Sunday 29 May 2022

JALAN YANG LURUS

Lurus, adalah jarak yang terpendek dari satu titik ke titik lain. Jadi kalau kita mohon dalam berdo’a minta jalan yang lurus, tentu maksudnya agar diperoleh jalan yang paling dekat kepada tujuan. Dibandingkan dengan jalan yang berliku, akan lambat sampai ke tujuan karena jauh, bahkan mungkin saking berlikunya ndak kunjung sampai ke tujuan alias “gagal sampai”. Jalan “yang lurus” yaitu jalan yang terdekat dari tempat berangkat ke tempat tujuan. Ummat Islam sehari semalam, sekurang-kurangnya 17 kali memohon “jalan yang lurus”, (QS. Al-Fatihah ayat 6) اهْدِنَا الصِّرٰطَ الْمُسْتَقِيمَ "Tunjukilah kami jalan yang lurus," Setiap perbuatan, termasuk beribadah harus di dahului dengan niat. Hendaknya diluruskan niat, agar sampai apa yang dimaksud dengan waktu yang singkat karena dengan jarak paling dekat. Giliran Ibadah kepada Allah, tujuannya jelas mengharapkan balasan dari Allah, mengharapkan keridhaan Allah. Jadi garis lurus yang harus di tempuh adalah niatnya hanya mengharapkan keredhaan Allah, mengharapkan apresiasi hanya dari Allah, tidak dari yang lain selain Allah. Jika sedikit saja ada maksud lain di dalam niat selain mengharapkan redha Allah, dari suatu perbuatan ibadah, maka nilai ibadahnya terkikislah sudah. Hanya didapat seperti yang diharapkan itu. Ngeri juga yaa, udah capek-capek, kadang bukan tenaga saja tetapi juga dana dikeluarkan tidak sedikit, untuk suatu ibadah. Namun dari sisi Allah ndak dapat apa-apa, kecuali yang didapat hanya maksud/niat tersisip selain “karena Allah” itu. Tulisan ini dimaksudkan/diniatkan, agar menjadikan pembaca memperbaiki niat dalam ibadah, sehingga Allah menghargai usaha penulis ini, diharapkan mungkin dengan sebab tulisan ini Allah menganugrahkan kepada pembaca dari diri yang semula kurang focus niatnya menjadi meluruskan niat dalam ibadah. Bila terkandung niat dari penulis ini, untuk mendapatkan apresiasi dari pembaca, bahwa “tulisan ini baik”, misalnya. Mengharapkan banyak pembaca yang memberikan “jempol” umpamanya. Maka yang didapat hanyalah “jempol” itu saja, yang didapat hanya “apresiasi” dari pembaca saja. Jadi harus diluruskan niat, hanya mengharapkan Allah saja yang mengapresiasi. Biar pembaca tidak mengapresiasi, biar pembaca tidak memberikan “jempol”, tetap saja menulis untuk hal-hal yang mengajak untuk lebih baik, untuk kebaikan. Harapan, semoga banyak pembaca yang dapat diingatkan baik yang menandai dengan “jempol” atau tidak memberikan “jempol” walau ikut membaca. Bahkan tak jarang dari sekian banyak tulisanku yang sudah ter-publish; diantaranya mendapat komentar yang “tidak menyukai”. Tidak masalah…., karena mengingatkan sesama dalam hal kebaikan dan takwa adalah perintah Allah. وَمَا عَلَى الَّذِينَ يَتَّقُونَ مِنْ حِسَابِهِمْ مِّنْ شَىْءٍ وَلٰكِنْ ذِكْرٰى لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ "Orang-orang yang bertakwa tidak ada tanggung jawab sedikit pun atas (dosa-dosa) mereka; tetapi (berkewajiban) mengingatkan agar mereka (juga) bertakwa." (QS. Al-An'am 6: Ayat 69) Menyoal kerugian ibadah karena “bengkoknya niat” ini, bukan pula hanya tersandung kepada para orang awam saja, tetapi tak jarang juga terkena kepada para ustadz yang memberikan ceramah, ustadz yang menjadi khatib, ustadz yang menjadi imam. Perangkap membuat niat menjadi kurang lurus bagi Ustazd: 1. Memberi ceramah dan menjadi khatib; bila terbetik niat untuk mengharapkan besaran honor dari panitia atau pengurus masjid. Maka besar kemungkinan yang didapatnya dari ceramahnya hanyalah besaran honor tersebut. Indikator buat ustadz kelompok ini agaknya, tak terlalu sulit. Di mana2 kota negeri kita terdapat banyak masjid. Honor khatib tiap-tiap masjid itu tidak sama, tergantung pemasukan masjid yang terkait erat dengan lokasi dan luas masjid berhubungan dengan Jumlah banyaknya jamaah. Ada masjid yang memberikan honor khatib; 1 juta, 400 ribu dan 300 ribu. Khatib dapat mengukur dirinya, ketika berangkat menuju masjid-masjid tersebut apa yang terasa dalam hati. Bukan mustahil terjadi ketika satu hari Jum’at, terjadwal menjadi khatib di masjid 300 ribu, sementara itu hari kamis siang dapat telepon, khatib seharusnya terjadwal Jum’at besok di masjid 1 juta, akan berhalangan hadir. Pengurus masjid 1 juta minta menggantikan. Disini ujian bagi sang khatib. Masjid 300 ribu dianya adalah khatib utama yang sudah terjadwal, disusun jadwal sejak awal tahun lalu. Sedangkan di masjid 1 juta, betul nama si ustadz juga terdaftar sebagai khatib, tapi untuk Jum’at itu bukan gilirannya. Kini si khatib apa akan mengirimkan pengganti di masjid 300 ribu dan mengisi di 1 juta, atau dengan bijak menolak masjid 1 juta, misalnya menyarankan pengurus masjid mencari pengganti ustadz yang berhalangan, karena dirinya sudah terjadwal sebagai khatib utama di masjid 300 ribu. 2. Ketika menjadi imam, bila terbetik di dalam hati, merasa bahwa dianya imam yang paling baik dari imam-imam yang biasa menjadi imam di masjid itu, ini si ustadz sudah masuk dalam perangkap salah niat. Ada yang juga menilai dirinya yang paling benar, paling bagus bacaannya, dengan terbesit di dalam hati agar imam lain mencontoh cara dirinya membaca, ketika memimpin menjadi imam. Niat ini bukan lagi Lillahi ta’ala, melainkan seperti yang terbetik di hati, terbersit di hati. Yang namanya syaitan mengganggu manusia sesuai stratanya, makin tinggi kedudukan orang, makin tinggi pula kedudukan syaitan penggodanya, begitupun makin tinggi ilmu sesorang, makin tinggi pula ilmu syaitan yang menggodanya. Itulah sebabnya berhati-hatilah kita menjaga ke lurusan niat, agar ibadah/amal kita mendapat apresiasi, keredhaan Allah. Sedangkan makmum juga, luruskan niat ikut berjamaah, bukan lantaran imam yang memimpin shalatnya merdu suaranya, bagus bacaannya tapi niatkanlah hanya karena Allah. 3. Menjadi pengajar tetap di masjid; Juga bila si ustadz pengajar tetap itu selalu mengungkapkan bahwa, si ustadz lain kurang benar memberikan pelajaran, dengan konotasi merendahkan, bukan memberi informasi bagaimana sebenarnya. Disini nampak bahwa ingin mengkondisikan kepada jamaah bahwa dirinya paling benar. Ini juga membuat terkembarnya niat ketika berangkat menuju majelis jamaah, niat sudah tidak semata-mata karena Allah lagi, sudah masuk niat lain. Sudah masuk ingin dihargakan “sebagai ustadz top”, sudah terkontaminiasi keinginan untuk merendahkan ustadz lain. Sudah ada niatan agar jamaah lebih banyak menyukainya. Bagi para jamaah juga, bila datang ke masjid lantaran ingin jumpa, ingin mendengar ustadz paporit, bukan karena Allah, maka niat inipun sudah tidak lurus lagi. Berat memang, meluruskan niat untuk beribadah ini, kadang bila seseorang mengucapkan “saya lakukan ini ikhlas karena Allah”, justru inipun salah-salah dapat merupakan pertanda ada kerusakan pada niatnya. Ucapan ini juga justru boleh jadi dapat menjadikan tanda tidak ikhlas. Paling tidak dengan ucapan itu, se-olah2 sipenutur ingin diketahui pendengarnya bahwa dirinya melakukan ibadah tersebut karena Allah. wallahu a’lam bishawab. Semoga; umpanyapun kita dalam berbuat terkait ibadah, terlanjur “terbengkok niat”, Allah “luruskan”, sehingga amal kebaikan kita, ibadah kita, diberikan ganjaran pahala di sisi Allah, bermanfaat untuk kehidupan akhirat nanti…. آمِيّنْ... آمِيّنْ... يَا رَ بَّ العَـــالَمِيْ اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ بارك الله فيكم وَ الْسَّــــــــــلاَمُعَلَيْكُمْ وَ رَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ M. Syarif Arbi. Jakarta, 24 Syawal 1443 H. 25 Mei 2022. (965.05.22)

No comments:

Post a Comment