Wednesday 26 September 2012

KENCING LANCAR LEBIH BERHARGA DARI REZEKI NOMPLOK

Ketika masih di bawah 30an saya bertugas di Surabaya,  di era 80an itu ada semacam adu nasib harian berupa nomor undian yang ketika itu agaknya dilaksanakan secara nasional. Kebetulan saya tidak termasuk yang ikutan mengadu nasib tersebut. Cukup menggiurkan memang,  jika kebetulan nomor tebakannya cocok. Bagi pemasang dua angka kebetulan cocok, kupon dapat dicairkan ke bandar 70 kali, jadi beli kupon 1.000 jadi 70.000,-  Bagi pengadu nasib yang agak berani beli kupon dengan tiga angka, dalam hal demikian jika ketiga angka itu cocok semua, beli kupon 1.000  akan menerima dari bandar 700.000. Keistimewaan komunitas pengadu nasib ini selalu mengingat bila ia beruntung, atau tebakannya mengena, tapi kalau tebakannya tidak kena, tidak diingat-ingatnya. Ada yang komentar anggap saja beli rokok. Bila sudah mengena, langsung traktir rekan-rekan dan tidak ketinggalkan menceritakan bagaimana dia mendapatkan nomor jitu itu, apalagi bila tiga angka. Orang yang dianggap pintar meramal esok keluar nomor yang tepat akan jadi buah bibir dan tentu berlomba-lomba untuk mengunjunginya.
Selain itu keistimewaan selalu mengingat keberuntungan dan tidak mengingat bila tebakan meleset inilah agaknya pecandu undian harian ini jadi luput mengkalkulasi berapa dia sudah habis uang meleset tebakan, kalau mau menghitung dengan cermat banyak rugi dari pada untung. Mereka jadi berlaku dan berpikir aneh, mereka percaya ahli ramal, percaya gambar-gambar aneh yang diterbitkan peramal nomor yang keluar. Percaya dengan omongan orang sakit jiwa, percaya bahwa mimpi ada kaitannya dengan nomor yang akan keluar, kadang kucing berantem saja sudah dicarikan rumusannya dalam semacam buku yang mereka miliki untuk dikonversikan menjadi nomor.
Saya bukan tergolong orang yang mereka anggap sakit jiwa, tidak pula dikelompokkan mereka orang aneh,  bukan juga mereka anggap pandai meramal melalui gambar. Ceritanya sederhana, suatu hari teman tetangga meja saya di kantor;  “Curhat”, bahwa di lokasi rumahnya sekarang sudah masuk instalasi listrik (waktu itu listrik masih barang langka untuk perumahan biasa, padahal dalam kota Surabaya). Untuk memasang listrik butuh biaya, sedangkan pinjam UPP (uang panjar pegawai), sudah tidak mungkin, UPP lama belum lunas ketika renovasi rumah.  Gaji sudah dipotong lagi buat nyicil kredit Vespa dari koperasi pegawai.  “Malu juga mas” katanya, “tetangga kiri kanan sudah masuk strum, padahal mereka bukan pegawai bank”.  “Lantas apa yang dapat saya bantu”, kataku singkat. “Mas kan ndak pernah pasang nomor, biasanya orang yang tak pernah pasang,  sesekali kalau nebak; cocok”.  “Wah saya ndak ngerti”  jawabku. “Bukan sekarang saya minta mas, besok-besok kalau sudah dapat wangsit”. Pinta kawan  saya yang lebih tua dari saya itu mungkin tuaan sepuluh tahunan dari saya. Dianya sudah berkeluarga dan punya anak setingkat SLA ketika itu.
