Monday 24 February 2014

KUNCI SUKSES BERAMAL



Proses kehidupan manusia normal semua sama, bermula dari pertemuan antara kedua orang tua, dikandung Ibu, lahir sebagai bayi, tumbuh menjadi anak-anak kemudian dewasa dan selanjutnya akan mengulangi lagi kehidupan orang tua dulu yaitu berpasangan dan melahirkan generasi baru.
Ditengah proses kehidupan itu, terdapat kematian yang tidak dapat terelakkan, siapapun dia, pasti akan mengalami apa yang dinamakan mati itu. Kalau hidup, melalui proses ketemunya dua orang yang berlainan jenis. Sedangkan proses kematian disebabkan dua aspek yaitu: yang pertama “batas usia” yang kedua “ajal”. Antara batas usia dan ajal terkait erat, karena “sebelum ajal berpantang mati”. Berapapun usia orang  kalau sudah ajalnya akan mati, berapa lamapun hidup seseorang pasti akan ketemu ajalnya bila sudah sampai batas usianya.
Al-Qur’an memberitahukan banyak tentang hal kematian dan kehidupan manusia di dunia ini diantaranya seperti yang tersurat dalam ayat 2 surat Al-Mulk:
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya”
Dari ayat ini, dipahami bahwa tujuan Allah menciptakan mati dan hidup adalah untuk menguji manusia, siapa diantara manusia itu yang paling baik amalnya.
Kita sudah mengerti, walau kadang sesekali terlupa bahwa mati itu adalah pasti akan kita temui. Agama mengajarkan bahwa setelah mati akan dimintai pertanggung jawaban selama hidup. Yang dipertangung jawabkan adalah amal. Beruntunglah bagi mereka yang banyak melakukan amal kebaikan. Sedangkan amal kebaikannya itu diterima oleh Allah yang menciptakan mati dan hidup tersebut.   Berkaitan dengan amal,  adapula orang yang merugi atas amalnya setelah memasuki kematian yaitu:
1.     Orang yang masa hidupnya tidak baik amalnya
2.     Orang yang semasa hidupnya banyak berbuat amal kebaikan tetapi amal tersebut batal atau  dibatalkannya sendiri.
Untuk point pertama, sudah jelas bahwa yang bersangkutan sudah memang tidak mengharapkan kebahagiaan di akhirat. Sengaja berlaku seenaknya, berbuat maksiat dan pelanggaran ketentuan agama dan hukum. Walau selama hayat masih dikandung badan, tidak tertutup kemungkinan orang ini mendapatkan rahmat Allah, bila diakhir hidupnya bertobat diiringi perbuatan baik.
Kelompok kedua yang merugi di akhirat kelak, adalah orang semasa hidupnya banyak berbuat kebajikan, tetapi perbuatan baiknya itu, batal atau dibatalkan sendiri oleh yang bersangkutan. Dilambangkan Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah 264:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian”.
Kemudian dilanjutkan bahwa perumpamaan amal kebaikan orang yang tersebut di atas adalah seperti lumpur menempel di batu tersiram hujan lebat. Jadi apa yang diamalkannya habis tak bersisa sedikitpun.
“Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan”
Untuk menghindari kerugian beramal tersebut, maka kunci kesuksesan  beramal adalah:
1.     Niat Ikhlas hanya untuk Allah, beramal semata-mata untuk mendapatkan keredhaan Allah. Tidak bermaksud lain, seperti untuk mendapat penghargaan dari manusia, penghargaan dari atasan atau bawahan. Kemudian kebaikan itu tidak diiringi mengungkit-ngungkitnya. “Seperti kalau bukan karena saya………….”. Rangkaian kebaikan dapat saja misalnya, ikut berperan besar dalam membangun sarana ibadah, katakanlah masjid. Akan batal amal tersebut, bila setelah berjalan sekian lama masjid terbangun, timbul perasaan ingin mendapat pujian dari manusia, timbul keinginan untuk mendapatkan penghargaan dari masyarakat, lantas ngomong “Masjid itu, tidak akan jadi seperti itu kalau bukan lantaran saya  atau kadang diamalan kebaikan lain, lebih indah lagi ditambah dengan kata “Alhamdulillah bulan Ramadhan lalu saya telah menyantuni sekian anak yatim”. Paling menyakitkan lagi, misalnya pernah membantu seseorang, sehingga orang tersebut sukses. Setelah orang itu sukses, diomongkan bahwa kesuksesan orang itu adalah lantaran dia. Mungkin juga benar, tapi hal ini telah membatalkan kebaikan, seperti lumpur di atas batu tertimpa hujan lebat.
