Monday 22 August 2022

Menyikapi AIR

Berbahagia dan bersyukur yang tidak terhingga bangsa Indonesia kepada Allah, bahwa relatif persoalan air tidak begitu bermasalah buat daerah2 di Indosesia. Musim hujan dan musim kemarau hampir teratur, seimbang. Dengan demikian tersedianya air boleh dikatakan tersedia sepanjang waktu. Walau daerah2 tertentu di negeri ini ada juga air manjadi masalah di musim kemarau. Diriku pernah berdomisili lebih lima tahunan di daerah yang sulit air, belum tersedia PDAM, tapi tetap masih mendapatkan air untuk minum dengan membuat sumur dalam, lebih dari 20 meter, dengan struktur tanah batu kapur keras lebih dari enam meter. Berakhir tugas dari daerah “sumur dalam” itu, aku dan keluarga pindah tugas lagi di daerah yang air tawarnya tergantung air hujan. Rumah2 orang berduit, di bawah rumahnya dibuat bak penampung air, termasuk dirumah “dinas kontrakan kantorku” yang kutempati, terdapat penampungan air hujan yang besar dibawah rumah. Di daerah kusebut terakhir, berada 0,80 meter di bawah permukaan laut, tanah digali dua meter saja sudah keluar air, tapi airnya tak layak untuk mandi apa lagi untuk diminum. Untungnya di daerah ini sudah tersedia PDAM, sayangnya sumber air yang diolah PDAM berasal dari sungai. Dimana itu sungai bila dua minggu saja tidak hujan, air laut dari muara akan terdorong masuk ke sungai, airnya menjadi payau. PDAM pun terganggu produksinya, kran pelanggan PDAM pun tidak ngocor lancar lagi. 7 tahun ku bertugas di daerah tersebut, pernah terjadi kemarau panjang, sampai bak penampungan air di rumah dinas kudiami bersama keluarga terkuras habis. Kantor pusat atas usulan cabang tempat kami bertugas tersebut memberikan tambahan gaji berupa “Tunjangan Air”. Disaat seperti itu ada pekerjaan tambahan, malam2 kami pergi berburu air bersih di gedung2 besar yang masih punya air di bak penampungan air hujan mereka. Pernah terjadi pas harus berburu air, diriku tidak dikota kumaksud, ditugaskan belajar ke Jakarta. Apaboleh buat istriku dengan dua anakku yang masih duduk di SD kelas satu dan kelas dua, setiap malam hari nyetir mobil sendiri membawa dua galon 30 liter ke gedung yang diinformasikan masih tersedia air tampungan air hujan, ku tak tau gimana istriku mengangkat galon itu. Cerita lain, menyikapi sulitnya air bersih itu teman2 sejawatku, mandi berdiri diatas baskom besar, air limbah mandi ditampung di baskom, dimanfaatkan untuk menyiram tanaman di taman. Begitulah sekilas perihal kesulitan air di dua daerah yang pernah ku alami, sulit juga akan menentukan judul artikel ini; semula mau kuberi judul “Hargailah Air”, tapi kupikir bukan soal harga, karena bila bicara soal harga, lantas soal rupiah, soal duit. Waktu itu bukannya berapa duit seperti sekarang. Air kemasan dalam galon ketika di tahun2 sekitar 85 an itu belum seperti sekarang terutama di daerah2. Mendekati kami pindah dari daerah tsb barulah kemasan galon air bersih itu muncul. Bila ku buat judul “Hormatilah Air”, lebih tak pantas lagi, karena bicara soal hormat jadi lain, pihak yang memberi hormat harus memposisikan diri lebih rendah dari yang dihormati. Makanya judul diatas kupilih saja “Menyikapi Air”. Teringat tahun 1991, ketika menunaikan ibadah haji. Aku melihat sendiri bagaimana orang negeri2 Timur Tengah dan Africa “menyikapi air”. Aku pernah melihat ketika aku makan di sejenis warteg di Mekkah, Madinah; tamu di suatu meja sudah pergi, masuk tamu baru. Si tamu baru tidak ragu2 meminum air yang ditinggalkan tamu sebelumnya di atas meja. Pelayan sejenis warung tersebut kalau ybs minta air langsung menuangkan ke gelas yang ada di meja. Sekali waktu, sesudah maghrib menjelang isya menunggu waktu adzan, kumemilih berjalan di lantai paling atas Masjidil Haram. Kubawa satu kantong plastik ukuran setengah kg kuisi air zam-zam (ketika itu lokasi sumur zam-zam masih terbuka, menuruni tangga) hampir penuh, mulut kantong plastik kumasuki sedotan diikat karet gelang ku pegang di tangan kanan sambil berjalan perlahan. Rencanaku bila ku haus dalam perjalanan itu, atau nanti usai shalat haus bekal ini akan kusedot sedikit2. Beberapa