Monday 30 January 2012

TETANGGA

“Cari tetangga sebelum berumah”. Demikian sepotong kalimat yang kedengarannya aneh, kalimat hikmah dipesankan orang-orang tua dulu. Bila direnungkan kalimat itu banyak benarnya dan sangat dalam sekali maknanya. Tetangga sangat penting, posisinya melebihi keluarga dekat tetapi jauh rumahnya. Sangat terasa bagi kita-kita yang usia senja dan sesekali dikunjungi sakit.
Hidup saya kebetulan punya dua anak lelaki memilih profesi jadi dokter, kebetulan pula anak menantu saya yang baru satu, juga seorang dokter. Jadi penduduk rumah ada tiga orang dokter. Suatu malam, sejak pukul tujuh malam, sudah mulai terasa kondisi kesehatan menurun. Memang sepuluh tahun terakhir ini, saya mulai menderita penyakit gula, kalau kondisi seperti malam itu, biasanya gula darah bermasalah. Betul juga sekitar pukul tujuh malam gula darah sewaktu ditest pakai “Gluco Dr” angka menunjukkan 70. Atas anjuran anak saya yang tengah di RSCM melalui hp, saya disuruh minum air gula. Berhasil juga sampai menjelang tidur naik gulanya hampir seratus. Tau tau ba’da subuh isteri saya dengan bantuan tetangga mengantarkan saya ke rumah sakit, sementara saya dalam keadaan tidak sadar. Keberadaan di rumah sakit saya ketahui setelah pagi hari dalam keadaan infus melekat di tangan.
Anak dan mantu saya kebetulan malam itu tidak ada di rumah, anak yang tua sedang berada di luar kota, sementara anak yang satu lagi sedang di rumah sakit (RSCM) berada di meja operasi dan tak dapat ditinggalkan, sedangkan anak mantu sedang dinas malam di rumah sakit di bilangan Bekasi yang cukup jauh dari posisi kami di Jakata Pusat. Alhasil kalaulah tidak ada tetangga yang mengurus saya, sulit dibayangkan bagaimana mengangkut saya kerumah sakit. Syukurnya walaupun kami berada di Jakarta Pusat, namun kebetulan kerukunan rukun tetangganya cukup baik. Itulah guna tetangga, dan membenarkan kalimat hikmah di awal tulisan ini. Kalimat hikmah itu terinspirasi dari hadits Rasulullah s.a.w. “Pilihlah tetangga (lihat calon tetangganya atau lingkungannya dulu) sebelum memilih rumah. Pilihlah kawan perjalanan sebelum memilih jalan dan siapkan bekal sebelum berangkat (bepergian). (HR. Al Khatib).
Persolannya adalah, di saat sekarang ini tidak lagi setiap orang dapat menentukan untuk berumah di mana, banyak faktor yang menentukan seseorang bertempat tinggal. Antara lain tempat mencari nafkah/tempat mendapat pekerjaan. Seseorang lahir di suatu kota, orang tua serta seluruh keluarganya dikota kelahirannya, belum tentu ia akan mendapat kerja, mendapat lahan mencari nafkah di kota kelahirannya. Ada lagi sebuah keluarga yang karena instansi tempat ini bekerja, pindah-pindah pekerjaan ke berbagai kota, di setiap kota telah ditetapkan oleh institusinya menempati rumah dinas. Dua contoh di atas bagi yang beruntung, sementara ada keluarga yang kurang beruntung, mencari tempat tinggal sesuai kemampuan, kebetulan masih jadi “kontraktor”, apa boleh buat sesuai ukuran kocek menentukan tempat tinggal.
Di kota seperti Jakarta, kini sudah sempit tanah untuk pemukiman, sekarang banyak dibangun “Apartemen” dan “Rusun”. Bagi yang berkantong tebal menghuni “Apartemen” bahkan ada yang memilki “Apartemen” hanya untuk investasi, tidak dihuni. Sementara bagi yang berkantong agak tipis menghuni “Rusun”. Di Jakarta di tengah kota metropolitan ini banyak sekali penghuni RSSS (Rumah Sangat Sederhana Sekali). Ukuran 2 x 3 meter dihuni puluhan orang. Rumah hanya digunakan untuk nyimpan pakaian, kalau tidur gantian, atau milih tidur di jalan. Yang tersebut terakhir tentu bukan pilihan mereka, pada dasarnya mereka juga tidak kehendaki keadaan itu, tapi apa mau dikata, mereka hidup ini tidak pernah ajukan aplikasi. Mereka telah dilahirkan di ruangan itu, dibesarkan di ruangan itu. Nasiblah yang kelak akan membawa mereka kemana. Sambil menunggu kebijakan pengatur negara ini, bagaimana mengatasi kehidupan sebagian masyarakat ibu kota republik ini. Bicara soal tetangga, mereka bertetangga dekat sesama kawasan yang punya tempat tinggal ukuran yang hampir sama. Kelompok ini mudah tersulut emosi, mungkin penyebabnya protes dengan keadaan sekeliling. Kemewahan terpamer di depan mata, mobil mewah lalu lalang di jalan tak jauh dari hunian mereka, gedung mewah dan kehidupan serba berkecukupan begitu melek mata terlihat jelas. Sementara mereka tak kuasa mengangkat diri keluar dari serba ketidak cukupan.
Soal bertetangga, saya pernah menempati komplek perumahan yang dibangun bank BTN waktu itu disebut PERUMNAS dari masih lajang sampai punya anak satu. Ada seorang teman akrab saya juga ikut sepaham dengan saya mencicil bangunan di perumahan itu. Posisi kami belakang-belakangan. Rumah saya menghadap ke barat sedang rumah rekan saya itu menghadap ke timur. Saya sudah menerapkan “pilih tetangga sebelum berumah”. Teman saya ini teramat baik, ibarat kata, kalau saya kenapa-kenapa dia akan tampil lebih dulu melindungi dan mengatasi masalah saya. Selama saya berteman dengan beliau (lebih tua hampir sepuluh tahunan dari saya), belum pernah mengecewakan. Beliau punya anak tunggal, dengan isterinyapun baik kepada saya dan keluarga sampai setelah saya menikah, sampai kami berpisah karena saya mutasi ke kota lain. Kebetulan kami sekantor, pulang dan pergi ke kantor berbarengan. Ada saatnya kami berdua mendapat kesempatan dari kantor pendidikan bersama-sama dan diinapkan di penginapan. Tidak pulang kerumah selama seminggu. Di kantor kami kalau pendidikan, dapat uang saku. Dasar saya masih saja ingin bercanda, besok paginya setelah pulang ke rumah, dengan suara agak keras saya berteriak dari lantai dua kepada isteri saya yang meringkes celana akan di cuci. “Dek-dek, tolong keluarkan uang dari celana uang saku kursus ada tujuh puluh lima ribu jangan sampai kecuci”. Rupanya isteri Pak Is, juga sedang berada di kamar mandi mereka yang dekat dengan kamar mandi kami hanya di pisahkan jalan cuma liwat sepeda motor. Agaknya teriakan saya dari lantai dua itu terdengar oleh Bu Is. Ketika itu juga sedang mengeluarkan isi kantong-kantong celana Pa Is dari pulang kursus. Beliau juga menemukan uang, tapi hanya Rp 7 ribu lima ratus. Tahun-tahun itu uang masih “gagah”, biaya hidup keluarga kami (belum punya anak) cukup dengan tujuh sampai sepuluh ribu seminggu.
