Friday 16 April 2021

UCAPAN ter-AKHIR.


Hari ke empat sdh kita jalani shaum Ramadhan 1442 H.  Di hari ke dua dan ke tiga kuangkat thema artikel tentang panggilan Allah yaitu "Panggilan lima" (shalat) "Panggilan ke Dua" (haji). Panggilan  bagi manusia "terakhir di dunia" adlh "Panggilan Maut".


"Panggilan shalat", orang bisa menunda pelaksanaannya. 


"Panggilan haji" tergantung mampu. Tapi "Panggilan maut" tak dpt ditunda tdk tergantung mampu. 


"Panggilan maut" ini tidak seorangpun dapat menghindar, kalau panggilan shalat dan panggilan haji, masih dapat menghindar. Panggilan ketiga ini, suka atau tidak suka, mau tidak mau panggilan ini harus dipenuhi. Tidak perduli dalam kondisi apapun, apakah sedang sehat segar-bugar, atau sedang sakit. Apakah sedang bahagia bersuka cita, atau sedang susah merana. Orang beriman senantiasa berharap agar ujung hayatnya dalam keadaan baik, populer disebut “husnul khatimah”. 


Seseorang dalam keadaan memenuhi panggilan maut berada dalam “husnul khatimah”, dianya dijamin masuk ke dalam surga Allah. Salah satu indikator orang meninggal dunia “husnul khatimah” adalah yang bersangkutan sanggup mengucapkan “La ilaha illallah”.

Menyoal kesanggupan mengucapkan “La ilaha illallah” itu ada orang berkomentar: “enak benar ia masuk surga, selama hidup selagi sehat tak banyak amal kebaikan, tetapi hanya lantaran sakaratul maut mampu mengucapkan “La ilaha illallah” dapat masuk surga”.


Untuk mengklirkan komentar ini saya punya cerita:


Dalam antrian wudhu di halaman kediaman orang tua pemimpin kantor kami, seorang senior saya berulang kali mempersilahkan saya untuk wudhu lebih dahulu. Saya sungkan, bukan saja seharusnya mendahulukan senior, tetapi beliau berada di depan saya, tentu saya harusnya mendahulukan Bapak tersebut. 


Karena sudah berulang-ulang saya disuruh duluan, saya laksanakan juga. “Nah begitu, kan saya dapat mencontoh”, demikian senior saya bergumam, setelah selesai saya berwudhu.


Belakangan saya baru mengetahui atas pengakuan resmi beliau ketika bersama di dalam mobil perjalanan pulang malam hari dari rumah duka ke kota domisili kami berjarak 130 Km. 


Beliau sudah lupa cara berwudhu karena sudah sekian lama kegiatan itu ditinggalkan. Masa kecil beliau sering shalat, tinggal dekat masjid, walau tidak mahir, dapat pula baca Al-Qur’an, karena memang dari keluarga penganut agama Islam. 


Cerita ini semula saya kira di karang saja oleh senior saya tadi, untuk memecah keheningan perjalanan jauh dalam rangka melayat ke kampung pemimpin cabang kami, waktu itu ayahanda peminpin kami meninggal dunia. Ketika wudhu dalam rangka shalat jamaah Isya’, atasan saya ini dari nama dan statusnya memang Islam, jadi rupanya nggak enak kalau tidak ikutan shalat, seperti tamu lainnya yang memang bukan beragama Islam.


Saya menjadi percaya bahwa cerita senior saya itu mendekati kebenaran, ketika saya pulang kampung cuti tahunan. Kejadian itu saya buat oleh-oleh pengalaman kepada mendiang ayahanda saya. Saya bercerita, terlihat ayah saya menyimak dengan serius cerita saya itu. Seusai saya bercerita di bola mata beliau nampak berkaca-kaca, rupanya beliau terharu. 


