Tuesday 31 December 2013

“MAK NGAH GENAH” MENGHEBOHKAN KERAJAAN OJO TAKON



Talenta. Orang bilang sekarang yang maksudnya potensi terpendam dari diri seseorang, dapat juga dikatakan bakat dimiliki seseorang. Bakat atau talenta tersebut bila diasah dengan latihan dan diasuh dengan pembinaan oleh pihak yang kompeten akan menghasilkan prestasi atau kesuksesan yang menakjubkan.
Tersebutlah seorang ibu setengah baya dijuluki “Mak Ngah Genah”, mendapat julukan “Ngah” karena dianya dalam urutan kakak beradik keluarga mereka anak kedua dari tiga saudara. Julukan “Mak” karena usianya tak cocok lagi bila disapa “mbak”. Sedang “Genah” nampaknya nama diri yang bersangkutan. Atau mungkin karena dianya diketahui banyak pihak dapat menyelesaikan berbagai masalah, yaitu “menggenahkan”. Atau juga lantaran informasi yang dibawanya cukup “genah” alias akurat bernilai “A1” bukan KW2.
Yang empunya kisah tak tau persis siapa kakak dan siapa adik serta asal-muasal “Mak Ngah Genah”. Namanya dikenal bahkan disegani oleh para punggawa kerajaan karena perannya dibilang tidak penting, ya penting, tapi dibilang penting tidak juga. Sebab tak punya jabatan apa-apa di kerajaan, hanya seorang pengurus “Reban”.
“Reban”  adalah rumahnya unggas, bila sangkar tempat kecil yang terbatas hanya untuk seekor atau beberapa ekor burung, sedangkan “Reban” sebuah kandang besar untuk segala macam unggas begitu luas dapat dilepas, sehingga kalau burung dilepas di “Reban”, si burung bagaikan hidup di alam bebas.
Nah, apa hubungannya “Talenta” atau “Bakat” buat seorang “Mak Ngah Genah”. Ternyata dianya sangat piawai dalam menundukkan dan menjinakkan bangsa unggas. Tepatlah Raja di kerajaan “Ojo Takon” mempercayakan “Mak Ngah Genah”  mengelola “Reban” di taman belakang istana kerajaan.
Hampir setiap pagi sebelum duduk di singgasana guna menerima haturan “sembah” para punggawa istana dan pejabat kerajaan, sang Raja menyempatkan diri untuk menghampiri “Reban”. Disitulah penyebab maka “Mak Ngah Genah”, sangat dan sangat akrab dengan sang Raja. Kehadiran Raja ke “Reban”  tanpa pengawalan dan tanpa dilingkungi protokoler, dalam suasa santai, oleh sebab itu dapat berbicara bebas. Kadang “Mak Ngah Genah” menceritakan kondisi unggas kepada sang Raja, karena di dalam “Reban” terpelihara segala macam jenis ayam, mulai dari ayam kate berbagai jenis sampai ayam hutan dan ayam sempidan. Segala macam jenis burung dari belahan kekuasaan kerajaan dan bahkan dunia, ada di dalam “Reban”. Bila sang Raja menghendaki kehadiran salah seekor unggas, “Mak Ngah Genah” mampu pula berkomunikasi dengan si unggas untuk mampir mendekat ke Raja yang hanya dibatasi oleh jejaring pengaman “Reban” (JPR bukan JPS).
Dalam kesempatan itu pula “Mak Ngah Genah” sanggup membicarakan hal-hal lain, bahkan tidak jarang masalah-masalah kepemerintahan. Kadang sang Raja sedang asyik menikmati minuman kopi jahe dan makanan ringan di lokasi sekitar reban, juga berdialog dengan orang dekat yang tak jarang membicarakan issu penting seputar kerajaan. Issu penting mengangkat dan memberhentikan punggawa kerajaan. Itu makanya “Mak Ngah Genah” adalah sumber informasi “A1” tentang apa saja mengenai banyak hal menyangkut kerajaan. Walau tidak pernah ikut turney, “Mak Ngah Genah” mengetahui perilaku para “Demung” dan “Tumenggung” di daerah-daerah kekuasaan kerajaan.