Beberapa hari kemudian saya ditanya lagi, iseng saya beri kawan ini tiga angka, dengan syarat belinya jangan banyak, secukup ongkos memasang listrik. Syarat tambahan jangan memberi tahukan ke orang lain. Teman saya ini setuju dan langsung membeli kupon dengan nilai sebungkus rokok “Gudang Garam Merah”.  Esok harinya kebetulan, sekali lagi kebetulan, tiga angka itu benar-benar keluar dari undian. Kontan saja itu teman datang ke kantor paling pagi, sebelum saya datang. Rupanya dia memapak saya dari kejauhan sudah ngangkat tangan. Tentu ada pegawai lain yang lihat adegan itu dan agaknya itulah membuat informasi ini bocor. Singkat cerita beberapa minggu kemudian kediaman saya di daerah Menur, malam-malam ramai dikunjungi kawan sekantor, main-main dan ngobrol. Kawan ini tentu komunitas pemasang nomor undian. Tetangga sekitar saya juga akhirnya mencium juga bahwa saya dalam tanda petik “pandai nebak nomor”. Sesekali karena didesak terus saya berikan juga nomor yang dihajatkan mereka. Kadang nomor sesekali itu mengena dan kadang meleset, karena memang tidak ada yang mengetahui  apa yang terjadi esok hari.  Biar meleset, para pengrajin masang nomor ini tetap tidak kapok-kapok, mereka tetap minta dan bahkan mereka tidak menyalahkan saya, mereka menyalahkan dirinya tidak mengerti mengolah angka yang diberikan, “padahal kalau diolah mestinya masuk”. Kata mereka. Misalnya diberikan nomor 372 ternyata angka jadi terbalik  jadi 273 atau 723 atau 237. Para penebak ini mungkin menaruh rasa hormat kepada “orang pintar”, mereka tidak menyalahkan saya, malah menyesali diri mereka sendiri “mengapa tidak dipagar”, istilah mereka. Dipagar, maksudnya dibolak balik, dijaga kiri kanan ditambah satu kurang satu dan bermacam lagi istilah mereka, pokoknya sandi yang saya berikan, mereka menganggap kena sasaran. Setidaknya kalau cari alamat  rumah orang, sudah diberikan  lengkap nomor RT/RW tinggal cari rumahnya saja.
Sekali waktu  salah seorang rekan sekerja saya datang ke rumah saya sendirian “pesan nomor”. Yang satu ini lain lagi permintaannya untuk dapat nomor tiga angka sekaligus untuk menyediakan uang muka cicilan rumah BTN. Lumayan besar jumlahnya kalau di kurs dengan tiga angka paling kurang modalnya harus 5.000,- Teman ini rupanya sudah capek tiap tahun memperpanjang kontrak rumah, kepengin punya  rumah sendiri walau dengan skala BTN type 45. Dasar bukan dukun, saya malam itu tidak sanggupi. Rupanya permintaan kawan ini masuk dalam mimpi saya dan keesokan hari setibanya di kantor, pagi-pagi sudah didesaknya minta dengan berbisik-bisik sambil ngantarkan pekerjaan untuk saya.  Siang harinya saya ada suatu keperluan ke Malang, menjelang saya berangkat ia minta lagi, akhirnya saya beritahukan angka terlihat dalam mimpi tadi malam walau tidak saya beritahukan itu hasil mimpi. Sementara itu kepada ybs saya berikan uang 10.000 berikut  pesan; “kalau kena kembalikan uang saya ini 10.000, kalau meleset tidak usah kembalikan”. Itu teman tidak mau menerima uang saya itu walau sudah saya kepalkan ketangannya, dikembalikan lagi ke saya dengan serius. Saya sudah tidak pikirkan lagi peristiwa itu dan menuju Malang. Esok hari baru masuk kantor. Ketika masuk kantor esok hari rekan itu tidak masuk kantor, ternyata ada surat izin dokter untuk tidak masuk 3 hari.  Sementara tersiar kabar dari kalangan para pendekar nomor undian, bahwa nomor yang keluar tepat seperti yang saya berikan ke rekan tadi. Sebagaimana syarat saya bahwa tidak boleh memberitahukan orang lain, sepertinya ia mematuhi pesan itu.  