Wednesday 21 October 2015

Kalau SURGA terbakar NERAKA padam



Seorang tokoh Sufi perempuan “Rabi’ah al-Adawiyah dari Bashrah dikisahkan ingin membakar Surga dan memadamkan api Neraka. Demikian di kutip dari Buku “Ajaran Manunggaling Kawula-Gusti”, ditulis oleh Sri Muryanto Cetakan ke tiga tahun 2007 penerbit Kreasi Wacana Yogyakarta halaman 126-127.  Keinginan ini tentu tidak akan terlaksana, kalaulah ada di zaman kini  orang yang membawa obor menyala dan ember berisi air seperti yang dilakukan oleh Rabi’ah itu akan pergi kelangit, untuk membakar Surga dan memadamkan api Neraka, jelas akan dikatakan orang tak beres, segera akan diproses ke rumah-sakit  jiwa.
Tidaklah kita bermaksud membahas mendalam makna tersirat tindakan sang Sufi. Kita ketahui selama ini Surga adalah dambaan setiap insan di dunia ini untuk menjadi tempat kediaman abadi di alam sana setelah meninggalkan dunia ini. Meninggalkan dunia ini adalah kontrak yang harus dipenuhi setiap orang yang hidup. Motivasi itulah kebanyakan orang awam melakukan kebaikan dan meninggalkan hal yang tidak terpuji/melanggar norma selama hidup. 
Begitu juga Neraka, siapapun orangnya asalkan berpikiran jernih, dia mempersiapkan diri selama hidup ini untuk kelak terhindar setelah mati nanti dari dibenamkan ke dalam Neraka, sebab agamawan memberi kabar kepada ummatnya bahwa Neraka itu tempat penyiksaan bagi yang berbuat dosa. Oleh karena itulah sejauh mungkin setiap orang yang percaya adanya alam akhirat, berupaya untuk menghidari perbuatan-perbuatan yang tercela berbuah dosa, serta terus-menrus  menabung kebajikan.
Kalau Surga sudah terbakar dan Neraka sudah padam, mungkin orang tinggal di dunia ini tenang-tenang saja dan bahkan mungkin tak terkendali. Jika punya kesempatan untuk melahap harta benda dunia ini, dilahap sebanyak-banyaknya tak peduli lagi bagaimana caranya. Jika untuk mendapatkan jabatan  lazim sebagai jembatan menuju pelahapan harta dunia itu, dengan cara apapun dilakukan juga. Toh Neraka sudah padam dan Surga sudah terbakar. Maka kalau sampai disana nanti dan pasti setiap orang yakin pasti sampai kealamat yang namanya mati, masuk Neraka pun sepertinya dianya bersedia, sebab sudah padam. Justru masuk Surga dianya malah repot karena sudah terbakar harus membenahi puing-puing. Mungkin inilah gambaran banyak kalangan di akhir zaman ini, mengacu pada tingkah laku yang mereka laksanakan, sudah menganggap bahwa Surga sudah musnah terbakar dan masuk Neraka pun ndak soal karena sudah padam.
Gejala ini makin gencar dipertontonkan dan dipublikasikan media. Banyak orang seharusnya sudah berkecukupan, tetapi tetap saja dengan rakus menghimpun harta dunia dengan cara korupsi dan menerima suap. Diantara mereka tak kurang berpredikat terkemuka dan merk agamanyapun meyakinkan. Sementara itu tindakan kriminal seperti perampokan dimana-mana dilakukan penjahat. Juga menghilangkan nyawa sesama sangat mudah dilakukan dengan alasan yang hanya sepele. Semua itu mungkin dilakukan karena sanksi pelaku korupsi, perampok, pembunuh, kejahatan seksual tidak sepadan dan belum sesuai dengan arahan “Yang Mencipta Dunia” ini.  Selain itu karena mungkin orang sudah tidak takut lagi dengan Neraka karena sudah padam dan tak ingin Surga lagi karena sudah musnah terbakar.

