Sunday 7 July 2019

TAWAKAL yang TERGERUS

Hidup ini akan aman, damai, sejahtera, andaikan setiap insan tawakal mereka tidak tergerus. Sebab bila hidup dipenuhi tawakal tak kan ada kekhawatiran dlm hidup ini, yakin-seyakin-yakinnya pemberi kehidupan ini mencukupkan sgl keperluan. Tak perlu melakukan kecurangan, penipuan dll kemungkaran untuk sekedar hidup, untuk sekedar persiapan hidup. Kita ini dihidupkan di atas dunia ini tak pernah mengajukan permohonan/aplikasi. Tentu pemberi hidup bertanggung jawab menghidupkan kita asalkan kita bertawakal.

Keberadaan Tawakal  dipengaruhi oleh hidayah Allah. Hidayah datang sejalan bertambah usia, pengaruh lingkungan, strata pendidikan dan pengalaman.

1. Faktor Usia.
Tawakal muncul dari faktor usia ini datangnya terlambat bila dibanding dengan akal. Jika akal sejak usia anak-anak sudah mulai muncul walaupun kecerdasan anak setiap orang berbeda. Persisnya sejak usia kapan sudah mulai tumbuh akal seorang anak, ini wilayah ahli untuk menelitinya. Keseharian bila diperhatikan seorang anak, sudah mampu menggunakan akalnya untuk menolong dirinya misalnya untuk mengambil mainan di tempat yang tinggi, ia pergunakan alat untuk meninggikan tubuhnya atau tongkat untuk menjoloknya. Walau akal blm maksimal, tak ngerti bahaya, ada anak yg terjepit di dua dinding rumah hanya ingin ngambil mainan terselip disela dua dinding itu. Sampai hrs dibantu petugas Pemadam Kebakaran.
Selanjutnya anak tumbuh menjadi remaja dan dewasa, akal pun berkembang sejalan dengan usia, tetapi tawakal mungkin baru muncul setelah anak memasuki akil baligh. Dengan akal orang hanya memperhitungkan untung dan rugi, tidak perduli dengan keuntungan dirinya apakah orang lain menjadi rugi. Dengan tawakal seseorang akan mempertimbangkan apakah tindakannya yang diperhitungkan dengan akal menguntungkan itu tidak menyebabkan orang lain menjadi rugi. Kalau tawakal ini terlambat datangnya, yang terjadi seorang yang sudah masuk dalam kelompok remaja masih saja mencuri jambu tetangga. Kalau betul-betul terlambat sampai sudah menjadi pemegang amanah masyarakat, timbullah yang namanya “Korupsi”. Karena makna tawakal yang kita pinjam dalam tulisan ini kira-kira adalah “menyerahkan diri sepenuhnya urusan hidup dan mati kepada Allah”. Orang yang korupsi pada dirinya ada semacam kekhawatiran untuk kehidupan masa yang akan datang, sehingga ia segera memanfaatkan kesempatan untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya bakal persiapan dimasa depan. Jikalah tawakal belum TERGERUS dalam dirinya ia tidak akan melakukan tindakan yang ia mengetahui bahwa akan merugikan orang lain, kalaupun mempersiapkan harta untuk masa depan, dengan cara yang tidak merugikan orang lain.

2. Faktor Lingkungan.
Lingkungan,  besar sekali mempengaruhi tawakal seseorang. Di dalam lingkungan dimana setiap hari tertontonkan kegemerlapan suasana kemewahan hidup semata. Pembicaraan di dalam lingkungan hanya soal karier dan kesuksesan mengumpulkan harta. Orang yang bersangkutan sebagian terpacu untuk hidup menyaingi masyarakat di lingkungannya. Tingkat ketawakalan itupun tidak dapat tumbuh dengan subur. Berbeda dengan seseorang yang dibesarkan dilingkungan yang setiap hari syarat dengan nuansa kerohanian, syarat dengan sikap hidup orang yang bersahaja. Setiap orang bekerja dengan giat sesuai kemampuan masing-masing tetapi tetap dalam koridor agama, insya Allah sebagian besar orang yang tumbuh dilingkungan ini akan menjadi seorang yang tingkat ke tawakalannya TIDAK TERGERUS, bahkan demikian tinggi.