Ketika ia masuk kembali ke kantor, dia datang ke meja saya dengan merapatkan kedua tangannya mohon maaf kepada saya, karena dia tidak berhasil mencari pinjaman uang untuk membeli kupon sehingga keberuntungan itu terlewatkan, oleh sebab itu saking kecewanya sampai sakit kepala dan datang ke dokter minta surat izin sakit.  Adapun alasannya kenapa tidak mau menerima uang saya, adalah “malu”, masakan nomor diberi uang juga diberi, itu pula yang menjadi penyelsalannya yang hebat betul-betul membuang tuah dan menyebabkannya sampai jatuh sakit. Kesempatan kedua bagi teman saya ini rupanya datang, ketika dia dengan sirius bekemauan keras  ingin  benar-benar  memeliki rumah, entah bagaimana kebetulan, sekali lagi kebetulan  dengan menggunakan angka yang saya berikan ia berhasil. Sebagai bukti kebenaran niatnya, bahwa dia tidak sekedar cari alasan untuk mendapatkan uang  dengan bepura-pura ingin membayar uang muka rumah, seluruh uang hasil tebakan itu dititipkan ke rekening saya, sampai suatu hari dicairkan pada saat pembayaran uang muka rumah BTN harius dilaksanakan. Benar juga ketika dibuka pendaftaran mendapatkan rumah BTN yang bersangkutan meminta uang itu untuk disetorkan membayar uang muka cicilan rumah. Jelas langkah yang kutempuh pada waktu itu adalah salah, memfasilitasi setidaknya memberikan bantuan buat penjudi. Walau tidak setiap orang kepenuhi permintaannya, hanya orang dengan alsan yang kuat. Komunitas “penombok buntut”,  umumnya tidak pernah mampir ke moshola kantor kami. Terselip syarat setiap yang memesan nomor buntut kalaupun kuberikan ialah: “sesudah ini tidak lagi ikutan mengadu untung dengan nomor buntut” dan dirikan sholat. Terus terang diperoleh dengan memohon kepada Allah yang kemudian mendapat semacam perasaan didalam hati, atau pendengar ditelinga atau terlihat di dalam mimpi.
Berita ini pelan-pekan tersiar juga dikalangan para penombok nomor yang ketika itu kalau tidak salah diistilahkan “buntut”.  Semakin dalam tanda petik  saya dianggap “sakti”.  Komunitas ini bukan saja terdiri dari orang sekantor saya, meluas kemana-kamana dan berita itupun sampai juga  ke para “penombok buntut” di intansi lain.
Tahun 1981 saya pindah ke Kamal Madura ikut menghuni rumah BTN type 70 yang waktu itu cicilannya Rp 26.680,- (dua puluh enam ribu enam ratus delapan puluh rupiah), selama 15 tahun. Rumah bertingkat dua di atas tanah 6 x 18 m. Setelah pindah rumah, beberapa waktu keterusikkan saya oleh rekan-rekan yang datang ke rumah malam hari jadi tidak ada, sebab lumayan perjuangan mereka kalau teman-teman dari Surabaya ingin datang ke rumahku,  cukup repot harus menyebrang dengan kapal “Joko Tole”,  kapal “Maduratna” yang beroperasi hanya sampai pukul 10 malam dan kalau lebih dari itu harus naik kapal kecil RORO yang cukup kurang nyaman. 
Hingga suatu hari sesudah shalat magrib ada suara lembut dan perlahan menotok-notok pagar rumah saya di Jl. Durian No. 8,  Perumnas Kamal Madura. Kami belum lama menikah dengan isteri saya, mungkin belum tiga bulan. Dari jendela kamar atas bangunan rumah kami yang bertumpuk dua itu terlihat di bawah, di depan pagar rumah kami di keremangan lampu jalan, seorang lelaki yang tidak saya atau isteri saya kenal. Mengingat belum terlalu malam dan tetangga kiri kanan dan depan rumah juga masih terjaga, saya beranikan diri untuk menghampirinya di pagar rumah. Ia dengan sopan memberi salam, ingin masuk rumah dan berkenalan.