Rupanya teriakan saya itu berpengaruh lumayan buat Pak Is dan Bu Is. Kasihan Pak Is, mendapat perubahan sikap dari Bu Is selama beberapa hari, mungkin lebih seminggu. Akhirnya pak Is tidak tahan melihat perubahan sikap isterinya sepulang kursus, kemudian bertanya. Kenapa kau jadi begini, kira-kira tanya pak Is pada isterinya. Isterinya sambil menangis dengan suara tersendat mengatakan “Papah punya simpanan cewek lain”. “Kau ini ngomong apa, ndak ada ujan dan ada angin, nuduh orang sembarangan, dari siapa kau dapat cerita ngawur ini”. Sela Pak Is dalam perdebatan itu. Kalaulah pak Is bukan lelaki yang bijak, akan bermasalah dengan saya, umpamanyalah pak Is lantas naik pitam setelah mendengar ucapan isterinya langsung ia melabrak saya sebab isterinya bilang dalam dialog: “Itu dari pak Syarif”. Kalau cuma berhenti di kalimat itu, langsung Pak Is tidak tanyakan lagi maka berantakanlah persahabatan kami yang sudah sekian lama. Untung Pak Is tanya lagi, kapan dan apa yang Pak Syarif omongkan. Isterinya menceritakan bahwa: pak Syarif di rumahnya pagi hari ketika isterinya meringkes celana bekas kursus, menyebutkan uang saku sebesar Rp 75 ribu. Sementara dalam saku papah hanya Rp 7.500,-- kemana yang lain, pasti untuk cewek lain. Berderailah tawa Pak Is ditengah isak isterinya, karena tau tabiat saya suka bercanda. Pak Is tau setelah mendengar cerita isterinya bahwa cerita itu di dapat isterinya tidak melalui tatap muka, melainkan hanya dengan “nguping omongan tetangga”. Pak Syarif sengaja ngledek kamu, nanti tanya ke bu Syarif orangnya nggak kan bohong atau nanti kufotokopikan list penerimaan uang saku dari kantor, siapa dapat berapa terlihat disitu....... Itulah bahayanya nguping omongan tetangga.
Dari kisah ini patut jadi pelajaran, di samping jangan begitu percaya saja dengan omongan tetangga, apa lagi dari hasil nguping. Jadi suami juga jangan mudah mengambil kesimpulan dan sikap, bila mendapat informasi dari isteri, harus disaring dulu. Apalagi kalau ada laporan dari isteri di saat capek-capek pulang kantor, jangan langsung di telan, tapi pikir yang baik, saring, kalau perlu endapkan sehari dua, agar terhindar mengambil langkah yang salah. Jadi isteri juga jangan gampang percaya dengan informasi, harus di kros cek. Intinya kalau ada sesuatu berita tentang suami jangan langsung ubah sikap, baiknya secara terbuka dikonfirmasi. Bila suami pulang, jangan langsung dibrondong dengan segala macam laporan terutama yang kurang enak. Barang kali itu pesan dari seorang yang sudah berumah tangga selama 30 tahun utamanya buat pasangan muda. Hidup ini memang tak berhenti belajar, termasuk ketika berumah tangga, semuanya dalam belajar. Benarlah pesan bijak Rasulullah Muhammad s.a.w. “Udlubul ilma mahdi ilal lahdi”. (Menuntut ilmu sejak buaian ibu sampai liang lahat). Bersuami atau beristeri juga harus saling mempelajari sifat masing-masing. Setelah punya anak belajar lagi bagaimana sebagai ortu. Setelah punya mantu belajar lagi bagaimana bermenantu dan berbesan. Giliran mendapat cucu belajar lagi bagaimana bercucu agar sayang ke cucu tak jadi berebut cucu dengan besan misalnya. Dstnya.
Kali lain tentang bertetangga, pernah diri ini hidup disuatu komplek rumah dinas bersama keluarga. Suasananya adalah pada pagi hari di hari kerja, para suami berangkat menuju pekerjaan masing-masing, kebetulan isteri saya juga berangkat kerja ke kantornya. Bagi ibu-ibu yang kebetulan tidak bekerja di kantor, manakala usai mengantar para suami ke depan pintu, sebagian ada yang memanfaatkan waktu senggang itu untuk ngrumpi. Di depan uadience saya di kelas sering saya berkelakar bahwa manusia normal punya kebutuhan ngomong: “Kebutuhan biologis manusia normal soal ngomong, adalah sebanyak 10 ribu kata per hari, kalau kebutuhan itu tidak terpenuhi maka yang bersangkutan kurang sehat”. Jadi bagi ibu-ibu yang kebetulan tidak beraktivitas, butuh ngomong, wajar kalau ngomong disalurkan melalui ngrumpi. Kalau media ngrumpi tidak ketemu, jangan heran kalau ada ibu-ibu yang suka ngomel dalam rangka pemenuhan kebutuhan akan 10 ribu kata. Para suami harus maklum, jangan juga ikut balas ngomel, dengarkan saja omelannya, dia akan berhenti sendiri kalau sudah cukup 10 ribu kata. Bagi ibu-ibu yang beraktivitas misalnya juga masuk bekerja di kantor, kebutuhan ngomong itu didapat selama bekerja, dengan teman sekerja, dengan mitra usaha dan masyarakat umum yang berinteraksi.
Tetangga punya ajang ngrumpi seperti ini juga semestinya bukan pilihan, tapi apa boleh buat terpaksa dijalani kalau tersedianya kediaman seperti itu. Untung keadaan sedemikian hanya sementara, beberapa tahun. Namun tetap saja harus pandai-pandai mematut diri bertetangga di dalam komplek rumah dinas, arahkan isteri jika kebetulan tidak ikut bekerja di kantor, supaya batasi kumpul-kumpul ngrumpi, tetapi jangan pula dijauhi. Kalau dijauhi lantas jadi objek rumpian, sementara kalau terlalu dekat juga tidak baik, kalau ada masalah sedikit saja akan kentara. Kondisi seperti ini pandai-pandailah membawa diri sebab bila bergaul terlalu dekat bagaikan tali yang dipilin menjadi tambang, kalau terbuka maka tali tidak akan mulus kembali. Bagaimanapun tetangga sangat penting, karena bila terjadi masalah tetanggalah pihak yang pertama akan dapat dimintai tolong, sedangkan keluarga dan famili yang jauh rumahnya tidak dapat segera menolong, apalagi jika sakit mendadak, penyakit-penyakit tertentu menurut perhitungan manusia ada “golden time”, waktu-waktu yang bila terlewat maka kesempatan untuk sembuh akan hilang.
Allah memberikan petunjuk praktis tentang bertetangga di dalam Al-Qur’an surat An Nisa ayat 36

