Sunday 13 April 2014

KOALISI



Ndak usah merenung terlalu dalam, mikir terlalu rumit, bahwa memang hidup ini tidak terlepas dari “KOALISI”. Diri kita sendiri ini, muncul ke dunia berkat hasil koalisi, sebab kita lahir tak mungkin hanya prestasi dari Ibu, harus juga ada karya dari ayah, mereka berkoalisi jadilah kita ini.
Rumah tempat tinggal kita juga hasil koalisi dari berbagai komponen. Mulai dari pasir, batu kali, koral, besi beton, kayu, kaca, tanah liat, paku, dan semen serta air. Itu baru jadi rumah. Untuk enak menghuninya, masuk lagi kabel dan mebel, listrik untuk menyalakan lampu dan TV, ngidupkan kulkas dan AC. Itupun belum lengkap harus berkoalisi lagi dengan gas dan api dan instalasi air. Pokoknya setiap sendi kehidupan harus berkoalisi.
Makanan dan minuman yang kita nikmati setiap haripun adalah koalisi dari beberapa bahan, barulah terasa enak. Gula, air panas dan kopi berkoalisi; orang yang minumnya disebut “ngopi”, walau kalau diurai prosentase bahan yang berkoalisi mungkin banyakan air panas, entah kenapa si air panas tidak disebut lagi setelah berkoalisi dengan “kopi”. Jadi kalau sudah “Niat Koalisi” harus “Ikhlas”, walau nanti setelah koalisi ndak disebut lagi, seperti air panas tadi, termasuk gula, dianya tak disebut-sebut lagi setelah jadi seduhan minuman kopi.
Negara juga tata kelolanya harus diatur dengan koalisi, sebab dasar semula tersusunnya suatu bangsa dari berbagai unsur. Kesepakatan pendapat dari diri masing-masing rakyat untuk memililih dalam PEMILU 9 April 2014 untuk tidak memberikan mandat penuh kepada suatu partai memimpin negeri ini dengan perolehan hasil hitung cepat kurang dari syarat ditentukan undang-undang.
Agaknya koalisi memang telah diatur oleh yang maha kuasa melalui jari rakyat Indonesia dengan menusukkan paku di kertas suara. Sehingga satu partaipun tak memenuhi undang-undang untuk mencalonkan presiden. Bagus memang, ibarat taman tidak indah kalau tumbuh hanya sejenis bunga. DPR mendatang tentu lebih seru kalau mutus sesuatu, tak cukup sampai dinihari mungkin sampai pagi. Semoga tidak sampai adu jotos karena berbeda pendapat, seperti yang pernah nampak di TV dari negara lain.
Koalisi untuk negeri ini agar kemakmuran dapat di capai lebih cepat menurut hemat saya adalah:
1.     Biarkan tiga pemenang memunculkan calon persiden masing-masing didampingi oleh wakil presiden dari partai lainnya untuk memenuhi prosentase demi undang-undang.
2.     Partai diatas lima persen berkoalisi memunculkan seorang calon presiden dan seorang wakil presiden
Dengan konsep ini ada empat pasang calon presiden dan wakil presiden yang disuguhkan ke rakyat untuk dipilih pada putaran pertama. Akan menjadi seru, ternyata dalam putaran kedua masih muncul pasangan ke empat dan salah satu pemenang tiga besar. Dapat saja terjadi calon keempat yang jadi presiden terpilih, tergantung siapa mereka berdua. Belum tentu pasangan yang akselerasinya cepat sepertinya mendapat tepuk tangan banyak ketika start akan sampai ke garis finish lebih dahulu. Pemilih Indonesia ini agaknya unik, susah diprediksi, terbukti banyak caleg gagal walau sudah banyak pendukung waktu kampanye.  Selamat mencoba Bapak dan atau Ibu yang dicalonkan jadi presiden dan wakil presiden. Berhasil atau tidak berhasil, lumayan nama anda sudah pernah tercetak dalam sejarah bangsa.
Selanjutnya untuk rakyat Indonesia, selamat menikmati “KOALISI”, sesuai kehendak sendiri melalui anda punya jari.

PENDIDIKAN POLITIK



Pemilu barusan saja berlalu.
Hitung cepat, hasilnya sudah juga didapat.
Ada pemenang dan ada pula yang gamang.
Itu konsekwensi setiap kompetisi.