Dalam dialog yang cukup panjang, Bapak ini menceritakan bahwa dirinya adalah seorang bendaharawan dari suatu intansi (tidak saya sebut nama intansi itu di tulisan ini) telah terlanjur terpakai uang kantor, sementara mendengar informasi dalam waktu dekat akan ada pemeriksaan dari kantor pusat.  Sungguh tidak ada relevansinya masalah Bapak ini dengan profesi saya waktu itu sebagai pegawai bank. Sebetulnya kalau mau kasar-kasaran saya cukup potong pembicaraan itu misalnya:  “Bapak salah alamat curhat kepada saya problema bapak”. Tapi karena baru kenal, dan ia mengaku juga penghuni komplek Perumnas Kamal juga,  beberapa blok dari kediaman kami, hitung-hitung  adalah tetangga, maka cerita yang bersangkutan saya dengarkan dengan sabar, sementara isteri menyedukan minuman, kemudian mengantarkannya dan kembali ke kamar di lantai atas.
Rupanya di akhir percakapan ia minta tolong nomor yang akan keluar  besok atau lusa, untuk di pasang/ditebak  guna menutupi uang dinas yang kadung terpakai.  “Alamaak”, kataku, “dari mana pula bapak tau bahwa saya ini dukun nomor”. “Saya mendengar dari kawan-kawan” katanya dengan tegas. Berkali-kali saya katakan tidak bisa, saya tidak tau dan macam-macam istilah lengkap dengan alasan berbau agama, ini orang tetap tidak mau mengangkat pantatnya dari kursi tamu kami. Saya takut juga ngusirnya kalau menimbulkan masalah, maklum baru kenal dan dari penampilan orangnya, dia memang orang kantoran. Cuma ngotot benar minta nomor, nampaknya sebelum diberikan belum mau pulang. Orang akan benar-benar hilang malu, hilang sopan, bahkan hilang harga diri kalau sudah diperhamba judi. Ayahku dulu pernah memberikan perumpamaan penyakit yang harus dihindari adalah judi sebab kata beliau:
“Kalau seseorang gila perempuan, dia akan selalu tampil perlente. Jika orang tukang minum begitu mabuk berhenti.  Bila penjudi, walau harta habis juga tidak perduli”.
Saking kesalnya saya naik ke lantai atas minta kepada isteri saya uang logam. Kebetulan isteri ada uang logam limapuluhan. “Untak apa” tanya isteri saya. “Sudahlah sini saja untuk bapak itu”, setengah kaget isteri yang baru saya nikahi tiga bulan itu memberikan uang logam 50 edisi tahun berapa waktu itu agak besar.  Harganyapun masih nendang,  sebab masih dapat naik ferry  Kamal-Tanjung  Perak bagi pejalan kaki untuk satu trip.  Saya berikan uang itu, dengan pesan bahwa kalaulah ini dianggap membantu, maka bantuan saya hanya sekali ini saja, lain kali apapun alasannya saya tidak bersedia memberikan apa-apa. Kontan tamu saya ini berdiri dan pamit serta menerima uang logam Rp 50 tersebut. Kamipun melanjutkan nonton acara TV bersama isteri setelah mengantarkan tamu keluar  dan mengunci pagar.