Wa’budullaha walaa tusrikuu bihi syaian wabilwaalidaini ikhsaanan wabidzil qurbaa walyataamaa walmasaakiini waljaaridzil qurbaa waljaaril junubi washaahibi biljanbi wabnissabiili wamaa malakat aimaanukum, innallaha laa yukhibbu man kaana mukhtaalan fakhuuran.
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh[294], dan teman sejawat, ibnu sabil[295] dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,
[294]. Dekat dan jauh di sini ada yang mengartikan dengan tempat, hubungan kekeluargaan, dan ada pula antara yang muslim dan yang bukan muslim.
[295]. Ibnus sabil ialah orang yang dalam perjalanan yang bukan ma'shiat yang kehabisan bekal. Termasuk juga anak yang tidak diketahui ibu bapaknya.

Semoga kita, mempunyai tetangga yang baik, jadikan diri kita pelopor menjadi tetangga yang baik bagi tetangga lainnya. Dapat memahamkan ayat tersebut di atas yaitu diperoleh pesan langsung dari Allah pencipta diri kita ini, agar hidup ini selamat dan aman tentram dunia dan akhirat berbuat baiklah kepada:
• dua orang ibu-bapa,
• karib-kerabat,
• anak-anak yatim,
• orang-orang miskin,
• tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh
• teman sejawat,
• ibnu sabil dan
• hamba sahayamu.
Dengan tambahan syarat “tidak sombong dan suka membanggakan diri”, serta hidup sebagai penyembah Allah semata, tidak mensekutukan Allah.





Tuesday 24 January 2012

PANGGILAN ALLAH

Setiap manusia, apakah dia seorang raja atau pejabat yang sedang berkuasa, ataukah dia seorang rakyat yang setiap hari menderita. Apakah ia seorang kaya raya atau miskin papa merabda, semuanya mendapatkan panggilan Allah S.W.T dengan porsi yang sama. Bagi penganut Islam bentuk panggilan Allah S.W.T. kepada hamba-Nya ada empat panggilan, tiga di alam dunia satu di alam akhirat. Panggilan di dunia yaitu panggilan shalat, panggilan haji, panggilan maut dan panggilan di akhirat yaitu panggilan keluar dari kubur berkumpul di hari perhitungan.
PERTAMA, PANGGILAN SHALAT
Dalam keseharian, ummat Islam dipanggil Allah untuk menghadap-Nya, selama lima waktu. Yaitu mulai subuh, ketika tidur sedang nyenyak-nyenyaknya, kemudian dzuhur ketika kerja sedang asik-asiknya, selanjutnya ashar di saat badan sudah letih bekerja dan penat mengurus/memikirkan urusan dunia, disambung maghrib ketika sedang remang pertukaran siang dengan malam dan waktu isya’ dimana sedang asyik bercengkrama dengan keluarga.

Bagi orang yang imannya belum bersemi, memang terasa panggilan ini cukup merepotkan, sebab momen panggilan itu kebetulan diikuti keadaan yang cukup memberi alasan untuk sulit memenuhinya.
• Misalnya ketika subuh, “sebentarlah tidur lagi enak, nanti kalau dipaksa bangun kepalanya akan pusing. Malam tadi kebetulan tidurnya terkambat”, kata orang yang berat melaksanakan shalat dan banyaklah lagi alasan untuk membenarkan diri untuk tidak shalat subuh utamanya bagi lelaki, seharusnya pergi ke masjid.
• Dzuhurpun tiba, begitu adzan berkumandang, pas lagi sibuk kerja, “tanggung tinggal sedikit lagi”, ntar waktu dzuhur kan masih panjang”. pikir kebanyakan orang yang punya kesibukan. Al hasil panggilan itu dicuekan, tak sengaja memang tau-tau sudah masuk waktu ashar belum sempat shalat dzuhur.
• Ashar masuk, suara adzan berkumandang lagi memanggil untuk shalat dan untuk kemenangan. Bagi orang yang imannya tipis ada saja alasannya, misalnya: “sebentar lagi pulang, nanti shalat di rumah saja, ini pakaian kurang bersih ndak sreg. Apa gunanya shalat kalau tidak tenang, kalau ragu apa bersih badan dan pakaian”. Taunya ketika pulang kerumah dari tempat pekerjaan, teryata jalanan macet, atau ada apa saja halangan yang sulit diprediksi. Akhirnya shalat asharpun lewat begitu saja.
• Magrib baru saja sampai di rumah, lagi kecapean belum istirahat, belum mandi entah apa lagi, banyaklah alasan sehingga shalatpun tidak dikerjakan.
• Waktu isya’ sudah terlanjur tidur, akhirnya panggilan Allah seharian itu satu kalipun tidak dapat dipenuhi dengan berbagai alasan.
Para pendahulu orang beriman orang-orang dekat Rasulullah Muhammad S.A.W mana kala terdengar panggilan adzan, walau sedang apapun ditinggalkan. Ibarat kata sedang mencangkul tanah, begitu mendengar adzan cangkul yang diayunkan ke depan dibatalkan yaitu langsung dilepas atau malah dilempar ke belakang atau ke samping. Sebab takut kalau sampai tercangkul, maka tanah hasil cangkulannya bila ditanami tanaman dan tumbuh menjadi tanaman yang dimakan, akan menghasilkan sesuatu yang haram. Makan sesuatu yang haram mengakibatkan sekurangnya tiga hal yaitu: Pertama ibadah tidak diterima, kedua do’a tidak terkabul/ditolak dan ketiga daging yang dihasilkan makanan yang haram dibakar dengan neraka.
Ada memang orang yang masih lumayan baik, dapat mengerjakan shalat utamanya shalat magrib, dengan berjamaah di masjid dekat rumahnya pula. Lumayanlah ada pengakuan, walau hanya sekedar shalat harian. Ada memang kelompok masyarakat ini yang shalat memang mengambil harian seperti shalat magrib tadi, dan juga ada yang shalat pekanan, yaitu sepekan sekali yaitu hanya hari jum’at, ikut shalat jum’at. Bahkan ada yang tahunan, kelompok ini sibuk sekali ikut shalat ied di hari lebaran.

