Friday 23 March 2012

Effektifkah Bantuan Langsung Sementara?

Berbekal dari keinginan untuk membantu sesama, pernah suatu ketika saudara saya yang kebetulan ekonominya agak mapan, memberikan bantuan sejumlah tertentu kepada kerabat kami yang kebetulan kurang beruntung, katakalah hidup di bawah garis kemiskinan. Setelah melihat keadaan rumah tangga dari keluarga kerabat kami kurang mampu tersebut, saudara saya itu memberikan bantuan sejuta rupiah tahun 90an. Bantuan tunai itu dimaksudkan oleh pemberi bantuan untuk dapat dijadikan sebagai modal usaha. Bertepatan, kerabat yang dibantu berprofesi sebagai nelayan. Jumlah bantuan uang tunai itu bukan tidak dengan anasilis ringan, peruntukannya dimaksudkan untuk membeli alat penangkap ikan baru, serta memperbaiki perahu.
Jumlah bantuan tersebut oleh saudara saya dikemukan sebagai pinjaman, dikembalikan dengan tanpa bunga dalam jangka waktu setahun. Penegasan ini sekedar untuk memberikan semangat kepada yang bersangkutan agar benar-benar memanfaatkan uang tersebut, sebab diakadkan sebagai pinjaman, bukan hadiah. Dalam pada itu, saudara saya ini karena untuk jumlah sejuta rupiah tersebut walau di tahuan 90an bukanlah jumlah yang sangat material baginya, jadi sebenarnya ia tidak mengharapkan lagi pengembalian. Dia sangat berbesar hati kalaulah kerabat ini dapat terangkat ekonominya. Diniatkan oleh saudara saya itu kalau nanti ia mengembalikan langsung dihibahkan kembali untuk tambahan modal usaha yang bersangkutan.
Apa yang terjadi, setelah dana tunai tadi diterima, ........... mungkin atas desakan keluarga yang sudah lama ingin punya TV. Maka yang pertama masuk ke rumah mereka adalah TV. Berikut membeli keperluan-keperluan lain yang tidak ada hubungan dengan paralatan penangkapan ikan dan bahkan sebagian dipergunakan untuk memperbesar belanja dapur alias kebutuhan konsumtif. Cita-cita punya TV sudah lama dipendam, demikian juga sepertinya belum pernah punya uang tunai sejuta rupiah, apa saja makanan dan pakaian yang sederhana yang selama ini belum dimakan atau belum pernah dipakai, uang itupun dipergunakan. Pikir keluarga mereka sudahlah, menangkap ikan dengan peralatan yang ada ini saja dulu ndak apa-apa, selama ini juga toh masih hidup sampai sekarang, dengan peralatan seadanya.
Uangpun akhirnya habis, belum setahun TV yang ada di rumah harus keluar lagi, untuk dijual tentu dengan harga murah tidak seperti ketika membeli, guna tambahan uang menyambung hidup. Al hasil hutang sejuta rupiah habis beigitu saja. Itulah salah satu contoh bantuan langsung uang tunai kepada penduduk yang terlanjur berada di bawah garis kemiskinan, tidak dapat menaikkan keadaan perekonomian mereka, bahkan kalau uangnya hanya 150 ribu rupiah akan habis pada hari itu juga.
Contoh lain, tetangga saya belum lama ini saking sudah kesulitan mengurus kebersihan rumah tangganya, akhirnya pada suatu hari menerima kehadiran seorang yang ingin bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Ibu setengah baya yang melamar jadi pembantu itu mengaku punya anak satu yang baru ditinggal suaminya meninggal dengan momongan seorang cucu dari mantu lelaki yang baru meninggal tersebut. Dikabarkan bahwa si “Bibi” tinggal di rumah kontrakan 300 ribu rupiah sebulan. Disepakati honor membantu setengah hari untuk nyuci, ngepel dan beres-beres rumah 450 ribu rupiah sebulan. Eee belum genap empat hari kerja di tetangga saya itu, si “Bibi” pinjam uang 100 ribu, untuk tambahan bayar kontrakan kamar, katanya. Si tetangga saya dengan yakin meminjami uang seratus ribu, itung-itung nanti dipotong gaji bulanan. Tapi apa yang terjadi yang bersangkutan terus tidak masuk lagi.
Tidak juga si “Bibi” dapat dipersalahkan mutlak, memang begitulah keadaan rakyat miskin di Indonesia ini. Si “Bibi” tadi dijamin termasuk orang yang tidak mendapat jatah, kalaupun pemerintah memberikan BLSM, karena walau ia penduduk asli di negeri sendiri tapi tidak punya KTP, sedangkan BLSM harus orang miskin terdaftar. Untuk terdaftar harus penduduk, untuk dianggap penduduk kalau ada KTP yang masih berlaku. Kenapa ia tidak punya KTP padahal nenek moyangnya, enyak babenya orang betawi asli, bahkan masih ada tanah warisannya yang tidak punya sertifikat di DKI. Kenapa sampai si “Bibi” tidak punya KTP. Karena untuk memperpanjang KTP, katanya si “Bibi” ia dimintai untuk nyiapkan uang ratusan ribu, dari mana uang segitu, untuk makan saja terpaksa pinjam sana pinjam sini, kalau perlu ngutang dengan sedikit agak bohong, akhirnya KTP nya mati.
Kalaupun si “Bibi” tadi mendapat BLSM tentu akan habis sehari untuk memenuhi kebutuhan hidup. Orang yang lama ndak pegang duit, begitu ada duit, segala yang lewat dibeli, karena selama ini sudah ingin betul makan KFC, ingin betul makan bakso dan seterusnya, uang seratus lima puluh ribu rupiah hampir dapat dipastikan tidak akan dapat bertahan sampai seminggu.
Beginilah potret langsung masyarakat miskin di Indonesia, khusus di ibokota Jakarta. mereka bukan saja miskin harta tapi miskin identitas dan juga miskin akses mendapatkan pelayanan masyarakat. Adalah merupakan tugas utama bagi Gubernur baru yang terpilih nanti, untuk meniadakan kemiskinan pelayanan masyarakat.
Jalan keluar yang harus dilakukan pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan adalah memberikan lapangan kerja kepada seluruh rakyat Indonesia, supaya mereka mempunyai daya beli. Untuk lapangan kerja, masih banyak peluang pemerintah untuk membangun perkebunan di seluruh wilayah Indonesia dengan perkebunan milik negara jangan selalu mengandalkan pihak swasta atau diberikan kepada asing. Tenaga kerja adalah rakyat Indonesia sendiri, demikian juga pertambangan milik negara, perusahaan perikanan milik negara. Semua perusahaan milik negara itu untuk lapangan kerja bagi rakyat indonesia. Sehingga benar-benar seluruh kekayaan alam Indonesia dapat dimanfaatkan oleh rakyat sendiri, bukan oleh negara asing.