Keesokan harinya dalam waktu yang sama sesudah magrib, ada lagi yang mengetuk pagar rumah kami, ternyata bapak yang kemarin datang lagi, semula saya enggan membukakan pintu, tapi kasihan juga kelihatannya dia sangat butuh untuk masuk ke rumah dan memberikan penjelasan. Begitu masuk yang bersangkutan menyesali dirinya, salah menebak, nomor yang keluar untuk dua agka adalah persis “50” sedangkan tiga angka “750”. Sementara si Bapak nombok nomor-nomor lain dengan memagarinya dari terjemahan atas gambar dari buku sinji perbuntutan. Dia terjemahkan burung cendrawasih,  burung garuda, padi dan kapas yang tergambar pada koin Rp 50. Padahal lanjutnya “Bapak berikan koin itu pukul 7 malam  tinggal tambahkan angka 7 dengan 50.  “Atau setidaknya pasang nomor 50 sudah jelas kena. Ini saya betul-betul  tidak memperoleh apa-apa, karena kebodohan saya”  katanya.
Sesuai dengan janji saya kemarin bahwa saya hanya dapat mencoba membantu  sekali saja. Apapun yang diutarakan bapak itu untuk kesempatan kedua tidak saya penuhi, selain saya tidak mengetahui apa-apa  juga jadinya akan merepoti, kalau kebetulan apa yang diberikan itu mengena, kalau tidak malah bermasalah. Sebab jujur saya benar-benar tidak mengetahui ramalan itu, tidak seperti yang mereka anggapkan.
Selanjutnya di kantor ada juga seorang penggemar menurut penilaianku alasannya dibuat-buat. Saya bertahan tidak memberikan angka permintaannya, tetapi karena yang satu ini mendesak sekali saya ajukan syarat, kalau mau akan saya usahakan. Syarat tersebut yang bersangkutan ternyata tidak bersedia menurutinya terlalu berat.  Adapun syaratnya ialah begitu tebakan mengena, anda tidak dapat kencing selama seminggu. Teman yang satu ini tidak mengulangi lagi permintaannya. Rupanya kenormalan buang air kecil jauh lebih berharga dari sejumlah uang, walau didapatnya dengan mudah sekalipun, atau rezeki nomplok.
Teringat  aku dengan peristiwa Sultan Harun Al-Rasyid kubaca pada Tafsir Al Azhar Prof DR. Hamka, bahwa harta si sultan  hanya bernilai segelas air. Ketika sedang dalam majelis ceramah sultan meminta segelas air. Penceramah bertanya kepada Sultan, bilamana air yang tuanku hajatkan tidak didapat apa tindakan tuan. Sang Sultan menjawab, akan kukerahkan seluruh hadamku seluruh pembantuku, seluruh prajuritku untuk mencarinya walau untuk itu aku harus mengeluarkan biaya separo dari kekayaanku.  Penceramah lanjut bertanya, andaikan air segelas yang tuanku minum tidak dapat dikeluarkan  menjadi kencing, apa pula yang akan anda lakukan. Sultan menjawab akan kucari tabib kemanapun dan berapapun upahnya untuk mengobatiku agar dapat dan lancar kencing. Ustadz menyimpulkan, “kalau begitu harta sultan hanya benilai segelas air”.
Setelah aku pindah ke Pontianak tahun 1985  masih banyak pos kilat khusus untuk minta “nomor jitu” dengan berbagai alasan antara lain; karena bangkrut peternakan ayamnya terserang penyakit. Untuk memulihkannya ia minta jalan pintas dengan minta nomor jitu. Tentu tidak saya layani sebab memang benar-benar tidak megetahui. 
Bagi rekan-rekan sekantorku utamanya yang semasa mudanya penggemar “buntut”, jika terbaca artikelku ini mungkin masih ingat dan tau siapa-siapa diantara  orangnya yang dimaksud tulisanku di atas. Ku yakin semuanya sudah jadi pensiunan dan kuyakin pula sudah tobat semua dan sudah menjadi ahli sholat.  Bagi rekan-rekan yang sudah “berangkat lebih duluan”, semoga Allah mengampuni dosa kita dan menerima amal ibadah kita. Amien.

No comments:

Post a Comment