Monday 17 April 2023

Proses IKHLAS tunduk pada yang TERAKHIR

Ikhlas MENURUT Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), berarti bersih hati atau tulus hati. Dalam ajaran Islam, ikhlas adalah kunci dari amal. Keyakinan seseorang bahwa semua amalnya hanya untuk Allah semata. Dalam melakukan ibadah, hati tidak boleh tercampur niat/keinginan mendapatkan penghargaan dari selain Allah. Untuk membatasi pengertian, di tulisan ini yang dimaksud ikhlas ialah dalam beribadah kepada Allah (hablum minallah) dan beribadah sosial (hamblum minannas) dalam rangka menjalankan perintah Allah. Ternyata menuju ikhlas ini tidak semua orang mudah, tidak banyak orang yang dapat menjalankannya secara otomatis, harus melalui proses. Diakui bahwa ada sebagian kecil orang ikhlas muncul dari “sononya”, sejak mulai kanak2 sampai tumbuh jadi “orang”, dari dalam jiwanya ada bawaan melekat perilaku ikhlas (mungkin ini sudah anugerah khusus dari Allah buat yang bersangkutan). Akan tetapi bagi orang kebanyakan proses ikhlas berawal dari “fase tersiksa”. Selanjutnya masuk ke “fase terpaksa”, proses terakhir “fase terbiasa”. Salah satu contoh dapat dikemukakan bahwa ikhlas itu melalui proses, kiranya dapat disimpulkan dari hadits tentang melatih anak untuk melakukan shalat: Memberikan pendidikan kepada seorang anak yang sudah mulai tumbuh, merupakan keharusan dan kewajiban bagi orang tua, lebih-lebih pendidikan shalat. Karena pentingnya pendidikan shalat ini, Rasulullah saw memerintahkan kepada orang tua untuk menyuruh anak-anak mereka melaksanakan shalat pada umur 7 tahun dan memukulnya pada umur 10 tahun apabila meninggalkan shalat, sebagaimana hadits berikut: عن عمرو بن شعيب، عن أبيه، عن جده -رضي الله عنه- قال: قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: مُرُوا أولادَكم بالصلاةِ وهم أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، واضْرِبُوهُمْ عليها، وهم أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ في المَضَاجِعِ Dari Amr Bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata: “Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: “Perintahkan anak-anakmu melaksanakan shalat sedang mereka berusia 7 tahun dan pukullah mereka karena tinggal shalat sedang mereka berusia 10 tahun dan pisahkan antara mereka di tempat tidurnya.” (H.R Abu Daud) Perlu diperhatikan bahwa, wajib bagi orang tua selama 3 tahun (10-7), memerintahkan anak-anak mereka untuk shalat, dengan cara lemah lembut, walaupun sebenarnya shalat belum wajib atas mereka. Apabila orang tua tidak memerintahkan anak-anaknya untuk shalat pada umur 7 tahun, maka orang tua berdosa. Bagi anak umur 7 - 10 tahun, bila meninggalkan shalat, sebetulnya si anak tidak berdosa. Namun bagi ORTU ini merupakan perintah (jika tak dilaksanakan berdosa) harus menyuruh anaknya shalat dengan sikap yang lebih keras setelah masuk usia 10, bila perlu memukul. Hal tersebut untuk membiasakan mereka, agar kelak ketika sudah dewasa, mereka sudah terbiasa untuk shalat. Inilah yang dimaksud “fase tersiksa” di usia 7 tahun, mungkin si anak lagi pulas2nya tidur dibangunkan untuk shalat subuh. Fase berikutnya “fase terpaksa”, mau tidak mau karena pada usia 10 tahun dipaksa Ortu, mungkin akan diperciki air bila belum bangun saat adzan subuh, maka terpaksa bangun juga menuju masjid ikut ayah bagi anak lelaki, siap2 shalat di rumah bagi anak perempuan. Berjalan terus menerus akhirnya masuk ke “fase terbiasa”, tanpa dibangunkan ortupun otomatis terbangun ketika subuh, melaksanakan shalat wajib lainnya bila sampai waktunya walaupun sudah tidak lagi dibawah kontrol ORTU. Ditambah dengan ilmu agama, maka si anak yang tadinya melalui “fase tersiksa”, “fase terpaksa” dan akhirnya “fase terbiasa” itu menjadi ikhlas dalam melaksanakan shalat diikuti ibadah2 lainnya. Dalam kasus tertentu seperti dikemukakan di awal tulisan ini, bahwa ada “sebagian kecil orang ikhlas muncul dari “sononya”……….”, dapat terjadi karena si anak melihat perilaku orang tua mereka, sejak umur dibawah empat tahun, sudah minta untuk ikutan shalat. Begitu sibuknya si balita ini pergi berwudhu, walau wudhunya hanya sekedarnya. Persiapan shalatnya lumayan,……. Minta digelarkan sajadah segala sama “yang mengasuhnya” baik ketika ortunya ada di rumah maupun ortunya sedang bekerja (tidak dirumah). Shalatnya sebentar sekali, lebih lama persiapannya. Karena shalatnya hanya sekedar berdiri