Sunday 30 September 2012

TAWURAN PELAJAR


Pantas  tidak didapatkan di dalam kamus bahasa Indonesia (di rumahku) terbitan Balai Pustaka 1985 disusun W.J.S. Poerwadarminta kata “Tawuran “ maupun kata “tawur” dengan akhiran “an”  karena mungkin era sebelum kamus disusun belum ada peristiwa tawuran. Menurut bahasa jawa “tawur” artinya “menabur”, (seperti menabur serbuk gula di atas kue donat). Kucari di Google, sepertinya asal bahasa “Tawuran” dari upacara ritual di Bali, “Tawur Kesanga”.
Kejadian tawuran semakin marak akhir-akhir ini, ternyata bukan hanya monopoli pelajar di Jakarta, juga di daerah-daerah. Akhir-akhir ini bukan hanya pelajar, penduduk antar desa bertetangga juga latah ikutan tawuran dan korbannya bukan saja harta benda seperti rumah terbakar, kendaraan terbakar, ternak kocar-kacir, ladang huma berantakan,  tetapi juga jiwa melayang. 
Pelajar SMA 6 dan 70  pekan terakhir September 2012 Jakarta tawuran membuat jiwa seorang pelajar yang justru tidak ikut tawuran melayang, dikeroyok dan dibacok karena ia dikenali sebagai siswa “musuh”. Beberapa hari kemudian di Manggarai seorang lagi jiwa pelajar meninggal dibacok seteru mereka yang juga mestinya tidak tau menahu. Ironisnya ketika ditamui Menteri Pendidikan, pembunuh menyatakan puas udah membunuh. Ini sudah keterlaluan.
Tentu kita semua prihatin dan mencoba menghubungkan dengan pengalaman kita di masa lalu, ambil saja contoh waktu anda yang sebaya saya masih duduk di SLTA. Tidak pernah terdengar ada pelajar yang tawuran dan bahkan anak sekolah selalu dibekali oleh orang tua dan gurunya; “kalian adalah orang terpelajar kudu menjadi contoh dalam masyarakat”.
Sekedar analisis seorang pensiunan dan bukan pula akhli ilmu kemasyarakatan seperti yang banyak kita lihat berkomentar di layar kaca, khusus mengenai tawuran pelajar menurutku barang kali penyebab dan solusinya adalah:
Pertama pakaian seragam
Kami dulu tidak mengenal pakaian seragam, yang penting ke sekolah dengan pakaian rapi, sejurus pernah mode rambut gondrong, tetapi sekolah melarang berambut gondrong. Apalagi kami di daerah nan jauh dari ibu kota Republik, berangkat ke sekolah dan pulang dari sekolah berjalan kaki, tidak ada angkutan umum. Setiap hari terjadi pulang bareng dengan sekolah lain, menapaki jalan raya di sebelah kiri. Abis anak sekolah jadi panutan masyarakat, tertib di jalan sampai ke rumah.
Pakaian seragam, memang memberikan kebanggaan korps tetapi sekaligus dengan kebanggaan itu membuat beda antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Dengan pakaian seragam, mudah dikenali bahwa seorang remaja adalah anak sekolah. Jika tidak menggunakan seragam, seorang remaja yang naik bis, atau makan di restoran tidak dapat dikenali  apa status mereka, hal ini menghindari suatu kelompok pelajar menghajar kelompok pelajar yang lain.

Kedua; Kurukulum pelajaran.
Kurikulum sekolah harus demikian rupa sehingga proses ajar mengajar dari pagi sampai sore, si anak tidak punya kesempatan iseng untuk bergerombol di jalan. Dengan waktu belajar yang penuh  itu mungkin saja untuk belajar di sekolah dalam seminggu hanya 5  hari atau 4 hari. Selebihnya dipergunakan untuk kesibukan ekstra, ketrampilan yang dikreasikan sekolah, atau hari kelebihan itu diberikan kesempatan untuk anak beristirahat di rumah, mengikuti pendidikan orang tua. Atau mengikuti kegiatan ekstra kurikuler ketrampilan sebagai bekal terjun ke masyarakat, bila nanti setamat belajar di SLTA tidak mendapat peluang masuk ke perguruan tinggi.

