Sunday 25 November 2012

KEPINDING BERDASI





“Kepinding” , mahluk ini, diberbagai daerah menyamar dengan berbagai nama.  Di Perancis disebut  punaises”  di  Indonesia di setiap  daerah dianya menyamar dengan nama-nama seperti:  “kutu busuk”, “Tumila”, “Tinggi” “Bangsat”.
Ibuku pernah mengisahkan bahwa masa remajanya di “Jaman Jepang”. mahluk ini sangat banyaknya, sampai menempel di pakaian. Tidak heran waktu itu setidaknya di desa ibuku terjadi masa sulit perekonomian, barang kebutuhan hidup susah didapat sampai kebutuhan dasar seperti garam saja sulit ditemukan. Apalagi tekstil, sehingga di jaman Jepang setidaknya di desa ibuku, saking sulitnya mendapatkan pakaian, banyak orang memakai bahan pakaian dari karung goni. itu barangkali antara lain penyebab banyaknya “kepinding” sampai hidup dia (kepinding) di pakaian, maklum pakaiannya terbuat dari “karung goni”.  
Hewan ini pengisap darah manusia, oleh karena itu tidak heran kalau manusia tidak menyukainya, bila ketemu tak ampun lagi, langsung dipites/ditindas hingga tamat riwayatnya. Suatu keistimewaan hama ini,  dia termasuk  makluk yang  “di benci tapi disayang”. Sebabnya bila seseorang berhasil menangkapnya misalnya sedang antara tidur dan bangun,  maka segera dipites dan selanjutnya untuk meyakinkan bahwa yang dipites apakah kepinding atau bukan, langsung secara refleks dicium. “Mula-mula benci kemudian disayang”. “Mula-mula dimusuhi kemudian dimuliakan”. Itu sebabnya mungkin ada suatu daerah mahluk ini dinamakan “Tinggi”, sebab kedudukannya “ditinggikan” yaitu dicium. Sementara itu karena kelakuannya sangat-sangat tidak baik, penghisap darah manusia maka nama lain untuk hama ini “Kutu Busuk”. Tidak cukup cemoohan untuk kelakuan mahluk ini atas jahatnya peringainya maka diapun disebut “Bangsat”. Mungkin julukan “Tumila” karena kutu itu “Tukang Minum Darah orang sedang lalai”. Ada lagi orang mengistilahkan binatang ini dengan “Musuh dalam selimut”.
Apa tepat ya kalau koruptor sekarang kita samakan dengan “kepinding”. Sebab beberapa kriteria koruptor ada yang mewakili seperti kepinding. Dalam hal dibenci, hampir semua orang membencinya, termasuk sesama koruptorpun saling membenci, seorang koruptor membenci kepada koruptor lain yang tidak dalam satu kelompok. Tetapi sesama kelompok biasanya saling melindungi, sepanjang masih terlindungi, kalau sudah terbongkar lain lagi saling tuding.  Begitu juga kepinding; sesama kepinding dia saling melindungi dan berkoloni disuatu tempat. Namun bila sudah diketahui dengan mudah mencarinya mereka saling menunjukkan. Kalau kepinding bisa ngomong, maka jika dia ditanya,  dia tentu tidak suka dengan kelompok hama penghisap darah lainnya, seperti nyamuk dan pacet.
Disatu sisi koruptur di benci, disisi lain dia disanjung dan dihormati, sama halnya seperti kepinding akhir hayatnya dihormati dengan dicium. Koruptor kakap mendapat pelayanan yang baik dalam proses hukum, dia dihormati, diliput oleh media eloktronik dan cetak, diundang wawancara stasiun televisi dikawal ketat dan konon tahanannyapun dikhususkan. Beda dengan pencuri kelas mbek seperti belakang didengar lagi hanya menebang beberapa batang bambu saja sudah harus ditahan. Masih segar ingatan kita dengan seorang nenek hanya mengambil beberapa buah kakau, seorang remaja hanya khilaf mencuri sandal. Perlakuan hukum bagi pencuri kelas mbek disebut terakhir, tidak mendapat perlakukan terhormat seperti para koruptor.
Kriteria lainnya adalah bahwa kenapa agaknya cocok menamakan koruptor seperti  kepinding, karena ada yang saking sakit hati mengistilahkan koruptor adalah bangsat, menyebutnya kutu busuk. Tetapi tetap saja  mereka mendapat tempat yang tinggi. Bahkan ada suatu daerah, mantan koruptor diberi jabatan yang tinggi, walau akhirnya karena protes rakyat juga yang bersangkutan undur diri. Begitulah kehormatan yang didapat oleh “KEPINDING BERDASI”. Alasannya mudah dicari ketiadaan SDM. Orang curang salah satu kebolehannya adalah cerdik sedang orang jujur kebanyakan lugu. Ditengah komunitas koruptor orang jujur terlihat SARU. Koruptor menilap harta rakyat, sedangkan kepinding menghisap darah rakyat.