Tuesday 20 March 2012

BUAT CALON GUBERNUR DKI

Kalau bicara soal pengalaman, setidaknya aku udah pernah juga memimpin rakyat di DKI selama satu periode. Walau pemimpin yang paling-paling sangat amat terbawah yaitu sebagai Ketua Rukun Tetangga, dikenal dengan Ketua RT. Jadi umpama kata, mencalonkan diri jadi gubernur harus dengan syarat pengalaman leadership, sudah adalah pengalaman yang dapat dimuat dalam curiculum vitae sebagai pemimpin rakyat.
Kini bermunculan berbagai calon termasuk figur yang berpengalaman memimpin di daerah lain dan dikabarkan menuai sukses di daerahnya. Aku hanya ingin infokan bahwa cerita kehidupan di Jakarta lain dari daerah lain. Contoh kecil bila anda sukses menjadi ketua RT di daerah belum tentu “berhasil baik”, jadi RT di Jakarta.
Saya pernah dapat musibah jadi ketua RT itu satu periode, pusing belasan keliling. Salah satu masalahnya adalah soal kependudukan. Ada tujuh type pemilikan KTP di Jakarta, sampai sempat ku bikin laporan tertulis ke lurah dan camat.
Pertama, penduduk yang benar-benar warga RT.
Kedua, penduduk yang tinggal di RT kita tapi punya kartu penduduk DKI juga di wilayah lain. Ketiga, penduduk dengan KTP RT kita tapi sama sekali tidak pernah tinggal di RT itu, dulu numpang buat KTP, entah bagaimana ceritanya dulu punya KTP di RT kita. Diantaranya pernah kutanya dulu tingal di rumah mana, yang bersangkutan tak dapat menunjukkan rumah tempat pernah ia tinggal bersama keluarganya, berangsur-angsur jamanku perpanjangan tidak kusetujui kuberi surat pindah alamat ia sebenarnya sekarang. Susah kalau gini kalau ada kecelakaan atau yang bersangkutan tersangkut hutang atau berurusan dengan kepolisian.
Keempat, penduduk RT kita, pindah ke luar DKI, mereka sayang akan KTP DKI, jadi setiap perpanjangan KTP datang ke RT kita, syukurnya nyak babenya masih ada rumah di Jakarta. Kelima, pemilik KTP yang tadinya pernah mengontrak rumah di RT kita, walau rumah tersebut bukan lagi huniannya, ia masih tetap beralamat di rumah itu.
Keenam, pemilik KTP RT kita yang bekerja di daerah lain, sesekali pulang berlibur.
Ketujuh, pemegang KTP RT kita yang bersangkutan bersekolah di provinsi lain bahkan di luar negeri.
Dari tujuh type pemegang KTP ini memang tidak semua membuat pusing. Type yang paling memusingkan type ketiga, keempat dan kelima.
Periode berikutnya keluarga memutuskan aku sudah tidak boleh lagi jadi RT. Walau digadang-gadang oleh warga agar saya mau melanjutkan periode berikutnya. Warga menghendaki aku kembali menjadi ketua RT mungkin karena, mulai RT kupegang, warga tidak lagi dipungut iuran sampah, iuran kematian dan segala macam sumbangan. Sebab dropping dana dari kelurahan sudah lebih dari cukup untuk membiaya semua keperluan tersebut termasuk membiayai admnistrasi perlengkapan ke RT an. Bahkan dalam acara pertemuan warga, konsumsi dapat dipergunakan dana RT dari pemerintah daerah DKI itu. Akhir periode disamping masih punya sisa uang kas juga sanggup menyediakan monitor komputer. Di DKI pemerintah memberikan setiap RT sejumlah biaya operasional yang ketika lurah menyerahkan, diwanti-wanti uang tersebut bukan honor pengurus RT tapi biaya operasional dari RT. Itulah sebabnya uang itulah kupergunakan untuk seluruh keperluan RT dan alhamdulilah masih lebih, tidak sepeserpun berani kusentuh buat pribadi. Beruntungnya aku, bendahara dan sekretaris juga dari warga yang punya penghasilan, jadi uang dropping bulanan itu dimanfaatkan benar-benar untuk keperluan RT termasuk kalau ada acara tujuhbelasan, acara halal bihalal dan pertemuan warga di rumahku.
Menurut penalaranku bahwa uang dropping itu adalah uang yang dikumpulkan oleh pemerintah melalui pajak sudah tepatlah alamatnya diantaranya untuk mengelola pemerintahan yang paling bawah yaitu RT. Jadi tidak perlu lagi warga dibebani iuran sampah, sumbangan sosial kematian dan segala macam tetek bengek sumbangan, seperti aneka kupon yang berkala diterbitkan untuk ditarik dari warga. Sikapku seperti itu memang disenangi warga, tapi rupanya dapat komentar miring juga, dari kalangan tertentu di RT lain, bahkan ada isu yang masuk, bahwa waktu itu, aku dinilai RT yang sok. Nggak apa-apa setidaknya penggantiku sampai sekarang juga tidak memungut iuran-iuran mengikuti jejakku. Sebelum ke RT an-ku, rajin sekali pungut sumbangan dari warga, selain bila warga minta surat keterangan sepertinya ada kewajiban memasukkan uang kas. Tujuh belasan, acara-acara keagamaan, kebersihan, kematian dan lain-lain list sumbangan.
Kembali ke soal pemilihan gubernur DKI, para calon sudah mendaftar 19 Maret 2012. Siapapun terpilih menjadi gubernur DKI memang penuh dengan berbagai problematik diantaranya soal banjir, macet dan bangunan liar.
Banjir, salah satu penyebab banjir adalah kurang terurusnya drainase dan perawatan saluran air alias got. Contoh sangat kecil, waktu aku jadi RT saluran air di depan rumahku ada, tapi setelah jarak kurang dari satu tiang lampu listrik PLN dibelokkan ke belakang mengikuti jalan sekira 2 tiang lampu PLN, baru dibelokkan lagi menuju kali. Atas perkenan pemerintah usul kami membuat saluran air langsung lurus ke kali tanpa belok-belok, banjir tidak lagi pernah menggenangi rumah di belakang rumah kami. Untuk kebersihan saluran, kami buat penyaring sampah ditempat strategis di depan gorong-gorong dan sampah di jaring besi buatan kami itu selalu diangkat agar air lancar. Kalau sampah tidak disaring, ia akan menyumbat gorong-gorong itu membuat banjir. Rupanya kunci tanggulangi kebanjiran adalah saluran pembuangan air harus seimbang dengan perkiraan datangnya air. Biayanya cukup dengan biaya dropping dari pemda DKI tersebut. Asalkan jangan ada korupsi sejak dari tingkat pemimpin rakyat paling bawah sekalipun sampai ke atas.
Macet, sudah benar angkutan masal bus way dilaksanakan, cuma masih perlu diperbanyak, jangan sampai antri terlalu-lalu. Jadi akhirnya oang yang punya kendaraan pribadi jadi kapok naik bus way. Udah nunggunya laaaamaa sekali. Begitu bus way datang ndak dapat ikut naik, kalaupun naik berdempet-dempet. Memang kalau bukan jam sibuk kadang bus way kosong. Untuk mengatasi hal ini dapat diatur, pada jam padat jumlah diperbanyak kalau perlu bus way nya konfoi. Waktu mulai jam kosong diperjarang. Jika lebih nyaman naik bus way tentu orang yang punya kendaraan pribadi juga naik bus way. Untuk mengatur ini warga diberi nomor pengaduan langsung gubernur ditempel di halte-halte (tentu ada petugas yang ditunjuk untuk menjewer operator bus way) dalam sekian menit tidak direspon dapat mengadu kelebih atas lagi sampai langsung gubernur. Satu lagi yang perlu dipertimbangkan di halte-halte bus way tertentu, disediakan parkir umum yang aman. Jadi penduduk yang akan menuju ketempat pekerjaan naik kendaraan sendiri dari rumah ke halte terdekat, pakai mobil atau pakai sepeda motor parkir di dekat halte bus way, melanjutkan perjalanan ke tempat kerja atau ke tempat urusannya dengan menumpang bus way. Ini akan banyak mengirit bahan bakar, mengurangi kendaraan berada di jalan raya tentunya akan banyak mengurangi kemacetan.
Bangunan liar. Menyoal yang satu ini seperti yang saya lihat selama diam di Jakarta sejak usia duapuluhan sampai KTP seumur hidup bahwa: Kalau di satu tempat di pinggir jalan misalnya, didirikan gubuk sederhana, untuk jualan, mereka yang berwenang membiarkan saja dan bahkan datang menarik retribusi. Si kreatif yang membuat kios tersebut merasa aman sudah bayar retribusi dan merasa tidak dilarang. Lantas membangun yang agak permanen dikit dan seterusnya, setelah tumbuh subur/besar barulah digusur. Jangankan manusia, pohon saja kalau sudah tumbuh besar baru ditebang, sekurangnya akan banyak risiko dan sampahnya. Coba kalau gubug baru berdiri langsung didatangi dengan memberitahukan itu dilarang, kalau tidak mau dilarang langsung diangkut, belum begitu banyak rugi yang bersangkutan. Ini kembali terpulang kepada aparat. Terpulang kepada keteladanan atasan, keteladan untuk tidak korupsi, supaya tidak ada alasan yang dibawah, “kita cuma korupsi sedikit yang di atas lebih banyak lagi”
Selamat berkompetisi para calon gubernur DKI, siapapun anda bila jadi pemenang jangan pasang niat kalau saya jadi gubernur akan mengembalikan modal. Anggaplah kalau anda maju jadi calon sudah mengeluarkan modal, modal itu untuk investasi akhirat anda dan untuk mengukir nama baik anda selama hidup. Sudahlah, kalau anda dicalonkan oleh partai, jangan ada janji harus setor ngopeni partai, percayalah; partai dihidupi dengan uang haram lambat atau lekas pasti akan menjadi partai buram. Kalau anda maju pakai bandar, kalau jadi nggak apa kali janji ke bandar ndak ditepati asal anda menepati janji ke rakyat. Yakinlah bahwa bandar akan malu sendiri untuk nagih, tapi yang namanya rakyat nggak tau malu menagih janji.

