Sunday 26 July 2015

MAKAN MALAM di RUMAH SIAPA



 “Omah Sinten” adalah sebuah restoran di kota Solo, cukup terkenal tak heran bila banyak orang menyarankan untuk mampir ke restoran yang berlokasi di jantung kota Solo itu.
Kami dan istri berkesepatan mampir malam hari seusai pertemuan silaturahmi keluarga di Solo 3 Syawal 1436H/ 19 Juli 2015 lalu. Bicara soal “Omah Sinten”, jika dialih bahasakan ke bahasa nasional “Rumah siapa”. Anak kami yang lama sekolah di Yogya bilang “Kayaknya gramernya salah, sebab “Sinten” bahasa halus, gandengannya harusnya bahasa yang setara pula jadi “omah” harusnya “Griyo”  jadi mestinya tersusun nama restoran “Griyo Sinten”. Kalau juga mau pakai “Omah” seharusnya “Omah Sopo”. Tapi ndak soal apalah arti sebuah nama, yang penting restoran itu laris, lokasi di depan berseberangan jalan dengan “Mangkunegaran”. Untuk cari tempat parkir saja cukup perjuangan. Dapat parkir harus bayar dulu Rp 5 ribu, eee pulangnya jurkir minta lagi Rp 5 ribu. Ngak apa-apalah rezeki setahun sekali. Karena dari namanya tersebut dalam bahasa nasional “Rumah siapa” maka kamipun tidak menanyakan pemilik restoran tersebut siapa, yang penting kami ingin bersantai sambil menghabiskan sisa waktu semalam di Solo, sebab esok pagi sudah pulang Ke Jakarta.
Menu yang disajikan umum-umum saja, ada minuman yang ingin kumencoba “Wedang UWUH”, semacam ramuan yang menghasilkan minuman berwarna merah. Kuteringat kampung halamanku di Kalimantan Barat, ada semacam minuman yang juga menghasilkan warna merah, diramu dari kulit kayu dalam bahasa daerah kami pohon “Sepang”. Minuman ini oleh budaya daerah kami, dipergunakan untuk minuman penutup. Artinya para tetamu mengerti, bila tuan rumah sudah mengeluarkan minuman ini, tidak bakal ada lagi hidangan keluar, jadi sebagai kode kalau perjamuan telah berakhir dan majelis sebentar lagi bubar.
“Wudang Uwuh” disajikan dengan lampiran Gula Batu, menurut pengamatanku di dalam gelas terdapat serutan kulit kayu (kuduga mungkin sepang daerah kami), daun, tapi bukan daun salam sejenis rempah rempah  dan jelas ada Jahe.
Setelah makan malam yang cukup santai diiringi tembang-tembang jawa yang dilantunkan oleh ahlinya berpakaian daerah setempat, sambil menabuh alat music tradisional. Kami dijinkan mengabadikan keberadaan kami di restoran tersebut sampai diperkenankan masuk ke dalam dan pelayan restoran bersedia mengabadikan kami dengan kamera, lumayan untuk kenangan.

SECUIL RAHASIA DAPUR



Menyantap makan malam di restoran memang mengasikkan, apalagi belum punya pantangan ini, itu, misalnya karena penyakit bawaaan usia. Di sela-sela kunjungan ke kota Makassar, walaupun oleh panitia sudah disiapkan makan malam di hotel, masih saja ingin makan diluar, tidak ikutan makan bersama rombongan dengan makanan yang disediakan oleh hotel.