Bagi yang shalat pekanan apa lagi harian, masih berpotensi untuk memenuhi panggilan utama Allah ini. Dari hasil penelitian atas pengalaman dari banyak teman yang sempat berusia senja, ketika masih mahasiswa mereka sering diajak untuk shalat jum’at oleh teman satu kost. Alhamdulillah setelah selesai kuliah kebiasaan itu berlanjut. Mula-mula yaa hanya sekedar shalat jum’at, lama kelamaan karena sering jum’atan dan mendengar khatib memberikan wejangan, akhirnya kelompok ini setidaknya dimasa tua jadi ahli shalat, jadi orang yang selalu memenuhi panggilan Allah yang pertama tersebut, sebanyak 5 kali sehari semalam. Dalam pada itu yang mengambil tahunan, dari penelitian seadanya atas dasar berita yang dikumpulkan, bahwa kelompok ini kebanyakan akan sampai akhir hayat hanya sibuk ketika akan lebaran saja. Shalat yang lain mereka memilih absen.

Rasulullah Muhammad s.a.w. pernah berpesan bahwa rupanya shalat yang paling diutamakan untuk berjemaaah di masjid adalah shalat “isya’ dan subuh” seperti sabda beliau:

“Barangsiapa sholat isya secara berjamaah, maka ia bagaikan shalat (malam) setengah malam, dan barangsiapa shalat Subuh secara berjamaah maka ia bagaikan shalat (malam) semalam penuh.” (HR.Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi).

Kenapa shalat isya’ berjemaah dinilai setara dengan setengah malam shalat, karena pada saat isya’ pada umumnya kebanyakan orang sudah selesai beraktivitas untuk mencari nafkah, hikmahnya barang kali begini:
Waktu isya’, pada umumnya orang kebanyakan sudah selesai melakukan kegiatan mencari nafkah, mereka sudah berada di rumah dan alangkah sempurnanya masyarakat Islam bila yang bersangkutan pergi ke masjid untuk shalat berjamaah, di masjid akan ketemu jiran tetangga yang seharian masing-masing menyebar dengan kesibukan masing-masing. Begitu pula waktu subuh, umumnya orang masih berada di lingkungan masing-masing belum menuju tempat kerja. Tapi shalat subuh bukan main sulitnya bagi kebanyakan orang apalagi turun dari rumah menuju masjid. Memerlukan iman yang tebal sebab itulah khusus shalat subuh Nabi Muhammad pernah katakan:

“Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang munafik, adalah shalat isya’ dan subuh [berjamaah]” HR. Buhari dan Muslim dari Abu Hirairah r.a.

Sehubungan bila shalat isya’ dan subuh dilaksanakan dengan berjamaah di masjid maka setara dengan shalat satu setengah malam. Jadi kalau 40 tahun saja dalam hidup kita yang 60 tahun misalnya dapat shalat di masjid maka nilai sholat kita setara dengan shalat setiap malam semalaman selama 60 tahun. Andaikan dalam masa shalat 40 tahun itu ketemu setiap tahun dengan malam lailatul qadar maka (83 x 40) tahun ditambah 60 tahun = .....tahun melebihi 3 kali hidup nabi Nuh 950 tahun sebagaimana dikisahkan oleh Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Ankabut ayat 14.

KEDUA, PANGGILAN HAJI
Panggilan yang kedua, panggilan haji hanya sekali dalam seumur hidup. Semua orang sebenarnya dipanggil, sebagimana panggilan shalat tadi. Panggilan shalat walau sudah dipanggil, tetap saja banyak yang tidak mau memenuhi panggilan tu. Demikian juga panggilan haji, sudah dipanggil banyak orang tidak bersedia memenuhi panggilan itu. Orang tidak memenuhi panggilan haji dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok besar:
Pertama, punya kesanggupan tetapi tidak bersedia memenuhi panggilan itu. Kelompok ini punya kesanggupan financial yang cukup, kesehatanpun baik dan semua sarana mendukung. Diibaratkan panggilan shalat, kelompok ini walau tinggal berdampingan dengan masjid, ceramah agana sering masuk ke telinganya, tetapi tetap saja tidak bergeming. Kemampuan tinggi tetapi kemauan kurang, kesempatan ada. Dalam konteks ini mereka sudah terkena apa yang disampaikan Rasulullah Muhammad s.a.w.
Artinya : Dari Ali bin Abi Thalib r.a. Dia berkata : Rasulullah s.a.w. Bersabda : “ Barang siapa memiliki kelebihan (harta) serta kendaraan yang bisa membawanya ke-Baitullah tapi dia tidak melaksanakan Haji, maka dia matinya sebagai Yahudi atau Nasrani ”.
(HR. At Tirmidzi - Kitab Al Hajj - Bab Ma Ja’a Min At Taghlizh Fi Tarki Al Hajj (3) - Hadits No : 812)
Kedua, kelompok kedua sangat ingin memenuhi panggilan tersebut, kondisi kesehatan baik, sayang tidak punya kemampuan financial. Kelompok ini tak punya uang. Kelompok ini kemauan tinggi kemampuan kurang, kesempatan ada.
Ketiga, kelompok yang sangat ingin memenuhi panggilan haji, punya kemampuan financial yang cukup tetapi tidak punya kemampuan kesehatan. Kemauan tinggi, kemampuan ada kesempatan tiada. Apa boleh buat tenaga sudah tidak mampu lagi, bisa karena uzur lantaran lanjut usia, bisa diusia muda tapi ditawan sakit-sakitan, Agaknya kelompok ini ada ruhsah (keringan/pengecualian), walau tidak sanggup memenuhi panggilan itu.