kemudian sujud sekali. Anak yang seperti ini diusia 7 tahun apalagi sudah 10 tahun, ORTU tidak lagi menyuruh, langsung dianya ikut ketika ayahnya ke masjid. Anak wanita begitu pula langsung berpakaian shalat, kemudian shalat bila masuk waktu. Pernah terjadi, dua orang anak lelaki; yang tua kelas 2 dan si adik kelas 1 SD. Biasanya dihari Jum’at ayahnya pulang sebentar dari kantor menghampiri mereka di rumah untuk bareng shalat Jum’at ke masjid. Suatu ketika di suatu hari Jum’at, mereka sudah siap pakai sarung, baju koko dan kopiah menunggu ayah menjemput, ayah mereka tak kunjung datang. Rupanya si ayah di hari itu dapat tugas mendadak di luar kantor sehingga harus shalat Jum’at di masjid terdekat dari lintasan perjalanan tugasnya. Si abang mengambil inisiatif, menyetel radio setempat yang menyiarkan langsung shalat Jum’at di suatu masjid, dua bersaudara ini ikutan serius mendengarkan khutbah dan ikutan shalat Jum’at berimankan radio. Inilah salah satu contoh, anak2 yang sudah masuk ke dalam proses “fase terbiasa”, tidak akan merasa enak kalau tidak melaksanakan ibadah, yang biasa mereka lakukan. Seorang anak kos, ketika masih mahasiswa saban Jum’at diajak teman se kos untuk pergi Jum’atan. Semula yang bersangkutan merasa “tersiksa” campur “terpaksa”, sebab dianya dari keluarga yang tidak shalat, jadinya belum “terbiasa”. Tetapi karena terus menerus “tersiksa” campur “terpaksa” itu maka “terbiasa”. Berkenaan pula setelah sekian kali ikutan shalat Jum’at, disuatu Jum’at dia menyimak khutbah dari khatib, masuk kedalam hatinya yang paling dalam tentang “malang nian orang tidak shalat”, bulu kuduknya berdiri tak terasa dia bergidik ketakutan. Akhirnya dianya menjadi orang yang taat shalat sampai akhir hayat. Mengenai amal kita, yang sangat menentukan adalah di akhir hayat. Baik kita cermati hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; « لاَ عَلَيْكُمْ أَنْ لاَ تُعْجَبُوا بِأَحَدٍ حَتَّى تَنْظُرُوا بِمَ يُخْتَمُ لَهُ فَإِنَّ الْعَامِلَ يَعْمَلُ زَمَاناً مِنْ عُمْرِهِ أَوْ بُرْهَةً مِنْ دَهْرِهِ بِعَمَلٍ صَالِحٍ لَوْ مَاتَ عَلَيْهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ ثُمَّ يَتَحَوَّلُ فَيَعْمَلُ عَمَلاً سَيِّئاً وَإِنَّ الْعَبْدَ لِيَعْمَلُ الْبُرْهَةَ مِنْ دَهْرِهِ بِعَمَلٍ سَيِّئٍ لَوْ مَاتَ عَلَيْهِ دَخَلَ النَّارَ ثُمَّ يَتَحَوَّلُ فَيَعْمَلُ عَمَلاً صَالِحاً وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدٍ خَيْراً اسْتَعْمَلَهُ قَبْلَ مَوْتِهِ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ يَسْتَعْمِلُهُ قَالَ « يُوَفِّقُهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ ثُمَّ يَقْبِضُهُ عَلَيْهِ » “Janganlah kalian terkagum dengan amalan seseorang sampai kalian melihat amalan akhir hayatnya. Karena mungkin saja seseorang beramal pada suatu waktu dengan amalan yang shalih, yang seandainya ia mati, maka ia akan masuk surga. Akan tetapi, ia berubah dan mengamalkan perbuatan jelek. Mungkin saja seseorang beramal pada suatu waktu dengan suatu amalan jelek, yang seandainya ia mati, maka akan masuk neraka. Akan tetapi, ia berubah dan beramal dengan amalan shalih. Oleh karenanya, apabila Allah menginginkan satu kebaikan kepada seorang hamba, Allah akan menunjukinya sebelum ia meninggal.” Para sahabat bertanya, “Apa maksud menunjuki sebelum meninggal?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Yaitu memberikan ia taufik untuk beramal shalih dan mati dalam keadaan seperti itu.” (HR. Ahmad, 3: 120, 123, 230, 257 dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah 347-353 dari jalur dari Humaid, dari Anas bin Malik. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dalam Tahqiq Musnad Imam Ahmad mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat shahih Bukhari – Muslim. Lihat pula Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 1334, hal yang sama dikatakan oleh Syaikh Al-Albani) Semoga melalui proses dan fase apapun kitanya taat dan ikhlas beribadat, tetap konsisten dan istiqamah sampai akhir hayat. Sebab yang menjadi ukuran bukan hanya apa yang kita lakukan sekarang, tetapi yang terjadi di akhir hayat. آمِيّنْ....... آمِيّنْ... يَا رَ بَّ العَـــالَمِي اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ بارك الله فيكم وَ الْسَّــــــــــلاَمُعَلَيْكُمْ وَ رَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ M. Syarif Arbi. Jakarta, 26 Ramadhan 1444 H. Senin, 17 April 2023. (1.137.04.23)

No comments:

Post a Comment