Monday 28 November 2011

UKURAN KEREN DARI ZAMAN KE ZAMAN

Tempo doeloe waktu diri ini masih kecil, sering ikut ayah ke pedalaman ketika beliau turney menjalankan tugas sebagai “juru penerangan”. Di laman Dayak (laman =kampung = Desa), masih banyak nenek-nenek yang telinganya panjang sampai se siku. Rupanya untuk mendesain telinga seperti itu, ujung bawah telinga dilobangi diberi bandul, dengan beban berat secara berangsur-angsur. Perlakuan tersebut dimulai sejak dini, masih anak-anak, agar kelak si anak tumbuh menjadi gadis yang bertelinga panjang. Motif nenek-nenek itu membuat telinganya jadi panjang, karena ketika masih remaja, pada zamannya seorang wanita dinilai cantik, bilamana telinganya panjang.

Waktu kecilku ibuku sering berdongeng mengantar tidur buat anak-anaknya, maklum waktu itu belum ada TV. Tokoh dongeng cantik; apabila si gadis tinggi semampai mempunyai kulit mulus warna kuning langsat, pipi pauh dilayang, bibir bak delima merkah, rambut panjang terurai sehingga betis, leher jenjang (maksudnya panjang) bagaikan angsa. Kayak-kayaknya gadis seperti dongeng itu sekarang bukan mode lagi. Tapi itulah ukuran keren pada zamannya. Kulit si masih OK, tapi kalau pipi pauh dilayang (tepung dijemur di atas nyiru) sekarang sudah tidak cantik lagi. Bila si gadis punya bibir seperti delima merkah, kita jadi ngeri, delima merkah bergerigi, Rambut yang panjang sampai betis juga dipandang sudah tidak indah lagi, bahkan akan merepotkan. Apalagi leher kalau panjang, di zaman sekarang mungkin menakutkan.

Di bawah tahun enampuluh limaan, ukuran keren buat siswa esempe bila kerah baju diberdirikan, kancing baju dibuka dua atau tiga dari atas, ujung baju di ikat. Bukan main gayanya kalau sudah begitu jalannyapun digagah-gagahkan. Itu ukuran keren zaman itu. Sementara pemudanya sebaya SMA kala itu, pakai celana panjang ujung kakinya lebar sekali bisa dimasuki sekitar empat ekor anak kucing. Sekali lagi itulah ukuran keren di zaman itu.

Sejurus belakangan ini ada ukuran keren pemuda, kalau pakai anting dua buah di salah satu telinga. Itu anak laki-laki lho, lubang telinganya ada di satu daun telinga. Pernah kutanyakan motif yang bersangkutan memakai anting-anting berbentuk melingkar seperti cincin itu. Mereka tidak dapat menjelaskan dengan tepat dan konkrit, “pokoknya lagi mode aja om” kata mereka.

Berbeda dengan Kaie saya di pedalaman, ketika saya tanyakan: “Kenapa kaie selalu memakai cincin emas” beliau dapat memberikan alasan yang sungguh masuk di akal saya. “Kaie” adalah panggilan untuk orang tua lelaki dari ayah termasuk yang setara dengan orang tua ayah semisal saudara dan saudara sepupu ortu ayah. Kalau orang tua perempuan atau setara dengan orang tua perempuan ayah seperti saudara-saudara, saudara sepupu ortu ayah yang perempuan dipanggil “Nyaie”. Panggilan begini digunakan oleh kalangan masyarakat “dulunya merasa berdarah biru”.