Ikan bakar adalah salah satu menu biasa dan menu pilihan di kawasan pantai Losari. Soal nama ikan tidaklah benar-benar standar di seluruh kawasan tanah air, kecuali Gembung ada yang nyebut Kembung, beda-beda tipis. Tenggiri, Tongkol, Bawal, sama seluruh Indonesia. Sedangkan ikan-ikan lain yang eneka banyak jenisnya itu, hampir setiap daerah punya nama sendiri-sendiri. Ikan  yang sering di santap dengan menu ikan bakar, umumnya ikan yang pipih, alasannya tentu akan merata masaknya bila dibakar kedua sisi lantaran tipis. Pilihan kami dengan istri, jatuh pada sejenis ikan pipih yang bahasa Ibuku menyebutnya “Menggali”. Dagingnya gempal, tulangnya sedikit.
Beberapa kali ku ke Makassar di pantai Losari yang kesuka ditempat itu, ikan bakar yang mereka sajikan tanpa sedikitpun terasa amis. Sehingga pada suatu kesempatan, kubertanya kepada pembakar ikan, sambil ikutan menyaksikan ikan dibakar. Apa sebetulnya bumbu dan rahasia masak mereka sehingga ikan tidak menyisakan rasa/bau amis ketika disantap.
Rahasianya rupanya menurut pengakuan juru bakar, bahwa sebelum dibakar, setelah dibersihkan (disiang),  ikan yang akan dibakar dicuci dengan air bekas cucian beras.
Kisah ini baru sempat terceritakan, terinspirasi ketika pertemuan silaturahmi keluarga di Solo 3 Syawal/ 19 Juli 2015 lalu. Salah satu menunya adalah oseng-oseng daun papaya. Daun pepaya itu sama sekali tidak terasa pahit, demikian enak. Tuan rumah kerena ku berulang mengambil menu tersebut, sempat membekali plastic berisi oseng-oseng daun papaya ketika kupamit. Sayang sekali esok harinya sudah tak layak santap, karena malam harinya kami pergi mencoba makan di restoran terkenal di kota Solo, retoran “Omah Sinten”, jadi sangu oseng-oseng daun pepaya ndak sempat dimakan.
Sempat kutanyakan ke juru masak, kiat mengolah daun pepaya yang begitu pahit, menjadi enak disantap tanpa ada rasa aslinya itu. Menurut mereka, daun pepaya yang sudah di iris-iris sesuai keinginan untuk dimasak, terlebih dahulu direndam dengan “Air Lempung” mungkin maksudnya “Air Tanah Liat”. Sesudah itu dicuci bersih dan langsung diolah sesuai selera.
Rahasia dapur lainnya, mengolah buah Pria agar tidak terasa pahit, dengan merendamnya di dalam air garam. Pria buah yang sejak dari jaman doeloe sudah pahit, sampai-sampai dalam hazanah perpantunan pemuda sejaman dengan “Siti Noerbaja” ada pantun”
                                Kalau ku tau Pria pahit
                                Takkan ku gulai dalam belanga
                                Kalau ku tau mencinta sakit
                                Tak kan kumulai dari semula

Kalau begitu jaman itu belum ditemukan kiat membuat Pria menjadi tidak pahit, sehingga ada muda-mudi yang mengabadikannya dalam bait pantun. Seirama dengan itu jaman itupun rupanya muda-mudi belum pandai mengolah cinta menjadi tidak sakit, sehingga diabadikan dalam sair pantun mereka.
Ketimun, bahasa daerahku Mentimun, kadang ketemu juga yang pahit. Konon ketika di lading, Ketimun yang pahit itu, pernah dilalui oleh ular, sehingga bisa ular menular kedaging buah Ketimun. Tapi ada pula caranya agar membuat Ketimun yang disajikan tidak pahit semuanya. Caranya; potong tampuk Ketimun, kemudian bagian potongan tersebut digosok-gosokan ke bekas potongannya dengan bilangan ganjil, mulai tiga, atau lima atau tujuh. Pahit Ketimun akan hilang.
Begitu banyak rahasia dapur nusantara yang baru secuil kita angkat.

