sepi serta ada lokasi yang airnya tenang disukai sekawanan ikan berkumpul banyak. Cukup lama mengayuh perahu menuju lokasi karena menantang arus, giliran pulangnya lebih cepat karena ikut arus.
Ketika mataharipun sudah mulai condong ke barat, mereka berdua sepakat untuk pulang, perolehanpun sudah lumayan. Baru saja sampan dilepaskan talinya dari tambatan, tampak diujung tanjung duhulu sungai sebuah sampan yang nantinya akan ikut milir dan pasti akan melintasi sampan kedua pemancing. “Baik kita tunggu saja” kata salah seorang dan disetujui keduanya. Lumayan nanti ada kompoy untuk milir fikir mereka. Setelah sampan agak mendekat, si pemancing menyapa dan berbasa basi sekedearknya kepada pengayuh sampan yang sampannya menghampiri mereka. Dalam dialog mereka;  singkat cerita, diketahui bahwa di dalam sampan kecil yang hampir sama dengan sampan kedua pemancing, termuat di bagian tengah perahu setumpuk kunyit yang ditutupi dengan “Kajang”.
Pikiran kedua pemancing, langsung merifer pada dongen tentang kunyit orang Bunian yang kalau didunia nyata akan menjadi Emas. Kalau semua kunyit ini diborong, jumlahnya lumanyan puluhan kilogram emas akan diperoleh, tentu mereka berdua akan menjadi kaya mendadak atau “KAYA SECARA INTAN”.
Al hasil negosiasipun terjadi, kebetulan kedua pemancing itu ada juga membawa uang tetapi tidak cukup untuk meng-cover harga yang diminta oleh pembawa kunyit. Akhirnya disepakati kunyit dibayar dengan sebagian duit dan sebagian di barter dengan arloji (jam tangan) kedua pemancing. Kunyitpun berpindah ke perahu pemancing. Semantara sampan kunyit, sudah tidak melanjutkan perjalanan milir, memilih mendayung sampannya mudik.
Kedua pemancing mendayung sampannya milir, semakin jauh setelah ditoleh kebelang, ex sampan pembawa kunyit itu hilang dibalik tanjung. Mulai lah kedua pemancing berdialog.  Apa kah ini benar-benar kunyit dijual orang biasa atau kunyit yang dibawa orang Bunian. Perdebatan kecilpun terjadi. Yang satunya berpendapat itu orang Bunian, karena kalau dia orang biasa yang berjualan kunyit, tentu dia akan ikut milir bersama kita dan akan belanja dipasar, membalanjakan uang hasil penjualan kunyitnya untuk keperluan keluarga mereka, seperti gula, garam dan lain-lain. Tapi kerena dia orang Bunian, maka dia ndak perlu belanja di pasar kita, di kampung mereka juga ada pasar seperti pasar kita. Pemancing yang satunya memilih menerima argument rekannya, tapi hatinya tetap cemburu/curiga sehingga setelah sampan mereka melintas kampung pertama yang mereka lalui dihilir sungai, dia mulai mengintip kunyit yang diselimuti “Kajang”, bahkan diraba. ternyata ya masih tetap kunyit. Begitulah seterusnya, beberapa menit hal sama dilakukan, kebetulan dianya mendayung diburitan sampan, punya kesempatan melihat isi muatan, sesekali diraba sesekali dibuka dengan ujung dayung.  Sampailah mereka berdua sebelum magrib di pangkalan kapung ujung sungai Pawan.
Benar juga, itu kunyit setumpuk di Palka perahu, tetap saja menjadi kunyit, belum ada tanda meng –EMAS. Diputuskan untuk dibagi dua begitu juga hasil pancing. Masih ada seberkas harapan, kalau-kalau kunyit itu di simpan dirumah, esok hari berubah menjadi Emas. Esok pun tiba ternyata kunyit yang dibayar dengan dua jam tangan dan sejumlah uang tersebut betul-betul hanya layak buat bumbu masak atau jamu. Tapi begitu banyak, makanya akhirnya kunyit dibagikan juga buat tetangga.