Sunday 18 March 2012

Sebuah khayalan: MERANCANG NEGARA DEMOKRASI TANPA PARLEMEN

Pengaruh siaran televisi memang dirasakan sangat besar bagi perkembangan kecerdasan anak-anak kita dewasa ini. Kemampuan anak-anak berbahasa Inggris mereka semakin baik, dengan sering menonton film berbahasa Inggris, banyak istilah yang terangkai dengan sendirinya sehingga mereka mengerti. Tayangan menarik berbagai ilmu pengetahuan membuka cakrawala mereka. Tidak kurang berita mengenai bagaimana negara ini dikelola, juga dikonsumsi oleh anak balita.
Tak heran cucu kemenakan saya bertanya apa gunanya si DPR. Bagaimana negara ini kalau tanpa DPR. Wah sungguh pertanyaan sulit untuk dijelaskan, apalagi saya kebetulan bukan orang politik. Mengapa mereka bertanya begitu, mungkin lantaran kelihatannya peralatan negara yang bernama DPR itu keseharian memang tidak kelihatan tugasnya. Yang ditayangkan TV cuma debat-debat, tukar pendapat seperti bertengkar, di dalam ruangan besar, pidato, mereka berpakaian rapi. Ada sederet orang di meja dibuat tinggi dihadapan sejumlah banyak orang ditempat duduk yang kursinya besar-besar. Salah seorang di deretan paling depan didekat tangannya ada palu.
Kucoba menjelaskan ke cucu kemenakanku pertanyaannya yang pertama tentang tugas DPR. Dengan mengumpulkan referensi dari koran dan majalah serta mbah “Google” kudapat juga menjelaskan kepada si bocah bahwa tugas DPR itu, ala kadarnya sekira masuk dalam alam nalar anak belum akil baligh, tugas DPR adalah:
Legeslasi; tugas membuat undang-undang, dengan undang-undang negara ini diatur oleh penyelenggara negara dan ditaati oleh seluruh rakyat dan masyarakat/penduduk di suatu negara. Termasuk mengubah/memperbaiki undang-undang yang sudah berlaku baik sejak zaman lampau, kadang zaman-zaman kini karena kurang sesuai dengan kepentingan pihak yang lagi mayoritas di DPR, juga diubah. Dengan demokrasi, suara orang banyak, merekalah berkuasa dan di anggap benar. Andaikan pihak mayoritas berpendapat air laut di Indonesia itu kurang asin, sehingga perlu impor garam, maka meskipun sesungguhnya air laut Indonesia asin, itu salah, sebab tidak didukung mayoritas. Tujuan pembuatan seluruh undang-undang adalah untuk keamanan, ketertiban dan kelancaran segala pengelolaan kehidupan berbangsa dan bernegara agar bangsa ini tetap berlangsung hidup berjaya.
Anggaran, menyetujui anggaran yang dirancang oleh pemerintah pusat dan daerah untuk membangun negeri ini, bermuara pada kemakmuran, kesejahteraan, ketentraman seluruh rakyat Indonesia. Sejalan dengan tujuan negara ini didirikan, untuk kepentingan seluruh rakyat. “O ya anggaran itu apa “Tuk” (panggilan kakek bahasa daerah singkatan dari DATUK). Sela cucu kemenakanku. Langsung ku jawab: “Anggaran itu duit untuk belanja membiayai negara ini”.
Pengawasan, pelaksanaan undang-undang, penggunaan anggaran yang telah disetujui DPR itu diawasi pelaksanaannya agar tidak terjadi penyimpangan, supaya tercapai tujuan mensejahterakan rakyat yang katanya mereka adalah wakilnya itu.
Untuk ketiga tugas itu mereka di Gaji dari uang yang dihimpun dari rakyat berupa iuran disebut pajak dan pendapatan negara bukan pajak. Gaji per anggota DPR saban bulan konon seorang lebih kurang Rp 50 jutaan.
Jumlah anggota DPR 560 orang jadi sebulan untuk gaji anggota DPR saja, negara harus keluar 560 x Rp 50 juta = Rp 280.000.juta (apa benar ya perkalian saya) tapi ndak apalah hanya menjelaskan buat cucu kemenakan ini. Belum termasuk biaya study banding yang identik dengan pelesiran itu dan segala macam fasilitas.
Yang sulit menjawabnya, bagaimana kalau tanpa DPR apakah negara ini jalan atau tidak. Mungkin ada pembaca yang dapat menjawab; “jalan”. Sebab ada juga negara tapi bukan negara demokrasi tidak ada parlemen tapi negaranya makmur. Ada mungkin pembaca yang keberatan sebab kita harus tetap dalam negara demokrasi, suatu model negara demokrasi haram hukumnya tanpa parlemen. Yang lain lagi berpendapat bagaimana kalau tugas-tugas dan fungsi parlemen dialihkan ke pihak lain, sehingga tanpa DPR pun negara ini jalan. Justru dapat menghemat anggaran sejumlah Rp 280 ribu juta seperti hitungan di atas per bulan dan dapat pula melancarkan kebijakan pemerintah sebab ndak perlu takut DPR tidak setuju.
Fungsi legeslasi bagaimana kalau dialihkan ke perguruan tinggi, biar perguruan tinggi, para cerdik pandai ilmuan perguruan tinggi merancang undang-undang yang sesuai dengan norma keilmuan dan aspirasi masyarakat. Sebelum suatu undang-undang diputuskan untuk diundangkan, dipublikasikan melalui media dan internet, untuk mendapatkan tanggapan seluruh rakyat dengan batas waktu tertentu. Setelah masuk seluruh pendapat rakyat kembali dengan kaidah demokrasi diputus atas dasar pendapat rakyat yang paling banyak.
Fungsi anggaran, bagaimana kalau disusun dari bawah; mulai dari RT, RW Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten dan Provinsi; mengajukan anggaran pembangunan. Setiap instansi pemerintah mengajukan anggaran belanja pegawai dan pengadaan keperluan operasional. Kemudian rekapitulasi anggaran itu disetujui oleh pemerintah setelah melalui pendapat rakyat dari suara terbanyak melalui internet dan media.
Fungsi pengawasan, dilakukan oleh partai, lembaga sosial masyarakat, organisasi masyarakat dan kalangan pers. Porsi kewenangan masing-masing ditetapkan berdasarkan undang-undang, bagaimana pengaturannya saya tidak tau. Kita atur nanti kalau konsep ini di O.K.
“Lantas pemilu apa tetap ada; Tuk” tanya si bocah. “Jelas masih ada Cuk”, jawabku segera. Itu syarat negara disebut demokrasi harus ada pemilu, walau bagaimana caranya jujur adil atau penuh tipu daya, sogok dan suap, itu soal lain. Tapi menurut Datuk pemilu ndak usah 5 tahun sekali, boros, banyak uang negara dihabiskan. Toh sudah jadi kelaziman orang yang dipilih 5 tahun ndak puas jadi Bupati, jadi Gubernur atau jadi Presiden seringnya juga ngulang lagi, kalau ndak dibatasi sejak tumbang ORBA mungkin mau terus. Jadi udahlah dilanjurkan saja sepuluh tahunan sekali, jadi tidak dua kali kerja, dapat ngurangi ongkos. “Eee tunggu dulu” sela kemenakanku “Datuk mu pernah diangkat jadi RT satu periode; pemilihan berikut walau warga masih minta, Datuk mu ndak mau lagi, padahal RT di DKI dapat uang operasional lumayan, saban bulan”. “Mengapa datuk ndak mau” sambung cucu kemenakanku bertanya. Serba singkat kujelaskan kesulitan jadi RT di DKI antara lain banyak orang yang ber KTP hanya numpang alamat. Risikonya lumayan berat kalau yang bersangkutan tersangkut hutang atau kecelakaan lalu lintas.
Yang dipilih rakyat langsung adalah Persiden, wakil biar dia cari sendiri. Kepala Kehakiman juga baiknya dipilih rakyat, biar sama tinggi dengan Presiden. Demikian juga Kepala Jaksa, Kepala Polisi. Menteri pembantu Presiden tetap dipilih Presiden, sedangkan hakim-hakim diseluruh daerah dipilih hakim pilihan rakyat itu, juga Jaksa di daerah dipilih Jaksa terpilih. Anggota kepolisian direkrut dari rakyat dengan pendidikan dan pelatihan sebagaimana mestinya. Pengangkatan Kepala polisi di daerah oleh Kepala Polisi pilihan rakyat itu. Dengan demikian Presiden, Hakim, Jaksa dan Polisi punya kedudukan yang sama hasil pilihan rakyat hanya tugasnya saja berbeda-beda.
Begitu angan-angan Datuk, dari pertanyaan cucuk yang masih belum akil baligh itu. Untunglah negara ini negara demokrasi, jadi kalau cuma berkhayal boleh-boleh saja. Tentu ini khayalan tidak berdasar dan juga khayalan oleh bukan seorang ahli ilmu politik, tapi boleh kan. Anda pembaca boleh setuju-boleh juga tidak, boleh mengomentar boleh dicuekin aja.
Demikian Khayalan Datuk yang belum punya cucu sendiri, menjawab pertanyaan cucu kemenakan yang sering nonton televisi.
Siapa tau bahwa ada negarawan yang tertarik pada konsep ini, atau ada negara luar yang ingin coba konsep bernegara demokrasi tanpa parlemen, seperti ide ini. Boleh jadi seluruh rakyat Indonesia yang jadi facebooker ngomentari setuju dengan ide ini, lumayan sudah banyak juga bangsa ini yang jadi facebooker mungkin sudah ratusan juta. Kalau banyak yang setuju, mari kita coba wujudkan model negara demokrasi tanpa parlemen, jangan-jangan ini cara menjadi jalan gentas dan pintas untuk mencapai masyarakat adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan, aman dalam kenyamanan dan nyaman dalam keamanan.