Wednesday 22 July 2015

MUDIK di dunia VS MUDIK ke akhirat



Kuambil terminologi mudik, adalah pulang kampung. Orang pulang kampung ada beberapa sebab, misalnya sudah jemu di rantau orang, atau sudah selesai masa bhakti di tempat orang. Belakangan ini mudik umumnya adalah pada saat lebaran. Mudik di dunia ini dapat direncanakan sebelumnya. Kini untuk mudik, contoh, mudik dengan menggunakan Kereta Api dapat dipesan 3 bulan sebelumnya. Adapun mudik dalam arti pulang ke akhirat, tidak direncanakan, tidak seorangpun tau kapan harus mudik tersebut. Walau sebetulnya begitu orang dilahirkan, sekaligus sudah dibekali tiket untuk mudik lengkap dengan tanggal hari dan jam serta dimana berangkatnya, sayangnya kita tidak diberi tau. Pernah kutulis dalam artikel blogspot “NIKMAT TAK TAU  MAUT” antara lain; “Andaikan kita manusia diberitahukan berapa lama lagi usia kita persisnya akan habis, maka beberapa kenikmatan yang bisa kita nikmati niscaya sudah akan tidak terasa nikmat lagi. Bagi orang yang ahli ibadah mungkin akan terus menerus ibadah, mohon ampun dan tak beranjak dari tempat ibadah, usaha sekedarnya saja tidak semangat. Apa jadinya dunia ini perekonomian tidak berkembang, teknologi tak akan maju, ilmu pengetahuan lainnya akan statis. Dunia akan dipenuhi orang tak semangat”.
Karena mudik di dunia direncakan, maka kedatangan ke kampung halaman dapat diatur untuk di jemput ke bandara atau ke stasiun atau ke terminal, oleh keluarga yang ada di kampung. Misalnya tidak adapun keluarga yang menjemput, tentu dapat menggunakan moda transportasi di kota tujuan. Jikapun umpamanya karena begitu lama tidak pulang kampung sehingga banyak jalan dan bangunan yang sudah tidak dikenal, masih dimungkinkan untuk bertanya dan bertanya kepada orang lain dalam perjalanan menuju ke lokasi alamat  yang dituju. Sedangkan pulang mudik ke akhirat, tidak akan ada tempat bertanya di alam sana, yang akan memberikan kawalan kita dalam perjalanan hanyalah amalan kita selama hidup di dunia.
Selama tinggal di kampung beberapa hari tersebut, tentu kita akan mengeluarkan pembiayaan untuk makan dan minum, dengan bekal yang dibawa dari rantau. Misalnya perbekalan kita tidak cukup, masih ada harapan dapat bantuan dari keluarga yang sudah lama tak jumpa tersebut. Mungkin juga biaya konsumsi dan penginapan gratis karena menjadi tamu sanak keluarga. Sedangkan mudik ke akhirat, tidak ada sanak keluarga yang mungkin memberikan bantuan. Hanya kuasa Allah saja yang akan memberikan bantuan untuk kita. Bantuan Allah tersebut jika kita mempunyai bekal amal baik yang banyak.
Mudik pulang kampung kebanyakan orang yang sudah mapan di rantau, akan segera kembali ke tempat dia mencari nafkah, sedangkan mudik ke akhirat, belum pernah ada yang kembali ke tempat asal, kekal selamanya. Semula begitu anda mudik ke akhirat, masih diingat oleh karib kerabat, handai dan taulan, terutama keluarga dekat. Ada sebagian kelompok membuat peringatan atas mudiknya ke akhirat salah seorang anggota keluarganya. Peringatan dimulai 3 hari, 7 hari, 40 hari dan ditutup 1000 hari, bahkan ada yang membuat peringatan tiap tahun sekali, sambil mendo’akan.
Tetapi generasi berganti terus menerus, generasi yang membuat peringatan itupun juga akan mudik juga ke akhirat dan akhirnya tidak ada lagi generasi yang mengingat kepergian mudik kita ke akhirat dan mendo’akan. Tinggallah kita menungu pengadilan Allah yang maha adil, timbangan kebaikan dan keburukan kita dilaksanakan tanpa ada kecurangan semilipun.