2.     MERASA DIAWASI ALLAH. Setiap diri dalam berbuat amal apapun selalu merasa Allah mengawasi gerak geriknya. Apabila disuatu ketika dihadapkan kesuatu kesempatan berbuat tidak senonoh, atau korup, langsung ingat bahwa Allah dekat dan selalu mengawasi, maka tentu saja perbuatan jahat dan korup tersebut akan diurungkan untuk dilaksanakan. Semboyan ini, slogan ini gampang sekali untuk dinasihatkan kepada orang. Para ustadz selalu mengingatkan dalam setiap majelis ta’lim, ceramah dan khutbah Jum’at. Tetapi tidak gampang untuk dilaksanakan, termasuk ustadz yang gencar menyampaikan nasihat itu sendiri. Kalau begitu bagaimana caranya agar setiap insan selalu merasa diawasi oleh Allah. Menurut hemat saya harus terlaksana paling kurang dua hal penting:
a.     Setiap diri harus taat melaksanakan sekurangnya perintah shalat, karena dengan demikian dirinya selalu berzikir (ingat Allah) sekurangnya dalam shalat 5 waktu. Manakala ditempat pekerjaan ketika mulai pagi menjelang zuhur ada kesempatan berbuat amal buruk. Diri ingat bahwa ketika shalat subuh berdialog dengan Allah. Begitu selanjutnya diperbaharui lagi mengingat Allah ketika Zuhur dan kembali berkegiatan lagi dan jika bertemu lagi dengan kesempatan beramal buruk, ingat baru saja shalat zuhur dan seterusnya, begitu pula berbisnis apapun,  sampai ashar dan magrib, merasa tidak lepas dari pengawasan Allah.
b.     System dalam masyarakat. Mungkin pembaca bertanya, aah itu para koruptor kan shalatnya taat, tiap waktu tak pernah tinggal. Para koruptor kadang haji lebih sekali, umrah saban tahun. Tapi kenapa masih saja korupsi…………..? Ini pertanda bahwa diri sendiri saja sudah tidak kuat melawan bujuk rayu syaitan. Oleh karena itu perlu ada system yang diterapkan agar pengawasan Allah itu dapat diwakili oleh manusia terutama yang punya otoritas, sebagai khalifah Allah dimuka bumi ini. Sebagai contoh di Makkah dan Madinah, misalnya; Ketika azan sudah berkumandang, setiap kegiatan bisnis dihentikan. Pedagang tidak mau lagi menerima pembayaran dari pembelinya, walau sudah putus harga, dagangan diselimuti hanya dengan kain tanpa menutup toko, pedagang pergi shalat. Apa sebab demikian, antara lain ada aturan, system yang baku di kedua kota tersebut. Bila seorang pedagang kedapatan menerima transaksi ketika azan sudah dikumandangkan, akan dianggap melanggar hukum dan dikenakan denda yang tidak sedikit. Hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Begitu pula hendaknya di dalam tatanan kemasyarakatan hendaklah ada system sedemikian rupa sehingga setiap orang bertransaksi apapun, mengurus surat menyurat atau perizinan, mengikuti tender, melaksanakan pembangunan gedung. Pokoknya dalam interaksi apapun ada suatu system sehingga setiap orang merasa diawasi Allah baik oleh dirinya sendiri, maupun oleh system. Pernah kualami ketika membayar rekening langganan rumah tangga disuatu perusahaan (tidak etis disebut). Tertera dalam tagihan Rp 37.645,-- (tiga puluh tujuh ribu enam ratus empat puluh lima rupiah). Untuk memudahkan transaksi karena recehan sampai dua angka didepan koma sudah sulit mendapatkannya. Sedari rumah sudah disiapkan uang pecahan 20ribu selembar, 10ribu selembar, 5 ribu selembar, 2ribu selembar, koin 500 sekeping, koin 200 sekeping. Total menjadi Rp 37.700. seharusnya sudah lebih Rp 55,- Tapi karena pecahan tersebut sudah agak sulit ok.lah. Apa yang terjadi