Makin tersohornya “Mak Ngah Genah” sehingga menghebohkan seluruh kerajaan “Ojo Takon”, lantaran ocehan seorang “Tumenggung” yang didaulat menilap upeti kerajaan. Pasalnya diketahui si “Tumenggung”  minilap upeti, oleh pengawas kerajaan yang mengadakan SIDAK. Teknik pengawasan di kerajaan, sudah paten sejak sebelum ayahanda Raja yang sekarang mangkat, adalah dilaksanakan secara acak di setiap “Ketumenggungan” tanpa jadwal dan tanpa memberitahukan terlebih dahulu. Instruksi mengunjungi “Ketumenggungan” dan melakukan pengawasan, langsung oleh Raja dan hampir dapat dipastikan diketahui “Mak Ngah Genah”. Setiap “Tumenggung” memasang kaki menghubungi “Mak Ngah Genah”, untuk mencari tau informasi tentang kapan “Ketumenggungannya” dapat giliran diperiksa.
Namanya lagi apes, pas informasi team pengawasan ke “Ketumenggungan KOCAR” di bawah “Tumenggung “Raden Mas KACIR”, luput dari informasi “Mak Ngah Genah”, itu sebabnya administrasi ketumenggungan Kocar belum sempat dirapikan. Dasar memang semua admnistrasi selama ini sim salabim, diatur agar rapi ketika ada pemeriksaan, sebab sidak yang mendadak itu, pengaturan belum sempat teratur dan tersingkaplah belang ketumenggungan menilap upeti. Hukum harus ditegakkan, alhasil si Tumenggung sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dihadapkan ke pengadilan. Tidak hanya Tumenggung, juga para aparat terkait di Ketumenggungan juga dimintai keterangan sebagai saksi dan bahkan ada diantaranya yang terlibat menjadi terdakwa. Dalam persidangan terbongkar bahwa selama ini ketertiban pengadministrasian upeti di Ketumenggungan Kocar, lantaran telah disiapkan terlebih dahulu sebelum datangnya auditor kerajaan, itu semua berkat informasi dari “Mak Ngah Genah”.
Begitu hebat peranan “Mak Ngah Genah”, sehingga menarik minat dari rakyat untuk tau siapa sebenarnya sosok “Mak Ngah Genah”. Nasib “Mak Ngah Genah” agaknya memang mujur, sampai berganti raja di kerajaan “Ojo Takon”, Mak Ngah Genah belum diketahui publik, walau namanya santer terdengar di dalam persidangan. Mungkin para KADI yang memimpin persidangan tidak menganggap perlu keterangan “Mak Ngah Genah”, karena memang dianya tidak ada kaitannya dengan “Tilap Menilap Upeti”, sebab kalaulah dianya juga dikirimi tanda terimakasih oleh para Tumenggung, sulit untuk ditampakkan bukti.
Demikian dongeng untuk cucuku,  dengan harapan, semoga bila cucuku besar nanti misalnya menjadi orang yang diamanahi kekuasaan untuk mengatur masyarakat, agar berhati-hati. Bahwa kadang orang dekat yang tak diduga dapat membocorkan rahasia jabatan. Karena itu kalau membicarakan sesuatu yang sifatnya rahasia, usahakan langsung kepada siapa rahasia itu harus disampaikan, supaya bila bocor dengan mudah mentrasir kepada penerima rahasia. 
Adalah pantas direnungkan nasihat pepatah berikut ini:
Pasir terhampar dipantai datar
Dapat diinjak tanpa bersandal
Penghalang bukanlah  batu besar
Krikil sering membuat terjungkal