Begitulah kadang banyak orang yang lupa ingin “Kaya secara Instan” tanpa proses. Sering kita dengar juga di media, ada orang tertipu dengan dukun yang sanggup menggandakan uang. Padahal kalau uang digandakan “bagaimana dengan nomor serinya”.  Banyak lagi cerita-serita penipuan yang berkedok mistis untuk membuat kaya secara instan. Herannya masih saja ada orang yang mau ditipu. Ini bentuk penipuan untuk kaya instan konvensional, sementara ada lagi penipuan untuk kaya instan secara lebih “ilmiah/madern” yang dikenal dengan “Investasi Bodong”.
Perlu ditegaskan bahwa perihal ingin kaya instan melalui kunyit ini, bukan model bentuk penipuan, sebab penjual kunyit tidak ada menjanjikan akan menjadi Emas, hanya saja kedua pemancing tersebut teropsesi dengan dogeng orang Bunian.
Sekali lagi, seperti saya awali tulisan ini, mengutip istilah Dongeng, maka cerita itupun bukanlah suatu data yang dapat diuji kebenarannya secara ilmiah, mari pembaca kembalikan sebagai dongeng lagi.

Saturday 17 September 2016

Marketing DURIAN dan KAMBING Kurban



Lahan kosong disepanjang jalan didepan kediaman keluarga kami, beberapa bulan sesudah Idul Adha, biasanya datang serombongan orang diantaranya ada berpakaian seragam pemerintah daerah DKI. Mereka agaknya mengukur panjang jalan dan lebar tanah kosong itu. Beberapa minggu kemudian datang lagi serombongan yang mirip, dengan yang datang pertama, kali ini membawa bibit sekaligus menata dan menanami tanah kosong itu. Tidak lama sesudah itu kembang-kembang ditaman kota itu bersemi dengan indahnya. Jika kebetulan keberadaan taman kota itu melalui musim panas, setiap subuh datang tangki air menyemprot tanaman taman agar tetap segar. Demikian besar AGAKNYA biaya yang dialokasikan untuk penanaman dan perawatan taman setiap tahun.
Sayangnya itu taman yang tertata dan terawat, umurnya tak sampai setahun. Beberapa bulan setelah Idul Adha taman mulai ditanami dan sekitar 20 harian sebelum Idul Adha, mulai lagi orang memasang tenda diatas taman, untuk memajang Kambing dan Sapi bakal hewan kurban. Itu taman tentu saja akan musnah, diinjak dan dilalap Sapi dan Kambing.
Jangan dikira tak ada larangan mendirikan bangunan dalam bentuk apapun di atas taman, bahkan ketika tenda-tenda dibangun, spanduk larangan itupun masih terpasang, lengkap menyebutkan PERDA yang mengaturnya. Tapi kenyataannya ketika SATPOL PP datang, pengguna lapak Kambing/Sapi yang baru di bangun, terlibat dialog yang sayup-sayup kudengar dari rumah “Nanti bila sudah idul adha langsung bangunan kami bongkar dan tanaman dirapikan lagi”. Kenyataannya idul adha-pun berlalu, taman yang tadinya tanahnya gembur, sudah memadat terinjak Sapi/Kambing, sedangkan tanamannya berupa aneka kembang entah kemana.
Peristiwa ini berlangsung setiap tahun, betapa banyak biaya yang dikeluarkan untuk membangun dan merawat taman kota ini, mungkin, sekali lagi mungkin, kalau dikalkulasi keuntungan seluruh pedagang Sapi/Kambing disepanjang taman yang rusak, jauh lebih besar biaya pengadaan taman ketibang keuntungan mereka. Biaya pembangunan taman dan perawatan adalah biaya pemerintah yang nota bine adalah uang yang berasal dari rakyat.