Ketiga; Kegiatan ekstra kurikuler koordinasi antar sekolah
Ketrampilan diberikan kepada siswa sesuai pilihan dan bakat masing-masing, misalnya dibidang seni, dibidang ketrampilan tangan, dibidang olah raga, ketrampilan bela diri yang difasilitasi sekolah untuk mengisi waktu kosong sehari atau dua hari akibat jam belajar hanya selama empat hari atau selama lima hari seperti konsep di atas. Ketrampilan tersebut disiapkan untuk mereka dalam terjun ke masyarakat kalau-kalau nanti tidak memiliki peluang ke perguruan tinggi. Model-model ketrampilan oleh pemerintah diatur untuk setiap sekolah memiliki ketrampilan tertentu yang khas. Sehingga para pelajar untuk mengikuti ketrampilan tertentu dimungkinkan dan difasilitasi oleh sekolah mengikuti ketrampilan dimaksud di sekolah lain yang khusus mengadakan ketrampilan tersebut. Dengan demikian terjadi pembauran dan hubungan baik antar sekolah, hubungan persabahatan antar siswa sekolah.

Keempat; Organisasi diluar sekolah yang bersifat nasional.
Dulu pelajar setingkat SLTA sebagian besar ikut organisasi massa, baik yang merupakan onderbow partai politik, maupun organisasi massa tidak di bawah partai politik. Anak-anak SMA sejak dini sudah mengenal organisasi sifatnya bukan hanya di dalam pagar sekolahnya, tetapi juga antar sekolah dan bahkan antar provinsi dan sampai secara nasional. Sebut saja antara lain GSNI, IPNU, PII dan lain-lain, dimana anggota dan pengurus organisasi itu tersebar disekolah-sekolah yang ada dalam sekota misalnya. Sementara organisasi-organisasi tadi masing-masing pengurusnya dulu dijembatani oleh pemerintah saling berhubungan. Misalnya jika ada acara-acara penting organisasi saling mengundang dan saling menghormati. Manfaat utama dari organisasi ini, adalah memberikan kesibukan yang bernilai positif kepada calon penerus bangsa berlatih untuk menjadi pemimpin dan menjadi yang dipimpin. Manfaat berikutnya terjalin hubungan seorganisasi dengan siswa di sekolah lain.
Di daerah saya kebetulah saya pernah menjadi ketua salah satu organisasi massa tersebut ketika masih duduk di SMA. Bila ada pertandingan apa saja dalam rangka 17 Agustus misalnya, paling tidak saya hadir  kalau kebetulan bukan ikut menjadi pemain. Kehadiran saya cukup bermanfaat bila suasana menjadi panas, dalam hal pertandingan berhadapan dua sekolahan. Sebab di sekolah yang sedang bertanding keduanya ada anggota organisasi massa yang saya pimpin tersebut ikut di dalamnya, maka pesan damai pesan meredam emosi lebih mudah disampaikan.
Kelima; Pendidikan Akhlaq dan budi pekerti.
Lama sudah pendidikan akhlaq dan budi pekerti ini ditinggalkan oleh sekolah dari tingkat dasar sampai menengah. Hal ini dipercayakan sepenuhnya kepada asuhan orang tua dirumah. Dikota besar kadang anak sejak bayi dipasrahkan orang tuanya ke baby sister, sudah sedikit besar, anak-anak diasuh oleh pembantu yang berganti ganti. Maaf kadang akhlaq dan budi pekerti orang tuapun belum tentu juga terpuji, bagaimana ortu memperlakukan pembantu yang tidak jarang perlakuan ini ditiru oleh si anak, sebab dikiranya inilah yang terbaik. Sementara di sekolah tidak diluruskan pandangan tersebut, maka berkembanglah anak-anak yang kasar, tidak sopan, menzalimi orang yang lemah, nuraninya terisi kebengisan. Bila di sekolah diberikan lagi pelajaran budi pekerti dan akhlaq yang mulia, maka si anak setidaknya mempunyai acuan lain untuk dipertimbangkan, bahwa seharusnya bagaimana perilaku orang hidup ini, bagaimanapun kayanya, betapapun tinggi status sosialnya, siapapun orang tuanya.

