Wednesday 30 May 2012

MANAGEMENT BY “ANU”


Kalau ada orang yang menganggap remeh dan merendahkan bangsa ini, bagaimanapun sebagai anak bangsa kita mesti tidak akan menerima. Walaupun misalnya, kebetulan kita termasuk kurang merasa nyaman hidup di negeri ini lantaran semuanya serba sulit.  Pernah dalam suatu pemaparan di forum pertemuan para pengusaha dan para instruktur pelatihan international trade, diselenggarakan Kementerian Perdagangan (ketika itu Dep, Perdagangan) dimana pembicaranya salah seorang doktor dari negara jiran.  Si doktor antara lain mengemukakan bahwa ia heran kenapa harga gula di Indonesia itu 3 kali lebih mahal dibanding harga gula di negerinya. Padahal negeri mereka hanya sanggup memenuhi kebutuhan nasional mereka 30%, 70% kebutuhan gula rakyat mereka dari impor. Sedang Indonesia masih lebih banyak gula dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya ketimbang dipenuhi dengan impor.
Spontan saya mengangkat tangan ingin menjelaskan kepada pembicara, sebab entah bagaimana pernyataan itu menyentuh harga diri sebagai anak bangsa. Saya tersinggung, rasanya si doktor terlalu memuji negerinya merendahkan negeri kita. Mungkin saya terlalu sensitif, tentu saja si doktor bicara atas dasar data. Tentu maksudnya bukan untuk ngenyek, sebab kalau dengan maksud menghina, mungkin ia akan berfikir beberapa kali sebab ia berbicara di Indonesia di tengah audience  orang Indonesia.
Langsung saya diberi kesempatan bicara. Saya tanyakan kepadanya: “Apakah Bapak yakin bahwa teh atau minuman yang Bapak nikmati selama berada di Indonesia adalah diberi gula  buatan Indonesia”.  Jawab sang doktor: “Ndak tau saya, di hotel saya lihat gula dalam tempat gula yang dihidangkan tanpa diketahui buatan mana”.       Saya sarankan kepada si doktor: “Begitu pulang nanti Bapak mampir di toko, beli gula asli Indonesia. Setelah itu Bapak akan tau apa sebabnya kenapa gula Indonesia 3 kali lebih mahal dari gula di negara Bapak”.      Kelihatan sang doktor sepertinya masih penasaran, dan para hadirin juga menoleh ke saya.      Saya lanjutkan komentar saya: “setelah doktor membeli  gula buatan Indonesia dan mencicipinya doktor mengetahui sendiri “anu” nya gula buatan Indonesia”.   Rupanya bangsa tetangga masih kurang paham dengan istilah“anu” (jadi masih lebih hebat bangsa kita, kata anu punya banyak makna, umumnya kita mengerti). Oleh karena itu ia lanjut bertanya: “Maksud Bapak???” tanya si doktor lebih lanjut. “Ketahuilah bahwa disamping gula Indonesia mempunyai berbagai macam khasiat untuk kesehatan tubuh, juga rasanya 3 kali lebih manis dari gula buatan negeri Bapak”. Jawaban saya itu langsung disambut tepuk tangan meriah hadirin.        Bukan doktor dia, kalau ia tidak paham jika pertanyaan berikut jawaban saya tadi wujud ketidak senangan saya dengan pernyataannya membanding kehebatan negara mereka dengan negara tempat ia bicara, iapun seharusnya maklum bahwa hadirin juga mendukung saya diekspresikan dengan tepuk tangan meriah.         Pembicaraan berlanjut ke topik lain.
Kita banyak mendengar bahwa anak Indonesia, bila sekolah ke luar negeri selalu berhasil dengan baik. Banyak pula anak bangsa ini sukses berkarya di luar negeri. Banyak kita dengar kisah bahwa seorang lulusan dari sekolah di luar negeri, setelah mencoba ingin menerapkan ilmunya di Indonesia, dengan melamar kerja, tapi anehnya justru tidak diterima. Akhirnya yang bersangkutan kembali ke luar negeri ternyata ia sukses di sana.
Salah satu bukti kecerdasan bangsa kita adalah mengerti dengan hanya kata “anu” saja.    Contoh bila seorang ayah sedang memperbaiki sesuatu di rumah, kemudian bilang sama anaknya “tolong ambilkan anu”. Dengan serta merta datang apa yang dimaksud ayah tersebut. Misalnya si ayah sedang memperbaiki sesuatu yang berhubungan dengan listrik, spontan si anak tau yang dimaksud ayah minta diambilkan tang atau obeng atau pisau. Herannya pas, walau tidak genah disebutkan nama barangnya.
Senior saya di kantor pernah bercerita, bahwa bosnya dulu paling cocok dengan dirinya, karena serba mengerti instruksi si bos meskipun hanya dengan bahasa “anu”.  Si bos datang ke meja kerja senior saya itu, atau memanggil ke ruangannya, sambil menyerahkan sebuah draft atau berkas, cukup dengan instruksi “coba ini tolong di anukan”. Tanpa banyak komentar senior saya itu langsung menerima berkas atau draft dan mengatakan: ”baik pak”.    Betul juga begitu draft atau berkas yang berkenaan di tindak lanjuti,  lansung si bos setuju, tanpa ada lagi instruksi harus “dianukan”. Itulah sebabnya si bos sangat suka dengan senior saya ini.  Akibat pemahaman dengan “anu” ini begitu akurat,  kalau tugas itu bukan untuk senior saya, misalnya untuk temannya yang lain, instruksinya sedikit beda dengan kepada senior saya itu. Berkas diserahkan dengan pesan tolong berikan ke si anu untuk dianukan. Hebatnya senior saya itupun dapat menterjemahkannya bahwa berkas tersebut diserahkan ke seorang temannya yang tepat dan sekaligus menterjemahkan harus diapakan pekerjaan tersebut.
Rupanya si senior saya ini tidak yakin, bahwa orang lain juga akan begitu cekatan menerima instruksi “anu”. Buktinya giliran senior saya jadi bos, ia memperlakukan anak buahnya tidak lagi dengan instruksi yang hanya “anu”. Walau sesekali terwarisi juga management by anu dari mantan bosnya.
Pernah saya menjadi bendahara bos saya di suatu cabang kantor kami. Si bos menitipkan sejumlah uang tak-tis. Zaman itu masih dikenal uang tak-tis yang dipergunakan atas persetujuan bos untuk diberikan sebagai sumbangan, sebagai ikut berpartisipasi atau entah apapun istilahnya diberikan kepada pihak yang datang ke kantor menghadap bos kami dengan berbagai keperluan. Kadang yang datang minta sumbangan itu lebih keren dari bendahara bos, kadang seorang gadis yang rupawan.
Pokoknya aneka macam model dan strata tamu. Setiap kedatangan tamu model ini si bos memanggil saya ke ruangannya, di depan tamu si bos bertanya “kita punya anu masih adakah”. Saya harus dapat menjawab dengan tepat tergantung tatapan mata si bos. Jika dari tatapan matanya menghendaki saya harus mengatakan masih ada, maka saya akan jawab “baik pak masih ada sedikit” atau “baik pak masih ada”. Langsung si bos instruksi lebih lanjut “tolong anunya bawa ke sini”. Saya pun harus mengerti berapa besarnya “anunya” tersebut dan memasukkan ke dalam amplop. Di kesempatan lain, bisa saja saya harus menjawab “pas lagi kosong pak”, walau mestinya ada, kalau tatapan mata si bos ketika menanyakan “kita punya anu masih adakah”, saya menterjemahkannya tamu bos ini seharusnya tidak diberikan sumbangan.
Dapat pula bos memanggil saya ke ruangannya, kemudian mengenalkan dengan tamunya, selanjutnya instruksi: “tolong anunya buat ...... (menyebut nama tamunya)” langsung saya harus paham, kembali ke ruangan saya dan menyiapkan amplop sejumlah tertentu menyerahkan ke bos untuk tamu tersebut.
Hubungan saya dengan bos tersebut lebih dari empat tahun belum pernah salah terjemah terhadap kalimat “anu” dari bos saya tersebut.

Sunday 20 May 2012

UJIAN BATHIN

Bila diputar ulang perjalanan hidup seseorang sejak mulai mampu mengingat sampai di usia sekarang ini (di bawah 40 tahun atau 60,70 80 tahun lebih), sepertinya mungkin hampir setiap orang mengalami suatu peristiwa yang merupakan ujian bathin bagi yang bersangkutan. Ada yang menjalani ujian tersebut melakukan dengan jalan yang tepat dan ada yang menjalaninya dengan jalan yang salah. Apapun pilihan dalam menjalani ujian tersebut sudah terlanjur berlalu. Bagaimanapun jarum jam kehidupan tidak mungkin untuk diputar mundur.
Kalaulah pilihan dalam menyikapi ujian bathin itu adalah benar dan tentu tidak akan timbul penyesalan sampai nantipun, sebaliknya bila salah, hanya memohon ampunan kepada Allah atas kesalahan tersebut dengan tekad tidak akan mengulangi lagi kesalahan dimaksud. Karena kita tidak mungkin untuk mengulang kembali masa lalu kita itu, bagaimanapun kelamnya, apapun kesalahan yang terlanjur dibuat.
Adalah soerang mantan supir taxi pernah berkisah kepada saya, ketika suatu saat mengantar orang asing yang naik dari pusat perkantoran/bisnis di Jakarta Thamrin ke pemukiman komunitas orang bule di bilangan Jakarta Selatan. Setelah penumpang turun, si pengemudi taxi melanjutkan perjalanan untuk mencari penumpang lain, tetapi seiring dengan macetnya jalan-jalan di Jakarta kebetulan setelah mengantar si bule itu beberapa ruas jalan dilalui belum juga ada penumpang. Kebetulan sudah menjelang siang, taxi ditujukan ke warung tegal di dekat pepohonan rindang. Sebelum meninggalkan taxi sudah kebiasaan standar setiap pengemudi, melirik kembali ke seluruh kabin dan pintu apakah sudah semua terkunci. Tiba-tiba pandangannya tertuju ke jok belakang ternyata ada sebuah amplop coklat tergeletak.
Spontan niatan untuk mengisi bahan bakar diri diurungkan, ia langsung masuk ke kabin belakang taxi dan naluri manusia mungkin siapapun dia, langsung meraih amplop tersebut. Tindakan pertama menimang-nimang amplop (diletakkan di telapak tangan diturun-naikan) untuk mengira berapa berat barang di dalam amplop dan menduga-duga apa isi  amplop itu.
Ujian bathin yang pertama mulai terjadi. Ada beberapa pilhan yang sekaligus berada dalam bathin si supir taxi. Keputusan harus segera diambil, siapa tau si penumpang ingat nomor lambung taxi dan segera lapor ke kantor pusat taxi. Adapun pilihan bathin itu adalah:
1.    Pilihannya, amplop  tidak dibuka, inikan barang orang, barang kali ada rahasia.
2.    Bathin menyarankan buka saja, siapa tau barang berharga kan si penumpang tidak tau ini.
3.    Terlintas juga di bathin bahwa jangan dibuka, ya kalau barang legal, kalau narkoba bagaimana disimpan berbahaya dilaporkan polisi malah terlibat jadi saksi lalu hilang waktu narik taxi.
4.    Apapun yang terjadi harus diketahui isinya, kalau itu barang berharga bagaimana nantilah.
5.    Setelah dibuka kalau ternyata barang berharga kuasai dan jika sipenumpang lapor ke kantor pusat perusahaan taxi, dapat saja berkilah bahwa tidak tau, tidak menemukan barang ketinggalan,  sebab sudah beberapa orang penumpang turun naik.

Pak supir kemudian mengambil keputusan keempat dan condong langsung untuk keputusan ke lima jika ada pertanyaan dari kantor pusat perusahaan taxi.

Begitu dibuka sedikit ujung amplop, ternyata terlihat lembaran uang US dollar yang masih segar-segar, masih ber ikat karet.  Langsung amplop kembali ditutup dan dada si supir mulai berdegup kencang, lihat dollar si udah pernah,  tapi setebal itu kepegang tangan belum siap. Pelan-pelan dengan posisi agak mbrangkang/merangkak, amplop dari sandaran jok belakang dimasukkan ke laci sebelah kiri di depan kursi penumpang sebelah kiri dan langsung dikunci. Berikutnya ia memilih berdiam diri beberapa saat duduk di jok belakang. Selain menenangkan perasaan juga agar tidak menimbulkan gerakan mencurigakan bagi orang yang sedang makan di warung tegal yang diantaranya ada juga sesama supir taxi.  Jumlah tepatnya uang belum pasti ketika itu, karena kalau dihitung ditempat seperti itu kurang pas dan kurang aman. Kemudian ia memilih segera pulang dan menunda makan siang, langsung di rumah saja pikirnya.

Tentu saja istrinya kaget, melihat suaminya pulang siang, tidak biasanya. Kalau pas dapat giliran narik pagi biasanya pulang sudah agak malaman. Tapi si isteri tidak serta merta menanyakan, karena keluarga mereka memang sudah terbiasa kalau suami pulang tidak langsung dibrondong pertanyaan, tetapi si isteri segera menyiapkan kopi kesukaan suaminya, agak beberapa saat kemudian “sudah sempat makan siang mas”?,  tanya isterinya. Dijawab singkat “belum”. Langsung isterinya menyiapkan makanan dengan lauk ala kadarnya direbuskan supermi dipecahi telor.

Timbul lagi ujian bathin berikut, tentang amplop di laci mobil, yaitu ada dua pilihan, apakah hal ini diberitahukan isteri atau tidak diberitahukan. Bathin menjadi tidak tenang dan ketidak tenangan tersebut tidak dapat disembunyikan dan tentu akan diketahui oleh isteri yang sudah lama membina rumah tangga sampai punya anak tiga. Untuk tidak mengundang kecurigaan yang lebih jauh dari si isteri, pak supir kemudian memberitahukan isterinya tentang apa yang dialaminya menemukan amplop penumpang itu.

Amploppun segera di ambil dari laci mobil dibawa masuk kerumah, kebetulan di rumah hanya tinggal mereka berdua, anak-anak masih disekolah. Amplop kemudian dibuka bersama, sepasang suami isteri itu alangkah kagetnya mereka, tenyata ada tiga gepok (bendel) uang dolar Amerika terikat karet masing-masing ikat terdiri dari pecahan 100, pecahan 20 dan pecahan 10. Setelah mereka hitung dengan cermat:
    pecahan 100 ada 100 lembar jadi berjumlah USD 10.000
    pecahan 20 ada 80 lembar jadi berjumlah USD 1.600
    pecahan 10 ada 98 lembar jadi berjumlah USD 980
jadi jumlah isi amplop adalah USD 12.580. dengan pengetahuan yang minim mengenai nilai tukar mereka sudah dapat menerawang bahwa kalau ditukar jadi rupiah maka akan lebih-kurang sekitar  seratus juta rupiah.

Kini persoalan sudah tidak ditanggung sendiri, sudah berbagi dengan isteri yang harus ikut memikirkan pemecahan masalah. Ujian bathin menjadi beban suami isteri, mereka kemudian masing-masing bermenung untuk beberapa saat dan kemudian terlibat diskusi hangat. Memang jika seseorang mendapatkan suatu ujian bathin dan sesuatu yang menjadi beban pemikiran, butuh orang lain untuk berbagi rasa dan kalau sudah dibagi terasa seperti bebannya sudah agak berkurang. Meskipun mungkin orang yang dibagi cerita itu tidak membantu ikut memikirkan. Tapi masalah mereka berdua, tentu isteri sangat berkepentingan memikirkan dan mencari jalan keluar yang terbaik.

Mengejutkan, isteri pak supir mendorong kuat suaminya agar mengembalikan uang tersebut, jelaskan kepada pemilik terus terang amplop sudah dibuka, karena ingin tau isinya seberapa jauh pentingnya. Walau semula persoalan amplop sudah dibuka ini jadi perdebatan sepasang suami isteri itu.
Alasan pokok bagi isteri mendorong suaminya untuk mengembalikannya adalah:
1.    Uang tersebut jelas bukan uang halal, sekurang-kurangnya subhat.
2.    Orang yang bersangkutan tentu sangat merasa kehilangan dan jelas menderita kerugian
3.    Sedangkan pihak kita (maksudnya suami siteri itu) mengatahui bahwa itu uang punya seseorang yang diketahui alamatnya, sebab satu-satunya penumpang yang pertama menggunakan taxi suaminya dan sesudah itu tidak ada penumpang lain.

Berat memang keputusan ini diambil karena seumur-umur sepasang suami isteri itu belum pernah memiliki jumlah uang sekaligus ratusan juta seperti dihadapan mereka saat ini. Rumah saja masih ngontrak dari tahun ke tahun. Kalau uang itu dibelikan rumah sudah dapat yang type lumayan di BSD (Bekasi Sonoan Dikit). 

Setelah mandi dan ganti pakaian (waktu itu supir taxi di Jakarta belum pakai seragam seperti sekarang). Bulat tekad si abang taxi memasuki mobil dan meluncur menuju alamat penumpang yang punya amplop itu diturunkan. Dalam perjalanan dan bahkan sesampainya dihalaman rumah yang diduga didiami pemilik amplop itupun masih bergejolak ujian bathin dikembalikan atau tidak uang tersebut. Tapi bagaimanapun dibulatkan tekad ditekan bel pagar rumah tersebut. Sebentar kemudian keluar seorang mbak-mbak menghampiri pagar yang masih tetap terkunci. “Cari siapa?”, kata pembantu rumah tersebut, tentu saja si abang taxi tidak dapat mengemukakan namanya, karena memang tidak tau, satu-satunya jawaban hanya menyebutkan bahwa: “tadi sekitar pukul sepuluhan saya ada mengantar orang sepertinya orang asing ke alamat ini, boleh saya ketemu sebentar”. “Tunggu sebentar” jawab mbak pembantu.

Belum beberapa langkah si mbak pembantu berbalik arah menuju pintu rumah, dari dalam rumah keluar penumpang yang kenali wajahnya si abang taxi, langsung menuju pagar dan menyuruh pembantu membuka pintu pagar. Rupanya percakapan pembantu dan supir taxi tadi terdengar samar-samar ke dalam rumah, memang si bule karena merasa ketinggalan amplop di taxi, sudah bingung harus bagaimana. Suatu harapan setelah dilihatnya dari kaca jendela ada taxi yang ditumpangi tadi supirnya turun dan berdialog dengan pembantunya. Dengan bahasa Indonesia yang cukup baik dipersilahkannya supir taxi itu masuk ke rumah.

Tanpa basa-basi si abang taxi menceritakan bahwa ditemukannya amplop, singkatnya si bule juga langsung menyebutkan itu amplop berisi uang persis seperti yang telah dihitung oleh abang taxi dengan isterinya lengkap dengan rincian pecahannya.

Amploppun diserahkan dan oleh si bule dicek kembali, dan kemudian menarik dua lembar pecahan USD 100, diberikan ke abang taxi sebagai ucapan terima kasih, tak lupa ia minta si abang taxi menuliskan nama dan alamatnya (waktu itu belum era HP).

Dalam perjalanan pulang si supir taxi masih saja membayangkan kalau uang itu tidak dikembalikan sudah punya uang sekitar seratus juta, dapat beli rumah dan tidak jadi “kontraktor” tiap tahun. Tapi sudahlah sudah terlanjur, ini yang terbaik dan juga sudah keputusan bulat dibuat bersama isteri. Jadi kontraktor tiap tahunpun tidak apalah, kesempatan dibuang sudah sepersetujuan isteri dan justru dia yang paling getol suruh mengembalikan. Setidaknya kalau isteri menyesali jika tidak punya rumah sendiri, ini dapat jadi senjata pamungkas, “habis kau si dulu ada kesempatan tidak diambil”. Kesempatan jarang terjadi dua kali.

Tiga bulan kemudian setelah peristiwa pengembalian amplop berisi uang itu, suatu hari isteri pak supir dikagetkan ada sebuah surat masuk ke rumah kontrakan mereka. Sore harinya surat disampaikan ke sang suami ternyata isinya memanggil pak supir taxi untuk dapat ke bilangan perkantoran di Jl. Sudirman Jakarta menghadap pada Mr ....... (disebutkan namanya), pada hari Selasa pagi tanggal .....antara pukul 09.00 sampai pukul 11.00.

Semalaman terganggu juga tidur pak supir karena apa tujuan surat panggilan ini, tidak pernah merasa melamar pekerjaan. Untuk menghilangkah ke was-wasan pada hari ditentukan tepat pukul sembilan iapun datang ke gedung dimaksud dan langsung naik lift menuju lantai perusahaan yang disebutkan dalam surat. Singkatnya surat ditunjukkan ke resepsionis yang berada di mulut area kantor dimaksud. Setelah beberapa saat menunggu dipersilahkan menghadap nama yang disebutkan di dalam surat dan ternyata dianya adalah penumpang taxi yang ketinggalan amplop kurang lebih tiga bulan lalu.

Melalui penterjemah diperoleh kesimpulan si supir taxi ditawari sebagai karyawan di perusahaan asing tersebut, dengan tawaran gaji yang jauh lebih tinggi tiga kali dari penghasilan pengemudi taxi. Rupanya penumpang taxi tersebut adalah pejabat perusahaan swasta asing yang empat bulan lalu baru pindah ke Jakarta. Akan hal kejujuran si supir taxi diwartakannya pada kelompok pimpinan perusahaan, sehingga direkomendasikan untuk direkrut jadi pegawai. Kebetulan abang supir ini secara formal mengantongi ijazah sekolah teknik mesin. Walau di perusahaan asing itu tidak mempersoalkan ijazah tapi paling tidak yang bersangkutan akan gampang adaptasi dengan tugas apapun yang diberikan oleh perusahaan. Kelanjutannya mantan abang taxi itu betah bekerja diperusahaan tersebut dan tiga tahun kemudian sudah sanggup mencicil rumah untuk dimiliki sendiri di komplek perumahan sederhana di sekitar DKI Jakarta.

Masalah ketinggalan bawaan di dalam taxi pernah kami alami sendiri, waktu itu saya menjemput isteri pulang dari haji tahun 1992, saya menjemput dari Pondok Gede bersama saudara sepupu saya. Salah satu tas tentengan diminta oleh sepupu saya agar ia yang membawanya, dia duduk di samping sopir sedang bagasi lainnya satu  dipegang sendiri oleh isteri dan koper pakaian saya pangku (tidak masuk bagasi mobil) agar gampang begitu nyampai langsung keluar taxi. Benar saja begitu keluar kami pun membayar ongkos taxi dan langsung menuju rumah, kebetulan rumah ini rumah dinas baru,  ketika isteri saya berangkat haji dari kota lain. Saya dimutasi ke Jakarta ketika isteri berangkat haji. Entah karena perhatian ke hunian baru kami itu atau bagaimana, kamipun langsung masuk rumah dan sepupu saya itu masuk dengan tangan kosong, tidak membawa tas yang diletakkan dekat kakinya duduk di kursi depan taxi tadi. Begitu menyadari hal itu, langsung menelpon ke kantor pusat taxi yang bersangkutan, kami kebetulan tidak mencatat nomor lambung taxi. Sampai sekarang tas berisi pakaian lembab/kotor dan ada uang USD 300 disisipkan di alas/dasar tas, tidak diperoleh kembali. Uang tersebut disimpan di kain dasar tas dengan dilobangi kecil kemudian ditutup dengan rapi, jadi kalau bukan orang yang memasukkannya tidak mengetahui kalau didalamnya ada uang. Isi tas yang terlihat  hanya pakaian bekas beberapa helai yaitu pakaian dalam yang nilainya tidak seberapa, itu saja tidak dikembalikan oleh sopir taxi. Coba kalau ia mengembalikan mungkin kami akan menghadiahi ybs bisa-bisa selembar pecahan USD 100 atau sekurangnya ongkos beberapa kali naik taxi.

Itulah salah satu model kejujuran, yang kadang diawal terasa kurang nyaman, kurang menguntungkan tetapi dalam banyak hal berujung kenikmatan. Setidaknya bagi orang beragama ujung yang paling diharapkan adalah kehidupan sesudah hidup ini, buah kejujuran akan dipetik di alam nanti.

Kejujuran manusia dipengaruhi oleh dorongan dari dalam, yaitu dorongan rohani. Manusia memang mempunyai potensi untuk curang, berbuat tidak adil, tidak jujur, berbuat kejahatan. Dibalik itu manusia sekaligus berpotensi untuk jujur, berbuat baik, berlaku adil. Kadang manusia harus berada dipersimpangan jalan dari sifat baik dan sifat buruk itu. Kemana arah potensi itu dipengaruhi oleh nafsu yang ada di kalbu manusia yang bersangkutan.

Nafsu manusia oleh banyak ustadz dikelompokkan menjadi tujuh yaitu: (1) nafsu amarah, (2) nafsu lawwamah, (3) nafsu sawwalat, (4) nafsu muthmainah,  (5) nafsu radhiyah, (6) nafsu mardhiyah dan (7) nafsu sawwiyah. Dari sekelompok nafsu tersebut energi penggerak nafsu tersebut sehingga terwujud dalam sikap dan perbuatan dipengaruhi oleh sifat manusia yang terbentuk dari sifat hewani, sifat insani dan sifat nurani.

Sifat hewani; serakah, tidak pernah puas, tidak perduli punya siapa saja yang penting dapat diambil. Sifat hewan ini bila masih melekat pada hewan belum seberapa rusaknya, sebab hewan memang serakah tetapi hanya sebatas pemenuhan kebutuhannya sesaat, contoh se buas-buasnya harimau bila ia sudah memangsa seekor rusa ia akan makan rusa itu sampai habis baru ia berburu lagi. Kalau dia serombongan sedang menyantap seekor rusa, biar rusa-rusa lainnya bersileweran tidak ia ganggu. Lain hal bila sifat hewani diadopsi manusia, kalau berburu misalnya rusanya ada tujuh ekor kalau mungkin dibunuh semua, dagingnya di buat dendeng. Begitulah uang triliunan dikorupsi,  kalau dipikir buat apa, sebab bila dipakai sendiri sampai mati tak habis, tapi tetap diembat juga.

Sifat insani; sifat ini juga akan berusaha mendapatkan kepuasan dunia sebanyak-banyaknya berupa harta benda dan kekayaan serta jabatan, akan tetapi sudah ada pembatas,  harus sesuai dengan logika, sesuai norma, sesuai ketentuan yang berlaku. Kadang bagaimanapun caranya dilaksanakan asal tidak diketahui orang, asal tidak terkena hukuman dunia, hukuman masyarakat, tidak melangar norma. Seperti misalnya pak supir yang menemukan amplop tadi bila hanya menggunakan sifat insani, ia tidak akan kembalikan. Sebab tidak ada tuntutan dari yang punya, kalaupun sampai dapat ditelusuri, juga masih dapat menggunakan dalih-dalih logika untuk tetap tidak mengembalikan uang tersebut. Begitu pula supir taxi yang menjemput kami dari Pondok Gede, sifat insani mungkin yang menahan dia untuk mengantarkan tas ketinggalan di taxinya karena mungkin pikirnya atas dasar logika tidak materiil hanya sebuah tas tentengan isinyapun hanya pakaian kotor. Besar kemungkinan ia tidak mengetahui bahwa di dalamnya ada uang USD 300,-

Sifat nurani; sifat ini membentuk pribadi manusia menjadi berahlak mulia, bertutur kata lembut tidak ada orang yang terluka karena lidahnya. Mereka berpikir sebelum berkata, bukan berkata baru mikir. Segala tindakan dipekirakan sedalam-dalamnya sejauh jauhnya agar tidak merugikan orang lain. Segala tindakan harus bermanfaat tidak akan berkata dan berbuat sia-sia. Usianya diisi dengan penuh perbuatan kebaikan. Tidak lagi materiil yang menjadi ukuran dan tujuan, tidak mau mengambil hak orang lain, tidak akan memakan makanan yang haram.  Baik haram  dari unsur kimiawinya, haram dari cara mengolahnya maupun haram dari  proses memperolehnya. Ujian bathin itulah yang dimenangkan oleh sepasang suami isteri mantan pengemudi taxi tersebut kisah di atas. Mereka tidak bersedia memakan harta yang haram dari proses memperolehnya. Orang yang sifat nuraninya dominan menguasai dirinya jangankan harta yang haram, harta yang subhat (ragu-ragu antara halal dan haram) pun dihindarinya.

Semogalah sebagian besar anak bangsa ini banyak yang mengasah sifat nuraninya sehingga menjadi pendorong perilaku berbuat bertindak dalam posisi apapun ia berada, baik penguasa maupun rakyat. Dengan demikian Insya Allah keberkahan akan dibukakan Allah dari langit dan dari bumi. Sebab seluruh manusia Indonesia tidak ada lagi yang korupsi dan kemakmuran untuk seluruh rakyat akan terealisasi. Seperti janji Allah dalam Alqur’an surat Al A’raf ayat 96:
 
Walau anna ahlalquraa amanuu wattaqau lafatahna a’laihim barakatin minassamaa iwalardhi walakin kadzabuu fa akhadznaahum bimaa kanuu yaksibuuna (Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya).

Pengasah sifat nurani tersebut adalah salah satu ikhtiarnya dengan memperdalam/memperlajari ajaran agama. Walaupun seorang yang mengerti agama belum tentu nuraninya terasah, banyak kita saksikan orang yang mengerti agama tapi masih juga suka makan yang haram.  Kita tidak boleh mengatakan bahwa orang beragama banyak yang korupsi, tapi kita boleh menyimpulkan bahwa orang yang korupsi tidak mematuhi agamanya. Wallahu a’lam bishshawab.






Tuesday 8 May 2012

MENYIKAPI MIRIS, PENGAPESAN DAN TRAUMA

Miris menurut kamus umum bahasa Indonesia susunan M.J.S. Poerwadarminta diartikan “bermacam-macam atau banyak tirisnya”. Sedangkan “miris” yang dimaksud dalam tulisan ini adalah, “risih”, “khawatir” boleh juga diartikan “ngeri”, kadang “miris” sesekali tempo condong diterjemahkan sebagai “trauma”.
Ada orang yang miris bila mendengar bambu digosok dengan bambu, bunyi gesekan bambu tersebut sanggup membuat orang tersebut ngeri sampai mengangkat bahu, bulu kuduknya merinding, atau matanya sampai dipicingkan, giginya sampai digigit rapat-rapat atau telinganya ditutup dan selanjutnya memilih meninggalkan atau menjauhi tempat sumber bunyi itu.
Ada orang yang miris mendengar bunyi Tokek, apalagi melihat hewan yang satu ini, lebih miris dari melihat seekor ular. Miris ini condong kepada “takut”, tapi bukan berarti takut dibinasakan binatang itu, bukan takut Tokek dapat mencederainya. Entah kenapa ia sangat ngeri, miris sekali terhadap  Tokek.
Ada orang yang sangat miris terhadap Kecoa. Yang bersangkutan segera bergegas dari kamar mandi/WC, sampai tak jadi menyelesaikan urusannya di WC kalau di dalam WC ketemu dengan Kecoa. Ia memilih menunda kebeletnya dari pada harus berhadapan dengan Kecoa. Aneh memang, mestinya binatang kecil ini cukup dengan sekali injak, sudah tamat riwayatnya.
Takut kucing; begitu melihat kucing di pintu gerbang rumah,  ybs. rela menunggu beberapa saat sampai kucing itu pindah dari alur jalannya menuju masuk halaman rumah. Atau minta tolong orang lain agar memindahkan itu kucing, karena binatang yang satu itu tak gampang pindah sebab sukanya tidur.
Takut anjing; bila ada anjing di jalan si takut anjing memilih belok kearah lain, agar tidak berpapasan dengan anjing. Padahal binatang yang satu itu punya kebiasaan akan mengejar orang, kalau orang tesebut berlari.
Dalam sinetron “Tutur Tinular” ditayangkan TV Indosiar,  lakon tengkorak berasap yang diperankan sebagai makluk yang sakti bernama “Nagras” takut dengan Marmut. Apapun kejahatan yang sedang akan dijalankannya, betapa saktinya dia,  begitu ada Marmut yang bersangkutan lari terbirit-birit.
Seorang “atasan bagian” di sebuah kantor, sangat “miris” melihat barang terletak dipinggir. Misalnya dipingir meja. Begitu melihat barang apa saja, apakah alat tulis, gelas,  pokoknya apa saja yang dilihatnya ketika ia lewat di meja anak buahnya langsung ia segera menggeser barang tersebut agak ketengahan, karena dia miris kalau barang itu nanti jatuh. Lama kelamaan ke-miris-an si bos diketahui anak buahnya. Kontan jadi bulan-bulanan anak buah. Begitu mendengar tanda tanda si bos bakal datang atau bakal masuk keruangan kerja mereka. Di dalam kelompok anak buah itu ada saja diantaranya menyiapkan sesuatu barang yang disengaja letaknya disudut atau dipinggir meja. Si bos menangkap barang itu dan menggesernya agak ketengah. “Jangan diletakkan begini, nanti jatuh” ujarnya sambil menggeser benda tersebut. Sementara sekelompok karyawan menahan tawa kemudian setelah beliau berlalu berderailah tawa mereka. Saking mirisnya beliau melihat barang terletak dipinggir, bila menemukan hal itu sampai sampai tujuan pokoknya datang ke ruangan anak buahnya tak jadi dilaksanakan. Instruksi yang tadinya akan diberikan kepada anak buah sampai lupa dia menyampaikannya.
Kemirisan atau trauma seperti ini dalam banyak keadaan adalah merupakan unsur kelemahan kita, siapapun anda kalau dapat kelemahan itu hendaklah disembunyikan. Sebab dengan kelemahan diketahui orang,  dapat saja dijadikan bahan untuk melumpuhkan kita atau sekurangnya jadi bahan godaan seperti yang terjadi pada si bos.
Penyebab miris mungkin dapat dikelompokkan atas:  miris bawaan dan miris dapatan.
Miris bawaan; yang melekat pada diri seseorang yang tumbuh sejak lahir, sejak ia sudah mampu beraktivitas pembawaan diri yang bersangkutan sudah miris terhadap sesuatu. Kemirisan tersebut bukan dibuat-buat, bukan pula disebabkan oleh sesuatu sebab seperti pengalaman, kejadian yang tidak terlupakan, atau apapun dari faktor ekstern.
Tidak terbatas pada manusia saja memiliki soal miris ini konon Jin makhluk halus dan binatang buas juga punya hal-hal yang mereka miris. Dikenal bahasa daerah dengan istilah “pengapesan”. Contoh yang diinformasikan orang-orang tua kami dulu yang berdiam di desa yang masih sepi diantaranya:
Hantu Pontinak, yang dikenal secara umum di Indonesia  “Kuntilinak”. Dianya miris dengan “rabunan rambu’ bawang merah”. “Rabunan” bahasa daerah (melayu Pontianak dan sekitarnya) yang artinya asap yang dibuat dari membakar sesuatu. “Rambu’” bahasa daerah yang artinya daun bawang merah yang sudah kering biasanya untuk mengingat sekelompok buah bawang. Jadi “rabunan rambu bawang merah” adalah asap yang dibuat dengan membakar daun kering bawang merah. Begitu dibuat rabunan tersebut, hantu Pontianak yang biasanya ketawa cekikikan disamping rumah, atau kemah anda di hutan misalnya, dia makin nyaring ketawanya cekikikan dan kemudian ketawanya makin lama makin jauh dan menghilang. Jadi kalau anda kebetulan dapat tugas ekspedisi ke hutan Kalimantan jangan lupa berbekal di ransel anda “rambu bawang”.
Ular Sawah atau ular Piton yang banyak hidup di hutan lebat, dianya sangat miris/pengapesannya adalah tembakau, begitu mulutnya kemasukkan tembakau ia langsung lemas dan dapat dikuasai. Tembakau penting buat perjalanan ke dalam hutan sebab juga mujarab menghindari sengatan “Pacet”. Setidaknya tembakau berguna di hutan untuk ular Sawah atau ular Piton dan Pacet. Kedua binatang ini pengapesannya tembakau. Sedang ular berbisa lainnya pengapesannya adalah garam.
Orang hutan dan Beruang pengapesan mereka adalah Terasi yang di bakar. Cuma bumbu masak yang satu ini antagonis, disatu pihak kalau dibakar menjauhkan Orang hutan dan Beruang sampai radius puluhan kilometer dari perkemahan kita di hutan. Dalam pada itu kalau siangnya membakar Terasi akan mengundang didatangi oleh “Jembelang Tanah”, adalah sejenis hantu sebangsa Jin yang terusik kenyamanannya bila mencium bau Terasi terbakar.  Mereka datang malam hari sampai menjelang subuh, dengan bunyi-bunyi yang menakutkan. Tapi sejauh ini belum ada manusia yang cedera langsung oleh olah “Jembelang Tanah”. Kalaupun ada yang celaka disebabkan ketakutan yang amat sangat. Si “Jembelang Tanah” ada pula pengapesannya yaitu dengan menancapkan besi yang sudah dibakar sampai merah ke tanah dekat perkemahan di hutan. Syaratnya penancapan besi, ketika mereka sudah mulai beraksi. Jadi langkah yang harus dilakukan rombongan yang bermalam di hutan, begitu mendengar rauman, suara “Jembelang Tanah” segeralah membakar besi seperti tombak atau parang atau apa saja, sampai besi menjadi merah dan kemudian tancapkan ke tanah dekat kemah. Rauman suara “Jembelang Tanah” segera berhenti dan anda dan rombongan dapat meneruskan istirahat dengan tenang, setelah di sekeliling kemah ditaburi garam untuk menghindari ular.
Miris dapatan; yaitu miris yang datang dikarenakan sesuatu sebab seperti pengalaman yang tak terlupakan, kejadian tertentu yang menyebabkan ybs. bila mengingatnya akan menjadi miris. Miris model ini mungkin yang condong disebut dengan trauma.
Trauma terjadi ketika pikiran tidak siap menerima suatu kejadian atau peristiwa sehingga mengakibatkan suatu goncangan. Apapun itu semua ada rekaman peristiwanya, yaitu rekaman traumatic. Rekaman inilah yang menyebabkan seseorang jera atau takut dengan objek pengingat (tempat-suasana-orang atau benda).
Penyebab trauma bisa beragam bentuknya, mulai dari kekerasan, kehilangan, atau perpisahan, eksploitasi. Namun trauma yang seringkali menimbulkan dampak negatif bagi masa depan seseorang adalah trauma yang disebabkan kejadian yang sangat memukul dalam lingkungan keluarga, seperti perceraian, kematian, atau kekerasan dalam rumah tangga. Apalagi jika hal-hal tersebut terjadi secara terus menerus dalam waktu berkepanjangan.

Adalagi jenis trauma disebabkan pengalaman makanan, pengalaman keadaan yang dialami antara lain contoh:
•    Pernah gara-gara termakan jenis sambel tertentu sampai dirawat di rumah sakit karena diare. Bila suatu ketika menemukan sambel tersebut ybs jadi trauma.
•    Suatu ketika salah mengambil suatu keputusan yang karenanya berakibat vatal.
•    Pernah gagal tampil berbicara didepan umum ketika suatu ketika terpaksa menggantikan posisi seseorang.
•    Kalah dalam suatu pertandingan yang menentukan disebabkan hanya kesalahan kecil.
•    Seorang anak terganggu konsentrasi mempelajari mata pelajaran tertentu karena gurunya kurang disukai sebab pernah berlaku yang tidak mengenakkan.
•    Pernah pingsan mencium aroma tertentu, padahal pingsannya itu disebabkan penyakit lain, kebetulan saat akan pingsan ingatan terakhir mencium aroma tersebut.
Banyak lagi contoh trauma yang mungkin dialami sendiri oleh pembaca atau oleh teman dekat dari para pembaca. Baik trauma bawaan maupun trauma dapatan, tidak diperoleh cara mengatasinya atau obatnya dengan pasti. Sebab bersangkut paut dengan kejiwaan seseorang, bukan gangguan pada phisik yang kasat mata kelihatan. Karena masalah kejiwaan, maka jalan keluar untuk mengurangi trauma dan bahkan mungkin menghilangkannya adalah dengan jalan kejiwaan pula. Berangkat dari pemahaman bahwa manusia terbangun oleh dua unsur pokok yaitu “Jasmani dan Rohani”. Persoalan rohani adalah wilayah agama, dengan demikian cara agamalah yang paling ampuh untuk mengatasi persoalan trauma. Salah satu caranya adalah dengan berdo’a,  menyerahkan diri secara totalitas kepada Allah s.w.t. diantara do’a tersebut dapat direferensikan adalah:
Allahumma aslamtu nafsi ilaika = Ya Allah kuserahkan diriku kepada Engkau
Wawajahtu wajhi ilaika= Kuhadapkan wajahku kepada Engkau
Wafawadltu amri ilaika=  Kuserahkan segala uusanku kepada Engkau
Wa alja’tu dhakhri ilaika= Kusandarkan punggungku kepada Engkau
Raghbatan warahbatan ilaika = Kuharap lindungan-Mu dan aku ngeri akan murka-Mu
La malja’a wala manja minka illa ilaika = Tidak ada tempat berlindung dan tidak ada tempat menyelamatkan diri dari Engkau, melainkan kepada Engkau jua.
Allahumma  amantu bikitabikal ladzi anjalta = Ya Allah kupercaya akan kitab yang Engkau turunkan
Wanabiyyikal ladzi arsalta.= dan kupercaya kepada nabi yang telah Engkau utus
Sumber hadits dirawikan oleh Bukhari dan Muslim dari kitab Ryadhusalihin susunan Imam Nawawi.
Bagi pembaca yang sedang mengalami penyakit miris dan trauma silahkan mencoba mengamalkan do’a di atas. Semoga Allah s.w.t. menyertakan dan memberikan penyembuhan. Do’a itupun direkomendasikan untuk menghadapi hal-hal yang sulit dalam kehidupan, dalam keadaan menderita sakit. Juga untuk menghadapi gangguan mahluk-makluk ciptaan Allah lainnya seperti Setan dan Jin seperti diantaranya diceritakan di atas. Sangat baik dibiasakan membacanya sebelum tidur. Wallahu A’lam bhishshawab.




Wednesday 2 May 2012

BURUH ZAMAN BELANDA DAN KINI



Selamat hari Buruh buat seluruh buruh di dunia dan Indonesia. Buruh sejahtara bangsa berjaya. Buruh sehat negara kuat. Barang kali itu dua kalimat ungkapan buat buruh Indonesia tanggal 1 Mei merayakan “Hari Buruh”. Sering orang menterjemahkan bahwa yang disebut buruh itu adalah manusia yang bekerja kepada pihak lain, atau sesuatu perusahaan yang dengan pekerjaan itu dianya mendapat upah.
Kalau seorang bekerja diperusahaan miliknya sendiri, itu bukan lagi buruh tapi pengusaha, walau perusahaannya tidak ada tenaga kerja lain selain dirinya. Selain itu meskipun seseorang bekerja dengan pihak lain tetapi pihak lain itu adalah negara, si pekerja merasa lebih keren bukan disebut sebagai buruh, mereka tidak mau dikelompokkan sebagai buruh, tapi lebih merasa terhormat bila disebut pegawai negeri. Begitu juga kalau orang yang bekerja di perusahaan milik negara, juga tidak mau disebut buruh, lebih suka disebut sebagai pegawai BUMN.
Walau bekerja di pabrik, tapi kegiatannya memegang administrasi, bagian keuangan, bagian pembukuan pokoknya urusannya dengan tulis menulis, sedikit sekali menggunakan tenaga phisik lebih banyak otak/berfikir, juga kelompok ini enggan disebut sebagai buruh, lebih suka jika disebut  pegawai.
Jadi yang bersedia disebut buruh adalah orang yang kerja ototnya lebih banyak ketimbang kerja otaknya, barang kali begitu pendapat umum mendifinisikan buruh. Kendati difinisi ini sebenarnya tidak pas, karena sebenarnya orang yang bekerja menerima upah atau penghasilan dari orang lain, dari pihak lain sudah termasuk buruh.
Setiap peingatan hari buruh sedunia tanggal 1 Mei, di Indonesia belakangan ini sering dijadikan momentum untuk melaksanakan demonstrasi menuntut perbaikan nasib buruh. Nasib buruh dari zaman ke zaman tetap saja belum baik.  Mungkin pantas kita lakukan perbandingan buruh di zaman bangsa kita masih di jajah Belanda dengan sudah merdeka dan zaman reformasi.
Tidak banyak data tertulis yang saya miliki untuk memotret profil buruh zaman penjajahan Belanda, tapi ala kadarnya dapat dianalisis dari isi pengumuman pemerintah penjajahan Belanda yang sudah berumur 123 tahun untuk lapangan kerja bagi buruh perkebunan berikut ini:

PENGOEMOEMAN !!!

DAG INLANDER... HAJOO URANG MELAJOE... KOWE MAHU KERDJA???
GOVERNEMENT NEDERLANDSCH INDIE PERLU KOWE OENTOEK DJADI BOEDAK ATAOE TJENTENK DI PERKEBOENAN-PERKEBOENAN ONDERNEMING KEPOENJAAN GOVERNEMENT
NEDERLANDSCH INDIE

DJIKA KOWE POENYA SJARAT DAN NJALI BERIKOET:
1. Kowe poenja tangan koeat dan beroerat
2. Kowe poenja njali gede
3. Kowe poenja moeka kasar
4. Kowe poenja tinggal di wilajah Nederlandsch Indie
5. Kowe boekan kerabat dekat pemberontak-pemberontak ataoepoen maling ataoepoen mereka jang soedah diberantas liwat actie politioneel.
6. Kowe beloem djadi boedak nederlander ataoepoen ondernemer ataoe toean tanah ataoe baron eropah.
7. Kowe maoe bekerdja radjin dan netjes.

KOWE INLANDER PERLOE DATANG KE RAWA SENAJAN DISANA KOWE HAROES DIPILIH LIWAT DJOERI-DJOERI JANG BERTOEGAS:
1. Keliling rawa Senajan 3 kali
2. Angkat badan liwat 30 kali
3. Angkat peroet liwat 30 kali

Kowe mesti ketemoe Mevrouw Shanti, Meneer Tomo en Meneer Atmadjaja
Kowe nanti akan didjadikan tjentenk oentoek di Toba, Buleleng, Borneo, Tanamera Batam, Soerabaja, Djakarta en Riaoeeiland.

Governement Nederlandsch Indie memberi oepah :
1. Makan 3 kali perhari dengan beras poetih dari Bangil
2. Istirahat siang 1 uur.
3. Oepah dipotong padjak Governement 40 percent oentoek wang djago.

Haastig kalaoe kowe mahoe...

Pertanggal 31 Maart 1889
Niet Laat te Zijn Hoor..
Batavia 1889
Onder de naam van Nederlandsch Indie Governor
Generaal
H.M.S Van den Bergh S.J.J de Gooij