Marketing kambing dengan marketing Durian dikota Pointianak, ternyata ada sisi persamaannya. Pemasaran pertama; kedua komoditas ini sama-sama digelar dijalan yang ramai dialui orang. Kata penjual, kalau penjual dikumpulkan di suatu tempat tertentu, dimana bukan lokasi lalu lalang orang, dikhawatirkan dagangan mereka tidak laku.
Persamaan kedua; marketing kambing kurban dan marketing Durian sama-sama berpicu dengan waktu. Seorang pedagang Kambing kurban tahun ini menceritakan bahwa sehari sebelum hari “H”  dianya sudah mulai menjual kambing tersisa dengan harga hanya sedikit untung, bahkan menjelang sore hari tanggal sembilan Dzulhijjah sudah mulai dijual dengan harga pokok. Kalau masih ada tersisa sampai malam, apaboleh buat dijual di bawah modal. Penyebabnya adalah; Abang pedagang Kambing Korban yang satu ini rupanya menerima Kambing dari peternak Kambing dengan “Putus” artinya bukan secara konsinyasi, dianya membayar cash sejumlah kambing dengan harga sesuai kesepakatan.  Dengan Teknik ini, Kambing yang tidak laku tak dapat dikembalikan, tak mungkin pula untuk diternakkan, seperti di maklumi hidup di Jakarta tak punya lahan.
Marketing Durian di Pontianak:
Model marketing Kambing ini ada persamaannya dengan pedagang Durian di kota Pontianak. Adalah perangai Durian local Pontianak, tidak tahan disimpan lama. Pada umumnya Durian di kota Kahtulistiwa itu digelar sebagai buah dagangan masak dipuun, mateng di pohon. Durian jatuh alami ketanah dipungut, dikumpulkan dan dibawa untuk dipasarkan. Tidak heran kalau citarasanya demikian enaaaak, karena bukan Durian mateng dikarbit atau diperam. Konsekwensinya adalah si Duren tidak bertahan lama, si Duren beberapa waktu tertentu akan merekah. Bila sudah merekah maka cita rasa Durian menjadi sama sekali tidak enak, asam dan getir.
Menyikapi perangai Durian Pontianak ini, maka  pedagang Durian yang menggelar dagangannya, harus sering menghitung uang perolehan penjualannya. Kadang terlihat sepuluh atau 15 menit sekali si pedang menyusun duit dalam kotak hasil penjualan. Uang disusun dan terus menerus dijumlah. Ketika Durian masih Fresh Durian dapat dijual dengan harga maksimal. Uang dihitung terus-menerus, disusun dalam bendel yang rapi, sebendel sejuta, misalnya. Sementara si pedagang harus tetap mengingat sudah berapa juta yang diperoleh. Dalam pada itu terus-menerus memperhatikan berapa sisa buah Durian yang tergelar. Jika modal sudah kembali, termasuk segala ongkos, maka sisa buah yang ada adalah keuntungannya. Buah tersisa ini jika ada pembeli, sudah sangat negotiable. Kadang dapat dibeli dengan harga borongan, apalagi malam sudah mulai larut, pengunjung mungkin akan menuju sepi. Dari pada ditunggu sampai esok hari ada harapan buah Durian sudah mulai merekah, lebih baik dijual segera walau di bawah harga modal, karena itulah untungnya.
Tak jarang ketika kami masih di Pontianak, sekitar pukul 10 malam turun ke lapak Durian dengan mobil. Ketika si abang penjual Durian di tanya “Berapa sebiji” abangnya menjawab, “Pileh ja’ dulu bang, nanti baru kite taksir”. Kamipun menumpukkan Durian yang bagus-bagus menurut kami, hingga puluhan butir. Si abang menetapkan harga setumpuk Durian tersebut. Harga yang ditetapkan kadang sudah murah, tapi dasar pembeli tradisional kalau tak menawar rasanya tak afdal. ternyata setelah ditawarpun, Durian setumpuk yang ketika dimuat dalam bagasi mobil hampir penuh itu, dapat dibayar dengan harga yang tak seberapa. Si abang sudah menikmati keuntungan sedangkan kita sekeluarga menikmati Durian dengan sepuasnya sekeluarga dan handai tolan yang kita ajak menikmati malam, Durian di Pontianak.  
