Tuesday 28 January 2020

KEMISKINAN dalam KEKAYAAN

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka kemiskinan pada Maret 2019 mencapai 9,41% dari total penduduk atau sebanyak 25,14 juta penduduk.

Alhamdulillah msh ada 90% lbh penduduk Indonesia tergolong tidak miskin. Diantara 90% itu terdpt orang2 kaya masuk hitungan dunia.

Kalau bgt persoalan kenapa 9%lbh penduduk menjadi miskin;
Bukan karena negeri ini gersang. Bukan karena karunia Allah untuk negeri ini kurang.
Bahkan cukup berlimpah. Kemiskinan lbh dikarenakan pembagian "kue kekayaan yg tdk merata".

Guna pemerataan tsb. unsur bangsa hrs berfungsi dan difungsikan dg baik.

Unsur bangsa adlh:
1. Adanya wilayah teritorial.
2. Adanya rakyat yg mendiami, wilayah tsb.
3. Adanya pemimpin, dari rakyat yg mendiami wilayah tsb.

WILAYAH.
Bumi nusantara ini dmkn kayanya, di dlm perut bumi terkandung sgl jenis tambang. Kulit bumi ditanami apa saja tumbuh subur. Lautnya luas penuh dg daging segar berlimpah dan perhiasan, seperti diungkap Allah:
وَهُوَ الَّذِيْ سَخَّرَ الْبَحْرَ لِتَأْكُلُوْا مِنْهُ لَحْمًا طَرِيًّا وَّتَسْتَخْرِجُوْا مِنْهُ حِلْيَةً تَلْبَسُوْنَهَا ۚ 
"Dan Dialah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daging yang segar (ikan) darinya, dan (dari lautan itu) kamu mengeluarkan perhiasan yang kamu pakai".
(QS: An-Nahl surat ke 16 ayat 14)

Tak heran dari dulu sampai skrng terus menerus wilayah nusantara ini di incer bangsa2 lain, sampai pernah terjajah berbilang abad. Sekarang kita tlh merdeka, apakah bumi dan laut sdh jadi milik anak bangsa?

Lihat ke bumi; pada kenyataan bumi banyak dikuasai oleh pengusaha perkebunan besar. Tak sedikit bumi yg tlh diusahakan oleh anak negeri hrs berpersoalan dg perusahaan perkebunan besar. Pihak perkebunan besar memiliki surat penguasaan atas tanah lebih kuat. Sementara anak negeri  kalaupun ada hanya pengakuan penguasaan tanah dari daerah setempat dan disaksikan masyarakat dg perkebunan kecil2an secara tradisional. Dlm hal dmkn kadang anak negeri terkalahkan lantaran kalah kuat di "kekuatan surat".

Liat ke laut; Nelayan tradisional kalah di modal, ikan yg berlimpah di kuras pengusaha perikanan besar dg alat tangkap canggih dan raksasa. Belum lagi ikan dicuri oleh armada perikanan dari negeri lain.

Persoalannya apakah tidak salah kelola, bgt banyak lapangan kerja shrsnya dpt tercipta untuk mengolah sumber daya alam ini.

Pengelolaan bumi, pengelolaan laut.  Tapi kenapa anak bangsa harus ngais rezeki di negeri orang.

Mereka mencari rezeki ke negeri orang karena tak ada pilihan. Bila bertahan di negeri sendiri akan bernasib di kelompok 9% lbh itu. Atau kalau dpt kerjaan di negeri sendiri "tetap jadi kuli di rumah sendiri", maklum status kuli tetap saja tak terangkat dari kelompok miskin.

Mungkin anak negeri akan lebih redha bila yg menguasai lahan2 luas untuk perkebunan itu dimiliki oleh perusahaan perkebunan milik negara, ketimbang dikuasai oleh swasta. Sebab kalau dikuasai negara, hasil usaha perusahaan perkebunan milik negara itu akan terpulang kpd rakyat juga.

Unsur bangsa yg kedua adlh RAKYAT.
Betapapun besarnya kandungan perut bumi, betapapun suburnya kulit bumi, walau punya laut luas, tersedia ikan yg banyak. Terdpt mutiara dimana mana. Kemakmuran tetap saja tak kan terwujudkan bila Rakyatnya tdk dpt memberdayakan sumber alam itu.
اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَ نْفُسِهِمْ
(Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri).

Tapi agaknya bukan malas kata kuncinya, kenapa kemakmuran itu tdk dpt digunakan se-besar2nya untuk rakyat. Bukannya rakyat tak mau berihtiar mengubah nasib. Buktinya anak negeri yg ngais rezeki di negeri orang pada rajin. Tidak pula lantaran kurang cerdas, pendidikan sdh pesat, kalau belajar ke luar negeri pemuda/pemudi kita sll berpredikat tdk mengecewakanlah.

Mungkin, sekali lagi mungkin kata kuncinya pihak yg berkuasa hrs menciptakan lapangan kerja guna mengelola sumber daya alam ini. Tingkatan peranan perusahaan negara bidang tambang dg perusahaan pertambangan milik negara dari bermacam jenis tambang untuk memaksimalkan kandungan bumi. Pengelolanya hrs sbgian besar anak negeri sendiri. Bgt juga perkebunan dan Perikanan, buat perusahaan2
negara yg khusus menangani bisnis tsb. dg operator rakyat sendiri. Boleh ada tenaga asing tapi hanya yg keahliaannya rakyat sendiri blm punya.
Dg dmkn rakyat tak perlu menjadi TKI  di negeri orang. Tapi bekerja di negeri sendiri.

Unsur ketiga, sangat penting adlh PEMIMPIN.

Bangsa barulah akan aman makmur sejahtera bila dipimpin oleh Pemimpin yg adil, jujur, cerdas, sederhana serta takwa. Sebab di tangan pemimpinlah segala kebijakan kelola bangsa ditentukan. Sehingga tercapai cita2 bangsa antara lain memberantas kemiskinan.

Hilangnya kemiskinan bukan hal yang belum pernah terjadi, sejarah mencatat bahwa di zaman ke Khalifahan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz, tidak terdapat orang miskin, sehingga tidak seorangpun menjadi mustahiq penerima zakat. Orang semua berzakat dihimpun di Baitul Mal, penggunaannya untuk kepentingan kemajuan negara, membangun infrastruktur. Salah satu syarat; tentunya adalah pemimpin yang jujur, adil, cerdas, hidup sederhana dan takwa kepada Allah.

Syarat takwa kpd Allah tdk hanya untuk pemimpin tapi juga untuk seluruh rakyat yg dipimpinnya, karena Allah menjanjikan:
وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَـفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ  مِّنَ السَّمَآءِ وَالْاَرْضِ وَلٰـكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا  كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan."
(QS. Al-A'raf; surat ke 7: ayat 96)

Wain yakun  shawaban faminallah.  Wa in yakun khathaan faminni waminassyaitan,. Wallahu warasuluhu bari ani minhu. (Dan sekiranya benar, maka itu datang dari Allah. Dan sekiranya salah, maka berarti datangnya dariku sendiri dan dari syaitan. Allah serta RasulNya berlepas diri daripadanya).

Barakallahu fikum.
Wassalam
M. Syarif Arbi.

No comments:

Post a Comment