KETIGA, PANGGILAN MAUT
Panggilan ini tidak seorangpun dapat menghindar, kalau panggilan shalat dan panggilan haji, masih dapat menghindar. Panggilan ketiga ini, suka atau tidak suka, mau tidak mau panggilan ini harus dipenuhi. Tidak perduli dalam kondisi apapun, apakah sedang sehat segar-bugar, atau sedang sakit. Apakah sedang bahagia bersuka cita, atau sedang susah merana. Orang beriman senantiasa berharap agar ujung hayatnya dalam keadaan baik, populer disebut “khusnul khatimah”. Seseorang dalam keadaan memenuhi panggilan maut berada dalam “khusnul khatimah”, dianya dijamin masuk ke dalam surga Allah. Salah satu tanda orang meninggal dunia “khusnul khatimah” adalah yang bersangkutan sanggup mengucapkan “La ilaha illallah”.
Menyoal kesanggupan mengucapkan “La ilaha illallah” itu ada orang berkomentar: “enak benar ia masuk surga, selama hidup selagi sehat tak banyak amal kebaikan, tetapi hanya lantaran sakaratul maut mampu mengucapkan “La ilaha illallah” dapat masuk surga” Untuk mengklirkan komentar ini saya punya cerita:
Dalam antrian wudhu di halaman kediaman orang tua pemimpin kantor kami, seorang senior saya berulang kali mempersilahkan saya untuk wudhu lebih dahulu. Saya sungkan, bukan saja seharusnya mendahulukan senior, tetapi beliau berada di depan saya, tentu saya harusnya mendahulukan Bapak tersebut. Karena sudah berulang-ulang saya disuruh duluan, saya laksanakan juga. “Nah begitu, kan saya dapat mencontoh”, demikian senior saya bergumam, setelah saya selesai saya berwudhu.
Belakangan saya baru mengetahui atas pengakuan resmi beliau ketika bersama di dalam mobil pulang ke Surabaya, bahwa beliau sudah lupa cara berwudhu karena sudah sekian lama kegiatan itu ditinggalkan. Masa kecil beliau adalah ahli shalat tinggal dekat masjid, walau tidak mahir, dapat pula baca Al-Qur’an, karena memang dari keluarga penganut agama Islam. Cerita ini semula saya kira di karang saja oleh senior saya tadi, untuk memecah keheningan perjalanan jauh dari ujung timur Jawa Timur ke Surabaya, dalam rangka melawat ke kampung pemimpin cabang kami, waktu itu ayahanda pempinpin kami meninggal dunia. Wudhu dalam rangka shalat jamaah Isya’, atasan saya ini dari nama dan statusnya memang Islam, jadi rupanya nggak enak kalau tidak ikutan shalat, seperti tamu lainnya yang memang bukan beragama Islam.
Saya menjadi percaya bahwa cerita senior saya itu mendekati kebenaran, ketika saya pulang kampung ke Kalimantan Barat ketika cuti tahunan. Kejadian itu saya buat oleh-oleh pengalaman kepada mendiang ayahanda saya. Saya bercerita, terlihat ayah saya menyimak dengan serius cerita saya itu dan seusai saya bercerita di bola mata beliau nampak berkaca-kaca, rupanya belaiu terharu. Kejadian itu menurut beliau pernah dialami langsung oleh diri ayah saya pribadi. Masa remaja beliau di rekrut “Dai Nipon” menjadi “Hai Ho” berperang melawan sekutu di kancah perang dunia II. Bertahun tahun selama ikut tentara “Matahari Terbit” itu, shalat terpaksa ditinggalkan. Akhirnya benar-benar lupa sampai cara berwudhu saja. Itulah yang disesali beliau sampai berlinang air mata. Ayahku selanjutnya meneruskan masa muda beliau ikut sebagai pejuang kemerdekaan dan menjadi “Veteran pejuang kemerdekaan”. Semoga Allah s.w.t. mengampuni dosa ayahku dan memasukkannya ke dalam rahmat-Nya, Semoga perjuangan beliau merebut kemerdekaan mendapat pahala di sisi Allah s.w.t.
Kesimpulan dari kejadian di atas adalah bahwa segala perilaku, termasuk ucapan dapat dengan mudah dilaksanakan bila melalui latihan. Tidak akan dapat dilakukan kalau lama tidak berlatih. Demikian juga halnya mengucapkan “La ilaha illallah” tidak akan serta merta dapat dilakuan orang ketika maut sudah datang, kalau tidak dengan kebiasaan setiap hari mengucapkan kalimat tersebut. Untuk membiasakannya maka sekurangnya seorang muslim yang melaksanakan shalat lima kali dalam sehari semalam akan latihan mengucapkan “La ilaha illallah” sebanyak 9 kali. yaitu shalat subuh sekali, shalat dzuhur, ashar, maghrib dan isya’ masing-masing dua kali. Bagimana kalau orang tidak shalat tentu lidahnya berat walau hanya sekedar mengucapkan “La ilaha illallah”, pada saat syakaratul maut, sebab jarang latihan. Jadi hanya orang yang setiap hari di dalam hidupnya lidahnya menyebut “La ilaha illallah”, pada saat kritis menghadapi maut sanggup mengucapkan “La ilaha illallah”, oleh karena itu benarlah apa yang di sabdakan Rasulullah Muhammad s.a.w. bahwa apabila akhir kalimat seseorang ketika meninggal dunia ucapannya “La ilaha illallah” masuk surga, lantaran si pengucap “La ilaha illallah” memang keseharian dalam hidupnya sudah secara rutine mengucapkan kalimat taukhid tersebut sekurang-kurangnya di dalam melaksanakan shalat.

KEEMPAT PANGGILAN KELUAR DARI KUBUR
Maut adalah gerbang masuk ke alam akhirat, dimulai dengan alam kubur. Alam ini dihuni oleh seluruh manusia tidak ada pengecualian sampai hari kiamat. Informasi ini tidak kita dapatkan dari artikel manapun diseluruh penjuru dunia ini, sebab tidak seorangpun kembali ke alam dunia ini dari alam kubur untuk menceritakan pengalaman di alam sana. Informasi satu-satunya adalah Informasi dari Allah melalui rasul-rasul utusan Allah. Bagi hamba Allah yang beriman dan beramal saleh yang ikhlas sehingga diterima Allah, maka kehidupan di alam barzah ini menyenangkan, tidak ada siksa di dalamnya. Walau demikian ancaman siksa kubur ini sungguh dahsyat karena itulah Rasululah Muhammad s.a.w. berpesan selalulah berdo’a dalam akhir shalat “Allahumma inni auzubika min adzabil qabri wamin fitnati mahya wal mamat wa fitnati dadzal”. (Ya Allah lindungilah aku dari siksa kubur, fitnah kehidupan dan fitnah kematian serta fitnah dadzal).
Bagi orang yang terhindar dari siksa kubur, masa penantian di alam barzah ini terasa sangat singkat sebaliknya bagi pendosa masa ini sangat panjang. Informasi Al-Qur’an panggilan dari alam kubur untuk bangkit berkumpul seperti tersurat di ayat 68 surat Az-Zumar

Tsumma nufikha fiihi ukhraya faidzaa hum qiyaamun yan dhuruuna (Kemudian ditiup Sangkakala itu sekali lagi maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing)).

Dan surat An-Naba ayat 18

Yauma yunfakhu fishshuri fataktuuna afwaajan (yaitu hari (yang pada waktu itu) ditiup Sangkakala lalu kamu datang berkelompok-kelompok)

Terdapat 12 kelompok manusia yang memenuhi panggilan bangkit dari kubur yaitu:
Seperti dalam riwayat: Sahabat Mu'adz bin Jabal bertanya kepada Rasulullah. "Ya Rasul..”Terangkanlah kepadaku tentang makna firman Allah: Yaitu hari ketika ditiup sangkakala lalu kamu datang berkelompok-kelompok. "Maka menangislah Rasulullah, cucuran airmatanya membasahi bajunya. Lalu bersabda: Engkau telah bertanya sesuatu yang dahsyat. Umatku akan dibangkitkan pada hari kiamat.Dalam kelompok-kelompok dua belas tabiat.

Kelompok pertama: Dibangkitkan tanpa tangan dan kaki. "Mereka adalah orang-orang yang mengganggu tetangganya”,

Kelompok kedua: Dibangkitkan dalam bentuk babi. "Mereka adalah orang-orang yg bermalas-malas melakukan shalat”.

Kelompok ketiga: Dibangkitkan dari kuburnya dalam keadaan perut besar menggunung, dipenuhi ular dan kalajengking. Mereka adalah orang-orang yg menahan-nahan zakat.

Kelompok keempat: Dibangkitkan dari kuburnya dalam keadaan darah mengalir dari mulut. Mereka adalah orang-orang yg berdusta dalam jual beli.

Kelompok kelima: Dibangkitkan dari kuburnya dalam keadaan berbau busuk,lebih busuk dari bau bangkai. Mereka adalah orang-orang yg melakukan maksiat tersembunyi karena merasa takut dilihat orang tetapi tidak takut dari pengawasan Allah.

Kelompok keenam: Dibangkitkan dari kuburnya dalam keadaan terputus lehernya. Mereka adalah orang-orang yg memberi kesaksian palsu.

Kelompok ketujuh: Dibangkitkan dari kuburnya tanpa memiliki lidah. Dari mulutnya mengalir nanah dan darah. Mereka adalah orang-orang yg menolak memberi kesaksian.

Kelompok kedelapan: Dibangkitkan dari kuburnya dalam keadaan tertunduk,kedua kaki diatas kepala. Mereka adalah orang-orang yg gemar melakukan zina dan keburu mati sebelum bertaubat.

Kelompok Kesembilan: Dibangkitkan dari kuburnya dalam keadaan berwajah hitam, matanya biru, perutnya penuh api. Mereka adalah orang-orang yg memakan harta anak yatim dan merampas hak-hak anak yatim secara zalim.

Kelompok kesepuluh: Dibangkitkan dari kuburnya dalam keadaan sakit kusta dan sopak. Mereka adalah orang-orang yg mendurhakai kedua orang tua.

Kelompok kesebelas: Dibangkitkan dari kuburnya dalam keadaan buta hati, buta mata, giginya seperti tanduk kerbau, bibir dan lidahnya bergelantungan mencapai dada, perut,dan paha.Sedang dari perutnya keluar kotoran. Mereka adalah orang-orang yg gemar meminum khamr.

Kesebelas kelompok tersebut diganjar dengan siksa neraka.

Kelompok kedua belas: Dibangkitkan dari kuburnya dengan wajah bercahaya seperti sinar bulan purnama. Melewati sirath al-Mustaqim secepat kilat menyambar angin. Mereka adalah orang-orang yang melakukan amal kebajikan. Menjauhi segala kemaksiatan. Rajin memenuhi panggilan shalat. Dan mati sesudah taubat.Maka ganjaran mereka adalah pengampunan,rahmat,dan ridha serta Surga dari Allah Ta'ala.

Semogalah kita semua sidang pembaca, termasuk di dalam kelompok keduabelas. Untuk masuk kelompok tersebut harus dengan perjuangan selama masih hidup di dunia ini yaitu memenuhi panggilan Allah di dunia dengan tidak mencari alasan untuk tidak memenuhi panggilan itu. Jauhi seluruh larangan Allah, kerjakan sekuat tenaga perintah Allah.