Seorang pemuda yang belum lama tamat perguruan tinggi pernah bertutur “saya dulu ketika mahasiswa sering bersuara lantang dalam demonstrasi dan di barisan paling depan menyuarakan berantas korupsi. Tapi kini pak, setelah saya bekerja, apa boleh buat lingkungan saya membuat saya harus ikut. Kalau saya tidak ikut saya terpental, bagaimana anak dan isteri saya”.
Dialog ini saya terima dari seorang pemuda yang sudah berdinas di suatu instansi beberapa tahun di suatu kabupetan  di Republik ini. Waktu itu (K/L 12 th lalu) saya ikut rombongan pengusaha. Si Pengusaha adalah audience pelatihan diselenggarakan di ibu kota provinsi dari kabupaten tersebut dimana saya diundang sebagai pembicara. Kabupaten itu dapat didatangi dengan speed boat jarak tempuh 10 jam. Seusai pelatihan si pengusaha mendapat kabar bahwa komoditi yang dibawa anak buahnya ditahan di suatu pos. Masalahnya, jumlah komoditi yang termuat dalam dokumen jauh lebih kecil dari fisik yang ada. Penahanan adalah suatu tindakan yang benar, terjadilah negosiasi antara pengusaha dan pihak yang menahan. Pemuda tadi mengemukakan kepada saya di kesempatan terpisah dengan atasannya. Si pemuda mengetahui bahwa saya hanya pengikut dari rombongan pengusaha tadi. Rupanya di dalam praktek, jumlah komoditi dalam dokumen selalu lebih kecil dari fisik, kilah pengusaha: “kalau dokumen sama persis dengan komoditi, kami pengusaha tak dapat untung bahkan merugi”. Ini yang terjadi di negeri ini entah sampai kapan. Penyebabnya itu tadi banyak diantara kita baik pejabat, pengusaha maupun masyarakat biasa tawakalnya SUDAH TERGERUS. Kadang datangnya tawakal sudah masuk usia pensiun, barulah masing-masing menjadi “penua masjid”. Mungkin jika di masyarakat kita sejak muda orang sudah menjadi “pemuda masjid”, perilaku korupsi dan sejenisnya akan berkurang.

3. Faktor Pendidikan.
Pendidikan berpengaruh kuat juga membentuk ketawakalan seseorang, jika pendidikan yang dimasuki dalam kelompok pendidikan menjurus ke kerohanian, misalnya pendidikan agama, umumnya akan mencetak manusia yang bertawakal tinggi. Walau banyak ditemui kasus bahwa orang yang berpendikan formal bidang agama tapi melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji, bahkan korupsi. Ini pertanda bahwa ketawakalan pada dirinya hanya sebatas sebagai pengetahuan tidak masuk ke dalam jiwa atau tawakal SUDAH TERGERUS di jiwa scientists bidang agama tsb. Dalam pada itu tidak sedikit orang yang disiplin ilmu pendidikannya bukan bidang kerohanian, tetapi tingkat ketawakalannya cukup tinggi.

4. Faktor Pengalaman.
Kadang pengalaman memberikan pelajaran yang sangat membekas dihati manusia. Seseorang yang tadinya sangat rendah tawakalnya entah bagaimana mendapatkan sesuatu cobaan yang sangat berat, kemudian melakukan pendekatan diri kepada Allah dan kemudian terangkat cobaan tersebut, sehingga yang bersangkutan mulai bertawakal dan semakin dalam ketawakalannya ia merasakan semakin ringan beban hidupnya. Ada diantara orang yang sukses dalam berkarier, sehingga seolah dunia ini dapat digenggamnya. Suatu ketika mendapat cobaan sakit. Semula ia berfikir bahwa dengan kekayaannya semua dapat diatasi, ia pergi berobat ke negeri mana saja yang direferensikan orang ada tabib yang ahli. Tetapi sakit tidak kunjung sembuh juga, walau sudah hampir ludes semua harta. Akhirnya iapun sadar bahwa sesungguhnya manusia ini tidak berdaya, uang bukan segalanya. Syukur ia masih sempat menyadari kemudian menyerahkan diri kepada Allah dan ada diantaranya orang yang demikian berakhir dengan dikembalikan Allah kesehatannya, ada juga yang berakhir dengan maut. Ketika blm mendpt cobaan sempat tawakal ybs. TERGERUS.

5. Faktor Hidayah,
Hidayah, sangat menentukan dalam kadar ketawakalan seseorang. Setiap manusia terlahir ke dunia ini sama-sama memperoleh hidayah Allah yaitu: Insting, Indra, Ilmu, Ilham. Tiga dari keempat “I” tersebut serba sedikit telah disinggung dan diuraikan di atas.

Sejak bayi manusia sudah diberikan oleh Allah hidayah berupa “insting” dan perkara ini bukan saja anak manusia yang mendapatkan hidayah insting, seluruh mahluk Allah menerima hidayah ini. Misal anak bebek, walau ditetaskan oleh induk ayam, mereka tetap menuruti insting berenang ke air. Asal sebatang pohon walaupun bibitnya ditanam di tanah yang miring ia akan tumbuh Vertikal. Anak manusia yang baru lahir mendapatkan insting sejalan dengan usianya. Ini hidayah Allah dalam wujud insting. Insting dapat dikembangkan dengan latihan, sehingga seseorang lebih trampil menggunakan instingnya dari orang lain yang kurang mengasah kemampuan insting tersebut.