Setelah itu diperhitungkan pula kezaliman kita kepada sesama manusia, sebab kezaliman kepada manusia dapat dikelompokkan dua bentuk yaitu: Pertama kezaliman atas hak dan harta, kedua kezaliman atas kehormatan dan harga diri. Kezaliman-kezaliman tersebut jika belum terselesaikan di dunia dengan penghalalan dan pengikhlasan, maka di hari perhitungan nanti, volume kebaikan yang kita bawa akan di barter dengan keburukan orang yang kita zalimi. Adalah sangat mungkin bila banyak pihak yang terzalimi oleh anda, maka kebaikan anda habis dan keburukan orang lain yang masuk ke timbangan keburukan anda. Sehingga anda mempunyai timbangan keburukan yang berlimpah.
Kezaliman berupa hak dan harta, bila hendak diselesaikan di dunia, dengan jalan mengembalikan hak orang yang dizalimi atau membayar/melunasi harta/hutang kepada pihak yang dizalimi. Sedangkan kezaliman berbentuk kehormatan dan harga diri, untuk mendapatkan penyelesaian di dunia adalah dengan mohon maaf dan meminta keikhlasan/keredhaan yang bersangkutan.
Adalah sangat baik, dalam kesempatan hari raya Idul Fitri kita yang sudah mendapat pengampunan dosa dari Allah swt melalui puasa dan serangkaian ibadah selama Ramadhan, juga memohon maaf lahir dan bathin, meminta keikhlasan dan keredhaan terhadap handai taulan, karib kerabat yang mungkin pernah terzalimi selama ini.
Sungguh penyelesaian persoalan sesama manusia, adalah Allah menyerahkan penyelesaiannya kepada manusia pula. Sedangkan persoalan dosa kepada Allah, ketahuilah Allah maha pengampun.
Sebenarnya, potensi kealpaan atau kezaliman dilakukan oleh sembarang orang, adalah dengan komunitas yang akrab dengan dirinya. Misalnya rekan seprofesi, rekan sekantor, mitra bisnis yang sering berinteraksi, jiran tetangga, jamaah masjid. Sedangkan potensi kezaliman dengan komunitas keluarga seketurunan di lain kota misalnya, adalah sangat kecil, sepanjang jarang berinteraksi. Kalaulah pernah zalim-menzalimi adalah semasa hidup bersama di kampung halaman.
Tetapi tetap saja ada sebagian komunitas keluarga besar atau paguyuban lantas menyelenggarakan pertemuan silaturahim setahun sekali, di kampung halaman atau di gedung pertemuan. Itulah yang dilaksanakan oleh keluarga se nenek dari istriku. Dilaksanakan berpindah-pindah dari kota-kekota tergantung rumpun yang kegiliran sebagai tuan rumah.  Mereka terbagi dalam 7 rumpun yang ditandai garis keturunan pertama dari mBah yang dijadikan figure pemersatu tersebut. Ibu-ibu yang dijadikan patokan rumpun tersebut mempunyai sederetan anak dan cucu serta cicit, sehingga jumlah mereka sudah mencapai ratusan orang. Rumpun yang kegiliran di Idul Fitri tahun 1436 H, kebetulan kini berdomisili di Solo, oleh karena itulah pertemuan kali ini dilaksanakan di Perumahan Omega Klegen, Colomadu Solo. Cukup besar pengorbanan dari anak, cucu dan cicit untuk berkumpul di lokasi tersebut. Mereka dari Jakarta, dari Yogyakarta, dari Tuban, dari Gresik, dari Surabaya,  bahkan ada yang dari Bali. Namun terlihat tanpa ada keluhan dan kesulitan, meski untuk berkumpul tersebut mereka harus merogoh kocek cukup dalam. Salah satu hikmah dari pertemuan silaturahim ini, barang kali adalah dieratkan kembali keluarga serumpun dan berdampak dapat memudahkan komunikasi dan informasi yang bermuara kepada terbukanya jalan-jalan mendapatkan rezeki.