Saturday 21 January 2012

MENAKAR SOMBONG

Sombong, tentu sifat mahluk Tuhan yang namanya Manusia. Mahluk Tuhan lain yang pernah punya sifat ini namanya Iblis, karena kesombongan itu dia terusir dari Sorga. Sifat sombong ini sungguh istimewa dari sifat lainnya. Kalau orang sifatnya rendah hati, sesama orang rendah hati mereka suka, kalau boleh mereka buat persatuan atau organisasi sesama rendah hati. Orang bersifat dermawan juga senang sekali bila ketemu sesama dermawan, boleh jadi mereka kumpulkan derma mereka untuk dapat lebih besar sehingga akan lebih bermanfaat. Sedangkan orang sombong, sesama orang yang bersifat sombong mereka saling membenci. Jadi sombong itu sifat yang tidak disuka orang, jangankan orang tidak sombong, sesama sombong saja tidak suka.
Bagaimana mengukur apakah diri ini termasuk orang sombong atau tidak cobalah beberapa parameter yang tersaji berikut guna mengukur apakah di hati ini tersisip kesombongan:
Pertama: Dalam kita berdiskusi di dalam kelompok masyarakat, apakah kita selalu ingin memaksakan bahwa pendapat kita saja yang harus diterima oleh kelompok, sedangkan pendapat orang lain dianggap tidak benar. Kalau diri masih dalam posisi ini artinya kadar sombong masih ada dalam hati kita.
Kedua: Ketika bergaul di tengah masyarakat utamanya yang status sosialnya di bawah kita, apakah dalam sanubari masih tersisa perasaan bahwa diri ini lebih berada, diri ini lebih pintar, sementara menganggap orang lain kurang cerdas hingga wajarlah jika status sosialnya rendah. Hidup mereka serba kekurangan karena kurang cerdik seperti diri ini, kurang tekun seperti diri kita, kurang rajin seperti diri kita, pokoknya orang lain itu kurang karena kekurangan mereka sendiri. Kalau ini ada dalam perasaan, waspadalah sombong masih bersemayam bagi siempunya diri.
Ketiga: Memenuhi undangan, bila diri ini enggan menghadiri undangan orang miskin dan berada di bawah dan hanya suka menghadiri undangan orang terpandang dan orang kaya. Menganggap orang miskin di bawah ndak level, ini jelas sekali bahwa kuat sekali pengaruh kesombongan dalam diri yang bersangkutan.
Keempat: Dalam perjalanan keluar rumah termasuk ketika menuju ke tempat kerja, dalam perjalanan bila melihat kendaraan orang lain lebih baik, di dalam hati merasa tidak terima, tak mau mengalah dalam menggunakan jalur jalan, kendati mestinya harus mengalah mendahulukan orang lain. Sikap orang sombong kadang nampak dalam perilaku membawa kendaraan.
Kelima: Setelah sampai di tempat kerja bila kebetulan jadi atasan, pernah terjadi suatu contoh seperti cerita di bawah ini:
• Pegawai sok iseng, sengaja mencari formula tinta yang digunakan oleh seorang atasan warna menyolok, lain dari tinta-tinta lainnya yaitu warna agak hijau daun. Mungkin maksud si atasan agar bukan saja tanda tangannya yang sulit dipalsukan, juga warna tintanyapun unik tak mudah disamai orang lain. Akhirnya si bawahan berhasil juga meramu campuran tinta si bos. Suatu hari dicobanya membubuhkan paraf di atas surat yang harus ditanda tangani si bos. Serta merta si bos memanggil si pemaraf dan langsung berang dan memperingatkan jangan lagi memakai tinta berwarna yang sama. Entahlah ini apa masuk dalam parameter sombong.
• Lain lagi seorang bos tidak suka dengan bawahannya ikutan memelihara kumis, dianggapnya bawahan yang memelihara kumis ingin menyamai dirinya. Padan lagi ada juga bawahan yang ingin ikutan mode bos, tapi yang kasihan terhadap bawahan yang tadinya biasa berkumis dengan berat hati mengucapkan “selamat jalan” kepada kumis kebanggaannya. Ini barangkali termasuk bos yang terserang virus sombong di hatinya.
Keenam, Pakaian kadang ada orang yang membanding pakaiannya dengan pakaian yang dipakai orang lain. Sering terjadi di dalam kondangan, seorang ibu sengaja memegang pakaian yang dipakai ibu lainnya hanya sekedar untuk merasakan kain bahan gaun ibu yang dianggapnya kurang patut memakai pakaian bagus. Kalau masih ada perasaan bahwa orang lain tidak boleh menyamai dirinya, ini indikasi bahwa di hati masih bersarang perasaan sombong yang bergerombol.
Menurut kaidah agama Islam bahwa:
Udkhuluu abwaaba jahannama khaalidiina fiihaa fabi’sa matswalmutakabbiriina (Alqur’an surat Al-Mu’min 76)
Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala itu bermaksud :
Allah menyediakan neraka jahannam bagi orang yang sombong:
“Masuklah kamu ke pintu-pintu neraka Jahannam, sedang kamu kekal di dalamnya. Maka itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang sombong .”
Ternukil di dalam Hadits Rasulullah s.a.w. Riwayat Muslim
Tidaklah masuk syurga barang siapa yang di dalam hatinya terdapat kesombongan yang sebesar biji zarah (atom) sekalipun.
Mari kita takar apakah masih ada di diri ini kesombongan itu, setidaknya dengan parameter tersaji di atas. Kalau masih juga ada, marilah kita upayakan menguranginya, selanjutnya mengusahakan akan menghilangkan sombong itu jauh-jauh, agar tidak tersisa sebesar zarahpun. Mudah-mudahan disisa usia kita ini, masih sempat mengikis habis “sombong” tersebut sehingga bila Izrail datang memanggil, kita berada diujung kehidupan membawa predikat “khusnul khatimah”. Amien



Friday 6 January 2012

MENCURI SANDAL

Bicara mencuri, jujur mungkin hampir setiap orang pernah melakukannya, setidaknya ketika masih kecil. Sebab itu pengarang cerita Film boneka “Unyil” mengisahkan: Unyil dan teman-temanya suka mencuri jambu Pak Raden. Tapi dalam cerita itu pak Raden cukup arif mengingat Unyil masih di bawah umur tidak ada cerita di film itu beliau memperkarakannya ke depan hakim.

Mungkin pak Raden ter inspirasi hukum Islam menyoal soal orang yang mencuri. Di dalam hukum Islam orang mencuri hukumannya potong tangan. Pencuri yang mendapatkan hukuman potong tangan bila memenuhi 3 syarat yaitu:

  1. Pencuri tersebut sudah baligh, berakal dan melakukan pencurian itu dengan kehendaknya. Syarat ini ada dua unsur yang harus dipenuhi:

a) Baligh, sudah cukup umur

b) Atas kehendaknya, bukan karena dipaksa oleh orang lain atau segaja hendak dimiliki.

  1. Barang yang dicuri itu sedikitnya sampai 1/4 dinar. (1 dinar = 4,25 gram emas 22 karat). Syarat ini memberikan batasan nilai barang yang dicuri adalah kurang lebih 1,0625 gram dibulatkan 1,07 gram. Dengan harga emas sekarang sekitar Rp 500 ribu maka Rp 535.000,- (Limaratus tiga puluh lima ribu rupiah)
  2. Barang itu bukan kepunyaan si pencuri dan tidak ada jalan yang menyatakan bahwa ia berhak atas barang-barang itu. Syarat ini tentang status barang, kepemilikan barang, hak atas barang. Misalnya seseorang yang lapar ia mengambil harta simpanan di baitul maal untuk makannya maka tidak memenuhi syarat ini. Oleh karenanya, orang yang mencuri harta bapaknya, atau salah seorang suami istri saling mencuri, orang miskin mencuri dari baitul maal tidak dipotong tangannya.