para pembaca. Penerima (kebetulan Ibu-ibu sudah lumayan hampir pensiun beberapa tahun lagi dan berjilbab) mengatakan kurang Pak!!! seharusnya 38 ribu. Akhirnya saya ingatkan yang bersangkutan, bahwa agar sholat dhuha kita diterima Allah, jangan banyak-banyak ngambil lebihan. Tadi sudah lebih 55 rp. Rupanya itu ibu kasir tetap bertahan minta uang pecahan 50 ribu kebetulan saya bawa dan kemudian mengembalikan Rp 22.350. Malah hampir pas, mungkin karena diingatkan pengawasan Allah tadi. Ibu itu tidak mau menerima uang pas tadi, tentulah gengsi sebab sudah menolak. Nggak apalah saya merasa sudah membantu ibu tadi mengingatkan bahwa sekecil apapun penerimaan dengan cara yang tidak halal itu adalah haram. Ini system secara lebih luas mungkin perlu dibudayakan. Supaya sarana pengingat Allah itu bukan saja melekat pada diri, tetapi juga harus dibantu pihak lain, dibantu system yang tidak mudah untuk orang berbuat curang.
3.     ADIL. Kunci ketiga agar sukses beramal ini perlu ditanamkan “ADIL” pada diri setiap orang yang melakukan amal kebaikan. Sebab ketidak adilan akan mencurangi orang lain. Orang yang tercurangi itu, kelak pada pengadilan yang maha adil, akan diberi kesempatan oleh Allah menuntut keadilan yang tidak didapatnya di dunia. Kita yang pernah mencurangi orang yang tercurangi itu, akan diminta untuk membayar dengan amal baik kita. Semakin banyak kecurangan kita maka semakin banyak faktor pengurang dari amal baik yang pernah dilakukan dan akhirnya bukan mustahil menjadi defisit.
4.     Mohan maaf bila melakukan kesalahan sesama. Hal ini perlu dilakukan agar mengamankan amal kebaikan yang sudah kita tabung untuk akhirat, agar tidak terkuras oleh orang-orang yang secara sengaja maupun tidak sengaja terlanjur kita dzalimi. Maklum kita manusia ini kesadaran dan kedewasaan kita berbanding lurus dengan usia dan pengalaman serta pendidikan kita. Diusia muda kadang orang gampang sekali terbakar emosi, orang dengan mudah menyakiti orang lain tetapi sejalan dengan usia mulai lanjut, sejalan dengan pengalaman, sejalan dengan penambahan ilmu maka mungkin disadari bahwa diri ini pernah mendzalimi orang dulu, maka usahakanlah untuk memohon maaf kepada yang bersangkutan. Untuk menghindari nanti di yaumil hisab amal kebaikan kita dipindahkan kepada orang yang terdzalimi tersebut.
5.     Lupakan kebaikan, ingat dosa. Sesungguhnya jika dibandingkan antara kebaikan yang telah kita lakukan, dengan nikmat Allah, adalah bukan apa-apa, bukan bandingannya. Begitu juga dengan dosa yang pernah dilakukan, barang kali belum imbang dengan kebaikan yang kita perbuat. Kecuali amal keburukan kita, dosa kita telah dihapus bukukan oleh Allah. Oleh karena itu agar kita tidak condong untuk mengingat kebaikan kita, kemudian secara tidak sengaja membatalkannya dengan menyebutnya. Adalah upaya yang baik, bila kebaikan yang pernah kita lakukan dilupakan saja. Sesekali saja mengingatnya, itupun jika sangat diperlukan ketika berdo’a kepada Allah, bukan mengingatnya dihadapan manusia. Selanjutnya ingat selalu dosa kita dan karena mengingat selalu dosa itu, maka tak henti hentinya kita mohon ampun kepada Allah. Mudah-mudahan dengan berulang kali meminta ampun atas dosa-dosa itu, Allah menghapus bukukan semua dosa kita. Amien, ya rabbal alamin. Selanjutnya amal kebaikan kita terterima utuh sebagai bekal di kampung akhirat yang kekal tiada bermasa.