Monday 30 December 2013

TUAN RUMAH “WELCOME”



Sebagai orang Indonesia dari provinsi manapun asalnya pasti hubungan kekeluargaan dan famili  sangat memegang peran, begitu pula hubungan silaturahim antar sesama. Setiap kita punya teman akrab di setiap kelompok di mana kita berada. Ada teman akrab selama di kampung berupa jiran tetangga. Ada teman akrab selama masih sekolah di SR/SD, sekolah di SMP dan SMA sampai ke perguruan tinggi. Hubungan keakraban itu kadang dapat bersambung berkesinambungan sampai tua, tak jarang terikat lagi dalam hubungan pernikahan dan lain sebagainya.
Hal yang saya ungkap ditulisan ini, sering dialami banyak orang dalam kaitan hubungan kekeluargaan, hubungan persahabatan tersebut. Sahabat atau keluarga kadang kini terpisah oleh kota, bahkan oleh negara. Namanya sahabat namanya kerabat, ada beberapa kemungkinan terjadi:
1.       Kadang ada satu pihak katakanlah “si A” merasa persahabatan itu masih ada adanya, sehingga ingin ketemu kepada sahabatnya misalnya “si B” sementara pihak “B” juga merasakan hal yang sama. Dalam ini pertemuan sangat meriah. Apalagi sudah puluhan tahun tidak ketemu, sepertinya cerita lama terputar kembali dan tak habis-habisnya. Biasanya berlanjut dengan tukar menukar nomor HP dan terus sesekali  berkomunikasi.
2.     Dapat juga terjadi antara si “A” dan si “B”, hanya si “A” yang masih merasa berteman, masih merasa akrab. Pertemuan kalau juga berlangsung, keadaannya tidak meriah, hambar, tandanya percakapan/obrolan berat sebelah, stater bahan omongan hanya dari si “A”. Kalau pertemuan itu dirumah si “B”, tuan rumah sesekali melihat ke pintu, sekali-sekali melirik jam. Duduk si tuan rumah gelisah dan sebenarnya dapat dibaca dari bahasa tubuhnya, bahwa dianya tidak ikhlas menerima tamu, teman lama itu. Kalau anda kebetulan jadi si “A” sebaiknya cepat-cepat pamit, inilah disebut “tuan rumah yang tidak welcome” kata anak sekarang.
3.     Pertemuan ini kadang juga dapat berlangsung dibingkai dalam reuni di suatu tempat, sekelompok kawan lama misalnya pernah satu sekolah, pernah setempat pekerjaan. Dalam pertemuan sesekolahpun, kalau panitia tidak pandai-pandai meracik acara, peserta akan mengelompok dalam strata, mengelompok dalam status sosial, mengelompok dalam tingkat ekonomi mereka sekarang. Banyak kelompok yang saya ikuti reuninya, pada reuni teman pernah setempat pekerjaan, kadang nampak sekat antara yang dulu pernah jadi atasan dan jadi bawahan. Mereka akan mengelompok dalam selevel. Sulit sekali berbaur, sebab masing-masing masih merasa seperti di kantor dulu, mereka lupa bahwa sekarang status sudah sama-sama swasta. Tidak mustahil setelah sama-sama swasta justru yang tadinya bawahan punya kelebihan kesuksesan dari yang semula jadi atasan.
Persoalan tuan rumah yang tidak “welcome” tersebut bukan saja pada kasus contoh kedua di atas. Tapi giliran ini bukan teman lama, teman yang baru dikenal belakangan, katakanlah baru beberapa tahun terakhir ini. Bila dianya bertamu ke rumah kita, dianya sanggup ngobrol yang panjang. Ketika giliran kita berkunjung ke rumahnya dari bahasa tubuhnya dianya ingin segera kita pulang.
Faktor penyebabnya macam-macam, diantaranya tuan rumah tidak welcome ini, keadaan rumahnya kurang nyaman, misalnya ruang tamunya kecil dari rumah ukurannya kecil. Namun sebenarnya ini bukan alasan pokok, ada juga orang yang rumahnya kecil, ruang tamu sekaligus jadi tempat tidur kalau malam, tapi si tuan rumah walau menerima tamu dengan hanya menggelar tikar karena tidak punya kursi tamu, namun yang bersangkutan menerima dengan sangat ramah, tamu yang berkunjung ke rumahnya. Tuan rumah ini sangat welcome. Tidak ada yang disuguhkan si tuan rumah, hanya segelas air bening, tapi dengan penuh kebersahajaan dan ikhlas.
Bagi anda dengan keluarga besar, punya beberapa saudara ibu dan beberapa orang saudara bapak, sehingga banyak om dan banyak tante dan banyak sepupu. Akan dapat merasakan sendiri di rumah om yang mana nyaman kalau berkunjung, di rumah tante yang mana enak untuk bersilaturahim. Di rumah saudara sepupu yang mana kalau berkunjung dari lain kota enak rasanya buat menginap. Ukurannya bukan dari luasnya rumah, luxnya rumah dan kamar-kamar. Ukurannya bukan pada enak dan banyaknya makanan yang disuguhkan. Tapi ukurannya adalah dari perasaan, kadang kita justru lebih nyaman berkunjung ke rumah suadara yang tidak seberapa kaya, enak berkunjung dan nginap di rumah om dan tante tertentu walau tidak begitu besar rumahnya atau kaya orangnya. Itulah masalah perasaan yang susah untuk didefinisikan, tapi dapat dialami setiap orang.
Perilaku yang tidak welcome itu, sebenarnya dapat dikoreksi dengan introspeksi diri, mengubah perilaku. Walaupun kalau sudah terlanjur mendapat “cap” tidak welcome sudah sulit, namun bukannya sesuatu yang tidak dapat diusahakan. Bagi sahabat-sahabat, bagi om atau tante yang keluarganya tidak respek terhadap anda, masih ada waktu mengubah diri.
Agamaku mengajarkan kepada tuan rumah, banyak sekali panduan dan acuannya namun kupetikkan salah satu hadits berikut.
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلأخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
“Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari)
Adapun untuk pihak yang bertamu, juga agamaku memberikan panduan adab bertamu antara lain:
1.     Pilih waktu yang tepat, jangan sampai kehadiran anda merepotkan tuan rumah, mengganggu istirahat.
2.     Beritahukan rencana kedatangan anda ingin bertamu, jangan mendadak, kecuali sangat mendesak. Tetapi minimal ketika hendak masuk rumah harus mengucapkan salam. Kalau sudah tiga kali mengucapkan salam tidak ada jawaban urungkan pertamuan.
3.     Hendaklah si tamu menyebutkan keperluan bertamu.
4.     Bersegeralah pamit, jika urusan sudah selesai.
5.     Kalau nginap ditempat keluarga atau sahabat, usahakan tidak lebih dati tiga hari.