Media banyak mengabarkan diberbagai tempat, caleg yang gagal mulai bertingkah aneh-aneh. Ada yang berusaha bunuh diri ada yang menarik sumbangan dari pemberian mereka kepada para pemilih. Yang praktek serangan fajar 50 ribu, terbelalak melihat  hasil ikhtiarnya bagaikan tumpukan abu.

Diantaranya yang kukutip dari  MERDEKA.COM. DARI  INTERNET
"Kami kaget, karena tiba-tiba didatangi timnya dan meminta kompor dikembalikan," kata salah seorang warga Batang Rappe, Zaenal menanggapi perlakuan tim calon anggota legislatif (caleg) tidak terpilih di daerahnya, kemarin, seperti dikutip Antara.

Menurut dia, tim pemenangan caleg itu membagi-bagikan kompor pada puluhan warga tiga hari sebelum pencoblosan dengan kesepakatan memilih caleg asal Partai …… itu.

Pada hari pemungutan suara, dia sudah mencoblos nama caleg tersebut sesuai kesepakatan. Namun ternyata istrinya juga diharuskan mencoblos nama caleg yang sama.

"Lah bagaimana, kita juga sudah terima pemberian dari caleg lain, jadi kami bagilah suara. Apalagi tidak ada perjanjian sebelumnya, harus lebih satu suara," ujarnya.

Zaenal mengaku, saat kompor gas tersebut ditarik, dia tengah melayani pelanggannya yang hendak minum kopi di warungnya. Dia bersama istri sedang masak pakai kompor pemberian caleg tersebut, tiba-tiba salah seorang tim caleg datang meminta agar mengembalikan kompor itu.

Karena merasa dipermalukan, Zaenal mengaku marah dan langsung membanting kompor tersebut di depan tim caleg tersebut.

"Saya jengkel karena dipermalukan. Makanya saya banting kompornya. Saya diancam dilapor ke polisi, tapi saya tidak takut," tegasnya.

Sementara itu, informasi yang berhasil dihimpun di lapangan diketahui, caleg bersangkutan membagikan sekitar 50-an kompor gas pada warga yang tersebar di 3 TPS berbeda, masing-masing di TPS 11, 13 dan 14. Hingga berita ini diturunkan, belum ada konfirmasi dengan pihak caleg bersangkutan, karena telepon selulernya tidak aktif.

Rangkuman dari berbagai berita diseluruh tanah air itu, dapat kita simpulkan bahwa:
·        System demokrasi di suatu komunitas yang sangat jomplang strata intelektualnya seperti di negara ini, agaknya hasil produk demokrasi tidak dapat diharapkan menghasilkan kualitas yang optimal. Sulit memang menyamaratakan setiap orang satu suara, padahal yang empunya suara itu tidak dalam kearifan yang sama, tidak dalam sudut pandang nilai yang sama, tidak dalam cara memandang  yang sama. Pemilih begitu dalam perbedaan status sosial mereka. Pemilih dan yang dipilih, sangat jauh perbedaan kemakmuran mereka.  Masih banyak pemilih yang memilih bukan karena memilih. Mereka memilih karena ikut-ikutan, mereka memilih karena menerima sesuatu, mereka memilih karena mengharapkan imbalan sesuatu untuk kebutuhan  jangka pendek. Mungkin juga mereka memilih karena tekanan/ intimidasi.
·        Jadi pendidikan politik bukan saja kebutuhan masyarakat yang punya hak pilih, tetapi yang tak kalah pentingnya bagi para celeg. Para caleg harus tau bahwa arti berpolitik itu bukan untuk mendapatkan tempat kerja untuk mencari kekayaaan. Tapi berpolitik adalah untuk menjadi warganegara yang dapat mengatur jalannya Negara sehingga perjalanan bangsa dapat dikendalikan menuju sasaran sesuai dengan keyakinan politik yang dianut. Untuk berada dalam organisasi politik; berhentikan dengan modal duit, berhentikan dengan mahar materiil, tetapi masuk ke politik dengan modal keahlian, modal idealis, modal gagasan. Bagi pemilih harus mengerti siapa yang dipilihnya, yaitu orang yang seide dengan dirinya, orang yang diyakini akan dapat menyampaikan ide dan gagasan mereka yang semuanya bermuara untuk mensejahterakan kehidupan masyarakat dan meningkatkan martabat bangsa.
·        Diantara penentu tercapainya bangsa yang MELEK POLITIK,  kedepan harus dikondisikan bahwa jadi anggota perlemen itu bukan untuk cari lapangan pekerjaan, bukan untuk cari nafkah dan juga bukan untuk mencari kekayaan. Melainkan adalah tempat untuk memberikan bhakti kepada bangsa, untuk menjadi mengemban aspirasi rakyat. Untuk itu maka hendaklah penghasilan menjadi anggota parlemen itu yang wajar-wajar saja, fasilitas anggota parlemen juga yang normal-normal saja. Kewajaran penghasilan dan fasilitas sehingga tidak terlalu membuat orang berebut tergiur menjadi anggota parlemen. Kewenangan yang berbau duit atau dapat diduitkan hendaklah jangan diberikan ke parlemen. Kembalikan dia  menjadi suatu organ negara yang membuat undang-undang dan mengawasi pelaksanaan jalannya undang-undang. Batu sandungan yang membuat anggota parlemen masa lalu, diantara ada yang terpaksa berwajah murung, terkurung di jeruji besi adalah persoalan pat gulipat dalam anggaran. Pihak penghajat anggaran tak segan keluar sekian persen agar anggaran cair. Kadang memang dikondisikan kalau tidak keluar sekian persen anggaran tetap beku. Penghajat anggaran dalam kondisi “daripada beku, biarlah di panasi dengan sekian persen”, hitung-hitung sama sama menikmati. Kalau sudah begitu:

yang satu jadi iblis yang lain jadi setan.
Duit iblis dimakan rame-rame para setan.  
Sedikit diantaranya ketangkap,  ketahuan.
Akhirnya rame-rame masuk ke dalam rutan.

Sunday 6 April 2014

KE KONDANGAN PESTA DEMOKRASI



Ibarat kondangan ke suatu pesta, tanggal 9 April 2014 penduduk seluruh negeri diundang untuk hadir di suatu pesta disebut “pesta demokrasi”. Undangan ini sudah lama sekali disampaikan kepada seluruh warga negara dewasa, dengan harapan tentunya tidak akan lupa. Guna mengingatkan itu pesta,  sudah berbulan-bulan bahkan ada yang sudah tahunan si empunya hajat terus menerus mengingatkan dengan berbagai cara dan model.
Ibarat setiap ke kondangan, disediakan menu makanan dan minuman akan terhidang. Istimewanya kondangan “pesta demokrasi ini” menu sudah di informasikan lebih dahulu jauh sebelum pesta dimulai. Istimewanya lagi kalau menunya masih ada yang lupa, dapat ngunduh di internet. Istimewanya lagi menu-menunya itu di setiap Gubuk ada tiga jenis menu yaitu:
1.     Menu yang sudah lama diketahui calon penghadir pesta, istimewanya menu yang sudah diketahui itu banyak yang tidak enak. Bukannya belum pernah nyoba, tetapi terbukti tempo hari waktu memakannya, memusingkan kepala atau membuat mual atau diare.
2.     Menu baru yang belum sama sekali dikenal, dengan demikian rasanyapun belum diketahui. Jangan-jangan sama ndak enaknya, sama bermasalahnya dengan menu yang lama.
3.     Menu ketiga kayak-kayaknya seperti menu yang lama tapi sepertinya dikemas ulang, bahkan nama hidangan diganti tapi setelah diteliti formula/resepnya sama saja.
Nah,,,, Ibarat ke pesta kita boleh milih datang atau tidak datang. Boleh milih hadir atau tidak hadir, tapi tak boleh diwakilkan, nitip amplop semisal kondangan pesta nikah atau khitanan.
Ibarat, kita memilih hadir, juga masih punya pilihan apakah mencicipi hidangan, atau sekedar “BE PUSA’” (kuperkenalkan bahasa daerahku BE PUSA’ ialah menjamah makanan tapi tidak mencicipi atau tidak masukkannya ke mulut). Tujuan BE PUSA’  agar tidak KEMPUNAN (ini juga bahasa daerahku) penjelasannya panjang. Singkatnya begini: “Misalnya kita kunjung ke rumah teman, karena buru-buru ada keperluan, ketika mau pamit pulang, temannya menahan dan ngomong: “tunggu sebentar lagi disedukan kopi”.  Karena anda tidak dapat nunggu, tindakan yang dilakukan “BE PUSA’ ”, dengan menjamah kopi dan gula yang akan disedu. Be PUSA’ ; konon menghindarkan si yang Be Pusa’  kenapa-kenapa di dalam perjalanan.
Ibarat nya apa anda akan menyicipi makanan yang menunya sudah disebut seperti di atas, padahal anda belum tau atau mungkin tidak tau  apakah ada pilihan yang baik,  atau justru anda hanya  Be Pusa’. Tentu terserah anda.
