Lain
Ladang lain Belalang. Ungkapan pepatah ini dimaksudkan untuk mengungkapkan
bahwa tiap tempat berbeda adat istiadatnya, berbeda nilai kebenaran, berbeda sesuatu
yang dinilai baik. Pepatah itu ada
sambungannya lagi “Lain lubuk lain pula ikannya”. Juga makna lanjutan kata-kata tadi juga
adalah memperkuat arti pepatah bahwa pada dasarnya setiap tempat punya kekhasan
tentang nilai kebenaran, nilai kebaikan bahkah nilai keindahan nilai kepatutan.
Sebetulnya
dalam kenyataan mungkin adalah susah mencari
beda antara belalang disatu ladang dengan belalang di ladang yang lain,
kalau bukan karena memang speciesnya yang dari asalnya memang beda. Begitu juga
ikan di dalam lubuk, jika ikannya jenisnya sama ya samalah dia. Tapi kita akui
dan rasa hormat nan tinggi atas kepiawaian nenek moyang kita menyusun kata
menjadi pepatah yang dimaksud sudah susah untuk dibantah.
Sepertinya
generasi kita belum lagi keluarkan redaksi pepatah-pepatah baru untuk pusaka buat anak cucu kita. Yang santer
jadi semboyan sekarang adalah “cari
rezeki yang haram saja susah apa lagi yang halal”. Apakah ini pepatah, entahlah, tetapi banyak
orang yang tidak dapat membantah ungkapan ini, sebab kini orang sudah banyak
yang mencari rezeki tidak dengan cara yang halal lagi. Setiap bidang pekerjaan
bidang usaha, terselip subhat dan tipu
menipu, rekayasa, kedustaan. Dengan jalan begitu saja kata banyak orang sudah
susah. Apa lagi kalau lurus rus akan ndak dapat apa-apa ndak dapat ikut kebanyakan
orang. Tidak heran korupsi meraja lela, yang apes pada ketangkap yang bernasib
baik berleha-leha sesama kolega.
Sudah
banyak si istilah yang lain di zaman kini, misalnya: “Lain ditulis di pengumuman lain pula kenyataannya”. Di kantor-kantor
pemerintahan pelayanan masyarakat, sering ditulis dalam redaksi pengumuman: “Jangan mengurus melalui calo”, “Jangan memberi
imbalan apapun kepada petugas”. Dalam kenyataannya kalau surat-menyurat,
izin mengizin diurus sendiri akan berkepanjangan, ada saja salahnya, membuat
kita harus bolak balik ngurusnya membuang waktu dan tenaga. Akhirnya kebanyakan
orang memilih melalui calo juga yang sudah mahir betul berapa jumlah meja yang
harus “disinggahi dan disisipi”, sehingga menjadi jelas berapa total biaya yang
katanya diumumkan gratis, atau hanya sesuai tariff resmi disetor ke kas Negara.
“Menurut TV kan gratis”, kata seorang ngurus KTP, dengan enteng jawabannya “Urus
saja di TV”.
Kembali
ke pepatah, adalah anakku dalam tugasnya ke suatu daerah bertamu ke rumah sebuah
keluarga. Sebagai penghormatan keluarga sahibul bait menghidangkan buah semangka,
tentu sudah diiris potongan yang pantas
untuk dihidangkan. Sambil bebasa basi sekedarnya, kemudian anggota keluarga
pemilik rumah langsung mengambil sepotong semangka terhidang dan memakan. Ketika pulang, dalam perjalanan partner kerja
anakku dalam kunjungan ke daerah itu, berkomentar, tentang kenapa putri tuan
rumah lebih dahulu memakan semangka, bukannya mendahulukan tamu.
Di
meja makan anak kami menceritakan kronologis pertamuannya dan komentar partner
kerjanya itu. Kepada anakku kujelaskan, berkaitan dengan pepatah “Lain ladang lain Belalang, lain lubuk lain pula
Ikannya”. Bahwa istiadat daerah yang dikunjunginya itu justru tuan rumahlah
yang harus terlebih dahulu mencicipi makanan. Kalau dahulu lebih ekstrim lagi,
sambil mencicipi makanan itu si tuan rumah saraya mengajak tetamunya makan
sambil berucap “ayo dimakan tidak ada
racunnya” dengan membuktikan memakannya sendiri. Dahulu di daerah itu orang-orang dulu terkenal
suka meracun tetamunya, dalam rangka menguji seberapa hebat kesaktian/kekebalan
pendatang ke daerah mereka. Racunnya memang bukan kelompok racun berat,
misalnya paling ringan orang diare, pusing kepala. Paling berat muntah darah
dan batuk-batuk bertahun-tahun. Itulah sebabnya menjadi budaya di daerah itu
sampai sekarang, kalau menghidangkan makanan nilai kesopanannya si pemilik makananlah
mencicipi lebih dahulu.
Lain
lagi dengan perihal menyuguhkan minuman, ada daerah, begitu tamu datang
langsung disuguhi minuman dengan nilai kesopanan/kepatutan menurut daerah itu, bahwa si tamu harus
diberi minum lebih dahulu karena haus dalam perjalanan. Sementara menurut suatu
daerah penyuguhan minuman lebih dahulu itu tidak pantas, tidak sopan karena
dapat ditafsirkan mengusir tamu, agar cepat pulang. Justru di daerah penganut
paham ini tamu setelah beberapa saat mengobrol baru dihidangkan minuman.
Pokoknya “Lain ladang lain belalang,
lain lubuk lain pula ikannya”. Disatu daerah. tuan rumah merasa mendapat
kehormatan dari tamunya bila minuman yang disuguhkan diminum habis, sementara
di daerah tertentu menganggap yang sopan bagi tamu adalah menyisakan sedikit minuman
di dasar digelas/cangkir.
Kuceritakan
juga ke anak kami, ada suatu daerah kalau kita diundang makan di rumah mereka
ketika mengambil daging ikan besar yang dihidangkan dipiring oval misalnya. Jika
daging ikan disatu sisi sudah habis untuk mengambil daging ditubuh ikan di bawahnya,
adalah tidak sopan dan tabu jika tubuh ikan itu dibalik. ”Lho kalau begitu gimana caranya” sela anak kami. Hendaklah tulang
ikan yang diangkat jadi daging ikan di bawah
tulang yang besar itu dapat dimabil. “gak
praktis sekali” tambah anak kami. “Memang
tidak praktis”., jawabku. Itulah nilai kesopanan suatu daerah, nilai
kebenaran suatu daerah, karena kalau dengan dibalik si empunya hidangan
tersinggung berat, dianggap si tamu mengungkapkan bahwa bagian ikan sebelahnya
kurang matang, atau tidak sama dengan bagian yang di atasnya. Sekali lagi “Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain
pula ikannya”.
Banyak
sekali budaya nusantara ini, bila dibukukan mungkin ribuan halaman, tiap daerah
ada saja bedanya. Ini baru menyoal sedikit perihal bertamu, menyoal makanan dan
minuman, belum lagi soal bagaimana harus bersikap, bagaimana harus berucap
pokoknya banyak sekali soal “Lain ladang
lain belalang lain lubuk lain pula ikannya”. Yang penting pesanku ke anak
kami, usahakan kenali daerah yang anda kunjungi sebelumnya. Pesan nenek datuk
kita jika kita berkunjung ke negeri orang “Bawalah
ayam betina, jangan membawa ayam jantan”.