Wednesday 19 February 2014

MENGENAL DIRI



Berangkat dari ungkapan “untuk mengenal Rabb, maka kenalilah diri”.  Banyak disitir para ustadz, dari kalimat yang bunyinya: “Barangsiapa yang mengenal dirinya maka sungguh dia telah mengenal Rabb-nya (Allah )”.
((من عرف نفسه فقد عرف ربه))
Kalimat  tersebut  sering disampaikan oleh para muballigh, Ungkapan ini terdapat dalam beberapa kitab, di antaranya:
v Kimiya As Sa’adah karya Imam Al Ghazali, (hal. 1. Mauqi’ Al Warraq). Namun, beliau telah  menggunakan kalimat “Rasulullah bersabda”  terhadap hadits ini.
v Selain itu juga terdapat dalam Hilyatul Auliya’ karya Imam Abu Nu’aim. (4/350. Mauqi’ Al Warraq) dan ternyata itu adalah ucapan Imam Sahl bin Abdullah At Tastari, seorang ulama sufi yang dipuji oleh Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim.
v Juga terdapat dalam Al Futuhat Al Makkiyah karya Abu Thalib Al Makki. (5/462. Mauqi’ Al Warraq)
Para Imam Muhaqqiqin (peneliti) mengatakan bahwa ungkapan ini bukanlah ucapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
v Imam As Sakhawi, mengutip dari Abu Al Muzhaffar As Sam’ani yang mengatakan bahwa dia tidak mengetahui adanya ucapan seperti ini yang marfu’ (sampai kepada  Rasulullah), dan diceritakan bahwa ini adalah ucapan Yahya bin Muadz Ar Razi Radhiallahu ‘Anhu.
v Sedangkan Imam An Nawawi mengatakan bahwa ucapan ini tidaklah tsabit (kokoh) dari Rasulullah. (Imam As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 220. Imam As Suyuthi, Ad Durar Muntatsirah, Hal. 18).
v Sedangkan Imam Ash Shaghani dengan tegas memasukkannya dalam deretan hadits palsu. (Imam Ash Shaghani, Al Maudhu’at,  hal 2).
v Begitu pula Imam Ibnu Taimiyah menegaskan kepalsuan  hadits ini. (Imam Al ‘Ajluni, Kasyf Al Khafa’, 2/262/2532. Mauqi’ Ya’sub)
v Sedangkan Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini tidak ada asalnya. (As Silsilah  Adh Dhaifah.
           Ungkapan ini walau tidak benar disandarkan sebagai ucapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, namun memang memiliki nilai kebaikan. Maka, lebih bagus dikategorikan ini merupakan ucapan hikmah saja. Sebab mengenal diri sendiri, lalu mentafakkurinya diakui bisa menjadi sarana untuk semakin berma’rifah kepada Allah. Sebab diri manusia termasuk salah satu tanda-tanda kekuasaan Allah, yang mesti ditafakkuri, sebagaimana ciptaan Allah Ta’ala lainnya.
Kita merasa lebih mudah untuk mengenal orang lain, mengenal apa saja disekeliling kita, kesemua itu seolah-olah jauh lebih mudah dari pada mengenal diri sendiri.
