Sunday 9 September 2012

RUPIAHPUN LAKU DI NEGERI SYECH

Rekan seperjalanku umrah Ramadhan belum lama ini punya kebiasaan; selesai berbuka puasa harus minum hangat. Sehabis berbuka puasa dan shalat magrib di masjid Nabawi di Madinah, sebenarnya makanan dan minuman berbuka puasa sudah lebih dari cukup, tersedia susu, madu dan berbagai roti serta aneka jenis kurma terhidang di hadapan jamaah menjelang buka, disantap begitu kumandang azan. Aneka makanan itu langsung bersih di angkat dengan plastik alasnya begitu iqamah. Dasar kebiasaan yang kalau ditinggalkan cukup mengganggu kesehatan mungkin, maka keluar dari masjid langsung teman seperjalanku itu  mengajak untuk membeli teh panas. Saya sebetulnya tidak berkepentingan dengan teh panas, sebab seperti kukatakan bahwa makanan dan minuman berlimpah, cuma memang tidak ada teh panas. Adapun teh ala  Arab yang disuguhkan untuk berbuka, disebut mereka “syahi” dan rasanya pedar menurut lidah saya dan juga disuguhkan dalam gelas kecil, sedikit sekali.
Persoalannya untuk membeli teh panas di kios teh, tentu harus dengan uang Real, padahal kami baru tadi sore datang, belum sempat menukarkan Rupiah ke Real. Beberapa tahun silam, soal menukarkan uang di Madinah dan Makkah sangat gampang, money changer (tempat tukar uang) tersebar di mana-mana, bagaikan kios penjual rokok di jalan kampung di Jakarta saja. Tapi keadaan saat Ramadhan 1433 H ini agaknya lain, apa sebabnya belum sempat saya mencari informasi, tetapi ternyata money changer jumlahnya sangat terbatas, dan tempat yang tersedia terkesan formil dan mewah tidak seperti beberapa waktu yang lalu. Akhirnya saya berdua dengan teman tadi  setelah tanya sana sini, menemukan money changer resmi itu di bangunan gedung besar di jalan besar lurusan pintu gerbang nomor 10 Masjid Nabawi. Lokasinya di kiri jalan di mana jalan itu ada trotoar di tengah jalan. Belakangan diketahui ada juga di sebelah kanan jalan berhadapan dengan money changer yang kami temukan malam itu.  Teman saya menukarkan pecahan Rp 100 ribu dapat 38 Real.  Langsung bersama beliau kami mampir di kios teh, pesan dua cangkir membayar  4 Real.
Saya belum berkeinginan menukar Real, karena memang belum ada yang harus dibeli. Hari ketiga saya harus beli kain ihram dan tas kecil serta ikat pinggang ihram serta tas untuk menempatkan pakaian seadanya, sebab seperti yang telah saya tulis terdahulu bahwa kopor kami hilang dalam penerbangan Jakarta-Jeddah. Untung ada sedikit uang Real tersimpan di tas isteri, sementara dapat untuk membeli perlengkapan umrah secukupnya dan akhirnya hampir habis persediaan Real untuk membeli obat-obatan, pengganti obat yang hilang bersama kopor. Obat di Madinah dan Makkah lebih mahal dibanding dengan di Indonesia. Sebenarnya bila dibandingkan Indonesia, dalam banyak hal murah di Indonesia, contohnya makanan dalam kemasan dengan tambahan buah sekadarnya di Madinah dipatok SR 15 jika dirupiahkan Rp 42 ribu. Itu makanan setara dengan nasi padang bungkusan  di Jakarta sudah dapat dua bungkus, apalagi beli yang “apa saja lauknya Rp 7.000” dapat 6 bungkus. Di Jakarta, di daerah yang banyak tempat kost-kost-an banyak yang mematok tarip “lauk apa saja Rp 7.000,-“. Teh secangkir SR 2 sama dengan Rp.5.600,--
Pecahan Real kami suami isteri sudah menipis ketika perjalanan dilanjutkan menuju Makkah, kejadian itu karena diluar dugaan perlengkapan dan obat-obatan tidak mau ikut bersama kami, berada bersama kopor yang sampai sekarang belum jelas dari penerbangan ”SQ”. Ternyata di Makkah sekarang, soal money changer juga tidak lagi seperti beberapa kali saya kunjungi kota itu dimasa yang lalu. Dulu money changer terdapat di seantero jalan antara Masjidil Haram ke pemondokan dimana saja kita berdiam.  Suatu hari Real kami sudah betul-betul habis, bagaimanapun sebagai uang resmi di negeri “Syech” ini adalah Saudi Real disingkat “SR”.  Saya dan isteri disuatu subuh sepulang dari Masjidil Haram mencari tempat penukaran uang tersebut. Diperoleh kabar bahwa money changer buka sesudah dzuhur dan sesudah isya, lokasinya di dekat “masjid Jin”. Masjid ini hampir sama jauhnya dari pondokan kami ke Masjidil Haram. Sesudah isya kuputuskan untuk pergi juga ke lokasi dekat masjid Jin, ternyata ditempat penukaran uang, bukan main banyaknya manusia yang akan menukar uang dari berbagai bangsa. Untuk mengatur para penukar uang yang begitu banyak, pemilik mengatur memasukkan orang perkelompok. Kelompok yang masuk harus berdesakan untuk ke loket, tidak ada system di dalam ruangan ini, siapa kuat segera dapat menuju loket. Saya sampai keringatan, napas rasanya sampai terengah-engah. Tidak ada tulis menulis dalam penukaran ini, hampir tidak ada ngomong, begitu diserahkan uang Rupiah langsung  ke tangan saya diserahkan sejumlah uang Real.