Diri ini kebetulan terakhir ini sering dihadapkan kepada umat. Sekurangnya dua kali dalam kesempatan khutbah Jum’at di masjid yang cukup besar di Jakarta Pusat  dengan jamaah lebih dari 2.000. Di dalam khutbahku tanggal 21 Maret dan 4 April kuselipkan pesan kepada jamaah;  JANGAN MENJADI GOLPUT. Walau tentunya sebagai seorang khatib pantang memihak. Karena dengan Golput membiarkan orang lain memilihkan “menu” tersebut di atas untuk kita santap bukan sebentar, selama 5 tahun kedepan dan mungkin selamanya. Sebab kalau salah pilih, nanti mereka yang salah itu akan mengatur segalanya sehingga bisa saja dia mempertahankan kekuasaannya untuk mengkondisikan kesengsaraan  kita  selamanya. Memang tiga menu di atas susah memilihnya, tapi setidaknya mungkin masih adalah yang sedang-sedang.
Memang yang namanya kondangan, masa’kan undangan yang menentukan pilihan menu, tentulah yang punya hajat yang persiapkan menu, sesuai kemampuan dan tinggi rendah seleranya. Makanya undangan mau tidak mau, suka atau tidak suka jika mau makan ya pilihlah yang sudah tersedia. Walau misalnya menu yang ada tidak sesuai selera. Kalau begitu, ibarat kondangan juga tidak tepat benar di ibaratkan untuk “pesta demokrasi” ini.
Kadang terpikir olehku sesuatu gagasan yang mungkin tak masuk di akal terutama buat politisi sekarang. Bagaimana kalau legislatif itu datangnya bukan dari Partai, tapi dari setiap Rukun Tetangga ditokohkan masyarakat. Jadi mereka betul-betul dikenal ketokohan dan kemampuannya. Misalnya dipilih tokoh yang mapan ekonominya, jadi diharapkan dia jadi legislatif bukan untuk cari kehidupan dan kemewahan, tapi pengabdian. Atau kalau yang ditokohkan ekonominya pas-pasan tapi orangnya sederhana, sehingga diharapkan tidak mencari kemewahan. Tokoh tersebut mempunyai kemampuan keilmuan yang memadai dan diketahui sebagai pejuang keadilan dan kebenaran. Tokoh tersebut mempunyai keimanan dan ketaqwaan serta kesehatan yang masih prima. Mungkin perlu juga syarat tambahan tokoh tersebut tidak ngantukan. Warga yang menunjuk si tokoh punya wewenang untuk mengontrol si tokoh kalau sudah jadi legislatif dan boleh menggantinya dengan tokoh lain, kalau dianya tidak beres sebelum jabatan berakhir. Selanjutnya penghasilan anggota legislatif tidak usah terlalu tinggi, yaah biasa-biasa saja, jadi orang ndak rebutan seperti sekarang, caleg ndak usah kampanye ngabiskan biaya yang tidak sedikit. Fasilitas jangan istimewa-istimewa amat, supaya orangpun tidak tergiur sangat. Dalam pada itu jangan pula setelah menjadi anggota legislatif lalu makin susah hidupnya, sebab kalau malah jadi susah, juga akan menjatuhkan prestise kita sebagai bangsa, khususnya warga yang mendudukkan tokoh tersebut dikursi legislatif.
Selamat berpesta demokrasi. Gunakan hak anda dengan baik, jadilah pemilih yang cerdas sehingga terpilih orang-orang yang pas.