Untuk mengenal diri sendiri banyak ayat dalam al Qur’an yang memberikan petunjuk kepada kita, siapa sebenarnya manusia itu ditinjau dari sifat-sifatnya antara lain:
Pertama, sifat manusia, bahwa manusia itu suka berkelahi dan berbunuh-bunuhan atau menumpahkan darah. Seperti tersurat dalam ayat 30 surat Al-Baqarah:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
Para malaikat kemukakan bahwa “membuat kerusakan dan menumpahkan darah”, tentu mereka katakan begitu bukan atas dugaan, tetapi tentu sudah mengetahui bahwa memang sebelumnya telah pernah terjadi, karena para malaikat tidak dapat mengetahui hal yang belum pernah terjadi, para malaikat hanya mengetahui sesuatu yang sebelumnya telah diberitahukan Allah.
Adalah Al-Alusi, pengarang Tafsir Ruhul- Ma’ani mengatakan di dalam kitab Jami’ul Akhbar dari orang syi’ah Imamiyah, fasal 15 yang dikutip Prof Hamka dalam tafsir Al-Azhar Jus I halaman 168 – 169 bahwa sebelum Adam nenek moyang kita diciptakan Allah. Telah pernah diciptakan sebanyak 30 Adam sebelumnya. Jadi Adam nenek cikal bakal kita ini, adalah Adam yang ke 31. Jarak antara satu Adam dengan Adam yang lain 1.000. tahun. Tiga puluh Adam 30.000 tahun. Lebih lama dari tahun masehi sekarang baru tahun 2014. Tahun hijriah baru 1435.
Selanjutnya diceritakan 50 ribu tahun lamanya bumi ini rusak binasa, kemudian ramai lagi 50 ribu tahun, barulah diciptakan Allah Adam ke 31 asal muasal kita semua.
Juga Prof. Hamka dalam tafsir Al Azhar menyalinkan riwayat dari Ibu Bawaihi di dalam kitab At-Tauhid, riwayat dari Imam Ja’far As-Shadiq dalam satu hadis yang panjang, dia berkata:”Barangkali kamu menyangka bahwa Allah tidak menjadikan manusia (basyar) selain kami. Bahwa demi Allah dia telah menjadikan 1.000 Adam dan kamulah yang terakhir dari Adam-Adam itu”.  Walhu alam bishawab.
Rupanya dapat kita buktikan sampai sekarang, urusan berantem sampai bunuh-bunuhan bukan saja perilaku orang tua, mulai dari anak sekolah,…., tanpa sebab yang jelas berkelahi, disebut tawuran. Sampai antar kampung bakar-bakaran rumah, bunuh bunuhan hanya sebab yang tidak materiil dan prinsip. Eeee anggota dewan yang terhormat, bukan saja di negeri kita, di negeri yang katanya sudah majupun mereka mempertontonkan adu mulut yang berlanjut dengan otot. Begitu dunia ini tiap waktu tiap tahun tak pernah sepi dari kerusuhan dan peperangan. Pernah terjadi perang dunia kesatu dan kedua.
Para ustadz juga tak mau ketinggalan, suka sekali sindir menyindir, patah mematahkan pokok bahasan ustadz yang lainnya, kadang dengan dasar yang rapuh. Kemudian tendensinya untuk bantahan dilawan dengan bantahan.  Hendaknya haruslah dengan maksud saling nasihat-menasihati dalam kesabaran dan saling nasihat dalam taqwa. Kasih nasihat dengan tak usah sindir menyindir, langsung hubungi itu kolega, koreksi yang bersangkutan. Tapi cara ngoreksipun ada etikanya tentu para ustadz seyogyanya sudah lebih dari faham.
Bagi kita yang memahami ayat Al Qur’an dan mengambil I’tibar darinya, menjadi sadar bahwa itu memang sifat manusia, secara kodrati. Tapi bukan berarti kita harus mentoleransi sifat itu, justru karena kita sudah diberi informasi bahwa kita ini, diri  kita ini punya kegandrungan merusak, kecendrungan berkelahi sampai bunuh membunuh, hendaklah sifat itu dicegah untuk dihindari.
Sifat manusia kedua: Bahwa manusia itu mempunyai sifat penuh ketamakan, Al Baqarah 96 (2:96)
96. Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya daripada siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.