Kejadian itu menurut beliau pernah dialami langsung oleh diri ayah saya. Masa remaja beliau di rekrut “Dai Nipon” menjadi “Hai Ho” berperang melawan sekutu di kancah perang dunia II. Bertahun tahun selama ikut tentara “Matahari Terbit” itu, shalat terpaksa ditinggalkan. Akhirnya benar-benar lupa sampai cara berwudhu saja. Itulah yang disesali beliau sampai berlinang air mata. Ayahku selanjutnya meneruskan masa muda beliau ikut sebagai pejuang kemerdekaan dan menjadi “Veteran pejuang kemerdekaan”. Semoga Allah s.w.t. mengampuni dosa ayahku dan memasukkannya ke dalam rahmat-Nya, Semoga perjuangan beliau merebut kemerdekaan mendapat pahala di sisi Allah s.w.t.


Kesimpulan dari kejadian di atas adalah bahwa segala perilaku, termasuk ucapan dapat dengan mudah dilaksanakan bila melalui latihan, melalui kebiasaan. Tidak akan dapat dilakukan kalau lama tidak berlatih. Demikian juga halnya mengucapkan “La ilaha illallah” tidak akan serta merta dapat dilakuan orang ketika maut sudah datang, kalau tidak dengan kebiasaan setiap hari mengucapkan kalimat tersebut. 


Untuk membiasakannya maka sekurangnya seorang muslim yang melaksanakan shalat lima kali dalam sehari semalam akan latihan mengucapkan “La ilaha illallah” sebanyak 9 kali. yaitu shalat subuh sekali, shalat dzuhur, ashar, maghrib dan isya’ masing-masing dua kali. Bagaimana kalau orang tidak shalat tentu lidahnya berat walau hanya sekedar mengucapkan “La ilaha illallah”, pada saat syakaratul maut, sebab jarang latihan. Jadi hanya orang yang setiap hari shalat sehingga di dalam hidupnya lidahnya selalu menyebut “La ilaha illallah”.  Dengan sendirinya pada saat kritis menghadapi maut sanggup mengucapkan “La ilaha illallah”, oleh karena itu benarlah apa yang di sabdakan Rasulullah Muhammad ﷺ. 


مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ


“Barang siapa yang akhir perkataannya adalah ‘lailaha illallah’, maka dia akan masuk surga.” (HR. Abu Daud. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih no. 1621)


Bahwa apabila akhir kalimat seseorang ketika meninggal dunia ucapannya “La ilaha illallah” masuk surga, lantaran si pengucap “La ilaha illallah” memang keseharian dalam hidupnya sudah secara rutine mengucapkan kalimat taukhid tersebut sekurang-kurangnya di dalam melaksanakan shalat.


Sesuatu ucapan sering disebut, berlangsung kalau bgt lama dilakukan akan menjadi kebiasan otomatis, refleks. Contoh ibu2 di dapur, jika sering mengucapkan zikir "Alhamdulillah", "Astaghfirullah", Masya Allah................... Lailaha ha illahlah..........

Jika suatu ketika ngiris bumbu dapur, ndak sengaja pisau dapur tersayat ke jari. Maka ucapan Astaghfirullah, masya Allah atau Lailahaillallah, itulah yg akan meluncur dari bibir sang ibu. 


Begitu juga bila si ibu kalau melihat sesuatu yg mengagetkan ucapannya "ya ampiun", "ya amplop", "astagaa"................. 

Jika ibu tadi ngiris bumbu dapur ndak sengaja pisau nyenggol jari, sambil kaget juga ngucapkan "ya ampiun", "ya amplop", atau "astagaa".


Oleh karena itu di kesempatan bulan Ramadhan ini, perbanyaklah berzikir, shalat2 sunnah, sebab berzikir dan shalat2 sunnah mampu melatih lidah terbiasa menyebut kalimat thayibah. Sehingga semoga di saat dipanggil maut, menghembuskan nafas terakhir lidah sanggup berucap:

.لَآ إِلَـٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ


آمِيّنْ... آمِيّنْ... يَا رَ بَّ العَـــالَمِيْ

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ

بارك الله فيكم

 وَ الْسَّــــــــــلاَمُعَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

M. Syarif Arbi.

Jakarta, 4 Ramadhan 1442 H.

16 April 2021.

(764.04.21). 

No comments:

Post a Comment