Si Kaie tinggal di pedalaman, dulu sebelum lancar transportasi untuk mencapai kota kabupaten dari kampung Kaie waktu tempuh sekurangnya dua malam dengan perahu. Sekarang dengan telah dibuka jalan darat dapat ditempuh sehari perjalanan. Sudah terbiasa kalau bepergian ke kota kabupaten menginap dirumah famili. Itulah alasan si Kaie kenapa terpasang cincin emas di jarinya. “Jika Kaie abis umur tiba-tiba, maklum ayah mpu (kamu) tempat ku menginap belum tentu selalu ada sedia duit. Cincin Kaie kan dapat dijual sekurangnya buat beli kafan”. Itu alasan si Kaie. Alasan itu kucoba hubungkan dengan pemuda yang kutanya memakai anting di telinganya, apakah ada kaitan, apakah jika kebetulan kehabisan bensin motor dalam perjalanan dan kebetulan di dompet ndak ada duit dapat dijadikan tanggungan ke penjual bensin. Ternyata pemuda yang kutanya menjawab: “nggak bisa om, karena ini kalau dijual nggak ada harganya bukan dari emas”. Pikirku kalau begitu lebih realistis dan logis Kaie yang sudah “ashar” itu dari pada si pemuda yang masih “fajar”.

Tuesday 15 November 2011

NGEMAS DAN OJEK MAYAT

Ngemas, kedengaran suatu tautan kata yang agak janggal dan dapat diplesetkan menjadi berkemas kausa kata merapikan. Rupanya di daerah tertentu di suatu pulau di Republik ini “ngemas” adalah istilah untuk sekelompok orang yang aktivitasnya mendulang emas. Mencari emas secara tradisional dengan peralatan sederhana, alat canggih paling banter mesin penyedot lumpur.

Pantun lama yang belum terlalu usang:

Sudah banyak kutanam padi

Nenas juga tanam di pematang

Sudah banyak kutanam budi

Emas juga dipandang orang

Pantun ini dapat juga dipandang sebagai nasehat, dapat juga dipandang sebagai motivasi dan bahkan dapat juga sebagai wujud frustasi dan ketidakikhlasan.

Sebagai nasehat:

Memandang seseorang jangan hanya kepada harta dan kedudukan saja, tetapi disindir oleh pantun itu bahwa yang berkelakuan memandang hanya pada harta adalah kebanyakan orang tetapi orang-orang yang baik (berbudi pekerti luhur) adalah orang yang sebaliknya dari pantun itu, yaitu orang yang pandai menghargai budi baik orang.

Petuah singkat orang tua rumpun melayu:

Yang merah itu saga

Yang burik itu gundi

Yang indah itu bahasa

Yang baik itu budi

Orang akan digolongkan supan santun apabila yang meluncur dari lidahnya berupa bahasa, adalah kata-kata yang indah, menyenangkan untuk disimak dan tidak pernah menyakitkan hati pendengarnya. Adapun yang baik itu adalah budi. Budi pekerti yang luhur akan menjadi kenangan sepanjang masa bahkan mengenai budi baik ini terkenal pantun orang melayu:

Pulau pandan jauh ketengah

Gunung Daik bersesun tiga

Hancur badan dikandung tanah

Budi baik dikenang juga

Sebagai motivasi:

Bahwa manusia itu harus secara gigih berusaha agar mempunyai harta dan kedudukan yang baik di dalam masyarakat, karena masyarakat kebanyakan pandangannya materialistis, tidak menghargai orang hanya dengan budi termasuk budi pekerti baik. Kadang budi baik itu dengan mudah dikalahkan dengan tukaran harta (dilambangkan dengan emas).

Banyak kasus, ada dua pemuda yang ingin mempersunting seorang gadis. Pemuda yang satu berbudi pekerti baik tetapi tidak berharta, sementara pemuda satunya budi pekertinya biasa saja dan mungkin kurang baik tetapi hartanya banyak. Biasanya yang berhasil mempersunting si gadis adalah yang berharta banyak.

Sebagai wujud frustasi dan ketidakihlasan.

Bilamana budi baik telah dilakukan,

Tidak seorangpun menghargakan,

Kebaikan itu selalu masuk dipikiran

Disitulah keikhlasan dipertanyakan.