Tuesday 13 October 2015

DENGKI MENYIKSA DIRI



 Apabila dengki sudah bertanah
Datanglah daripadanya beberapa anak panah
Bait tersebut kutipan dari “Gurindam Dua Belas” pasal yang keempat karangan Raja Ali Haji dari Pulau Penyengat dipublikasikan  tahun 1263 H tanggal 23 Rajab.
Naskah yang kudapat ketika berkunjung ke Pulau Penyengat. 11 Nopember 2013. Bait gurindam tersebut kucoba menterjemahkannya:
Jika dengki sudah diberi tanah di hati sehingga sifat itupun tumbuh subur, maka akan datanglah sejumlah senjata dilambangkan anak panah. Senjata berupa anak panah tersebut siap untuk diserangkan kepada orang lain, kepada siapa kita menaruh dengki atau iri hati. Kadang untuk membidikkan anak panah itu ke sasarannya, orang yang memelihara dengki itu, akan berihtiar sedemikian rupa, menghilangkan gawe kerja (kegiatan rutin), terbuang waktu sia-sia. Tidak jarang untuk mewujudkan pemuasan hati kerena dengki itu, si pen dengki sampai gelisah, susah tidur dan bahkan kehilangan pertimbangan logis atau bahasa gaulnya “hilang malu”.
Sebelum tahun 1973, diriku masih menggeluti profesi sebagai wartawan. Lazim ketika itu bila sekelompok wartawan diundang oleh suatu instansi mengkikuti perjalanan ke suatu daerah, sebelum berangkat atau sesudah sampai di tempat tujuan, kepada kami dibagikan semacam uang transport sejumlah tertentu di dalam amplop. Pembagian “uang transport” tersebut dapat  saja terjadi di hadapan sejumlah wartawan yang diundang dalam rombongan, sehingga masing-masing wartawan saling mengetahui tentang keberadaan amplop itu. Sesampai di tempat Tujuan, oleh pengundang telah pula disediakan penginapan. Maklum ketika itu belum banyak hotel tersedia seperti sekarang,  di daerah yang kami kunjungi kami diinapkan oleh pengundang di dalam sebuah mess dengan ruangan besar. Dalam ruangan itu tempat tidur kami bersusun dua. Begitu besar ruangan itu cukup tertampung kami orang dua belas. Lay out tempat tidur susun membentuk huruf “U”  bagian menuju pintu tidak diisi tempat tidur. Kamar mandi dan Toilet tersedia di luar kamar.
Kami se profesi biarpun berlainan surat kabar/media, tetapi sering kumpul dan oleh karenanya faham betul secara garis besar pembawaan, hobby dan watak masing-masing. Salah seorang kami diketahui oleh banyak teman punya sifat “Dengki”.
Dasar kami waktu itu kebanyakan masih muda-muda dan kebetulan diriku belum genap duapuluh tahun (paling muda dirombongan itu), masih suka berbuat iseng. Karena kami tau sifat teman yang satu itu pendengki, maka diriku sengaja diatur,  pura pura membuka amplop yang dibangikan oleh panitia, dimana sebelumnya amplop tersebut diam-diam sudah ditambah dengan isi amplop dua orang rekan lainnya. Pembukaan amplop disiasati sedemikian rupa, sembunyi-sembunyi tetapi diupayakan agar si pendengki dapat melihat dan memancing dia bertanya.
Benar juga diapun akhirnya bertanya, kerena melihat tebal dan hitungannya cukup lama. Sejurus kemudian si pendengkipun menuju kamar mandi dan ketika keluar dari kamar mandi telah Nampak perubahan air mukanya.
Acara hari itu berjalan padat, sampai sore hari kamipun diantar panitia menuju penginapan dengan tempat tidur susun kami. Entah bagaimana pengaturannya diriku dapat tempat di atas  dan si pendengki pas berada di bawah tempat tidurku, jadi aku tak dapat memonitor si pendengki tentang bagaimana dianya sebelum tidur. Temanku yang berhadapan-hadapan dengan tempat tidurku di ranjang susun atas, sekali sekali mengacungkan jempolnya kepadaku. Rupanya temanku tadi dapat memantau begaimana gelisahnya si pendengki  mencari posisi tidur malam itu, sebentar telentang, sebentar miring kiri dan sebentar miring kanan. Rupanya si pendengki gelisah teramat sangat. Benar juga besok pagi ketika sarapan, yang bersangkutan belum muncul. Terakhir kami ketahui, bahwa yang bersangkutan sebelum sarapan pagi menemui pembagi amplop, mengkonfirmasi ke panitia, tentang berapa sesungguhnya isi amplop, kerena dia merasa di “anak tirikan” diberi jumlah hanya sepertiga. Sebab beberepa orang ketika dimintakan informasi ada yang menjawab belum sempat buka, ada yang jawab yaaah samalah dengan teman-teman lainnya.
Begitulah sifat DENGKI ternyata terbukti menyiksa diri, buktinya gelisah tidur, dan hilang malu menanyakan ke panitia. Untungnya setelah itu suasana begitu padat dan tidak sempat dianya mendampratku, sebab padat dengan acara sampai kami pulang ke pos masing-masing. Namun setiap ketemu lagi dengan teman-teman lain di kesempatan berikutnya, cerita tersebut cukup membuat kami tertawa renyah.