Tuesday 4 July 2023

ADIL dari ZAMAN ke ZAMAN

Zaman penjajahan doeloe, para pejoeang pergerakan kemerdekaan ditangkap penjajah, diadili malah mereka dinyatakan bersalah kemudian masoek boei. Padahal mereka menuntut keadilan, menuntut kemerdekaan. Mereka diadili dengan tidak adil. Banyak pejoeang kita yang diboeang, diasingkan. Itu model keadilan waktoe itoe. Dengan menengok keadilan zaman penjajah boleh kita simpulkan bahwa keadilan, bagaimana menurut sudut pandang penjajah, karena mereka yang pegang kekuasaan. Kalau begitu keadilan ditangan yang berkuasa. Para pejoeang menuntut keadilan itu justru salah menurut penjajah, mereka di golongkan kelompok membuat kekacauan, menciptakan keresahan masyarakat, di cap ekstrimis dll yang negatif. Di zaman ORLA begitu juga, tak sedikit lawan politik rezim berkuasa yang ditahan salah seorang diantaranya Prof. Dr. Hamka ulama idola ummat pada zamannya, buku2 karya beliau sampai kini masih memperkaya khasanah pustaka. Di zaman ORBA pun demikian pula rupanya, sederet tokoh ditahan, dikucilkan, dicekal. Barulah perbuatan penahanan, pencekalan, pengucilan itu dinilai sebagai “tidak adil”, ketika rezim berganti. Ketidak adilan berupa penahanan, pengucilan dan pencekalan ini pun berakhir ketika rezim ORBA berakhir. Para pembaca seusia diriku yang telah merasakan, sekaligus menjadi saksi sejarah, setidaknya tiga zaman, yaitu: Zaman ORLA, zaman ORBA dan kini zaman REFORMASI. Kita menyaksikan kisah penuntut keadilan, rupanya terus berlanjut sepanjang masa, dari zaman ke zaman. Rasa keadilan itu tak kan ditemukan selama para pihak sebagai penegak keadilan justru tidak adil. Jadi keadilan itu se-olah2 tidak pasti. Pantaslah Nabi Musa sampai bertanya kepada Allah. Ya Allah: “Manakah mahluk Engkau yang lebih adil”. Allah menjawab:”Orang yang sanggup menghukumkan atas dirinya sendiri apa yang dihukumkannya kepada orang lain”. Jadi penerapan "adil" apabila dapat menerapkan hukum sama untuk semua pihak sesuai hukum yang berlaku untuk siapa saja tak pandang bulu termasuk untuk dirinya, untuk kelompoknya sendiri hukum harus diberlakukan sama. Meskipun kebetulan kelompok sendiri sedang memegang kendali keputusan dan hukum. Kita diperintahkan menegakkan keadilan (surat An-Nisa 135): يٰـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدَآءَ لِلّٰهِ وَلَوْ عَلٰۤى اَنْفُسِكُمْ اَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ "Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu……………...” Selanjutnya di ayat lain Allah ingatkan: walaupun kepada kelompok/orang yang dibenci, tetap harus adil. (Al-Maidah 8). ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰۤى اَ لَّا تَعْدِلُوْا. ۗ………………." ۗ ۖ "………...Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil…………...". Sebagaimana pernah dicontohkan penegakan hukum di zaman kejayaan Islam lebih dari ratusan tahun. Pernah kupetik dalam tulisanku tentang bagaimana Ali sebagai khalifah berperkara dengan rakyat yang beda agama dengan obyek perkara sebuah baju besi. Ali kalah dimata hukum walau dia pemimpin tertinggi negara. Kekalahan Ali lantaran secara hukum tak cukup bukti dan saksi. Walau akhirnya lama sesudah perkara diputus, lawan perkara mengakui bahwa baju besi itu milik Ali, sekaligus mengakui hukum Islam tegak dalam keadilan, sesuai prosedur berperkara. Selanjutnya ybs dengan ikhlas terpanggil memeluk Islam sebagai agamanya. Bagaimana di Zaman Nabi Muhammad memutuskan perkara, beliau percaya dan berpegang teguh akan sumpah dan saksi. Dalam perkara keluarga Budail bin Abu Maryam dari bani Sahm, dengan dua orang beragama lain setelah disumpah dengan cara agama yang dianutnya. Dua orang beragama lain teman seperjalanan niaga. Dalam perjalanan itu Budail meninggal dunia, almarhum Budail berwasiat minta serahkan harta dia terbawa di perjalan itu ke keluarganya, dititipkan pada dua teman seperjalanannya. Satu unit barang digelapkan penerima amanah, sedangkan keluarga mengetahui dan mempertanyakan, karena di dalam bungkus harta lain terdapat tulisan Budail; rincian daftar harta yang dititipkan. Berujung digelar pengadilan dipimpin Rasulullah. Dibawah sumpah menurut agama yang dianut kedua pembawa amanah tidak mengakui, bahwa mereka dititipi sebuah peti kecil yang dituntut keluarga Budail. Perkara ditutup, tidak dibuka kembali walaupun akhirnya setelah beberapa waktu berlalu diketahui bahwa keluarga Budail berhak atas Peti Perak bersalut emas yang dititipkan Almarhum Budail yang meninggal dalam perjalanan niaga tsb. Terbongkarnya hal sebenarnya lantaran itu peti, atas pengakuan pemilik terakhir dibeli dari sang penerima amanah. Atas keadilan penegakan system hukum Islam: * bahwa hukum Islam menghormati pengakuan dibawah sumpah (walau sumpah menurut agama bukan agama Islam ). * bahwa tidak membuka kembali perkara yang sudah diputus. Dikabarkan akhir hidup pemegang amanah masuk Islam, uang hasil penjualan peti perak bersalut emas itu secara sukarela diserahkan kepada ahli waris. Demikian indah bila telah terkondisi keadilan. Setiap orang merasa puas dan dengan sukarela menerima suatu keputusan yang adil. Patut agaknya kita berdo'a semoga keadilan di dunia ini membumi, setidaknya di negeri kita yang berdasarkan Pancasila dimana tersurat dua potong kata "adil" di dalamnya. *"Kemanusiaan yang adil dan beradab". *"Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Ketika tulisan ini hadir ke ruang baca anda, bangsa kita tengah menyaksikan sejumlah perkara tentang ke ADIL an sedang berproses atau sudah selesai diproses. Sudah adilkah ??? Hati nurani yang senantiasa tersiram nilai kerohanian dari nur Ilahi insya Allah dapat merasakannya. Semoga Allah merahmati bangsa Indonesia, sehingga para pemegang kuasa keadilan sanggup berlaku "ADIL". Aamiin وَ الْسَّــــــــــلاَمُعَلَيْكُمْ وَ رَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ M. Syarif Arbi. Jakarta, 17 DzulHijjah 1444 H. 5 Juli 2023. (1.165.07.2023).

No comments:

Post a Comment