Jadi bila seseorang melakukan kebaikan, seyogyanya ia tidak perlu memikirkannya lagi untuk mendapatkan penghargaan, jika pikirannya tertuju untuk mendapat penghargaan maka jelas kadar keikhlasan kebaikan itu patut dipertanyakan. Keikhlasan dalam berbuat kebaikan, membuat orang tidak kecewa. Bila kebaikan itu dilakukan untuk mendapat penghargaan, banyak berujung kepada kekecewaan.

Kembali ke soal emas, adalah logam mulia yang diburu orang sudah cukup lama semenjak bumi ini tercipta di mana ada manusia mulai berperadaban. Jujur saja, saya jika ditanya mengapa emas diburu orang, saya juga belum dapat menjawab yang memuaskan diri saya, apalagi untuk menjawab yang memuaskan orang lain. Emas tidak dapat dimakan, emas tidak juga dapat dibuat pakaian untuk fungsi melindungi tubuh. Malah ibu-ibu yang gemar memakai emas sebagai perhiasan, dikota-kota besar justru membahayakan dirinya. Sementara dapat saya jawab saja bahwa ada kesepakatan manusia bahwa emas itu logam yang dimuliakan, karena itu harganya mahal, mendapatkannya pun tidak gampang. Tak jarang manusia bertaruh nyawa untuk mendapatkan emas. Sering kita mendengar para penambang emas terperangkap di dalam lubang penggalian batuan mengandung emas, tertimbun longsor.

Walau sering kali terjadi kecelakaan yang merenggut nyawa, jika ada lahan pertambangan emas, akan berdatangan orang mengadu untung untuk ikut bergelimang tanah, batu dan lumpur mencari logam mulia tersebut. Jika ada rombongan yang mendapatkan emas, kejadian itu memotivasi penambang lainnya untuk bekerja lebih keras, kadang melupakan keselamatan kerja. Pengadu untung kadang bukan saja dari daerah setempat, tetapi berdatangan jauh ratusan kilometer dari lahan pertambangan. Jika lokasi pertambangan dikelola rakyat bukan oleh perusahaan secara besar-besaran, kelaziman yang terjadi bahwa penduduk daerah pertambangan menjadi pemilik lahan pertambangan dan tenaga kerja mengundang dari daerah lain ratusan kilometer jaraknya itu.

Ada semacam kesepakatan, sejauh ini mungkin tidak tertulis, bahwa apabila terjadi kecelakaan kerja misalnya salah seorang penambang meninggal dunia, jenazah yang bersangkutan harus dipulangkan ke kampung asalnya, risiko dan biaya tanggungan pimpinan kelompok atau pemberi kerja. Di pertambangan rakyat di suatu desa terpencil di suatu daerah di salah satu pulau negeri ini, dimana belum tersedia jalan yang memadai sehingga layak dilalui roda empat. Kendaraan roda dua menjadi andalah angkutan. Bila terjadi kematian dipertambangan, maka pengantaran jenazah ke tempat asalnya menggunakan ojek sepeda motor. Ratusan kilomoter jenazah digonceng pengojek, dengan tarif jutaan rupiah. Tarif yang lumayan itu, dinilai wajar, karena membonceng mayat tidak dapat diperlakukan sama dengan manusia masih hidup. Kekhususannya meliputi teknik dan waktu pelaksanaannya, serta kendala dalam perjalanan.