Pada hari lahir saya tahun lalu anak saya menghadiahi sebuah sandal cukup bagus harganya setelah kulihat di toko kisaran Rp 80.000,- Mungkin kalau sandal terbagus saat ini nggak adalah yang harganya sampai Rp 535.000. Konon lagi sandal jepit, di Jakarta merek NIKE Rp 10 ribu.

Jadi kalau mencuri sandal jepit nampaknya ndak akan sampai dipotong tangan jika hukum Islam diterapkan, tentu si pencuri harus diberi peringatan, apalagi kalau masih di bawah umur.

Teringat saya ketika umrah tahun 2007. Seorang jamaah mau pulang seusai shalat Zuhur di masjid Nabi di Madinah. Ketika sampai ditempat penitipan sandal betapa kagetnya ia sandalnya hilang. Sementara itu di halaman masjid dekat penitipan sandal banyak sandal-sandal berserakan. Semula ada keinginan hati untuk memakai dulu sandal itu menuju ke toko jual sandal. Tapi niat itu diurungkannya karena teringat mencuri di negara menerapkan hukum Islam di potong tangan. Beliau rupanya terlalu khawatir, padahal untuk ukuran sebuah sandal jepit yang di sana dipasarkan seharga 6 Real ndak akan sampai dipotong tangan, apalagi tujuannya bukan untuk dimiliki hanya sekedar dipakai dalam perjalanan menuju toko sandal.

Lantaran takut ancaman mencuri sandal itu, maka rekan seperjalanan umrah saya itu, nekad tanpa sandal menuju kedai sandal yang jaraknya tidak kurang ratusan meter. Akibatnya selama hampir tiga hari selama berada di Madinah beliau tidk dapat menapakkan kakinya, karena terbakar oleh sengatan panasnya aspal jalan. Kakinya menggelembung berisi cairan, harus disedot cairannya itu oleh dokter yang mengikuti rombongan kami. Selama berada di Madinah dan beberapa hari di Mekkah beliau di atas kursi roda.

Himbauan buat yang kehilangan sandal ketika ke Mekkah atau Madinah, jika tidak ketemu penjaja sandal, pakai saja dulu sandal yang ada berserakan di halaman masjid untuk menuju kedai sandal. Kemudian kembali lagi di posisi semula sandal yang dipinjam itu. Insya Allah kalau soal sandal tidak akan dipotong tangan. Karena syarat penerapan hukum Islam potong tangan seperti disalinkan di atas.

Mungkin dengan menyimak kejadian belakangan ini, tentang memperkarakan orang mencuri yang hanya jumlah yang tidak materiil sampai diproses dengan mengabiskan biaya cukup tinggi tenaga dan energi dari para aparat yang bila digunakan ke hal lain mungkin lebih bermanfaat. Seorang nenek diadili hanya karena mencuri 3 buah kakau, Ada yang diadili mencuri beberapa kg kapok randu, ada yang diadili hanya karena mencuri beberapa cangkah buah sawit. Sebaiknya sudah saatnya kita mengacu kepada hukum Allah, dimana tadi ada unsur nilai yang dicuri baru menjadi perkara. Cuma baiknya nilainya di standarkan emas bukan mata uang. Karena mata uang nilainya begitu cepat berubah.

Contohnya di buku nikah saya, tertulis bila saya.

1. meninggalkan isteri saya dalam waktu dua tahun berturut turut

2. tidak memberikan nafkah wajib tiga bulan lamanya

3. menyakiti badan/jasmani isteri saya itu

4. membiarkan atau tidak memperdulikan isteri saya itu selama enam bulan

Isteri saya tidak redha, dia punya jalan keluar untuk memutuskan ikatan pernikahan dengan saya hanya dengan mengadukan hal itu ke pengadilan agama atau pihak yang diberi wewenang untuk urusan itu, cukup membayar uang Rp 50 (limapuluh rupiah) sebagai uang pengganti (Iwadl). Itu kejadian 30 tahun silam. Bagaimana nilai itu jika dbandingkan dengan Rp 50 sekarang yang pecahannyapun sudah sukar didapat apalagi nilainya. Padahal tujuan uang iwadl itu untuk ibadah sosial.

Kami yang beragama Islam berucap “Maha Benar Allah dengan segala hukumnya”. Ada teman saya yang nyeletuk bahwa di negara dengan hukum Islam juga banyak ketidak beresan. Ketahuilah bahwa di negera-negara yang mengaku menerapkan hukum Islam di dunia ini tidak menjalankan secara murni dan konsekwen. Hukum hanya tegak buat yang “lemah”. Hukum akan kompromis buat yang “Kuat”. Itu sebabnya banyak ketidak beresan. Ini keadaan sudah disinyalir Rasulullah Muhammad S.A.W. dengan ucapan beliau, seperti hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslm, saya kutip dari “Bulughul Maram” yaitu sabda Rasulullah S.W.A. kepada Usamah bin Zaid dalam konteks; Usamah bin Zaid membawa pesan “mohon keringanan hukuman” dari kelompok bangsawan yang ketika itu salah seeorang perempuan dari golongan mereka terbukti mencuri dan harus dilaksanakan hukuman, sesuai ketentuan Allah.

Kepada Usamah bin Zaid Nabi bertanya : “Apakah kamu berani membela untuk menggagalkan hukum Alla?/”, selanjutnya menerusakan sabda beliau: “Wahai semua manusia, sesungguhnya yang membinasakan ummat-ummat yang dahulu yaitu jika orang bangsawan yang mencuri dibiarkan tanpa hukum, dan jika orang rendahan yang mencuri mereka tegakkan hukum”.

Eksekusi hukuman tetap dilakukan terhadap seorang perempuan bangsawan tersebut, walau telah dicoba melakukan pembelaaan dengan mengutus seorang sahabat Rasulullah yang sangat dekat.

Mari kita bercermin dengan keadaan di dunia dewasa ini, tak usah jauh-jauh di negeri kita ini saja, benarkah sinyalemen Rasulullah tersebut. Kalau sudah menuju benar, maka tunggulah kita bersama akan menuju kebinasaan.