Tahun depan giliran pertemuan adalah rumpun keluarga yang kini masih berdomisili di tanah asal kelompok ini yaitu Jatirogo Tuban Jawa Timur. Namun berpotensi diadakan di tempat lain, karena keturunan rumpun ini, ada yang tinggal di Yogyakarta, Surabaya, Gresik, Solo dan Jakarta.
Untuk mudik di dunia ini, seperti misalnya mudik dalam memenuhi undangan silaturahim paguyuban senenek buyut seperti contoh di atas, jika kebetulan tidak punya uang, dapat berikhtiar, ngutang atau pinjam atau jual benda berharga yang dipunyai,  tetapi kalau undangan mudik ke kampung akhirat jika  tidak membawa bekal amal, tidak mungkin untuk meminjam atau mengutang kepada siapapun. Undangan mudik di dunia ini, diberitahukan direncanakan sebelumnya berbulan-bulan tetapi undangan mudik ke kampung akhirat tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.

Monday 20 July 2015

BATU AKIK jadi TERSANGKA



Sobatku yang kini masih menjabat salah seorang Direktur di perusahaan milik Negara. Tak diduga dapat bersama saya di Solo ketika lebaran Idul Fitri 1436 H. Pas di hari ke tiga seusai mengikuti acara reuni keluarga se uyut isteri saya, sobat tersebut kuhubungi, beliau ada kesanggupan menjemput kami Ba’da Magrib di tempat nginap kami di rumah kerabat di bilangan bandara Adi Soemarno Solo. Sobat ku ini sejatinya dua tahun belakangan ini berdinas di Medan berdiam di Jakarta termasuk kelompok BPSPJS (Berangkat pagi Senen, Pulang Jum’at sore). Keberadaan beliau di Solo, memang tiap lebaran mudik kerena memang dianya wong solo.
Lantaran driver-nya ikutan cuti, sobatku ini nyetir sendiri kendaraan menjemput kami,  maksud kami malam itu meluncur menuju kota. Beliau ingin mengajak saya melihat kota Solo di waktu malam, juga sakalian untuk makan malam di restoran dengan masakan dan pelayanan keunikan Solo. Rupanya perjalan kami tidak lancar, jalan-jalan macet tersendat-sendat tambahan lagi lampu pengatur lalu lintas, merahnya lama dan hijaunya sebentar sekali, baru saja lewat dua atau tiga mobil udah merah lagi. Antri melalui lampu pengatur lalu lintas memperlambat jalan yang dipadati oleh mobil ber nomor polisi “B”. Agaknya kemacetan Jakarta malam itu pindah ke Solo. Kesempatan ini tentu sangat menyenangkan buatku bersama isteri, karena beberapa kali ku ke Solo, hanya tau hotel-bandara atau hotel-stasiun KA. ketika dalam kesempatan-kesempatan sebelumnya memenuhi undangan pelatihan-pelatihan.
Menikmati kemacetan itu, agar tidak bosan, saya terlirik ke tangan kiri sobat ku itu, iseng ku kemonteri bahwa di jari-jari beliau tidak terlihat adanya “Batu Akik”. “Pak, rupanya Bapak tidak termasuk penggemar Batu Akik?”. tanyaku. Beliau menjawab: ”Betul, semula saya tak gemar Batu Akik, tapi sekarang terpaksa ikutan pakai, ini lihat”, sambil melepas cincin batu akik dari tangan kanan-nya. Tadi saya tidak melihatnya karena rupanya di kenakan di jari sebelah kanan. “Kenapa sekarang jadi ikutan Pak”, kulanjut bertanya. “Ceritanya saya di bilang tidak sopan oleh kolega saya pejabat sebuah bank”, kata kolega saya itu “Jari yang tidak ada cincin batu akik itu hanya jari kaki, jadi Bapak tidak sopan menaruh jari kaki di atas meja”. (maksud kolega saya itu jari  tangan saya sama dengan jari kaki, karena tidak tersirat cincin berpermata batu akik). “Semenjak itu saya ikutan mencari batu akik dan memakainya di jari sebelah kanan, sebab tangan kanan inilah yang selalu berhubungan dengan orang, takut dibilang tidak sopan, menyalami orang dengan jari kaki”.