         

Saturday 21 December 2013

SADAP



Bahasa demikian pesat berkembang, mengikuti perubahan zaman. Seorang mahasiswa mengeluh bahwa bahasa Inggris begitu merepotkan, ucapan dan tulisan hampir sama, pengertiannya jauh berbeda. Dia mengambil contoh “lending” dengan “landing: hanya beda di huruf “e” dan “a” artinya satunya “mendarat” dan satunya lagi “menyewakan/meminjamkan”. Mahasiswa lainnya menimpali bahwa bahasa Indonesia pun juga sama, begitulah bahasa,  beda sedikit  bunyi, maka beda jauh arti. Contoh bahasa Indonesia seperti kata “Kucing”, “Kancing” dan “kencing”, beda tipis tapi artinya: “hewan mengeong” , “buah baju untuk menghubungkan bagian kanan dan kiri baju” dan “buang air kecil”. Mahasiswa lain menambahkan seperti “kuping” dan “kuting”. Kuping dengannya manusia dan hewan mendengar, sedangkan “Kuting”, pisau atau parang terlepas dari gagangnya /tanpa tempat pegangannya.
Penghujung tahun 2013, bangsa kita dihebohkan oleh kata “sadap” akan beda jauh artinya bila “a” sesudah “s” diganti “e” artinya suatu cita rasa yang disenangi atau keadaan yang menyenangkan. “Sadap” sendiri punya arti lain. Bila itu digunakan untuk petani karet maka artinya adalah melukai pohon “para (karet)” untuk mengeluarkan getah/latek dari batang  pohon  karet. Contohnya seperti gambar di bawah ini, ketika aku pengin coba bagaimana si “penyadap” karet di kebunku di pedalaman Kalimantan-Barat memproduksi karet.



