Saturday 8 January 2022

KONSUMTIF

Saya kurang tau di daerah lain, di kampungku dulu, angkatan Ortuku belum banyak yg mementingkan mencatat tgl kelahiran anak. Kelahiran sering ditandai oleh tanaman, atau suatu peristiwa. Misalnya Almarhum nenekku ketika memperkirakan usia dirinya beliau bilang "waktu *lampung pecah*, Nenek sdh mampu membawa air dari sungai ke rumah, dua kerebug** satu di kiri satu lagi di kanan". keterangan: * lampung pecah = meletusnya Gunung Krakatau. ** kerebug = tempat air yg dibuat dari batok kelapa yg dilobangi untuk tempat tangan menjinjingnya. Oleh karena itu sejaman dengan ku masuk SR pun agak sulit nentukan umur. Sedangkan ketika itu disyaratkan masuk SR rata-rata harus udh umur 6 thn lebih bahkan 7 th. Langkah sekolah ngetes umur dg di tes phisik. Waktu mendaftar si anak hrs sdh dpt memegang kuping kiri dengan tangan kanan, memegang kuping kanan dg tangan kiri melalui tengah kepala. Ketika itu kebanyakan murid SR (sekolah rakyat) baru lancar membaca di kelas 3, mungkin lantaran blm ada PAUD dan TK. Buku bacaan kami murid SR, kami mengenalnya buku "SI DIDI". Di antara redaksi buku bacaan itu yang masih ku ingat: * Ini si Didi ....... * Si Didi duduk....... * Itu bapak si Didi ...... * Bapak si Didi pulang dari pasar .....(dilengkapi gambar si bapak pake kopiah naik sepeda) * Ia membeli pisang ........(di stang sepeda dlm gambar tergantung sesisir pisang). Apakah ini asal muasal kenapa generasi ku kebanyakan berpola KONSUMTIF, suka "membeli" ketimbang "menjual", atau memproduksi (nanam sendiri). Karena dicontohkan oleh bapak si Didi "membeli pisang". Jadi segala produk baik pertanian, industri semuanya lebih baik membeli dari pada memproduksi sendiri. Memang ada sih contoh perilaku "niaga" y.i. cerita di serial bacaan SR waktu itu, kisah Anak Mak Serinam". Terkesan bahwa pekerjaan berniaga itu sulit, banyak masalah, banyak kendala, banyak rintangan. Samar samar dlm ingatanku ceritanya begini: Mak Serinam punya seorang anak lelaki usia belasan tahun. Mak Serinam nyuruh anaknya pergi ke pasar di kota untuk menjual dua ekor ayam jago. Dikisahkan bahwa si anak tergolong dungu. Lantaran tau keterbatasan anaknya; mak Serinam mengarahkan anaknya dg serangkaian dialog. Bila nanti ketemu orang atau calon pembeli di kota nanti. Kalau nanti ada yg nanya "kau anak siapa". Jawabnya "anak mak Serinam". Selanjutnya bila orang bertanya "apa yang engkau bawa" jawablah "dua ekor ayam" Jika ditanya "berapa harga ayam itu" jawablah "tiga ringgit seekor ndak boleh kurang". Singkat kisah dengan pakaian serapi mungkin (dlm gambar nampak berkopiah). Putra mak Serinam pun menuju kota, dengan mencangking 2 ekor ayam 1 di kiri dan 1 di kanan dlm anyaman daun kelapa pas untuk ayam mendekam. Eeee di perjalanan hampir masuk kota dia ketemu 2 orang Opas agaknya sdg patroli jalan kaki. Apakah mungkin terlihat canggung dan agak asing, Opas menghentikan langkah anak mak Serinam. Opas bertanya "hei anak muda kamu mau kemana" langsung di jawab "anak mak Serinam". Opas ngulangi pertanyaan mengira tanyanya pertama kurang jelas dijawab "dua ekor ayam". Kini giliran Opas yg satunya nanya kamu akan kemana dijawab "3 ringgit seekor ndak boleh kurang". Kedua Opas bingung sebab diulangi bertanya jawabnya tetap ngulang: "anak mak Serinam", "dua ekor ayam", "3 ringgit seekor ndak boleh kurang".sambil berpandang-pandangan kedua Opas memutuskan untuk mengamankan anak mak Serinam ke Pos Opas. Cerita ini memberikan kesan potret seorang remaja desa digambarkan dungu. Padahal dlm kenyataannya remaja desa itu potensial, cerdas, hanya saja seangkatanku banyak yg tdk memiliki kesempatan dan fasilitas shg banyak terhenti hanya tamat SR. Kesan kedua; anak usia bawah 10 th diberikan bacaan yg menggambarkan bahwa membawa produk asli desa ke kota itu tidak gampang. Selain itu cerita ini memasukkan pemahaman bahwa berjualan itu tidak mudah. Berwirausaha itu tidak gampang. Tidak semudah membeli. Itu sebabnya barangkali kebanyakan rekan seangkatanku yg lanjut sekolah di atas SR memilih bidang mencari nafkah bukan wirausaha tetapi banyak yg jadi pegawai, buruh. Dari kisah "Bapak si Didi" dan "anak mak Serinam" ini setidaknya dpt di petik dua hal: Pola pikir membeli sdh diajarkan sejak dini Menjadi penjual atau berwirausaha adalah sulit. Bacaan cukup mewarnai pola perilaku, apalagi anak seusia dibawah 10 tahunan. Apakah ini yg menjadikan "kebanyakan" dalam tanda petik, angkatan usiaku dulu, memilih berkarir jadi pegawai institusi resmi atau pemerintah, jarang yg merintis usaha mandiri. والله عالم بشواب M. Syarif Arbi. Jakarta, 4 Jumadil Akhir 1443 H. 8 Januari 2022. (884.01.22).

No comments:

Post a Comment