Saturday 5 April 2014

SALAH KETIK




Naluri manusia, ingin mempermudah menyelesaikan pekerjaan, berlangsung terus dari jaman ke jaman. Dulu ketika PC belum ditemukan, penggandaan dokumen dilakukan dengan stensil, dari mulai pakai gosok sampai pakai rol.
Tahun 1985 aku pernah dimutasi ke suatu daerah, ditempatkan sebagai Kabag. Umum Personil. Demikian banyak pos anggaran Biaya Kantor (BK) dan Biaya Personil (BP). Untuk memudahkan pekerjaan sudah sejak lama sebelum kehadiranku di cabang tersebut untuk laporan bulanan telah disusun pos-pos BK dan BP dengan menggunakan stensilan, tinggal memasukkan angka realisasi pada kolom yang tersedia dengan mesin ketik, maklum PC baru dikenal 5 tahun kemudian.
Pada awal kubertugas di cabang baru itu, laporan yang dibuat oleh TU (seorang Ibu) yang sudah lama kerja, hampir pensiun, setelah kuteliti sebentar, langsung ku tanda tangani. Setelah itu kuminta blanko setiap laporan yang dibuat masing-masing selembar, blanko itu kubawa pulang guna dibaca kembali di rumah.
Ternyata aku dikagetkan bahwa selama ini di cabang tempat ku baru bertugas itu ada “Biaya SAPI”. Di cabang sebelumnya aku belum pernah di bagian umum personil. Bagian yang pernah adalah: Kas, Ekspor, Impor dan Valuta asing. Tentu saja biaya ini harus kupertanyakan, apakah cabang ini ikut membiayai perternakan.
Keesokan harinya kupanggil Ibu yang mengelola laporan Biaya Personil terjadilah dialog.
Kubertanya:  “Ibu!  apa di bagian kita ini ada pegawai yang berternak Sapi?”
Dijawab oleh pegawai TU: “Mungkin saja ada Pak, di daerah ini banyak lahan pertanian, mungkin saja diantara pegawai,  anak petani yang berternak sapi. Tapi tepatnya saya ndak tau”.
Kulanjutkan pertanyaan: “Apa kita ikut membiayai peternakan sapi”
Ibu pegawai TU menjawab: “Ndak ada pak, masak bagian personil memberikan biaya usaha peternakan, yang ada kali kalau bagian kredit”
Dialog kulanjutkan: “Baik kalau begitu, cari informasi siapa diantara kita yang berternak Sapi”.
Dengan sigap Ibu peg. TU menjawab: “Ya pak nanti saya tanya-tanya”.
Dialog hari itu terhenti sampai disitu, kebetulan teleponku di meja kerjaku berdering, rupanya dipanggil Bos ke ruangannya. Ada seorang tamu penting di kamar kerja Bos terlihat dari pakaiannya. Tamu ini membicarakan kerja sama soal dana, Bos minta didampingi dalam negosiasi dan follow up kerja sama itu nanti.
Keesokan harinya giliran Ibu ini ke meja kerja saya.
Ibu Peg. TU melapor: “Rupanya ndak ada pak yang berternak Sapi, kalaupun ada hanya Kambing”.
Tentu langsung kutanggapi: “Baik kalau begitu ndak apa-apa, tolong ambil lagi arsip laporan Biaya Personil kita”.
Ibu itupun bergegas mengambil, cepat sekali langsung menuju ordner dan mengambil beberapa bulan laporan kemudian membawa ke meja kerja saya.
-         Coba ibu buka halaman kedua laporan Ibu tentang BP!, kuminta kepada Ibu Peg. TU
Si Ibu langsung membukanya, tanpa ekspresi ragu-ragu. Sementara aku diam sebentar sambil menanda tangani beberapa dokumen.
-         Sudah Pak ! kata si Ibu
-         Lihat baris ke empat, sela  ku, kalau begitu tolong baca, biaya apa itu.
-         Biaya lembur pak, jawab si Ibu
-         Coba baca sekali lagi, pintaku
-         Biaya lembur pak, jawab Ibu itu semakin tegas
-         Coba baca yang cermat, kalau perlu di eja, pintaku
Ibu itu terdiam, kemudian menahan ketawa sampai keluar air mata, bukan menangis sedih, melainkan keheranan atau lucu, entah apa sebab ternyata tercetak dalam stensilan selama ini sudah bertahun-tahun, biaya LEMBU (kurang huruf “R”). Aku juga ndak tahan menahan ketawaku sambil kukatakan bahwa LEMBU kan sama dengan SAPI. Rupanya selama ini cabang kita ini mengeluarkan Biaya Personil untuk membiayai SAPI