Di kampungku penuturan “Sadap” untuk pohon karet sebetulnya tak lazim digunakan sebelum tahun tujuhpuluhan, berkat sudah bertambah kentalnya perpaduan penduduk berbagai daerah di Indonesia, penduduk asli kampungkupun sudah mulai terbiasa menggunakan kata “Sadap” untuk mengalirkan “latek” dari pohon karet.  Semula di kampungku, terbiasa dengan istilah “Menoreh” untuk melukai batang pohon karet, guna mengeluarkan air getahnya, dengan pisau khusus.
Begitu tingginya nilai tenaga manusia di wilayah kampungku, “penyadap atau penoreh” mendapat bagian 2/3 (dua pertiga) dari hasil sadapan, sedangkan pemilik kebun hanya kebagian 1/3 (sepertiga). Itupun sulit mencari tenaga yang bersedia menyadap. Ada beberapa hal yang membuat tidak banyak orang yang bersedia menyadapkan kebun orang lain antara lain yaitu:
Pertama, rata-rata penduduk setempat punya kebun karet, walau tidak begitu luas, tapi cukup buat sambilan mereka sebelum menyelesaikan pekerjaan lain. Sebab jam kerja penyadap karet mulai dari subuh sampai sekitar dimulainya waktu dhuha. Selanjutnya penduduk yang rajin, seusai mengintas getah (mengumpulkan hasil sadapan dari tempurung-ke tempurung) dimasukkan ember untuk pengolahan lebih lanjut, mereka akan meneruskan dengan aktivitas produktif lainnya seperti bercocok tanam tanaman muda, membuat anyam-anyaman mengurus ternak dan lain-lain.  
Cerita ini, ketika belum maraknya kebun sawit. Sejah tahun 1990 an mulailah banyak kebun karet yang dikonversi  jadi kebun sawit, walau kebanyakan diantara penduduk tidak begitu rela, namun terpaksa, karena memang kebanyakan kebun mereka tidak punya surat-surat kepemilikan tanah yang resmi. Sementara perusahaan-perusahaan atas nama “PT”, mengantongi izin resmi dari pemerintah, yang mengklaim bahwa lahan yang semula kebun keret rakyat itu adalah merupakan/diperuntukkan sebagai areal perkebunan sawit mereka. Rakyat semakin takut ketika itu (sebelum reformasi), karena bagi yang tidak bersedia menyerahkan kebunnya didekati dengan menggunakan petugas; oleh orang kampung dilihat sebagai aparat, kemudian akan dianggap menentang kebijakan pemerintah.
Penyebab kedua,  sulitnya mencari orang yang bersedia menorehkan kebun milik orang lain adalah dikarenakan MUSIM. Di kampungku di lahan tempat banyak dan subur pohon karet itu, musim hujan menurut statistik 16 hari dalam sebulan.  Jadi peluang menoreh karet hanya 2 minggu dalam sebulan. Belum lagi pohon karet punya tabiat, ketika berganti daun, batangnya tak begitu banyak mengeluarkan air getah. Ketika pergantian daun ini, tidak effektif kalau ditoreh. Jadi hitung-hitung dalam setahun waktu produktif hanya empat bulan.
Penyebab ketiga, kurangnya minat orang menjadi buruh penoreh, adalah harga. Fluktuasi harga karet sangat tajam. Dapat saja terjadi di awal bulan harganya belasan ribu per kilogram, akhir bulan melorot menjadi tinggal dua sampai tigaribu perkilogram. Hal ini pernah kami alami sendiri, ketika mencoba mengerahkan tenaga diambil dari kabupaten diluar kampungku untuk menurunkan hasil kebunku. Disebabkan fluktuasi harga demikian pengelola yang kupercayai, akhirnya undur diri. Sebenarnya kalau agak tahan permodalan, tunggu saja sampai harga kembali naik, menurunkan hasil karet cukup menjanjikan. Apa boleh buat tak kuat bertahan membiayai tenaga penoreh, ketika harga merosot turun, sementara konsumsi jalan terus, belum lagi bila musim hujan. Walaupun pembayaran ke penoreh atas dasar bagi hasil, tapi sementara hasil belum dibagi  harus keluar biaya konsumsi mendahului pembagian hasil. Sementara itu harga-harga barang konsumsi di pedesaan bukan main tingginya dibanding harga-harga di kota.
Diakui juga bahwa dengan sudah berkembangnya perkebunan kelapa sawit, ekonomi sebagian besar keluarga pedesaan tempat lahan berada mulai berjenjang naik. Sempat terlihat beberapa buah mobil mahal parkir di halaman rumah beberapa keluarga, walau jalan yang tersedia kurang memadai untuk enak berkendara. Tidak pula mata dapat ditutup bahwa sebagian besar penduduk yang karetnya terkonversi menjadi lahan sawit hanya dapat sebagai buruh.
Dampak lainnya seperti telah banyak tersiar dimedia bahwa banjir mudah sekali terjadi, karena hutan karet yang bersahabat dengan lingkungan dan hutan alam mendekati punah, pohon durian dan pohon Kelemantan (sebangsa mangga) Pohon Lembacang (sebangsa mangga agak asam dan wangi besarnya nyaris sebesar buah kelapa), pohon Tengkawang, pohon Benuah (penghasil damar) dan berbagai jenis rambutan hutan dan  lainnya telah dibabat.
Pernah kucoba berburu Rusa, sudah tidak menemukan lagi, padahal masa kecilku ikut Ayahanda berburu, kadang dapat beberapa ekor sekali menghutan. Sekali waktu kucoba membawa senapan angin, ternyata hanya dapat dibuat adu ketangkasan dengan pemuda desa, menembak buah mangga di halaman rumah, karena seekor burungpun tak ada lagi yang lewat, apa lagi hinggap dan berkicau.
Kebunku itu menurut “Surat Keterangan Tanah” (SKT) dikeluarkan camat setempat ketika kumembangunnya tahun 1988 seluas 1-km persegi, ditambah lagi kebun karet tetangga tanah ku itu dijual kepadaku seluas 20ha. Awal tahun 2013 lahan tersebut dilirik lagi oleh “PT” pendatang baru bidang perkebunan sawit untuk daerahku. Aku tetap bersemangat mempertahankan kebun karet, walau ku tau hasilnya tak gampang mengeluarkannya. Motivasi kubertahan itu adalah agar anak cucu ku di kampung kelak masih dapat melihat langsung bagaimana modelnya/bentuknya pohon karet. Ku hawatir bila semua lahan dikonversi jadi pohon sawit maka tak sebatang karetpun masih berdiri di tanah leluhurku. Kini lahan perkebunan di tepi jalan provinsi itu, kabarnya sudah makin menciut juga, lantaran dari pinggir-pinggirnya digeser orang, pagar kebun terdiri dari kayu belian mengelilingi kebun rata-rata berjarak 4 meter per tiang, kini sudah banyak yang hilang, maklum lokasi tadinya hutan dan jauh dari keluarga yang diamanahi menjaganya. Lagian ketika membangun kebun penentuan lakosi belum dilakukan dengan teknologi modern sekarang (GPS) dan juga seperti hampir seluruh penduduk desa bukti kepemilikan hanya surat dari camat berupa “SKT” dan bukti pohon karet. Seluruh masyarakat desa setempat tau bahwa lahan itu sebelumnya adalah hutan alang-alang setinggi manusia, kini telah menjadi hutan hijau dan pohon-pohon karet. Legalitas kepemilikan lahan belum sampai kepada HGU seperti para pengusaha besar,