Keenam; Peran orang tua
Bertalian dengan faktor kelima di atas, peran orang tua disisi lain adalah kontrol terhadap anaknya. Usahakan sering makan semeja dengan anak. Usahakan ketika anak berangkat sekolah diantar sampai ke depan pintu atau ke halaman, usahakan mencari tau apa saja perlengkapan yang dibawa anak ke sekolah, cari tau siapa teman dekatnya dan usahakan mengenal orang tua dari teman dekatnya upayakan nomor HP orang tua mereka. Kemudian setelah dia pulang sekolah, atau ia tidak di kamar secara diam-diam orang tua harus senantiasa mengecek apa saja bawaan anak sepulang dari sekolah, singkatnya apa aja isi tasnya, apa saja barang-barang di dalam kamarnya. Untuk mengetahui apa bacaan mereka, peralatan apa yang dipergunakan mereka dan lain-lain.  Barang-barang, bacaan dan isi kamar dan tas mencerminkan kegiatan anak kita. Jika mengkhawatirkan sejak dini sudah dapat diambil langkah yang tepat.

Ketujuh; Peran guru
Saya betul-betul menaruh hormat kepada guru-guru sezaman kami masih sekolah dulu, muridnya dipantau sampai keadaan orang tuanya. Dalam hal murid tidak masuk, sampai  wali kelas atau guru diutus sekolah datang ke rumah si murid untuk mempertanyakan. Begitu perhatian guru waktu itu. Sekarang jikalau dilihat sinetron, bila anak bermasalah maka orang tua murid dipanggil oleh kepala sekolah datang menghadap.
Kuingat  di bawah tahun 80an, saya dinas di Surabaya, adik kandung saya ikut saya masih sekolah di sebuah SMP. Suatu hari wali kelasnya datang ke rumah, mencari anak muridnya yang adik saya itu, karena telah seminggu tidak masuk sekolah. Saya tidak mengetahui,  sebab adik saya itu setiap pagi berangkat ke sekolah. Dengan kunjungan guru itu, adik saya dapat menamatkan sekolahnya, sebab berikutnya dia tidak berani lagi membolos. Apa sekarang masih demikian, nampaknya tidak, setidaknya untuk Jakarta.
Kedelapan;  Hukum untuk pembunuh yang terlalu ringan.
Bukannya terlalu fanatik dengan ajaran agama, kalaulah hukum bunuh diterapkan hukum qisas, tentu tidak ada orang yang berani membunuh orang,  kalaupun terjadi sudah karena sangat terpaksa, sebab naluri manusia takut mati. Ok lah negara ini tidak menerapkan hukum qisas tersebut, tapi setidaknya kalau hukum bagi pembunuh itu diperberat misalnya seseorang yang membunuh orang, dihukum penjara sampai akhir hayatnya tetap berada dalam penjara. Diumumkan kepada masyarakat/ diundangkan hukuman berat itu dan dilaksanakan, niscaya orang akan berpikir panjang untuk membunuh. Tidak ada jawaban seperti anak yang membunuh di Manggarai kepada Menteri Pendidikan, bahwa ia puas sudah membunuh. Contoh konkrit mumpung ini musim orang berangkat haji. Di tanah suci Makkah dan Madinah, bagaimanapun orang berselisih paham tidak sampai memukul. Sebab bila terjadi memukul orang,  langsung sipemukul ditangkap polisi dan hukumannya berat, prosesnya entah bagaimana konon lama dan disimpan di penjara mana tidak diketahui. Maka orang tidak gampang mumukul orang lain. Saya sering lihat mereka bertengkar, tangannya masing-masing ditaruh kebelakang walau kadang dada mereka sampai bertemu dalam bertengkar.


No comments:

Post a Comment