Friday 16 March 2012

BAWEL

Kehidupan di Jakarta, jauh sangat beda dengan kota lain di Indonesia,apalagi di kampungku di luar Jawa. Di Jakarta orang bisa dengan cepat menjadi sukses dan dilain keadaan orang sulit untuk bertahan hidup. Apalagi kalau sebentar lagi BBM naik, jelas sudah, bagi yang hidupnya sulit bertambah sulit. Tapi bagi yang sudah menemukan jalan hidup yang tepat, tetap saja dengan cepat menyesuaikan diri.
Salah satu sisi kehidupan di Jakarta adalah sangat menonjol bermasalah “Papan”, kalau sandang dan pangan tidak seberapa masalah.
Sandang, sudah lama kita tidak lihat profil pengemis/pengamen yang era tahun enampuluhan suka digambarkan dalam karikatur sebagai sosok yang compang camping. Kini tak seorangpun pengamen dengan pakaian yang sobek, kecuali yang memang sengaja dibuat sobek, seperti celana jean justru konon anak muda sekarang berpandangan lebih keren jika sobek di lutut.
Pangan; makan di Jakarta orang dapat memilih dari yang paling mahal sampai yang paling murah, hanya dengan 2 ribu rupiah (sekarang/tentu sblm BBM naik), sudah dapat sekali makan. Saya ingat ketika masuk Jakarta tujuh puluhan, dengan Rp 15 sudah dapat nasi dengan tempe sedang teh tawar sepuasnya gratis. Begitulah saat sekarang soal makan, pengamen terganjal perutnya setiap hari, Insya Allah sekurangnya dengan pola dua kali makan.
Soal “papan” memang bermasalah, banyak suami isteri yang anaknya kebetulan banyak, menempati kediaman dengan type 3S yaitu (sangat, susah, selonjor). Ruangan 2 x 3 atau 3 x 4 dihuni lebih dari enam orang jadi rasionya ada yang 1 dan ada 2 meter persegi seorang. Disitulah kompor, disitu pula kopor. MCK ikut punya umum.
Oleh sebab itu maka bila seseorang punya kamar lebih di rumahnya, tergelitik hatinya untuk menjadikan kamar tersebut sebagai tambahan belanja.
Tersebut seorang ibu setengah tua sudah ditinggal suami dengan 3 anak. Dua anak yang tua sudah berumah tangga sendiri dan sekaligus berumah sendiri-sendiri, ngontrak rumah, orang Jakarta bilang sebagai “kontraktor”. Tinggallah siibu dengan seorang anaknya yang sudah duduk di kelas dua SMA dirumah peninggalan almarhum. Rumah peninggalan almarhum suaminya lumayan, meskipun di dalam gang yang hanya dapat dilalui sepeda motor. Tiga buah kamar ukuran 3 x 3 di rumah ibu itu, dulunya sebuah untuk dia dengan mendiang suami, sebuah untuk anaknya yang lelaki dan sebuah lagi untuk dua anaknya yang perempuan. Anak tuanya yang lelaki dan anak kedua yang perempuan seperti disebut di atas sudah jadi “kontraktor”. Sekurangnya ada satu kamar kosong di rumah itu, kalau dioptimalkan mestinya ada dua, sebab si bungsu bisa saja ikut sekamar dengan ibu. Tapi si bungsu ndak mau sekamar dengan ibunya, sebab banyak juga buku-buku dan biar lebih terjamin privasinya.
Alhasil di depan rumah ditulis dengan print-prinan komputer “Terima kos untuk wanita”. Tapi sudah berbilang bulan belum juga ada seorang wanitapun yang ingin kos di rumah itu, ada beberapa karyawati survey minta, mereka ingin membawa teman sekerjanya, perlu lebih dari sekamar. Suatu hari seorang lelaki bawah tigapuluhan datang ke rumah dan ingin mencari kamar kos. Ia seorang karyawan servis AC. Semula bu Raihana tidak mau menerima pemuda itu, lantaran agaknya “saru” di rumah mereka berdua, perempuan janda walau sudah setengah tua dan anak perempuan masih remaja. Tapi bu Enjeng tetangga samping rumah ngasih referensi, “sudahlah terima aja dari pada kosong”. Lagian pemuda itu adalah kawan dari kawan anaknya bu Enjeng sesama montir AC.
Tau-tau ndak terasa pemuda “Jajang” sudah lebih tiga tahun menghuni kamar kos bu Raihana, dengan tak disangka, lama kelamaan “jajang” tertarik pada si “Ezi” anak bungsu bu Hana. Setamat SMA “Ezi” lengkapnya bernama “Neziana”, bekerja di salah satu toko serba ada. Singkatnya kedua insan serumah itu dipersatukan dalam ikatan pernikahan. Dapat tigabulan Jajang tidak lagi bayar kos bulanan ke bu Raihana tapi berubah menjadi belanja rumah tangga. Keadaan tersebut tidak berlangsung lama, pasangan muda ini memutuskan untuk mengontrak rumah yang berseberangan melenceng sedikit beberapa pintu dari rumah bekas kos pengantar jodoh mereka.
Iseng-iseng ada saja yang usil menyelidiki, kenapa selama lebih dari tiga tahun selama kos tinggal serumah, setelah menikah malah pergi. Ibu Raihana buka kartu bahwa mantunya tidak kerasan karena katanya “saya bawel”. Tetangga mendengar pengakuan polos itu ter kekeh-kakeh ketawa, begitu lama Jajang menahan “bawel” setelah yang dia maui didapat rupanya tidak dapat lagi menahan “bawel”.
Bawel, menurut kamus umum bahasa Indonesia susunan W.J.S. Poerwadarminta diartikan cerewet, suka mencela. Mungkin juga termasuk suka ngomel. Melihat apa saja, dikomentari negatif, jauh dari komentar positif. Itu yang membuat mantu tidak tahan.
Rupanya anak sendiri dengan mantu bagaimanapun sangat berbeda. Anak sendiri seperti apapun bawelnya bapak atau ibunya itu dia sudah terbiasa sejak bayi sampai dewasa, dapat dikatakan sudah immun. Sedangkan mantu tidak biasa mendengar ke “bawelan” itu, maka ia tidak tahan. Walau waktu akan menikah sudah berjanji bahwa bagaimanapun keadaan bapak/ibu mertua akan menganggap orang tua sendiri.
Ini ada beberapa tip penting untuk mertua dan mantu
Untuk para mertua:
1. Pepatah tua “pukul anak sindir menantu”. Ini pesan tetua kita dulu, dinasihatkan oleh pepatah itu kalau marah ke menantu jangan langsung, tapi melalui anak. Sebab anak kita sendiri bagaimanapun dimarahi dia tidak akan dapat memutuskan hubungan biologis dengan orang tuanya. Lagi ada pepatah “Tetak air tak kan putus”. Air biar di tetak di bacok dengan pedang yang bagaimanapun tajamnya tidak akan pernah putus, begitulah perumpamaan orang tua dengan anak, bagaimanapun tajam perkataan orang tua, tidak akan memutuskan hubungan antara anak dengan orang tua.
2. Jika dalam keadaan sudah tidak tertahan benar marahnya kepada menantu, tinggalkan rumah cari angin segar diluar. Pernah dicontohkan Rasulullah Muhammad s.a.w. ketika mendapat jawaban dari Ali (menantu) dalam konteks ditanya tentang shalat malam (lihat blok saya judul “Delapan Sikap ORTU Terhadap Anak” tgl 28 Desember 2009). Penulis blog ini juga termasuk yang belum dapat menjalani contoh itu, tapi berusaha boleh kan.
3. Kalau keadaan tidak memungkinkan untuk keluar, misalnya sakit, atau cuaca buruk, maklum orang sudah berumur, tidak tangkas lagi, tidak dapat pergi disembarang cuaca. Pilihan cukup bijaksana masuk kekamar berbaring, atau segera berwudhu atau apa saja alihkan perhatian. Semoga anda sanggup.
Untuk para mantu:
Bagi mantu yang tinggal di rumah mertua, ikut suami atau isteri. Sadarilah bahwa anda berada di rumah bukan rumah orang tua anda sendiri. Baik-baiklah membawa diri, ikuti kebiasan dan aturan di rumah baru anda. Ketahuilah bahwa setiap rumah tangga punya aturan yang sedikit banyak ada perbedaannya. Misalnya soal yang kecil-kecil saja: makan, minum, bangun tidur, menyala dan menghidupkan lampu, menyetel radio dan televisi. Saat akan meninggalkan rumah dan datang ke rumah.
1. Makan, ada keluarga bilamana makan dilakukan secara bersama-sama di meja makan atau menggelar tikar di lantai. Seluruh anggota keluarga makan pada waktu tertentu utamanya makan malam, atau makan siang di hari libur. Ikuti itu jangan kita mentang-mentang di rumah kita dulu anak dimanja, makan minta diambilkan oleh suami atau oleh isteri dibawa ke dalam kamar. Hal ini menjadi cacat bagi mertua, lama-ama mengendap mengkristal akan meledak jadi marah besar kalau saatnya tiba. Selesai makan bila awak adalah isteri, tolonglah berpartisipasi meringkas bekas tempat makanan, seperti piring dan gelas. Kalau di rumah mertua tidak ada pembantu apa salahnya ikut mencuci piring dan gelas, sekurangnya kepunyaan diri sendiri dan suami. Walaupun ada pembantu rumah tangga lakukanlah sebisanya untuk berpartisipasi merapikan bekas peralatan makan.
2. Minum, ada keluarga yang minuman disediakan diruang makan, sekarang dilengkapi dengan galon dan dispenser. Adalah normal bila sehabis minum gelas sendiri ditutupi dan jika ingin dipakai ulang diletakkan dan ditandai supaya tidak berjejer bekas gelas minuman diri kita, sangat tidak etis bila minum dibawa ke kamar tidur kalau siang hari, kecuali malam siapkan minuman dalam gelas dibawa ke kamar.
3. Bangun tidur. Keluarga yang taat beribadah, sebelum subuh ia sudah bangun, dan berangkat ke masjid dikala atau sebelum azan subuh. Ikutilah perbuatan mertua, jangan jutru mertua terus menerus saban subuh mengetuk pintu untuk membangunkan shalat subuh. Setelah bangun dan akan berangkat ke pekerjaan, rapikan kamar tidur cabut semua peralatan listrik dan off kan semua peralatan elektronik. Bila anda melakukan tidak seperti itu, anda menyemai benih kebencian mertua setiap hari, lama kelamaan mertua tidak akan dapat menahan marahnya kepada anda.
4. Menyala dan menghidupkan lampu. Banyak keluarga yang disiplin hemat akan aliran listrik, ruangan yang tidak sedang digunakan listriknya dimatikan. Bila anda membiarkan terus menerus ruangan kamar mandi misalnya lampunya terus menyala padahal sedang tidak ada orang di dalamnya, mungkin sehari dua tidak mengapa, lama kelamaan mertua kesal dan kebiasaan bawelnya akan keluar. Begitu juga televisi dihidupkan terus walau orangnya sedang keluar kamar menuju acara makan, dengan suara yang besar pula. Inilah merek mantu yang siap didamprat oleh mertuanya.
5. Waktu berangkat, ke tempat pekerjaan adalah standar pamit demikian pula ketika datang memberi salam dan ucapkan sepatah dua kata yang ringan misalnya kalau pulang berita di tempat pekerjaan, kalau berangkat apakah ada sedikit pesan atau minta apakah mertua ada pesan saya hari ini mau ke anu (tempat tujuan) dan lain sebagainya.
6. Terakhir yang tak kalah penting adalah dapat membaca air muka mertua, apakah ada yang mereka kurang berkenan. Tanyakanlah ke suami atau istri anda bagaimana kebiasaan di rumah itu. Anda tidak boleh mengatakan “saya maunya begini, mau terima syukur tidak mau terima sudah”, sadari bahwa anda di rumah orang bukan rumah sendiri, jadi bukan anda yang buat aturan, tapi rumah itu yang aturannya perlu anda ikuti.





Monday 12 March 2012

KUNCI MEMILIH PROFESI

Guru saya menjahit, pernah berkata padaku bahwa “orang itu kalau banyak pengetahuan hidupnya akan susah”. Sering kumampir sepulang sekolah di kios penjahit di pasar kota kelahiranku, suatu ketika kukemukakan keinginanku untuk belajar menjahit pakaian, disaat itulah beliau mengucapkan Kalimat hikmat tersebut. “Ndak apa-apa Pak Long, saya kepingin pandai menjahit pakaian”, “Udahlah kau rajin-rajin aja belajar, banyak ilmu pengetahuan didapat dari sekolah”. Sahut Pak long Zaini penjahit terkenal dikampungku. Aku tidak mau membantah statement guruku tersebut, untuk kali itu dialog terhenti agar tidak terlalu mengganggu beliau sambil menggunting kain di atas meja potong dan sesekali memberi instruksi kepada anak buah penjahit di kios mereka.
Beberapa hari lagi kuulangi lagi bertemu dengan guruku itu, untuk mengemukakan hal yang sama, kali ini ia masih menolak keinginanku menjadi muridnya dengan alasan “penjahit itu salah-salah sering bohong”.
Keinginanku untuk belajar menjahit, dengan niat sebagai ketrampilan tidak surut, akhirnya Pak Long penjahit terkenal di kampungku itu menerima juga aku jadi muridnya, setiap pulang sekolah di SMA. Singkat cerita akupun mulai belajar sesuai prosedur, mulai dari menjahit lurus, sampai akhirnya dapat menjahit pakaian. Ketrampilan itu kuteruskan lagi dengan kekhususan menjahit segala macam topi dari guru lain. Benar juga besar sekali manfaatnya, belum selesai kusekolah di SMA dengan seorang teman lebih tua dariku yang tidak sekolah lagi kami berhasil membuat kios penjahit dan mendapatkan borongan jahitan seragam Pramuka dan pakaian Hansip. Waktu itu mendapat proyek belum seperti sekarang, langsung dari pihak pemberi pekerjaan dapat order, mungkin belum banyak pesaing. Kepada pemberi kerja juga ndak perlu nyisihkan “uang terimakasih” untuk ngegolkan proyek. Seingatku tidak pakai tender, boleh dikata penunjukkan langsung, tapi tidak ada rekayasa. Barang kali di pergaulan bisnis waktu itu belum ada “ilmu rekayasa” diajarkan.
Pengetahuan menjahit itu ternyata sangat bermanfaat, ketika kutinggalkan kampung halaman di awal perantauan sebelum mendapatkan pekerjaan tetap, di rantau ternyata ketrampilan itu sangat bermanfaat. Singkat cerita di rantau aku diterima bekerja di penjahit, kebetulan bulan puasa. Bermodalkan ketrampilan menjahit, dapat tumpangan rumah dan berpenghasilan, sambil mencari pekerjaan lain yang lebih prospektif. Karena sejak semula niat bukan dipasang untuk menjadi penjahit.
Di bawah tahun 70an tenaga kerja masih sangat dibutuhkan oleh berbagai instansi dan institusi, Di rantau hanya kurang lebih sebulan memanfaatkan ketrampilan menjahit, sudah dapat bekerja menjadi penyiar RRI., wartawan beberapa surat kabar dan wartawan kantor berita LKBN Antara. Begitulah perjalanan hidup sampai akhirnya alih profesi lagi menjadi pegawai bank. Belum habis kilasan hidup ini, mungkin sekarang terminal akhir sebagai dosen setelah pensiun jadi pegawai bank.
Kini kurenungkan kata-kata guruku menjahit disitir di atas yaitu “orang banyak pengetahuan hidupnya susah”, ternyata ada benarnya yaitu kata-kata hikmah guruku itu. Seseorang yang banyak pengetahuan itu bila ia tidak menekuni satupun dari kemampuannya dengan sungguh-sungguh, hidup ini akan susah. Sebab-sebabnya adalah:
Pertama, bila suatu ketika suatu bidang pekerjaan sedang terlihat banyak menghasilkan, yang bersangkutan karena punya kemampuan untuk mengerjakan pekerjaan itu lantas pindah, meninggalkan pekerjaan lama. Begitu seterusnya pindah-pindah terus menerus.
Kedua, keahlian yang bersangkutan, tidak terbentuk menjadi betul-betul ahli, tidak menjadi seorang profesional, karena tidak fokus, serba tau memang, tapi tidak pakar.
Ketiga, pekerjaan jadi media untuk coba-coba, sedang urusan coba-coba dalam hidup ini memang boleh, tetapi harus ada batas, dikarenakan manusia punya keterbatasan usia. Kalau terus lompat sana lompat sini untuk coba-coba maka usia akan habis sementara percobaan tak habis-habis tapi serba setengah-setengah.
Sekarang ini keadaan menuntut keahlian khusus. Misalnya ahli mengenai serangga, seseorang mengkhususkan keahliannya pada serangga hanya Rayap, dan lebih khusus lagi Rayap hanya Rayap rumah, dan lebih sangat khusus lagi adalah Rayap rumah kosong, hanya Rayap rumah kosong. Ada lagi misalnya ahli unggas, yang dipilih unggas jenis burung, dikhususkan lagi burung khusus Bangau, burung Bangau khusus yang hidup di sawah, lebih khusus lagi Bangau hidup di sawah yang betina. Peng-khususan memang membuat seseorang sangat ahli, tetapi kelemahannya adalah bidang lain selain yang ditekuni si ahli, ia menjadi tak paham, sampai-sampai kalau di tanya soal burung Bangau jantan yang ahli Bangau betina tak begitu mengerti.
Dalam hidup ini sepertinya jodoh-jodohan atau cocok-cocokan juga soal bidang usaha untuk penghidupan. Sayang kita tidak mengetahui bidang apa yang cocok buat kita sejak dini. Maha benar Allah yang menghidupkan kita telah mengatur sedemikian rupa setiap orang cocoknya di mana, kalau tidak diatur demikian, maka hidup ini akan seragam, tidak saling melengkapi. Makanya ada yang berprofesi sebagai tentara, siap mengamankan negara dari ancaman musuh. Ada yang jadi polisi pengayom masyarakat melindungi rakyat dari gangguan keamanan dan ketertiban. Ada yang jadi guru, dan dosen yang mencerdaskan kehidupan anak negeri untuk kelangsungan kejayaan bangsa. Ada yang jadi pedagang agar terpelihara kebutuhan hidup. Ada yang jadi pegawai negeri sipil melayani adminitrasi pengurusan rakyat. Ada yang jadi dokter menjaga kesehatan masyarakat. Pokoknya berbagai profesi saling membutuhkan. Bayangkan kalau seorang menyandang beberapa profesi yang disebutkan tadi sekaligus, tentu akan susah hidupnya. Paling tidak menjadi repot sendiri.
Soal pemilihan bidang usaha itu benar-benar nasib-nasiban. Ada orang yang sukses jual cendol, sanggup menyekolahkan anak-anaknya hampir selusin semuanya jadi sarjana. Orang lain mungkin lihat pedagang cendol berhasil, ingin ikutan, belum tentu sukses.
Saya menyaksikan pedagang yang tadinya jualan makanan ringan, kue-kue kering dan kue basah, tidak sukses bahkan makin hari makin merosot hampir bangkrut, lantas kiosnya diganti jual pepaya, rupanya setelah jualan pepaya sukses besar.
Kalau sudah sukses menekuni suatu bidang, tekunilah bidang tersebut sampai menjadi benar-benar ahli. Untuk menjadi benar-benar ahli, tekuni bidang yang telah anda pilih.
“Jadi kunci sukses adalah tekuni keahlian anda”
Buat pemuda yang kini masih mencari-cari jatidiri, apa sebenarnya bidang kegiatan yang paling cocok buat diri, tip yang mungkin perlu dipertimbangkan adalah:
• Tetapkan lebih dari beberapa rencana profesi apa yang akan ditekuni, sesuai potensi yang anda miliki.
• Boleh melakukan percobaan untuk beberapa profesi alternatif dengan prioritas profesi mana diantara profesi yang dicoba tersebut paling disukai diri dan paling diterima masyarakat.
• Buat tonggak-tonggak batas tahun terakhir uji coba, dikaitkan dengan usia sampai kapan percoban harus sudah berhenti.
• Setelah sampai ditonggak tersebut tekuni profesi yang paling disukai diri sendiri, dan diterima masyarakat serta menjamin kehidupan. Percayalah profesi apapun yang kita jalani asal masih dalam koridor ketentuan Allah dan selaras dengan ketentuan masyarakat maka insya Allah akan mengantarkan kita ke gerbang kesuksesan dunia dan akhirat.
• Kadang suatu profesi terpaksa kita tekuni walau sesungguhnya bukan pilihan utama kita, tetapi tekunilah jika profesi itu menjanjikan jaminan hidup, setelah pada posisi tonggak terakhir batas uji coba. Ketahuilah bahwa yang tidak begitu kita sukai belum tentu tidak baik buat kita dan sebaliknya yang kita sukai belum tentu baik buat kita.




Saturday 3 March 2012

TERSURAT KARENA BUAYA

Tersebut seorang Raja yang sedang betahta tetapi belum mendapatkan tanda ada putera mahkota. Sementara usia sang Raja sudah semakin renta. Raja berikut akan sulit kalau bukan putera mahkota. Tahun ketujuh Raja sudah sejak dinobatkan, belum juga ada tanda lahir seorang putera mahkota. Dengan begitu kalau Raja mangkat atau lengser akan dinobatkan Raja baru mungkin bukan dari garis keturunan langsung Raja yang bertahta saat ini, akan diangkat melalui pemilihan para bangsawan kerajaan.
Alih-alih tahun kedelapan masa tahta sang Raja, tampak tanda isteri paduka mulai mengandung, betapa sukacita seluruh negeri, karena tak akan sulit lagi memilih Raja pengganti. Sebab dengan pemilihan melalui para bangsawan, sangat dimungkinkan saling rebut pengaruh, bukan tidak mungkin mengganggu keamanan dan ketertiban di dalam kerajaan. Benar kata pepatah “Gajah sama Gajah berkelahi semut mati ditengah-tengahnya”. Lain halnya bila ada putera mahkota, walau ia masih belum dewasa, katakanlah masih anak-anak dan bahkan belum bisa berkata-kata alias masih bayi, kerajaan dapat dipimpin oleh raja sementara suatu wali negeri,sampai menunggu si bayi dewasa.
Kandungan permaisuri semakin hari berangsur syarat. Tak sabar Raja mengundang para tabib untuk merawat dan tak ketinggalan pula orang pandai didatangkan untuk meramal, apakah calon bayi lelaki atau perempuan dan bagaimana nasib keberuntungannya.
Ahli nujum kerajaan, meramalkan bahwa putera mahkota, sejak bayi sampai usia duabelas tahun akan dalam bahaya. Putera mahkota terancam dimangsa oleh Buaya. Sangat terkejut seluruh kerabat keraton mendengar ramalan itu. Sebab mereka adalah kerajaan yang tidak bisa memisahkan diri dari sungai dan laut. Justru letak keraton sendiri adanya di tepi sungai. Urat nadi perekonomian kerajaan ditentukan oleh sungai, sebab segala kebutuhan hidup dan lalu lintas niaga dan orang harus diangkut melalui sungai. Bagaimana mungkin seorang Raja pesisir nantinya tidak berhubungan dengan sungai, tempat habitat hewan bernama Buaya itu.
Raja mengadakan sidang darurat menyongsong kelahiran calon putera mahkota, tak lupa diundang para peramal kerajaan. Dalam urun rembuk pembesar kerajaan yang dihadiri juga sejumlah paranormal langganan kerajaan yang kesohor itu, setelah hampir saja menemukan jalan buntu salah seorang paranormal terkemuka “Ki Ngoceh Nguyu di Papan” mengatur sembah untuk bicara di dalam majelis tersebut.
“Ampun beribu ampun yang dipertuan Raja bertuah.
Izinkan hamba yang hina dina ini mengatur sembah.
Maafkan atas kelancangan hamba ingin bermadah.
Hamba usul begitu lahir putera mahkota diboyong pindah.

Demikian persembahan usul dari “Ki Ngoceh Nguyu Di Papan” salah satu paranormal terkemuka di kerajaan itu.

Raja yang sudah sekian lama menunggu permaisuri mengandung, kemudian setelah tua renta istri mengandung tentu dengan hati berbunga-bunga mengharapkan kehadiran bayi. Saya sendiri pernah merasakan, tentang bagaimana menerima kelahiran anak saya yang pertama. Saking bahagianya sepertinya setiap orang ketemu mau rasanya memberi orang itu berita tentang kelahiran anak saya. Benar juga waktu itu harus ke apotik duapuluh empat jam, kira-kira pukul 5 pagi, menebus obat resep dokter, buat anak saya yang baru beberapa jam lahir itu. Langsung saya ceritakan ke pelayan apotik bahwa anak saya telah lahir, lelaki, lengkap dengan panjang dan beratnya serta waktu kelahirannya. Walau si petugas apotik sepertinya sama sekali tidak menanggapi pemberitahuan itu, saya tetap saja cerita. Untung petugas apotik ndak bilang “maaf ndak nanyak”. Oleh karena itu saya maklum jika si Raja tentu gundah hatinya anak yang akan lahir tiba-tiba diusulkan pindah dengan begitu harus berpisah. Usul ini tentu berat rasanya untuk dikabulkan. Sang Raja masih ingin agar ada usul lain yang tidak memisahkan ia dengan anaknya nanti tetapi si anak dapat dijamin keamanannya dari bahaya serangan Buaya.

Lama sudah sidang kerajaan digelar namun tidak ada usul cemerlang yang keluar dari para pembesar kerajaan, dan semuanya tidak berani menjamin keamanan, sebab sudah terbayang bahwa bercermin ke anak-anak, baik bangsawan maupun rakyat biasa, kelaziman penduduk tinggal ditepi sungai. Sudah sejak kecil mainnya di air, mandi berenang di dalam sungai. Akan aneh malah, di seantero kerajaan itu, bila sorang anak sejak pandai bermain, tapi tidak pandai berenang. Kelak kalau putera mahkota sudah beranjak anak-anak, tentu ia akan minta kepada dayang, inang pengasuh dan pengawalnya ingin bermain di sungai seperti anak-anak lain, seperti anak-anak bangsawan lain kerabat kerajaan. Itulah yang dikhawatirkan oleh para punggawa dan pembesar kerajaan.

Dengan berat hati kemudian sang Raja menanyakan kelanjutan usul “Ki Ngoceh Nguyu di Papan”.

Dengan penuh hormat, ahli nujum terkemuka tersebut menyampaikan usulnya dihadapan sidang kerajaan, didengarkan dengan penuh khidmad seluruh hadirin, berucaplah dia:

“Mengungsikan putra mahkota tahun terbilang.
Hanya sampai ancaman bahaya terlewatkan.
Dengan para pengawal ke puncak gunung Gantang.
Sampai umur tigabelas, setidaknya lewat sebulan.”

Mengertilah Raja dan seluruh pembesar kerajaan bahwa pengungsian itu hanya untuk melewatkan “umur bahaya” menurut ramalan yaitu 12 tahun. Kalau sudah melewati itu diharapkan sudah tidak berbahaya lagi, untuk sipnya dilewatkan setahun tambah sebulan.

Sesuai keputusan sidang kerajaan, dengan berat hati Raja membuat keputusan dan menitahkan, agar segera persiapkan satu team pengawal untuk menemani putera mahkota dalam pengungsian nanti. Gunung Gantang yang letaknya puluhan kilometer ke arah daratan dari keraton kerajaan “Muara Bentang”. Postur gunung dari kejauhan persis seperti “Gantang” ditiarapkan (alat takaran di masyarakat Melayu, sejenis literan). Adapun ukuran “Gantang’ adalah empat “Cupak”. Satu “Cupak” empat Kaleng susu kental manis “Cap Junjung” Jadi satu “Gantang” setara dengan 16 Kaleng susu tersebut. Tapi ini hanya memberikan nama pada gunung yang bentuknya mirip “Gantang” tiarap itu. Gunung tinggi menjulang. Karena bentuknya itu gunung itu terjal, untuk kepuncaknya harus dengan membuat jalan undak-undakan berkeliling. Oleh karena itu logikanya Buaya tidak mungkin sampai dapat kesana dan memangsa putera mahkota. Beberapa bulan lagi kelahiran putera mahkota, sudah dibuat undakan jalan ke puncak gunung dan telah dipersiapkan segala fasilitas, seperti pemandian, istana kecil dan rumah tempat para pengawal, inang pengasuh.

Begitu putera mahkota meluncur ke dunia semakin yakin sang Raja akan kebenaran ramalan ahli nujum kerajaan, sebab benar saja anaknya adalah lelaki. Zaman itu peramalan belum secanggih sekarang, dimana zaman kini anak belum lahir beberapa bulan sudah diketahui lelaki atau perempuan dengan alat USG (Ultra Sonographi). Satu-satunya untuk mengetahui anak dalam kandungan kala itu adalah ahli nujum, kadang benar tak jarang meleset juga.