Dari ayat ini sekaligus ada TIGA keinginan  manusia yang jelas ditegaskan:
1.     Loba/tamak, menjadi sifat utama manusia ingin memiliki lebih dari orang lain. Hampir-hampir kalau tidak ada aturan main tentang pembagian, mengenai benda untuk kehidupan. Manusia akan sekuatnya berusaha agar dirinya mendapatkan lebih dari orang lain. Sifat yang ada pada diri inilah yang harus dikendalikan. Setiap muncul keinginan ketamakan itu, hendaklah orang yang berusaha untuk mendekat diri kepada Allah akan menekan sekuatnya perasaan tamak itu.
2.     Lebih mengutamakan kehidupan dunia. Ini dapat kita ukur diri kita setiap hari. Misalnya begitu terdengar panggilan shalat, apakah kita masih meneruskan pekerjaan dunia atau bersegera menuju shalat berjamaah, memenuhi panggilan adzan. Karena dengan mengetahui sifat ini, maka setiap panggilan adzan tiba, kitapun ingat bahwa diri ini kalau dibiarkan maka akan lebih mengutamakan kehidupan dunia dari pada kehidupan akhirat. Padahal kita sadar, bahwa dunia ini sementara dan akhirat itu kekal.
3.     Keinginan untuk hidup di dunia seribu tahun.
Setiap orang ingin hidup di dunia ini panjang, walau sebenarnya kalau terlalu panjang, juga akan repot. Merepotkan orang dan merepotkan diri sendiri. Sejalan dengan bagaimanapun manusia dengan berlanjutnya usia akan banyak ketidak sanggupan. Oleh karena itu harus dibantu orang lain. Baik sekali do’a yang diajarkan Nabi (HR Muslim dari Zaid bin Arqam)
Allahumma inni a‘udzubika minal azhi walkasali, wal buhli wal harami”. Minta lindungi dari perilaku malas, kikir, ketuaan dan ketidak berdayaan.
Sebab budaya masyarakat modern ini, makin kesini makin tergerus dari nilai-nilai yang diwariskan nenek moyang dulu dan termasuk; jujur kita akui, kalau kurang telaten memberikan nilai religius kepada anak-anak kita, maka mereka terkontaminasi budaya materialis/realistis. Kalau orang sudah tua merepotkan kalau berada dirumah akan tambah tenaga perawat, lebih realistis kalau dititipkan di panti JOMPO. Kadang kalau nasib kurang baik, kita punya anak sudah dididik baik tapi ketemu mantu yang tidak dapat menerima anaknya berbakti kepada orang tuanya. Apalagi orang tua kadang menjadi mudah tersinggung, bawel dan serba salah.
Sifat ke tiga: Bahwa manusia itu sangat lemah (QS 4:28), surat An Nisa ayat 28
28. Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.
Manusia normal, puncak-puncak kemampuannya adalah umur 40-50. Kalau sudah 50 lebih sedikit saja, sudah mulai nampak kelemahannya. Kelemahan manusia diujung usia adalah:
·        Kelemahan mengingat
Kadang sudah lupa dengan wajah orang, sudah lupa dimana menyimpan sesuatu, yang  paling sering ciri orang tua itu, kalau dia bercerita sesuatu topik cerita. Belum berapa lama diulanginya lagi cerita dengan topik yang sama. Cucu-cucunya lantas berkomentar ini jilid berapa Kek.
·        Kelemahan tenaga
Semasa di bawah limapuluhan, masih sanggup nyetir sendiri, masih sanggup mengangkat sesuatu yang cukup berat, masih sanggup berjalan cepat. Setelah lanjut usia kesanggupan itu berangsur hilang. Ujung-ujungnya tidak berdaya.
·         Kelemahan menangkal keadaan lingkungan
Sudah tak tahan perubahan cuaca ekstrim, sudah tak tahan kurang istIrahat, sudah ndak boleh salah makan. Pokoknya gampang sekali terganggu keseimbangan kesehatan oleh lingkungan.
4.     Sifat ke empat: Bahwa manusia itu tidak adil


Sesungguhnya manusia itu tidak adil tak tau berterimakasih.