Wednesday 18 December 2013

PETA



PETA Berisikan gambar memberi arah tentang lokasi, alat bantu bagi orang dalam perjalanan di darat, di laut bahkan di udara. Kini penggunaan kata  “Peta” semakin meluas, “Persoalan” juga dapat dipetakan, maksudnya dilakukan inventarisir apa saja masalah yang dihadapi untuk dicarikan solusi tahap demi tahap. Terakhir sedang sibuk disusun “PETA RAWAN KORUPSI”. Ini merupakan pertanda bahwa “korupsi” sudah berada di semakin banyak tempat, sehingga dapat disusun “Peta”. Juga dapat diartikan “korupsi” sudah semakin susah dilacak, sehingga untuk mencarinya di butuhkan “Peta”.
Sezaman kami  es em pe doeloe, ada namanya “Peta Buta” yaitu memuat gambar pulau-pulau dan kota-kota tapi tidak ditulis namanya, untuk menguji pengetahuan murid, sudah dapatkah menulis nama pulau dan kota di “Peta Buta” itu.
“Peta Rawan Korupsi” itu nanti apakah berupa “Peta Buta”?. Tapi yang jelas di Indonesia “orang buta” saja sanggup melihat korupsi dimana berada. Sebab melalui penciuman dan pendengaran korupsi dapat diketahui, tapi susah dibuktikan, itu barang kali mengapa “Peta Rawan Korupsi” sudah perlu disusun.
Kalau “Peta” untuk menunjukkan lokasi, pembuat pertama dari “peta” tersebut adalah orang atau team khusus yang menjalani/mengunjungi tempat-tempat yang kerenanya dibuat peta lokasi itu. Giliran “Peta Rawan Korupsi”, apakah harus dibuat oleh orang yang pernah menjalani korupsi atau orang yang pernah berhubungan dengan korupsi. Bila demikian, ada kemungkinan peta itu sangat akurat, atau sebaliknya peta itu paling ngacau. Kemungkinan pertama Peta akan jadi sangat akurat karena dibuat yang mengalami langsung. Kemungkinan kedua; peta akan jadi ngacau/merancukan/bias, sebab si pembuat akan melindungi diri, atau group mereka, sebagaimana dimaklumi bahwa korupsi tak mungkin dilakukan sendirian. Semoga dalam waktu tidak terlalu lama lagi telah dijual di toko-toko buku “Peta Rawan Korupsi” seperti peta-peta pulau-pulau, peta dunia, agar generasi berikut sudah tak susah lagi mencari koruptor. Wallahu alam bisshawab.