Uang Real hasil penukaran ini dapat dipergunakan untuk beberapa keperluan kami suami isteri, digunakan sehemat-hematnya. Direncanakan untuk disimpan untuk keperluan dalam perjalanan pulang nanti di Jeddah, biasanya ada saja pengeluaran ekstra seperti bayar yang ngangkut barang dari mobil ke bandara (maklum perjalanan bukan dengan travel), biaya packing air zam-zam. Kalau-kalau ada biaya kolektif kelebihan bagasi. Meskipun bagasi kami suami isteri  masing-asing tidak lebih dari 20kg, sebab sudah terbiasa pergi umrah tidak belanja. Tapi group kami pulang  sejumlah 15 orang, rata-rata mereka kelebihan  bagasi. Betul  juga, biaya packing air zam-zam SR 8,- kami berdua SR 16  kelebihan beban iuran SR 20, persis benar Real kami pas tersisa tinggal SR 1.
Untuk mengatur itu maka ketika membeli obat di apotek di Makkah, ketika beli barang di toko baik barang biasa maupun makanan, selalu kami menggunakan uang Rupiah. Ternyata di negeri Syech ini uang Rupiah juga laku dalam transaksi di toko-toko kecil sekalipun. Misalnya ketika kami membeli kopor dua buah, ganti kopor kami hilang. Pemilik toko mau dibayar dengan Rp 400 ribu, pemilik toko mengembalikan SR 6,-  Rp 100 ribu dikurs SR 39 jadi Rp 400 senilai SR 156,- harga dua kopor SR 150. Membeli sajadah, harganya SR 10 kami beli dua dengan pecahan Rp 50 ribu tambah SR 1. Begitu juga beli obat, di apothek terbesar seperti Nahdi, rupiah diterima dengan  kurs bervariasi.
Pembayaran katering kami selama sebulan di Makkah juga dibayar dengan Rupiah dan bahkan secara hitung-hitungan lebih baik kursnya, sebab si pemilik katering menghargakan untuk satu Real hanya dengan Rp 2.400,- jadi  Rp 100 ribu kurang lebih dapat  41,67 real.
Katering di Makkah selama sebulan itu, menuut penilaianku termasuk mewah. Pada waktu berbuka disediakan makanan dengan nasi dan 4 jenis lauk termasuk sayur, disamping disiapkan buah dan makanan pembuka seperti penganan, sejenis kue, bubur ketan itam, bubur kacang ijo secara bergantian. Buah terdiri dari jeruk, apel, pir dan pisang juga secara bergantian. Tersedia jus buah dan es buah setiap berbuka dan sahur. Susu bubuk, kopi bubuk, ovaltin dan gula tersedia terus menerus sejak buka sampai sahur dapat  mengolah sendiri sepuasnya. Disamping itu disediakan pula roti dengan alat pembakarnya berikut selai antara lain selai kacang dan mentega. Itu semua dihitung perkepala sehari SR 40 termasuk  disediakan seorang pelayan.
Rombongan kami pada menjelang akhir Ramadhan 21 orang, semula hanya 15. Pesanan katering tetap tidak ditambah hanya untuk 15, walau orang bertambah. Begitu mewahnya makanan berlimpah, jatah untuk 15 orang ini walau pertengahan Ramadhan menjadi 21 orang, makanan masih tetap setiap hari harus dibuang. Setiap hari pelayan memasukkan sisa rendang, sisa sop buntut, sisa kare kambing, sisa sayur, sisa burung goreng, sisa empal, sisa rajungan, sisa udang goreng ke dalam plastik kemudian dibungkus diletakkan di tangga yang akhirnya diangkut menjadi sampah. Betapa mubazirnya ini makanan dibuang begitu saja hampir disetiap hotel, di setiap penginapan di setiap pemondokan dan juga sisa berbuka puasa di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Kutanyakan kepada pelayan yang kebetulan orang Indonesia, mengapa makanan ini dibuang, apa tidak sebaiknya diberikan orang yang tidak punya makanan. Jawabnya enteng,  siapa yang mau diberi pak, semuanya pada membuang.
Semoga informasi ini ada gunanya bagi siapa saja yang akan berangkat haji tahun ini, jangan khawatir bekal saja Rupiah, tidak perlu repot-repot cari tukaran Real. Begitu juga setelah sampai di tanah suci kebetulan tempat nukar uang tidak tersedia banyak seperti waktu-waktu yang lalu. Dari pada menukar uang berdesakan dan nguras energi.


No comments:

Post a Comment