Selanjutnya hidayah diberikan kepada manusia berikutnya adalah “Indra”. Semua manusia yang normal memperoleh hidayah ini, dapat dipergunakan untuk membantu manusia meneruskan kehidupan. Indra manusia akan bertambah atau berkurang kepekaannya sejalan dengan usia dan selaras dengan pemanfaatan dan juga perawatan.

Hidayah berikutnya adalah “Ilmu”, dengan ilmu manusia memperoleh kemudahan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Ilmu adalah hidayah Allah yang harus dicari dan di ikhtiarkan. Ilmu itu bersumber dari pengalaman manusia, pengalaman orang terdahulu dihimpun sebagai sumber ilmu bagi generasi berikutnya. Seorang penemu yang temuannya menjadi sumber ilmu, melakukan upaya yang gigih terus menerus, kemudian menemukan sesuatu yang berguna bagi manusia baik untuk tujuan baik mapun tujuan jahat. Temuan itu dikoleksi menjadi ilmu. Pada dasarnya ilmu itu sendiri datangnya dari hidayah Allah setelah para penemu berikhtiar, merenung dan mungkin bertapa atau melakukan penelitian atau percobaan, dengan menggunakan akal yang diberikan Allah hanya kepada manusia. Binatang tidak diberikan akal, makanya si burung pipit sejak dari dulu sampai sekarang membuat sarang tetap saja dari rumput dengan model yang sama. Sementara manusia dulu berumah di dalam batu atau gua sekarang batu-batu dibuat rumah dan bahkan sekarang sedang dikembangkan botol plastic dibuat dinding rumah (hemat dan tahan gempa).

Terakhir hidayah Allah itu adalah “Ilham”. Diberikan kepada seluruh manusia, sedangkan wahyu hanya diberikan kepada nabi dan rasul.Ilham diperoleh seseorang dalam menuntun hidup yang bersangkutan. Ada jenis ilham yang diperoleh setelah dengan susah payah berikhtiar untuk menyelesaikan suatu masalah. Ada jenis ilham yang datang memberikan petunjuk untuk melakukan sesuatu. Contoh para seniman mendapat ilham menciptakan sesuatu karya yang semula belum ada orang lain menciptanya. Seorang pengarang mendapatkan ilham dalam menuangkan buah pikirannya di atas kertas. Ada lagi jenis ilham yang datang melalui mimpi. Kejadian sungguhan; seorang anak setingkat esempe bukan pemeluk agama Islam, berteman akrab dengan sebayanya yang ta’at sholat. setiap pulang sekolah temannya mampir ke masjid untuk melaksanakan sholat zuhur, sementara dia menunggu di luar masjid sambil membaca apa saja yang bisa dibaca dari buku pelajaran atau apa saja. Suatu malam ia bermimpi datang seseorang berpakaian serba putih mengajarkan ia tentang Islam. Ilham ini diturutinya dan kini yang bersangkutan menjadi seorang muslim melalui ilham di dalam mimpi. Ini adalah hidayah Allah yang hanya diberikannya kepada orang yang dikehendaki-Nya.

Dari telaah di atas dapat dipahami bahwa hidayah akan diperoleh manusia, ada yg ajali ada yang ikhtiari. Wilayah kita adalah “hidayah ikhtiari” yaitu menggapai hidayah Allah dengan berupaya yang sungguh-sungguh melalui mengasah kemampuan insting, merawat dan memanfaatkan indra dengan baik, mencari ilmu pengetahuan, berdo’a dan mohon petunjuk dari Allah dalam menghadapi setiap masalah, berkawan dengan orang yang sholeh. Agar dg hidayah Allah tawakal kita tidak TERGERUS.

Agaknya pas dijadikan dalil uraian tulisan ini:
(QS. Al-Anfal ayat 49)
وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَاِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
"Barang siapa bertawakal kepada Allah, ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana."

dan...
(QS. At-Talaq ayat 3)
 وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهٗ
Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.

Tulisan ini diturunkan semasa di negeriku masih terlalu banyak orang yang “telah TERGERUS  tawakalnya” sehingga mereka rakus menumpuk harta bila ada kesempatan, walau dengan cara yang tidak benar. Semoga era ini cepat berlalu setidaknya generasi yang akan datang.

Aamiin.
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ
Barakallahu fikum
وَ الْسَّــــــــــلاَمُ
M. Syarif arbi.

No comments:

Post a Comment