Kuteruskan pembicaraan. Kukatakan kepada sobatku itu, “hati-hati bencincinkan batu akik”. “Kenapa rupanya tanya beliau”. “Bagi kita yang shalat, berwudu’ pakai batu akik, tidak sah wudu’nya”, jawabku. Pernyataan memposisikan batu akik menjadi tersangka membatalkan wudu’ ini menjadikan beliau agak terkaget sambil menegaskan, bahwa beliau memakai batu akik, agak longgar, jadi air wudu’ sempat membasahi semua anggota wudu’. Selain itu, beliau juga cukup hati-hati kalau wudu’, cincin batu akik miliknya dilepas dulu, selesai wudu’ barulah dipakai lagi. Kutambahkan: “Meskipun begitu pak, tetap saja berwudu’ dengan batu akik tidak sah wudu’nya”. Setelah diam beberapa saat diselingi kemacetan jalan di Solo malam itu, beliau meminta dalil hadist tentang tidak sahnya wudu’ memakai batu akik. Agaknya sobatku itu penasaran, sambil menggenang berapa lama sudah wudu’nya tidak sah dan tentu shalatnyapun tidak sah semenjak ikutan memakai batu akik.
Aku sengaja diam agak lama, memancing komentar lebih lanjut dari beliau tentang pernyataanku “Batu akik menjadi tersangka membuat wudu’ tidak sah”. Beliau pun agaknya menerawang, betapa para guru-guru agama, ustadz dan para alim, baik di seputar kediamannya di kawasan Bekasi, di Medan tempat dianya bertugas kini, di Yogya, di Ujung Pandang dan di hampir seluruh tempat dia pernah bertugas selama masih aktif sebagai pejabat Perusahaan Milik Negara, dia banyangkan bahwa mereka pada ustadz dan orang-orang alim tersebut hampir tidak ada yang tidak memakai cincin berpermata, setara batu akik. Agaknya statement ku itu perlu didalami dan dimintakan dalil hadistnya. Menjadikan batu akik menjadi tersangka pembuat tidak sahnya wudu’ ini perlu diadakan penyelidikan lebih dalam.
Setelah melawati salah satu perempatan lampu pengatur lalu lintas, ku jelaskan kepada sobatku itu: “Tenang saja pak, selama Bapak jika ber wudu dengan memakai air, atau bertayamun memakai debu, wudu’ dan tayamun Bapak adalah sah. Tetapi jika Bapak berwudu’ dengan memakai batu akik  walau ribuan batu akik bapak pakai untuk berwudu’, tetap saja tidak sah, walau batu akiknya harganya ratusan atau jutaan rupiah per butir, bapak kumpulkan ber ember-embar dipakai wudu’, tetap saja tidak sah”.
“Oh jadi ini tadi goyon tah”, komentar beliau. Tidak terasa kami sudah menikmati kemacetan Solo di waktu malam hari ketiga lebaran idul fitri 1436 H ini dengan santai, kemudian setelah melewati “Mangkunegaran” dapat parkir disebelah kiri Restoran “Omah Sinten” dan menikmati makan malam yang dihidangkan dengan cara unik, belum keketahui sebelumnya.
Terimakasih, para pembaca telah menyempatkan memabaca tulisanku ini diiringi permohonan maaf lahir dan batin, minal aidin wal fa izin. Selamat Idul Fitri 1436 H. Jangan Berwudu’ pakai batu akik, pakailah air yang memenuhi syarat. Semoga Allah mememiliharakan ke taqwaan yang telah diperoleh selama Ramadhan dengan meningkatnya amal kebaikan kita pasca Ramadhan.

Wednesday 1 July 2015

STATUS



Orang sudah berkeluarga/berumah tangga, dalam KTP disebut berstatus “Sudah Kawin”, pemuda pemudi yang belum menikah masih sekolah atau mahasiswa, tertulis dalam status di KTP “Pelajar atau Mahasiswa”. Ini pengertian status persi kartu penduduk.
Dikenal dalam masyakarat dengan status sosial; “orang terkenal”, berstatus “berpendidikan tiggi”, berstatus “bangsawan” berstatus “karyawan”, berstatus “pengusaha”  tidak bekerja lagi berstatus “pensiun”, berstatus “pengangguran”
Sadar status agaknya penting dalam menjalani hidup ini. supaya cocok menempatkan diri di status yang sedang dimiliki, tak salah tingkah dalam status apapun. Banyak kasus orang yang kurang memahami status, salah tingkah dalam menjalani sisa hidup. Ketika sudah pensiun awak masih saja merasa berstatus seperti status lama. Kalau kebetulan awak dulunya berstatus punya jabatan tinggi, setelah kehilangan jabatan itu status itupun masih juga terasa dimiliki,  merasa harus dihormati, harus  mendapatkan fasilitas/kemudahan seperti ketika memegang status tersebut, maka susahlah awak jadinya. Orang lain pun akan mencibir, jauh ditunjuk orang dengan telunjuk, dekat ditunjuk orang dengan mulut.
Masalah status ini sering kukisahkan ke kerabat dekat, ke audience ku dalam banyak kesempatan dengan mengemukakan contoh. Seorang dosen kita memberi kuliah di depan kelas, dalam area kampus, dianya diakui berstatus sebagai dosen. Di dalam kelas ia dapat memberikan instrusksi-instruksi kepada mahasiswanya sesuai kewenangannya sebagai dosen. Dilain pihak, mahasiswa dalam status sebagai mahasiswa haruslah mentaati apa yang diperintahkan dosen.
Seusai jam kuliah (sudah sore), ketika akan pulang hujan turun cukup lebat, ada seorang mahasiswa yang belum pulang, rupanya dianya terbiasa pulang pergi ke kampus dengan kendaraan umum. Sempat tertlibat ngomong dengan dosen sambil menunggu curah hujan agak mereda. Ternyata si mahasiswa pulangnya searah dengan dosen yang kebetulan membawa mobil. Setelah dialog singkat dan hujan sedikit reda, si dosen memberi tumpangan kepada si mahasiswa. Dalam perjalanan status sudah berubah, pemilik mobil dan penumpang. Bagaimana si mahasiswa bersikap dalam mobil si dosen tentu ada adabnya sendiri. Tidak sopan tentunya kalau si mahasiswa duduk di jok belakang, sementara si dosen menyetir mobilnya. Kalau si dosen mempunyai supir, tentu tidak sopan kalau si mahasiswa duduk di jok belakang bersama si dosen, kecuali memang diminta.