kali dalam perjalanan itu, bertemu orang2 (bukan asal Asia), meminta air yang kubawa (waktu itu gentong air zam2 (dulu berwarna oranye) tidak tersedia banyak di lantai paling atas itu, ndak tau sekarang). Setelah menyedot air bekalku itu, kantong sangu airku itu dikembalikan lagi kepadaku. Ingatkanku kembali ke warung makan kutulis di alinea ini. Begini pikirku mereka menyikapi air, tidak khawatir atau risih minum bekas mulut orang lain. Baru2 ini (18-28 Juni 2022) dalam perjalan kami ke masjidil Aqsha melalui Mesir, Jerusalem dan Jordan, kembali kumelihat lagi bagaimana kesulitan air di negeri yang kami lalui, seperti yang telah kusinggung dalam artikel2 sebelumnya. Dimana kadang ada restoran yang tidak menyediakan air minum. Toilet rumah makan yang tidak tersedia air yang cukup, ada masjid yang kami singgahi untuk berwudhu saja kran airnya hanya satu, itupun nyaris hanya menetes. Untungnya di hotel2 tempat kami menginap tidak masalah soal air di kamar mandi. Namun soal air minum meskipun ada, tidak semewah restoran hotel di tanah air, dimana pelayan restoran di negeri kita siap menuangkan air minum ke gelas yang tersedia di meja makan. Menyikapi air ini, menjelang keberangkatan pulang ke tanah air melalui bandara “Queen Alia” Jordan 27 Juni 2022, aku dan istri sengaja berbekal air yang diperoleh dari restoran terakhir makan siang di Jordan sebotol kemasan 1 liter dan 1 botol kemasan 320 ml. Direncanakan untuk minum selama menunggu di bandara ketika sebelum masuk ruang tunggu dan mencoba membawa botol minuman masuk ke ruang tunggu siapa tau diijinkan (dibanyak bandara tdk dijinkan) bakal di minum sebelum boarding. Ternyata ketika masuk ke ruang tunggu, petugas juga melarang membawa botol minuman. Disediakan tempat duduk di depan pintu ruang tunggu, untuk meminum lebih dahulu air yang dibawa. Jelas tidak terminum semua air itu, dengan berat hati botol yang masih ada isinya itu ditinggalkan di depan ruang tunggu, bergelimpanganlah botol2 yang masih berisi air didepan petugas ruang tunggu, kemudian mereka pungut dimasukkan ke keranjang sampah. Sampai di ruang tunggu, karena masih lama waktu boarding, haus datang lagi, saatnya harus mencari air minum, tersedia toko penjual air minum dengan harga 1 Dinar ukuran 320 ml. Bila dibayar dengan dolar Amerika satu setengah dolar. Tidak masalah, yang panting dahaga teratasi. Dapat dipetik dari peristiwa ini adalah: Sekali lagi bersyukur kita terlahir dan berdiam di negeri yang boleh dikata mewah dan murah air. Harga sebotol air 320 ml. Di negeri orang sampai lebih dari 20 ribu rupiah. Begitu pentingnya “air” dalam kehidupan di dunia, karena memang segala yang hidup berasal dari air dan sangat membutuhkan air. Persis seperti firman Allah (QS. Al-Anbiya 21: Ayat 30). "………………. ۖ وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَآءِ كُلَّ شَىْءٍ حَىٍّ  ۖ ……………………………………………………………...” ………………...”; dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air; …………….." Nabi Muhammad s.a.w. berpesan kepada kita agar menghemat air, sampai2 untuk wudhu-pun air harus dihemat seperti hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ بِالْمُدِّ، وَيَغْتَسِلُ بِالصَّاعِ، إِلَى خَمْسَةِ أَمْدَادٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengan satu mud (air) dan mandi dengan satu sha’ sampai lima mud (air)” (HR. Bukhari no. 198 dan Muslim no. 325). Satu sha’ sama dengan empat mud. Satu mud kurang lebih setengah liter atau kurang lebih (seukuran) memenuhi dua telapak tangan orang dewasa. Tegasnya begitu hematnya berwudhu hanya menggunakan air setengah liter air. Semoga kita semakin bersyukur atas nikmat Allah untuk negeri kita khususnya mengenai air, namun demikian seyogyanyalah kitapun menghemat penggunaan air dalam rangka mengamalkan sunnah Rasulullah Muhammad s.a.w. آمِيّنْ... آمِيّنْ... يَا رَ بَّ العَـــالَمِيْ اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ بارك الله فيكم وَ الْسَّــــــــــلاَمُعَلَيْكُمْ وَ رَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ M. Syarif Arbi. Jakarta, 23 Muharram 1444 H. 21 Agustus 2022. (1.019. 08.22)

No comments:

Post a Comment