Teknik menggonceng jenazah

Jenazah di dudukkan di sadel belakang layaknya manusia masih hidup. Si mayat dipakaikan jaket, kacamata hitam. Hal ini dilakukan dengan maksud, agar tidak mencurigakan siapapun yang kebetulan terlihat ke sepeda motor yang lewat, termasuk jika ada melintasi polisi. Pokoknya diusahakan sedemikian rupa agar pihak lain tidak mengetahui bahwa yang digonceng adalah mayat. Agar si mayat stabil duduknya di bagian belakang sepeda motor, tangannya diikatkan merangkul pembonceng. Maklum perjalanan ratusan kiliometer dengan waktu tempuh kadang 6 sampai 8 jam dengan kondisi jalan sepi dan jauh dari mulus. Jika dalam perjalanan pengojek perlu istirahat, misalnya kencing atau ada keperluan sesuatu, secara perlahan ikatan tangan si mayat dilepas, sepeda motor diistirahatkan agak ke pinggir jalan dengan standar tegak. Sementara agar tidak jatuh tangan si mayat yang tadinya merangkul pinggang pembonceng, dialihkan ke stang. Bukan tidak pernah terjadi konon, sesosok mayat ketika ditinggal pengojek yang kebetulan punya keperluan buang air besar ke pinggir kali, ketika akan meneruskan perjalanan penumpangnya sudah hilang entah kemana. Dapat dibayangkan, harus mencari ke mana di belantara yang begitu senyap. Yang dilakukan pengojek segera stater sepeda motor tancap gas mencari kampung terdekat, tentu tidak lapor ke kampung yang didatangi menjelang siang. Sebab pengojekan mayat begini, suatu pekerjaan yang sejatinya sembunyi-sembunyi. Laporan baru disampaikan ke pengorder,setelah kembali ke lokasi pertambangan. Bagi pemula kegiatan ojek jenazah ini ditangani tiga orang. Seorang pengojek yang langsung ketumpangan mayat, sementara dua orang lagi ikut dalam perjalanan dengan sebuah sepeda motor lain. Ketiga kru ini bergantian memegang kemudi motor yang ada mayatnya itu. Honor tentu harus dibagi sesuai peran masing-masing, itu sebabnya bagi yang sudah berpengalaman lebih senang beroperasi sendiri.

Waktu perjalanan ojek jenazah

Waktu pemberangkatan jenazah biasanya dilakukan dipokok malam, dari lokasi pertambangan, dengan maksud agar dalam perjalanan tidak berpapasan dengan banyak orang, terutama menghindari diketahui pihak keamanan, sebab nanti jika diketahui akan banyak persoalan, temasuk penelitian sebab kematian dan lain sebagainya. Kebanyakan pengusaha pertambangan tradisional tidak mau ribet soal prosedur ini. Yang penting seluruh rombongan mengetahui bahwa si mayit meninggal karena kecelakaan. Pengawasan aparat belum dapat merambah sampai ke lokasi pertambangan di sudut terpencil di belantara itu. Dijadualkan keesokan harinya, kalau dapat dini hari, jenazah sudah sampai kekeluarga di kampung halaman asal si mayit. Beruntung sekarang sekurangnya di beberapa lokasi di belantara, ada tempat dapat sinyal untuk menyampaikan berita duka tersebut kepada keluarga. Ketika si mayat datang sudah dipersiapkan segala peralatan oleh sanak keluarga dan kerabat mereka di kampung., guna prosesi pemakaman. Pihak keluarga sudah maklum, sebagaimana maklumnya pimpinan rombongan memberikan semacam uang duka.

Kendala dalam perjalanan

Jarak tempuh yang jauh dengan kondisi jalan yang belum beraspal kadang becek dan tidak rata. Tambahan lagi melalui hutan belantara, belum banyak perkampungan yang dilalui, jika terjadi hal-hal dalam perjalanan, sulit sekali untuk meminta bantuan. Sementara itu perjalanan ini sedikit agak sembunyi, karena kalau dalam perjalanan menemukan aparat keamanan, akan sulit menjelaskan tentang penumpang yang dibonceng, tidak berbekal secarik kertaspun tentang riwayat kematiannya.

Begitulah potret sebagian kehidupan penduduk negeri kita ini, untuk bertahan hidup di negeri yang terkenal kaya-raya aneka sumber daya alam ini, kadang harus menjadi manusia pemberani, harus jadi manusia nekad. Tidak kurang yang memilih mengadu nasib di negeri orang, banyak kita dengar mengalami nasib kurang baik, disiksa, tidak dibayar upah, mendapat perlakuan yang tidak manusiawi. Apa hendak dikata di kampung sendiri susah mencari hidup. Sementara sebagian kecil bangsa ini hidup dengan kemewahan dan kesenangan, dengan kemudahan pelbagai fasilitas, diantaranya didapat dengan jalan yang tidak benar, melalui korupsi, melalui suap melalui penyalahgunaan jabatan. Jikalah semua terkelola dengan baik, semua kekayaan alam dikelola oleh negara untuk kemakmuran rakyat, antara lain tidak akan ada bangsa ini yang menjadi kuli kebun sawit di negeri orang. Mengapa anak bangsa ini justru memilih jadi kuli kebun sawit di negeri orang, padahal kebun sawit di negeri ini tidak kurang-kurang. Harga sawit dunia kan sama dari manapun diproduksi, kenapa di negeri orang sanggup menjanjikan upah yang lebih pantas, dibanding upah di negeri sendiri. Pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat sulit untuk menjawabnya. Silahkan para pembaca mungkin tau jawabannya.

Wednesday 9 November 2011

POHON PISANG SEAKARNYA DATANG MALAM ITU

Soal suap menyuap, bangsa kita ini boleh dibilang adalah ahlinya, sebab rupanya telah terlatih sejak masih balita. Setelah mulai pisah susu, atau tidak nyusu lagi dari ibu, si bayi mulai diberikan makanan agak keras. Di periode itu balita mulai disuap oleh ibunya, kadang oleh orang lain selain ibunya, pengasuh misalnya. Jadi agaknya tidak perlu terlalu heran kalau bangsa ini sering menyelesaikan suatu persoalan dengan mengandalkan “suap”. Mulai dari pengurusan identitas lahir, identitas kependudukan, legalitas usaha, kadang masuk ke masalah pendidikan dan dunia kerja. Mau menikah, kalau secara tertulisnya biayanya walah, hanya sedikit. Kenyataannya jika hanya bayar biaya sesuai tertulis, mungkin penghulu datang juga tapi molor-molor padahal keluarga mempelai sangat perlu kesaksian dan mengurus buku nikah. Terakhir sampai hidup ini berakhir, di kota besar kadang harus dengan suap untuk mendapat tempat strategis di peristirahatan terakhir 1 x 2 m itu. Memilukan memang, tapi apa mau dikata, sekarang orang tidak malu lagi minta disuap. Tidak malu-malu lagi nentukan tarif. Kalau kita tegas-tegas nolak memberi suap dalam berurusan, bukannya tidak bisa, tapi justru kita dianggap ndak normal. Dilayani juga tapi dengan cara tidak normal. Letak masalahnya rupanya tidak ada kekompakan nasional menolak suap. Coba kalau seluruh individu bangsa ini tidak mau memberikan suap dalam mengurus segala urusan, pihak yang mengurus tak punya pilihan harus juga tetap melayani.

Adalah seorang pemuda yang mencoba mengamalkan teknik suap ini, pada suatu persoalan ketika yang bersangkutan cintanya tak mendapat sambutan dari seorang gadis. Kurang apa pemuda tersebut, wajah juga termasuk “berupa”, penampilan juga atletis termasuk idola masa kini. Tapi memang masalah hati tempo-tempo ndak dapat dibeli. Memang sedikit aneh kalau sudah masuk ke wilayah suka tak suka ini, sekali waktu pemuda suka kepada seorang gadis, si gadis pula yang tak suka, sebaliknya banyak gadis yang suka dengan seseorang pemuda dicuekkannya katanya bukan typenya.

Begitu tertariknya si pemuda kepada gadis idaman itu, kebetulan tu gadis blasteran, yaitu ibu pribumi ayah bule. Cantik memang untuk kebanyakan orang, utamanya untuk si pemuda yang diceritakan ini. Teman sebaya sering pula menyindir dengan pantun:

Padi dilesung ditumbuk alu

Mesti ditampi hilangkan dedak

Jadi pemuda berpantang malu

Cinta ditampik dukun bertindak

Al hasil, teman-teman juga bukan hanya asal ngejek, tetapi juga ikut prihatin dan ikut carikan jalan ikhtiar, diantaranya mereferensi seorang dukun yang manjur untuk melunakkan hati gadis pujaan. Singkat cerita dukunpun dihadap untuk mencari jalan keluar. “Oh itu masalah kecil asal adik dapat memenuhi syaratnya”, kata sang dukun. Setelah disebutkan serangkaian syaratnya, hampir semua termasuk mudah untuk memenuhinya cuma satu syarat yang kecil tapi termasuk sulit. Syarat itu ialah si dukun minta sehelai aja rambut si gadis.

Berbilang hari diusahakan memenuhi syarat itu, yang usaha bukan saja pemuda yang bekehendak, tetapi juga dibantu rekan akrab si pemuda. Motivasi mereka bukan saja solider, tetapi juga ingin tau sampai seberapa ampuh dukun sakti ini. Benarkah kalau sudah semua syarat dipenuhi termasuk mendapatkan rambut si gadis pirang itu, benar-benar si gadis bertekuk lutut kepada si pemuda yang sedang mabuk cinta itu. Karena sudah jalan buntu untuk mendapatkan rambut si gadis, kembali pemuda tadi kepada jalan keluar yang sering ditempuh bangsa ini untuk memuluskan jalan setiap persoalan, yaitu dengan “suap”. Siapa yang disuap juga sudah masuk dalam angan si pemuda, yaitu mbok pembantu si gadis.

Pendekatan kepada si pembantu, mulai dengan cara mengikutinya secara tidak ketara ketika mbok pembantu pergi belanja ke warung. Semula diajak berbasa basi agak sebentar, kejadian itu tentu tidak langsung sehari jadi. Kalau tak keliru ingat melebihi tiga Jum’at, baru dapat mengemukakan perihal tersebut kepada si mbok. Semula si mbok agak berat menerima misi mencari rambut si non pirang, karena takut juga kalau gadis asuhannya kenapa-kenapa. Tapi dengan alasan pemuda tadi untuk penelitian rambut pirang dibanding rambut biasa, dan ada lampiran berupa uang suap yang lumayan sudah direka si pemuda berikut kawannya urunan mungkin setara 3 bulan gaji si mbok, misi itupun disanggupi.

Susah juga si mbok untuk mencari rambut non pirang itu, sebab disyaratkan dukun sekurangnya ukuran tiga jengkal. Ada memang guguran rambut si non pirang tapi tak masuk syarat ukuran, di kamar mandi paling rontokan rambut kurang dari sejengkal, begitu juga ditempat tidur. Mau mencabut rambutnya sedang tidur, si mbok tidurnya tidak sekamar dengan si non. Yah lumayan sulit bagi si mbok, tapi “suap” sudah diterima, bahkan kalau berhasil dijanjikan ada tambahan. Bagaimanapun caranya kudu diusahakan.

Hari yang dinantipun tiba, setelah hampir seminggu, si mbok berhasil membawa selembar rambut pirang dibungkus tisue ke pemuda, diserahkan di warung tempat biasa ketemu, kebetulan si mbok beli bumbu masak. Tak bertahan menunggu petang, si pemuda membawa titipan mbok itu ke kediaman dukun. Dukun memesankan nanti pada malam Jum’at Kliwon pas bulan sudah bundar agar si pemuda membuka jendela kamarnya. Dengan nada pasti si dukun mengatakan bahwa nanti di pemilik rambut akan datang lewat tengah malam masuk lewat jendela. Kaget si pemuda bukan kepalang, sepertinya tidak siap untuk menerima kenyataan yang bakal terjadi. Sebab maksudnya bukannya datang ke kamar begitu, nanti bagaimana kalau orang tua tau dan macam-macamlah pikirannya. Adapun maksud si pemuda adalah bagaimana agar cintanya tidak ditolak oleh si gadis berambut pirang itu. Tetapi gejolak rasa keinginan mendapatkan cinta si gadis memupuskan perasaan takutnya. Si dukun lebih jauh menjelaskan nanti dia akan masuk lewat jendela dan menyatakan ia mencintaimu, nanti terserah kamu. Apakah kau antarkan pulang. Si pemuda makin berdebar, namun sudahlah kadung mandi biar basah batinnya menenangkan perasaannya.