Rupanya dalam penjalalan hujun turun lebat lagi. Pas sampai dirumah si mahasiswa, dengan pertimbangan nanti banyak genangan air di jalan membuat mobil rawan mogok, mahasiswa mempersilahkan meneduh dulu di rumah kediaman orang tua si mahasiswa yang cukup besar dan boleh dikata mewah. Dosen diterima duduk di kursi di ruang tamu. Kini status sudah berubah lagi, mahasiswa sebagai tuan rumah, si dosen sebagai tamu. Berlakulah adab tamu yang harus dipatuhi dan adab tuan rumah yang harus dijalankan. Tamu tentu tidak boleh nyelonong masuk ke ruang lain selain ruang tamu, seklipun harus ke toilet, harus seijin tuan rumah. Tuan rumah harus menghormati tamu selama menanti hujan reda itu, walau sudah ngantuk, sebaiknya jangan diperlihatkan. Bagaimana kalau hujan semakin lebat dan diperkirakan kalau dosen tersebut melanjutkan perjalanan akan terjebak banjir, adalah baik jika mobil pak dosen di parkir di tempat aman di halaman rumah dan adalah baik juga jika anjurkan si dosen nginap. Persiapkan kamar tamu yang ada di rumah dan tentu sebelumnya dikenalkan dengan ortu pemilik rumah. si mahasiswa berstatus bukan pemilik rumah tentunya meminta izin terlebih dahulu kepada ortu jika ingin menawarkan dosennya menginap. Begitulah seterusnya status mudah sekali berubah.
Figur dalam sajarah yang sukses menyesuaikan diri dengan status adalah dikenal Khalid bin Walid. Dianya pernah berstatus sebagai musuh pasukan Islam ketika dalam perang Uhud, ia menjadi panglima pasukan Makkah melawan pasukan tenttara Islam. Khalid bin Walid mampu mengubah keadaan kekalahan menjadi kemanangan.
Selanjutnya figur Khalid bin Walid masuk Islam setelah penjanjian Hudaybiyah ini mengubah status beliau lagi menjadi panglima tertinggi pasukan Islam yang belum ada tandingannya dalam sejarah Islam, menjadi panglima tertinggi di lebih dari 100 pertempuran dan selalu menang. Tetapi ketika Khalifah Abubakar wafat digantikan Umar Status Khalid bin Walid dari pangalima di copot digantikan Abu Ubaydah. Dalam pertempuran menaklukan Syams dia bertempur terus dengan mengamban status sebagai prajurit biasa. Prinsip yang dia pegang adalah; dia berjuang bukan untuk seseorang, tetapi berjuang untuk Allah.
Kiranya pantas di teladani sikap dari Khalid bin Walid ini, ketika kita gonta ganti status, baik terjadi kerena alamiah, atau mungkin karena terpaksa. Tidak ada salahnya ketika status kita sudah berubah, kitapun mulai berjuang lagi dengan status yang baru tersebut.
Seorang pejabat suatu kantor, kadang malu untuk melakukan suatu aktivitas pekerjaan untuk mencari rezeki melalui instansi yang pernah dia bekerja. Padahal mungkin kalau dia melakukan bisnis dengan mantan kantornya, akan diperoleh beberapa kemudahan setidaknya mengetahui system dan prosedur yang berlaku di instansi tersebut. Namun kebanyakan mantan pajabat ini akan merasa sungkan kepada bekas anak buahnya.
Ada juga orang yang setelah berubah status lantas menjalani sisa hidup dengan merintis usaha yang sama sekali tidak berhubungan lagi dengan instansi dimana dia pernah bekerja, hal ini dilakukan oleh orang yang tidak mau statusnya berada di bawah mantan anak buah.
Hal-hal tersebut adalah pilihan,  tetapi jangan sampai perubahan status membuat pembatasan ruang gerak dalam berkegiatan mencari karunia Allah.
Ketahuilah bahwa di dunia ini tidak ada yang kekal termasuk status.  Oleh karena itulah kitalah yang harus menyesuaikan diri dengan ketidak kekalan itu, agar mampu terus berjuang dalam status apapun kita sampai kemampuan berjuang itu habis. Sebab kemampuan berjuang juga tidaklah kekal dan tidaklah terus kita miliki, pasti ada kahirnya.  Harapan kita semoga Allah menjadikan kita dapat terus berjuang untuk kebaikan sampai tidak berdaya lagi, sampai habisnya kemapuan yang dimiliki.