(QS 14:34) surat Ibrahim ayat 34
Kecendrungan untuk berlaku tidak adil, adalah sifat dominan manusia sejak kecil. Kalaulah bukan hidayah Allah melalui agama, maka kecendrungan manusia itu berlanjut. Yang kuat akan menindas yang lemah, yang kaya menindas yang miskin.
Coba perhatikan anak balita, kebanyakan tabiat aslinya tidak adil, semua miliknya, kalau punya apa-apa  tak berbagi kepada orang lain. Kalaulah bukan karunia Allah memberikan pendidikan pekerti melalui orang tua mereka, melalui pendidikan dan lingkungan, maka si anak akan tumbuh dengan sifat aslinya tidak adil.
5.     Sifat kelima manusia, bahwa manusia itu pembangkang *QS 16:4), surat An-Nahl ayat 4
4. Dia telah menciptakan manusia dari mani, tiba-tiba ia menjadi pembantah yang nyata.
Pembantah, atau pembangkang, adalah sifat tidak menuruti apa yang telah ditentukan, suka melanggar aturan. Banyak manusia yang bertahan dengan sifat ini, contohnya jika tidak ada yang melihat, tidak ada yang mengawasi, kecendrungan melanggar aturan, kecendrungan tidak mau melaksanakan apa yang seharusnya dilaksanakan. Contoh orang suka melanggar peraturan lalu lintas, bila tak ada polisi. Pegawai bekerja santai jika tidak ada atasan. Buruh bermalas-malas kalau tak ada mandor.
6.     Sifat ke enam, bahwa manusia itu tergesa-gesa (QS17: 11) Al-Isra 11
11. Dan manusia mendoa untuk kejahatan sebagaimana ia mendoa untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.
Manusia, tergesa-gesa dibanyak hal. Belajar kalau bisa segera selesai, sukses/keberhasilan juga inginnya instan, padahal seharusnya butuh proses. Karena banyak yang kepengen kaya instan, kepengen berhasil instan itulah maka di banyak kasus, orang menempuh cara-cara yang tidak biasa dan bahkan haram untuk meraih kesuksesan itu.
7. Sifat manusia ke tujuh, bahwa manusia itu suka membantah (QS 18-54) surat Al-Kahfi ayat 54
54. Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al Quran ini bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.
Mungkin kalau diberi pembeda antara pembangkang dan membantah adalah, membangkang yaitu enggan melaksanakan perintah, sedang membantah suka mempersoalkan, memperdebatan aturan yang sudah ada dan mencari pembenaran tindakan melanggar ketentuan, tindakan tidak melaksanakan perintah.
Itulah ayat yang dipilih oleh rasulullah Muhammad s.a.w. ketika kunjung ke rumah anaknya Fatimah menanyakan apakah mereka shalat malam. Ali menjawab bahwa mereka dapat melaksanakan shalat malam tergantung apakah Allah membangunkan mereka. Nabi langsung berlalu dari rumah anak mantunya itu, dalam keadaan yang kurang senang dan membaca akhir ayat 54 surat al-Kahfi ini.
8.     Sifat manusia ke delapan,  Bahwa manusia itu dzalim dan bodoh sekali (QS33: 72). Surat Al Ahzab 72

72. Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat[1233] kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh,
Bahwa, bagaimanapun seorang manusia tidak akan dapat menguasai semua ilmu yang ada di dunia ini. Ada yang ahli bidang kesehatan, tapi tidak ahli bidang ekonomi, sosial dan agama. Sementara itu ada seorang ahli agama, tapi minim pengetahuan di disiplin ilmu kemasyarakatan, ilmu kesehatan, ilmu politik dan ilmu ekonomi. Begitu juga lebih spesialis, ada ustadz yang bacaan al-Qur’an-nya bagus, hafalan banyak, tapi kurang mahir berceramah. Sementara ada ustadz yang memukau kalau berceramah, tapi giliran diminta menjadi imam suaranya kurang merdu.  
Dengan mengetahui sifat-sifat buruk manusia diberikan informasi oleh Allah, maka dengan begitu kita menjadi mengerti, sehingga untuk dapat menghindari dan mengendalikan diri.  AGAR TETAP SENANTIASA MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH.