Friday 2 August 2019

Persaingan se-LEVEL

Hidup ini memang penuh persaingan. Hanya orang yg berhasil me-"manage" persaingan-lah yg hidupnya tenang. Sejak pra hidup, kita ini ditakdirkan bersaing. Jutaan sel bakal kita, ketika disemai ortu lelaki, bersaing menuju perjumpaan ke telur  bunda. Dari jutaan itu kitalah satu2nya pemenang (jika bukan anak kembar). Pesaing kita lainnya terhenti mati sblm finish.

Beda dg benih tanaman, contoh tomat, disemai dlm poly bag 100 biji, hampir 100% mengecambah. Mereka tdk ditakdirkan bersaing.

Manusia; Stlh bayi jadi anak, mulai lagi persaingan di sekolah. Terkenal istilah 10 besar, itu wujud konkrit out put persaingan. Bgt seterusnya tamat sekolah persaingan muncul lagi di lapangan kerja, bisnis, usaha dstnya.

Persaingan itu serunya dlm se level. Di dlm komplek perumahan. Persaingan tetangga antar warga sekompleks, se RT., banter se RW. Bila sdh melebar se kelurahan, persaingan antar warga mulai tipis, apalagi se kecamatan se provinsi, warga vs warga tdk bersaing lagi.  Kalau warga sekompleks ketemu di luar lingkungan, misalnya di lain kota, mereka biasanya bukan bersaing malah menjadi lbh akrab.

Tak kurang seru persaingan rekan sekerja, sekantor, seprofesi. Angkutan umum satu trayek, bersatu di terminal bersaing di jalan ketika cari penumpang.
Tak mungkin bersaing dg bukan teman sekerja, bukan teman sekantor atau seprofesi. Angkot trayek "A"  tak kan mungkin bersaing dg angkot trayek "F".

Sesama ustadz/ustadzah, bila salah me-"manage laku" kadang tak luput dari persaingan merebutkan pengaruh.

Persaingan antar ustadz/ustadzah.
Di masjid2 yg dlm sepekan penuh ada pengajian, persaingan dpt terjadi a.l. karena:
1. Jika materi pengajian sama.
2. Ustadz tertentu mendpt jamaah pengikut pengajiannya lebih banyak.

Untuk penyebab nomor "1" Pengelola pengajian masjid hrs arif meyusun topik kajian, agar tdk terlalu dekat bersinggungan. 

Patut di apresiasi di hampir seluruh masjid yg bukan milik pribadi disediakan KOTAK SARAN. Manfaat kotak saran tsb.untuk:
* Masukan bagi pengelola masjid dpt menampung aspirasi, kritik dan saran menuju lebih baik.
* Memberikan nilai bagi ustadz/ustadzah pemateri kajian di masjid. Antara lain guna meminimalkan persaingan antar ustadz/ustadzah.

Cuma sayangnya ada pula masjid yg dikelola TIDAK MAU MENERIMA KRITIK DAN SARAN. Malah sekedar diusulkan membuat KOTAK SARAN saja tidak berkenan. Padahal masjid bukan milik pribadi. Seperti diketahui dari segi kepemilikan masjid dpt dibedakan;
1. Masjid milik pribadi, dimana tanah dan bangunannya milik seseorang.
2. Masjid milik negara, jelas tanah dan bangunannya milik negara. Pengelolanya ditunjuk negara.
3. Masjid wakaf, pengelolanya kini berbentuk yayasan.
Seharusnya masjid tsb.3 ini dikelola dg manajemen terbuka, termasuk menerima masukan dari para jamaahnya.

Penyebab point "2". Ustadz yg merasa tersaing mungkin harus instrospeksi diri, misalnya ttg: *methode penyajian.
*Hrs lbh mengenal strata audience.

Yang harus dihindarkan; jangan sampai sang ustadz/ustadzah merasa "paling". Bila diri sdh merasa "paling", maka anggapan melebihkan "Aku", mulai timbul. Bila "aku" sdh meng "AKU",....... ini  contoh bahayanya:

Bahaya  "AKU":
قَالَ اَنَاۡ خَيْرٌ مِّنْهُ  ۗ  خَلَقْتَنِيْ مِنْ نَّارٍ وَّخَلَقْتَهٗ مِنْ طِيْنٍ
"(Iblis) berkata, Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah."
(QS. Sad ayat 76)
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يٰۤـاَيُّهَا الْمَلَاُ مَا عَلِمْتُ لَـكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرِيْ
"Dan Fir'aun berkata, Wahai para pembesar kaumku! Aku tidak mengetahui ada Tuhan bagimu selain aku".
(QS. Al-Qasas ayat 38)
قَالَ اِنَّمَاۤ اُوْتِيْتُهٗ عَلٰى عِلْمٍ عِنْدِيْ
"Dia (Qarun) berkata, Sesungguhnya aku diberi (harta itu), semata-mata karena ilmu yang ada padaku".
(QS. Al-Qasas ayat 78).

Padahal dalam hal ilmu tak seorangpun "yang paling". Nabi Musa pernah mendpt jawaban dari Allah bahwa orang "yg paling" berilmu itu adlh "orang yg sanggup mensinergikan ilmu yg dimilikinya dg ilmu orang2 lain". Artinya tak ada seorangpun "yg paling" berilmu tanpa konstribusi orang lain.

Pantaslah untuk menambah ilmu ttg sebagian hal2 yg ghaib, Nabi Musa di suruh Allah berguru dg. Nabi Khidir.

Kita petik sedikit tafsir Ibnu Katsir:
"Telah menceritakan kepada kami Ubay ibnu Ka'b r.a., bahwa ia pernah mende­ngar Rasulullah Saw. bersabda, "Sesungguhnya Musa berdiri berkhotbah di hadapan kaum Bani Israil, lalu ia bertanya kepada mereka, 'Siapakah orang yang paling alim (berilmu)?' (Tiada seorang pun dari mereka yang menjawab), dan Musa berkata, 'Akulah orang yang paling alim'." Maka Allah menegurnya karena ia tidak menisbatkan ilmu kepada Allah. Allah menurunkan wahyu kepadanya, "Sesungguhnya Aku mem­punyai seorang hamba yang tinggal di tempat bertemunya dua lautan, dia lebih alim daripada kamu." Musa bertanya, "Wahai Tuhanku bagaimanakah caranya
 saya dapat bersua dengannya?".
(Disarikan dari kisah di dlm surat Al-Kahfi).

Nabi Musa saja ditegur mendeklarasikan diri paling berilmu. Makanya ustadz/ustadzah se canggih apapun ilmunya, biarpun sederet  titel ilmu agama mengiringi namanya. Dlm persaingan, tentu tak boleh meng klim diri paling berilmu baik pernyataan terang2an maupun terselubung dg sindiran. Apalagi sampai menganggap audience anda ilmunya ada dibawah anda. Jamaah pengajian di masjid2 kadang ilmunya dlm hal2 tertentu mungkin melebihi ustadz/ustadzah tengah memberikan pengajian.

Menyadari bahwa memang hidup ini  penuh persaingan. Yg penting bgmn kita dpt mengelola persaingan itu untuk;
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرٰتِ
((Bersaing/berlomba-lombalah dlm berbuat kebaikan) QS: Al-Baqarah 148 dan Al-Ma'idah 48))

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ
Barakallahu fikum
وَ الْسَّــــــــــلاَمُ
M. Syarif arbi.

No comments:

Post a Comment