Untung disela kegalauan itu, ia teringat teman-temanya yang ikut berpartisipasi dalam program ini. Ini dia, pikirnya, untuk tidak menimbulkan fitnah, saya akan undang beberapa teman bermalam di rumah saya, alasan dengan orang tua mengerjakan tugas dari sekolahan. Kalau tidak dapat menduga dalam hati pasien, bukannya dukun, seperti ia dapat membaca hati dari sorotan mata. Dukun bilang “syaratnya di kamar hanya ada kamu sendiri”. Itupun akhirnya dipenuhi si pemuda, teman-teman diundang bermalam di rumahnya, diberi kamar sendiri, katakanlah memantau dari lain kamar. Kebetulan rumah ortu si pemuda agak besar dikomplek perumahan lumayan elit.

Malam yang disesuaikan, jendela dibuka dua daunnya. Tengah malam ketika bulan bundar di malam Jum’at Kliwon itu, sayup-sayup ada suara “kresek-kresek-kresek” bagaikan sesosok tubuh sedang berjalan, tapi kok terseok-seok, bukan langkah seorang wanita yang lembut. Bulu kuduk mulai berdiri, tapi rasa takut terkalahkan rasa cinta, apapun konsekwensinya harus dipikul. Tiba-tiba gledub suara di kamar si pemuda sampai terdengar ke kamar teman-temannya yang juga nguping. Rupanya sebatang pohon pisang, dengan akar-akarnya lengkap masih berdaun masuk ke kamar si pemuda. Kontan saja sipemuda tak dapat menahan diri dan menjerit karena kaget bercampur takut. Suara jeritan serentak membangunkan seisi rumah dan semuanya masuk ke kamar si pemuda menyaksikan sebatang pisang utuh tadi.

Suasana hening malam itu, keriuhannya dan keanehannya serta apapun sementara hanya diketahui oleh seisi rumah dengan halaman luas dan berpagar tinggi kebetulan rumah elit tidak nempel langsung dengan tetangga.

Esok harinya kabar itupun mulai ditelusuri, semula ingin ke dukun melaporkan kejadian tadi malam, tapi runding punya runding penyelidikan pertama diarahkan ke si mbok yang mendapatkan rambut dengan biaya cukup tinggi itu. Usut punya usut si mbok akhirnya mengaku juga, bahwa ia mengalami kesulitan mendapatkan rambut si non pirang dengan ukuran 3 jengkal. Jalan keluarnya diambilkan serat pohon pisang yang tumbuh di belakang rumah majikannya, banding punya banding mirip benar dengan rambut si non pirang. Geram bercampur geli rekan-rekan si pemuda sambil berdecak dan menggelengkan kepala serempak mengatakan “Oooo begitu rupanya, pantas pohon pisang yang datang

Akhir tulisan ini saya ingin katakan:

1. Bahwa untuk memberantas suap di negeri ini, agaknya harus ada kekompakan nasional, semua kita dari hal yang terkecil, jangan mau lagi memberi suap, karena kalau tidak ada yang menyuap tak akan ada penerima suap. Kalau kurupsi si sudah ada “Komisi Pemberantasan Korupsi” biar dia bekerja. Suap belum ada “Komisi Pemberantasan Suap”.

2. Pemuda dan siapa saja, apapun masalah anda selesaikan dengan cara yang wajar jangan kedukun karena: Dari Imran bin Hushain radhiallahu anhu ia berkata “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ‘Bukan termasuk golongan kami yg melakukan atau meminta tathayyur yg meramal atau yg meminta diramalkan yg menyihir atau meminta disihirkan dan barangsiapa mendatangi peramal dan membenarkan apa yg ia katakan maka sesungguhnya ia telah kafir terhadap wahyu yg diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” .

3. Silahkan para pembaca menyimpulkan dan memberi komentar cerita fiksi ini.........