Dari pengumuman di atas betapa rendahya bangsa ini di mata orang Belanda ketika itu. Orang Melayu (Indonesia) dianggap sebagai “budak” dan  “Centeng”.  Kondisi waktu itu soal perut adalah sangat utama rupanya. Salah satu daya tarik adalah makan 3 x sehari dengan beras yang waktu itu digolongkan sudah cukup baik adalah dari Bangil. Entah berapa jam waktu kerja yang dibebankan kepada buruh perkebunan waktu itu, tetapi yang jelas adanya waktu istirahat satu jam dengan gaji yang tidak dijelaskan dalam pengumuman. Berapapun jumlah gaji akan dipotong pajak 40%.
Perlakuan sebagian majikan di zaman kinipun tidak jauh berubah dengan zaman lampau itu, di mana buruh dianggap alat, bukan dianggap asset jauhkan lagi dianggap mitra. Soal perut juga adalah alasan utama kebanyakan anak negeri ini menjadi buruh. Dari pada sulit mencari sepiring nasi, dari pada kalau tidak kerja harus makan nasi aking, daripada saban bulan harus antri RASKIN berkutu. Masalah gaji juga sama bahwa posisi tawar buruh zaman kini sama dengan buruh zaman penjajah, ditentukan oleh pemberi kerja. “Kalau mau segitu silahkan kerja disini”, begitu kira-kira pandangan pemberi kerja. Sementara pencari kerja tidak ada pilhan lain, dalam rangka mendapatkan urusan perut. Belum sampai urusan sandang dan papan serta pemeliharaan kesehatan diri dan keluarga. Yang terjadi adalah kemiskinan terstruktur disebabkan salah urus pengaturan pengelolaan kekayaan alam negeri ini.
Bagi buruh masa kini sama saja ketika bekerja di perkebunan milik Belanda, dengan bekerja di perusahaan milik pengusaha swasta sekarang ini, nasib buruh tetap saja seperti yang dulu.  Cita-cita pejuang kemerdekaan bangsa ini setelah merdeka keadaan buruh akan lebih baik, bekerja dengan bangsa sendiri  di negara sendiri akan lebih sejahtera daripada majikannya adalah penjajah, ternyata sampai hari ini belum tercapai, belum kesampaian. Pindah dari penjajah yang satu ke penjajah yang lain. Dulu penjajah adalah Belanda kini penjajah adalah Perusahaan Swasta.
Buruh yang sekarang sedang bekerja memeras keringat membanting tulang di perusahaan yang notabene kebanyakan bukan milik pemerintah, melainkan milik swasta. Kalau dirunut seruntut runtutnya pengusaha swasta itu adalah orang asing jua. Kalaulah ia sudah warga negara Indonesia, mereka bukan penduduk yang nenek moyangnya dulu menderita dijajah Belanda, mereka  bukan yang nenek moyangnya memperjuangan kemerdekaan Republik ini dengan darah dan jiwa.
Si buruh sebenarnya ingin juga keluar dari lilitan perbudakan sistim perburuhan yang ada, dengan ingin berusaha sendiri berwiraswasta. Tapi di negeri ini jika seseorang ingin berusaha sendiri, membuat perusahaan misalnya, belum-belum sudah banyak pernik-pernik yang harus diselesaikan dengan pemerintahan. Izin ini izin itu, usaha belum jalan sudah harus mengeluarkan banyak biaya.  Oleh karena itulah banyak anak muda di awal kehidupan setelah menamatkan pendidikan entah menengah atau pendidikan tinggi, memilih melamar pekerjaan akhirnya jadi buruh, bukan menciptakan lapangan pekerjaan.
Negeri ini adalah negeri yang paling kaya di dunia ini, apa saja ada. Para pejuang pendiri Republik bercita-cita dan bahkan dituangkan di dalam kata “bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalam negeri ini dikelola oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran/kesejahteraan rakyat”. Sebenarnya jika kekayaan nusantara ini benar-benar dikelola oleh negara, rakyat Indonesia sudah lama tidak akan menderita seperti sekarang ini. Misalnya seluruh perkebunan yang besar-besar dikelola oleh perusahaan negara, jangan biarkan dikelola oleh perusahaan swasta, jadi kembali lagi “onderneming” zaman Belanda tapi onderneming milik pemerintah sendiri. Di bidang perikanan, negara membangun kapal-kapal penangkap ikan yang besar dikelola negara untuk mengeluarkan hasil laut supaya tidak dicuri oleh negera lain.  Perusahaan garam dihidupkan kembali dikelola oleh negera, masak garam saja harus impor. Gula harus impor padahal begitu banyak lahan dapat ditanam tebu. Kekayaan tambang di dalam bumi diberikan kewenangan sepenuhnya hanya kepada perusahaan milik negara untuk mengeluarkan hasil tambang. Bila semua itu perusahaan milik negera maka seluruh buruh adalah pekerja pada negara yang tentulah akan lebih mudah untuk membuat ketentuan pengupahan dan kesejahteraan buruh termasuk jaminan hari tua mereka. Kita menaruh heran kenapa justru usaha-usaha vital tersebut malah diberikan wewenang kepada swasta. Bila sudah bicara swasta maka biasanya adalah orang asing, atau paling tidak orang Indonesia yang asalnya orang asing, bukan anak cucu pendiri Republik ini. Sampai saat ini orang Indonesia asal asing masih menganggap bahwa orang Indonesia asli adalah mahluk manusia kelas dua yang tidak pantas diperlakukan sebagai mitra. Pantasnya dihardik dan ditindas. Walau dimulut mereka sering didengar kata-kata manis, terutama dalam acara serimonial dihadapan pejabat negeri. Untuk beberapa dasawarsa lagi mungkin barulah dapat dipercaya jika pembauran sukses dilaksanakan dan dikondisikan oleh negara. Kecuali segelintir mereka yang sudah benar-benar merasa negeri ini tumpah darah mereka. Tapi yang segelintir tersebut sangat sedikit yang memegang peranan di perusahaan swasta yang mempekerjakan buruh.
Kondisi kerja yang kurang nyaman dari berbagai faktor inilah yang membuat orang lebih suka menjadi buruh migran keluar negeri, walau tidak henti-hentinya kita melihat dan mendengar tayangan TV bahwa TKI  yang disiksa, diperkosa dan bahkan terhilang nyawa di negeri orang. Dilecehkan dihina habis-habisan martabat bangsa ini, sampai oleh bangsa serumpunpun kita terhina,  kita harus kalah, walau kita lebih dulu merdeka. Apanya yang salah di negeri kita ini?
Kenapa sama-sama bekerja di perkebunan sawit di negara jiran berlokasi di satu tanah di bumi Borneo, buruh lebih suka kerja di sana kendati kadang bernasib malang. Buruh Indonesia tergiur kerja di negara serumpun itu, karena digaji lebih baik ketimbang perkebunan sawit di belahan Borneo wilayah Indonesia. Kembali pertanyaan kenapa demikian?, padahal hasil sawit sama-sama dipasarkan ke pasar dunia tentu harganyapun adalah berpadanan. Tetapi kenapa tingkat upah dan kesejahteraan buruh  di negeri orang lebih tinggi. Tentu ada yang salah sebab perbandingan sudah dengan parameter yang sama. Sama-sama di Borneo, sama-sama sawit, sama-sama buruh.  Si buruh juga sama-sama skillnya, sebab mereka berasal dari Indonesia.
Selentingan kabar yang belum saya ketahui data kebenarannnya konon bahwa produktifitas kebun sawit di tanah negara tetangga itu lebih tinggi dibanding Sawit di Kalimantan belahan  wilayah Indonesia. Kalaulah benar, timbul pertanyaan lagi, kenapa rendemen sawit di Indonesia itu lebih rendah dari negeri Melayu itu. Padahal berfasilitas yang sama, ditanam di tanah yang sama, diurus oleh buruh yang sama (orang Indonesia), dipupuk dengan pupuk yang sama, diguyur hujan yang sama ditiup angin yang sama. Kenapa rendemen sawit mereka lebih tinggi. Apakah dapat dijawab keberkahan sudah tidak diturunkan Allah di negeri ini, karena pengelola negeri dan rakyatnya tidak beriman dan bertaqwa kepada pencipta alam semesta ini. Wallahu alam bisshawab.