Berangkat dari keyakinan itu, tidak menunggu berlama-lama bayi dengan permaisuri segera dievakuasi ke gunung “Gantang”. Raja dan beberapa pembesar kerajaan sempat mengiringi rombongan mengantar sampai ke puncak gunung. Saking memikirkan pemerintahan yang harus tetap ada Raja di istana, kalau tidak, Raja mau rasanya berlama lama di istana kecil di puncak gunung Gantang. Hanya sepuluh hari, rajapun kembali ke istana di tepi sungai, untuk mengatur roda pemerintahan. Namun setiap bulan disempatkannya untuk menjenguk putera mahkota, umumnya hari Sabtu atau Minggu, ketika bulan purnama.

Hari berganti minggu, minggu menyusun bulan, bulan menyusul tahun, tidak terasa si putera mahkota yang mendapat gelar kerajaan “Tuanku Pembawa Tuah”, sudah menjelang usia dua belas tahun. Berbagai daya dan diplomasi, dilakukan para pengawal dan punggawa kerajaan untuk memberikan alasan kenapa diusia itu calon Raja belum diperkenankan untuk pergi ke istana di tepi sungai. Istana hanya dapat kelihatan dari atas puncak mahligai istana di puncak gunung “Gantang”. Pantangan dijaga secara ketat sampai saatnya nanti ke istana menggantikan ayahanda diumur tigabelas tahun lewat sebulan.

Suatu hari tiba-tiba “Tuanku Pembawa Tuah”, mengemukakan keinginannya untuk melihat hewan yang bernama Buaya. Kontan permintaan itu sangat mengagetkan ayahanda dan seluruh pembesar kerajaan, mengingatkan mereka akan ramalan belasan tahun yang lalu. Tentu saja permintaan itu tidak dikabulkan, setidaknya sebelum berusia di atas 12 tahun.

Inang pengasuh tidak kurang akal, diberikanlah contoh hewan yang bernama “Buaya” itu seperti cecak yang kebetulan banyak di dinding istana di puncak gunung “Gantang”. Adalah tukang dongeng istina “Wak Buhau” selalu berdongeng menjelang tidur, sambil memberi pengetahuan bagi calon Raja dengan berbagai jenis flora dan fauna termasuklah di dalamnya diantaranya menceritakan tentang bentuk hewan yang bernama “Buaya”. Hewan tersebut ada bergigi tidak berlidah, ekornya bergerigi hidupnya di darat dan banyak di air. Cecak yang dialihkan perhatian para punggawa kerajaan tidak memuaskan rasa keingintahuan dari calon Raja. Sebab dilihatnya Cecak berlidah, melekat di dinding dan di loteng. Katanya Buaya tidak berlidah, tubuhnya besar lebih panjang dari manusia.

Disebabkan desakan terus menerus keinginan putera mahkota, tidak tahan akan desakan itu Raja yang tak tega dan juga untuk menyenangkan hati anaknya, menitahkan ahli patung istana, untuk membuat mainan berupa patung buaya dari kayu “Pelaik”. (Sejenis kayu yang sangat ringan, mudah dibentuk, mengapung diatas air. Kayu ini tahan terhadap air, biasa dibuat tutup botol, karena sifatnya yang liut). Banyak tumbuh dihutan kerajaan “Muara Bentang”. Hutan di kerajaan ini dilestarikan belum dirambah untuk lahan kelapa sawit.
Betapa senangnya hati putera mahkota dipenuhinya keinginan itu, setiap hari ia asyik bermain dengan patung Buaya itu. Apalagi patung bisa mengapung di atas air, sesekali dibawa berenang bersama dikolam pemandian istana kerajaan di atas gunung Gantang. Selesai dipergunakan bermain, patung “Buaya” digantungkan di dinding, sampai diturunkan kembali ketika akan dipergunakan utuk bermain.

Persis diusia putera mahkota yang kedua belas tahun, diadakan upacara ulang tahun ke dua belas, dihiaslah istana dan antara lain dekorasinya patung Buaya dilekatkan di dinding persis di atas kepala putera mahkota menerima ucapan selamat. Entah apa sebabnya, mungkin ada sedikit gempa ringan ketika itu, mungkin hanya beberapa skala rekhter. Patung Buaya terpeleset dari sangkutannya dan jatuh persis menimpa kepala putera mahkota. Lantaran kejatuhan patung buaya tersebut, putera mahkota langsung jatuh sakit, selanjutnya seorang tabibpun tidak dapat menyembuhkannya dan akhirnya meninggal dunia. Jadi juga putera mahkota mati kena Buaya, walau tidak dimangsa oleh buaya benaran. Itu mungkin suratan mati harus karena “Buaya” walau hanya patung “Buaya”.

Saya pernah punya seorang teman, ketika bertugas mengawal uang di pesawat terbang kecil isi 9 orang, pesawat jatuh dan tujuh penumpang lainnya meninggal seketika, sedang teman saya ini bersama seorang anak kecil terjatuh di atas lumpur di tepi pantai dan akhirnya disadarkan oleh ombak, dapat bangun merangkak menuju pantai, walau beberapa bagian tubuhnya patah dapat tertolong oleh nelayan dan selamat dari maut waktu itu. Teman ini suka bercanda kadang di kantor seperti jatuh dari kursi atau kepleset, tapi hanya pura-pura, sekedar menghibur rekan sekantor barang kali. Beberapa tahun sesudah sembuh akibat jatuh dari pesawat terbang, suatu siang terdengar yang bersangkutan jatuh dari kursi kerjanya, lantaran sering bercanda rekan sekantor tidak begitu memperhatikan. Tetapi karena lama tidak bangun maka ada yang coba menghampirinya, ternyata beliau benar-benar sudah meninggal dunia. Rupanya teman ini ditaqdirkan meninggal karena jatuh, selamat ia jatuh dari pesawat tapi benar-benar meninggal terjatuh dari kursi.

Kisah “Mati kena Buaya” di atas hanya dongeng yang tidak terjadi sebenarnya, apalagi orang yang beriman seharusnya tidak percaya dengan ramalan orang akan masa depan. Jangankan masa depan yang jauh, sedangkan esok hari saja manusia tidak ada yang mengetahui. Allah s.w.t. mengingatkan kita :
Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok*. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Qs: Lukman 34)
* Maksudnya: manusia itu tidak dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan diusahakannya besok atau yang akan diperolehnya, namun demikian mereka diwajibkan berusaha.
Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya, meriwayatkan dari salah seorang isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:
Barangsiapa mendatangi tukang ramal lalu menanyakan kepadanya tentang sesuatu perkara dan dia mempercayainya, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh hari.
Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Barangsiapa mendatangi seorang dukun dan mempercayai apa yang dikatakannya, maka sesungguhnya dia telah kafir dengan wahyu yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan diriwayatkan oleh keempat periwayat dan Al-Hakim dengan menyatakan: Hadits ini shahih menurut kriteria Al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Barangsiapa mendatangi tukang ramal atau dukun, lalu mempercayai apa yang diucapkannya, maka sesungguhnya dia telah kafir dengan wahyu yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Abu Ya’la pun meriwayatkan hadits mauquf dari Ibnu Mas’ud seperti tersebut di atas, dengan sanad jayyid.
Al-Bazzar dengan isnad jayyid meriwayatkan hadits marfu’ dari Imran bin Hushain:
Tidak termasuk golongan kami orang yang melakukan atau meminta tathayyur, meramal atau meminta diramalkan, menyihir atau minta disihirkan; dan barangsiapa mendatangi tukang ramal lalu mempercayai apa yang diucapkannya, maka sesungguhnya dia telah kafir dengan wahyu yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Yang dapat diambil pelajaran bahwa kehidupan ini sudah ditentukan taqdirnya oleh yang maha kuasa, bagaimanapun akan terjadi sesuai taqdir itu, walau manusia tidak dapat mengetahui taqdir tersebut oleh sebab itulah senantiasa harus berusaha.
Untung dan rugi sudah tersurat
Sebelum ajal berpantang mati
Adapun ikhtiar sebagai syarat
Akhirnya taqdir akan didapati