Berkenaan dengan nama hewan ini “bangsat” ada suatu kisah menarik di satu daerah. Suatu malam seorang baru saja menempati rumah kontrakan baru di suatu kampung. Singkat cerita tengah malam rumahnya disatroni maling dengan jalan maling membuat lobang dari samping rumah “bahasa setempat si maling menggangsir”. Ketika maling masuk rumah spontan penghuni baru di kampung itu, menjerit beberapa kali,,,,,,,,,,,, “bangsat-bangsat…….. bangsat”, ……… kemudian diam, karena golok sudah menempel dilehernya. Tetangga sebelah mendengar jeritan tadi, tetapi tidak tertarik untuk memberi tahukan tetangga lain tentang apa yang didengarnya, apa lagi melihat agak sejenak ketetangga sumber jeritan, karena pikirnya si penghuni rumah baru, sedang nglindur atau  risaukan banyaknya kepinding ditempat tidurnya. Alhasil besok baru diketahui oleh tetangga sekampung  barang-barang yang masih dalam pak-pakkan boyongan pindah hampir semuanya digondol maling.
Walau sekian banyak persamaan antara “Kepinding” dengan “Kepinding Berdasi”, ada juga bedanya. Kalau “Kepinding alami” mengisap darah manusia bila perutnya sudah penuh berhenti. Sedangkan “Kepinding Berdasi” perutnya tak pernah penuh, meskipun sudah penuh terus saja untuk korupsi menimbun harta buat cadangan sampai anak cucu bila perlu diharapkan hartanya tidak habis tujuh turunan.
Anehnya kata ibuku melanjutkan kisahnya; bahwa setelah Jepang hengkang , kepindingpun menghilang.   Para pembaca mungkin sekarang tidak menemukan lagi kepinding di spring bed atau di kasur anda. Tidak heran kalau remaja sekarang banyak yang sudah tidak dapat menyaksikan lagi kepinding atau kutu busuk, atau tumila atau tinggi atau bangsat itu.  Namun hewan ini tidak termasuk hewan yang dilindungi walaupun sudah termasuk langka.
Fenomena alam yang “aneh ini”, menghilangnya sesuatu populasi hewan, atau bencana agaknya kadang dapat dihubungkan dengan Zaman yang sedang berlangsung. Entah secara kebetulan atau tidak saya kurang paham. Kisah di atas zaman Jepang banyak kepinding. “Jepang hengkang kepinding hilang”. Disuatu saat dipenghujung zaman ORBA dikampungku diserang belalang, jumlahnya mungkin milyaran. Konon lagi tanaman di sawah/ladang, bila kawanan belalang itu hinggap di perumahan penduduk yang rumahnya beratapkan rumbia atau atap terbuat dari daun nipah, dalam waktu semalam rumah-rumah penduduk atapnya sudah punah tinggal lidi. Begitu banyaknya populasi belalang, pemerintah setempat ketika itu membeli bangkai belalang, dihargakan setiap kilogram. Lahan rezeki bagi rakyat karena bangkai belalang saking banyaknya, bergelimpangan di jalan raya sampai kalau kendaraan melintas harus melindas bangkai belalang. Begitu pula belalang tersebut setelah beberapa bulan kemudian menghilang entah kemana.
Situasi kita kini, banyak bencana alam di mana-mana;  banjir, gempa bumi, tanah longsor, angin puting beliung. Apakah ada hubungannya dengan “Musim korupsi yang sedang melanda negeri ini” Apa saja di negeri ini sekarang tengah dikorupsi, bahkan orang yang jujur dianggap bodoh. Kalau tidak dianggap bodoh orang jujur akan digusur dari jalur karena dianggap penghambat kegiatan mereka untuk meluncur.  Korupsi bukan lagi monopoli orang kantoran atau pejabat, rakyat negeri ini sudah hampir semua korupsi sesuai bidang masing-masing. Pegawai kecil dengan cara kecil-kecilan, pejabat sesuai jabatannya, pedagang sudah tidak lagi banyak yang jujur menyukat takaran dan timbangan. Mungkinkah bencana-bencana alam itu juga akan otomatis terhenti bila “musim korupsi telah berlalu”.