Marketing Kambing hewan Kurban di depan kediaman kami di Jakarta, rupanya mempunyai persamaan dengan Penjual Durian di Pontianak. Hanya saja kalau penjual Kambing kurban di jalan di depan alamat kami di Jakarta merusak taman. Sedangkan penjual Durian di Pontianak, ketika kami di Pontianak belum merusak taman, hanya saja sampahnya lumayan banyak, agaknya merepotkan kebersihan kota.

Friday 9 September 2016

“Ngabu Suluh, Mantik ndak Berabuk”.



Suatu pepatah melayu yang tak begitu popular lagi saat ini. Hanya dikenal oleh para penutur bahasa melayu kampungku di masa silam. Kalau ku pulang kampung, ketika ku berbahasa dengan istilah-istilah lima puluhan tahun lalu, banyak pemuda yang tak mengerti lagi maksudnya. Rupanya istilah kami doeloe sudah tidak begitu dipopulerkan lagi dan juga, karena penduduk kampungku kini sudah demikian heterogen dengan penutur sekian banyak bahasa daerah, lantaran penduduk asli populasinya kini sudah kalah besar dengan pendatang.
Ngabu suluh arti sebenarnya adalah Abu suluh. Doeloe ketika kampung kami belum ada listrik, setiap rumah menyediakan suluh dibalik pintu-pintu keluar rumah baik pintu depan, pintu belakang, asalkan pintu tersebut langsung berhubungan dengan halaman rumah. Suluh tersebut terbuat dari daun kelapa kering yang jatuh sendiri karena tua. Daun-daun kelapa tersebut diikat menjadi satu dengan bagian daun kelapa itu sendiri sehingga berbentuk bulat panjang. Suluh disandarkan dibalik pintu, bila ingan keluar rumah digelapan malam suluh ujungnya dibakar. Bakaran suluh membuat nyala api untuk suluh menerangi perjalanan. Kalau tidak diterpa angin, kadang suluh yang terbakar tidak menyala tapi membara, untuk dia menyala suluh digoyang ke kiri dan kekanan, sehingga dia menyala dan abunyapun berguguran. Abunya banyak sekali kecil-kecil jatuh ketanah sepanjang jalan. Abu kadang berguguran dengan dikuti Api yang langsung padam dan ahirnya hilang tenggelam digelepan malam.
Adapun Mantik tak berabuk. Mantik adalah media untuk menyalakan Api, biasanya menggunakan batu kecil dengan batu kecil yang diadu. Hasil aduan batu, untuk menghasilkan nyala Api harus ada media lagi disebut Rabuk yaitu kumpulan dedaunan kering, atau apa saja, misalnya Jerami kering, sabut kering untuk Api kecil yang dihasilkan batu dapat menyala menyambar Rabuk kering itu.
Sehingga pepatah ini “NGABU SULUH MANTIK NDAK BERABUK”. arti sebenarnya adalah ABU berterbangan hilang begitu saja seperti abu suluh dan menyalakan api tapi tak menyiapkan Rabuk. Arti kiasannya adalah untuk orang yang ngomong tapi tidak sesuai kenyataan, ngomong basar tapi tak akan dapat dipegang janjinya ndak ada realitasnya. Jadi bila seorang yang datang bernegosiasi mengadakan transaksi atau apa saja tapi omongannya demikian muluknya, biasanya hanya “Ngabu Suluh Mantik Ndak Berabuk”.
Perlu kayaknya khasanah bahasa dan kekayaan budaya kita ini dikenang dan diingat kembali, supaya taulah kita bahwa bangsa ini besar dalam berbagai hal termasuk kekayaaan bahasa.