Thursday 1 March 2012

MANGGA DAN ASAM JAWA

Sambil menunggu anak-anak kami mengikuti prosedur masuk di fakultas kedokteran UI, dengan berbagai test phisik, tentang buta warna, kesehatan sampai mencetak sidik telapak kaki, sehingga cukup lama. Kami beberapa orang tua yang mengantar anak-anak berteduh di bawah rerindangan pohon-pohon akasia tumbuh subur di lahan sekitar kampus UI Depok. Menyeletuklah seorang ayah yang anaknya juga sedang ditest: “Kenapa yang ditanam pohon akasia, bukan pohon mangga”. Sepintas komentar santai pak Adam orang tua calon mahasiswa kedokteran itu, benar juga. Andaikan benar tanaman di sekitar komplek kampus UI depok itu pohon mangga mulai saat itu saja, kini sudah beberapa kali panen mangga sebab sudah tujuh tahun lebih dari sekarang waktu obrolan itu berlangsung.
Bukan asal ngomong beda, saya tidak sependapat dengan pak Adam. “Ini sudah diperhitungkan oleh perancang kampus ini pak”, kataku dihadapan beberapa orang tua calon mahasiswa menjelang siang di halaman kampus UI Depok itu. “Jika pohon mangga yang tumbuh disini, akan terjadi keributan terus menerus setiap panen. Para pihak, termasuk mahasiswa dan mungkin juga penduduk sekitar akan memperebutkan manfaat atas buah mangga”.
Di depan rumah saya tumbuh sebatang pohon mangga, jika musim berbuah bukan main lebatnya. Seiring dengan lebatnya buah itu, keluarga kami benar-benar menjadi tidak tenang. Rumah kami di pinggir jalan di kawasan percetakan negara satu tepat perbatasan antara kelurahan Johar baru Kecamatan Johar Baru dengan kelurahan Paseban kecamatan Senen. Didepan rumah kami tidak ada tetangga, sebab setelah jalan raya langsung rel kereta api memisahkan dengan kelurahan Paseban Kecamatan Senen. Oleh karena itu tetangga hanya di kiri kanan rumah, langsung jalan raya agak rawan keamanan.
Buah mangga kami tidak pernah dijual, kalau sudah layak panen segera buah diturunkan dan dibagikan ke sekitar tetangga. Persoalannya tidak sesederhana itu, mulai dari “pencit” sudah mulai bel rumah berbunyi selang beberapa menit, ada saja yang mengaku isteri atau keluarganya ngidam, sampailah pohon gundul dari buah barulah kami dapat istirahat siang.
Sebetulnya kalau hanya gangguan ini masih dapat kami menahan diri, tapi lama kelamaan ada yang punya cara lain untuk mengambil buah mangga itu. Diantaranya ada sekelompok orang, bukan tetangga dekat, entah dari mana, tiba-tiba membawa galah dan langsung menjuluk buah mangga. Salah seorang tetangga saya yang kebetulan memergoki menegur rombongan itu, sedang kami bertepatan tidak dirumah. Yang terjadi adalah rombongan itu ribut dengan tetangga saya itu, dan mengancam yang tidak menyenangkan. Untung tidak sampai terjadi hal yang tidak diinginkan terhadap tetangga rumah saya itu. Sepulang kami ke rumah mendapat informasi lengkap dari beberapa tetangga.
Kala itu, kami masih dapat bertahan, karena sisa buah mangga yang masih ada tanggung untuk diturunkan. Beberapa hari kemudian datang lagi serombongan orang dengan membawa batu melempari buah mangga. Lemparan batunya diantaranya memecahkan genteng tetangga dan ada diantara batu yang nyasar ke mobil di parkir di depan rumah tetangga.
Itu rupanya sebabnya di zaman penjajahan Belanda pohon “Asam jawa” yang dipilih pemerintah penjajah untuk penghijauan di perkotaan dan sepanjang jalan. Sampai sekarang kita masih dapat saksikan di sepanjang jalan di pulau Madura, dari Surabaya sampai Banyuwangi, sepanjang pantura, dan juga di sebagain jalan di Jakarta.
Komentar anak saya, “bangsa kita ini kalahnya soal perencanaan dibanding orang Belanda”. Orang Belanda kalau membangun gedung, direncanakan untuk tahan ratusan tahun, di Jakarta contoh “Stasiun kota”, di kota lain misalnya Surabaya, terlihat bangunan yang kini digunakan kantor PTP. Bangsa kita bangun gedung sekolah dasar kadang belum sempat diresmikan sudah ambruk. Lagi-lagi anak saya mengomentari, “bagaimanalah Pah nggak ambruk, anggaran pembangunan dari pusat 100 sampai di provinsi tinggal 60 sampai di kabupaten tinggal 40, syukur sampai ke pemborong 25. Jumlah 25 itulah yang dibangunkan, makanya bahannya asal kelihatan dipermukaan dan di photo bagus sudah cukup. Yaah sebentar ambruk”.
“Bagaimana jembatan “Kutai” tanyaku kepada anakku”. “Waah itu aye nggak tau Pah”, jawab anakku, apa juga begitu. “Apa mungkin dulu dibangunnya bulan Mei”. Jadi “May be yes may be no”. Celetuk anakku. Tentu maksudnya mungkin saja ada korupsi mungkin juga tidak. Sebab mendengar kabar jembatan itu “roboh dini”, seharusnya umur teknisnya masih panjang. Zaman Belanda yang mengerjakan bangunan juga orang Indonesia, hanya arsiteknya saja “Londo” sekarangpun yang mengerjakan bangunan juga orang Indonesia. Sepertinya dulu orang takut korupsi, sekarang pemberani korupsi, itu mungkin akar masalahnya. Mungkin sudah saatnya perlu di survey kapan Indonesia ini mulai terjangkit wabah korupsi. Untuk apa.......? Kalau sudah ketahuan sejak kapan bangsa ini mulai kejangkitan virus korupsi, kita gunakan program “Go back”, sebagaimana program komputer yang kena virus. Dengan program “Go Back” seluruh pekerjaan kita termasuk virus yang ada di dalam komputer kita, tidak nampak lagi. Kita mulai lagi memasukkan data baru.
Kembali soal tanaman penghijauan dipilih orang Belanda “Asam Jawa” untuk ditanam di pinggir jalan, satu dan lain dengan perencanaan yang matang sebab pohon “Asam jawa” daunnya mesti kecil-kecil tapi cukup rimbun dan lebat, pohonnya besar, akarnya kuat tahan ratusan tahun, tidak tinggi menjulang, tetapi juga tidak rendah. Buahnya kecil-kecil, kalau orang berteduh di bawah pohon “Asam jawa”, ketiban buahnya tidak berbahaya. Tidak mungkin terjadi orang rebutan untuk mengambil buahnya kalau sedang berbuah, karena pengguna “Asam Jawa” tidak banyak orang yang memakannya langsung, kecuali setelah dibuat bumbu masak. Sekarang yang ditanam Akasia, pohon yang cepat tumbuh, tapi mudah roboh, sering jadi bahan berita wartawan TV di Jakarta jika lagi musim hujan, ada pohon tumbang menimpa mobil, memacetkan jalan dan bahkan merenggut nyawa pengendara yang sedang melintas.
Agar tidak pusing, tiga tahun lalu pohon mangga di depan rumah saya itu, di tebang disisakan sekitar dua meter dari tanah. Kini tunggul pohon itu sudah tumbuh dengan beberapa cabang dan menjadi lagi pohon mangga yang rindang pucuk tertingginya sudah setara atap rumah. Tapi entah kenapa tak muncul lagi buahnya sudah berapa kali bersalin musim. “Merajuk” kata sebagian teman saya yang tergelitik melihat pohon mangga tak berbuah itu. Bagi kami biar tidak berbuah juga sudah syukur dapat jadi rimbun-rimbunan rumah. Kalau berbuahpun akan jadi masalah, lebih baik tidak berbuah.
Dari dialog kami santai di halaman kampus UI Depok dan apa yang keluarga kami alami menanam pohon mangga di depan rumah, dapat dipahamkan, kenapa di jalan raya dan di taman-taman tidak di tanam pohon-pohon yang buahnya dapat dimanfaatkan. Orang Belanda agaknya sudah mengetahui persis psyhology bangsa kita ini, sehingga memilih “Asam Jawa”. Bangsa ini suka berebut, berujung ribut walau sesuatu bukan haknya, walau buah yang diperebutkan itu yang bersangkutan tidak ikut menanam dan merawat. Bangsa kita juga bukan tidak tau, psychology bangsa sendiri maka memilih Akasia, agar tidak berbuah jadi lantaran kerusuhan. Tapi ternyata Akasia pohon yang mudah roboh tidak seperti “Asam Jawa”. Dengan menanam Akasia yang mudah roboh itu kan dalam waktu singkat akan ada penanaman kembali, yaah itung-itung ada proyek..........Batangnya dapat dikomersiilkan, pembibitan jalan terus terciptalah angka-angka dalam anggaran dan seterusnya. Belum lagi proyek penyiangan dahan-dahan pohon Akasia, setiap tahun dilakukan. Selentingan kabar di Radio bahwa dahan-dahan kayu dan potongan pohon tersebut diminati sangat oleh pengusaha “Tahu” untuk bahan bakar pengganti minyak. Pengusaha tahu jelas membayarnya, uangnya sulit mengembalikan ke kas daerah atau negara sepertinya belum ada akunnya. Kembali lagi itung-itung sebagai hasil sampingan. Jadi sungguh penghijauan dengan Akasia banyak juga multiplier effeknya.
Lain lagi dengan psychology orang di tanah Arab sana, contoh di Madinah, sepanjang jalan di dalam kota ditanam pada jalur pemisah jalan pohon kurma di tata apik. Pelepah yang tua dipotong begitu rapi sehingga seperti hiasan. Bagaimana ketika pohon kurma berbuah, jadikah pemicu kerusuhan? Ternyata tidak, karena orang sudah terpola tidak mau mengambil yang bukan haknya. Selain itu taman, milik kerajaan, buah-buah yang ditanam di taman sepanjang jalan milik kerajaan. Nampaknya orang lebih tunduk kepada Raja ketimbang pemerintahan yang dipilih rakyat. Haruskah bangsa ini jadi kerajaan? Supaya ndak ada DPR, dengan demikian banyak biaya yang dapat dihemat, kebijakan pemerintah tak banyak yang terhambat. Tapi sulit juga yaa...... kalau kebetulan Rajanya adil dan arif beruntung rakyat akan sejahtera, tetapi kalau Rajanya zalim susah diganti, ndak ada pemilu lima tahun sekali. Setiap pemilu lumayan rakyat dimanjakan, sekurang-kurangnya ditebar janji memberikan harapan. Setidaknya dapat kaos oblong lusinan dan sedikit tambahan uang hadir kampanye buat bayar kontrakan.