Saturday 1 September 2012

KEHILANGAN UANG ATAU BARANG KETIKA UMRAH/HAJI

Adalah ustadz Taufik Nuch di dalam suatu khutbah Jumat di masjid Arrahmah Jl. Percetakan Negara Jakarta Pusat, meng-counter cerita-cerita orang tentang haji dan juga umrah. Konon orang pergi haji atau umrah itu, kalau di tanah air pernah memukul orang di tanah suci akan ada saja orang yang mukul. Pokoknya bila di tanah air pernah menyakiti seseorang, maka diterima pembalasannya di tanah suci. Begitu juga kalau barang yang dibawa dari hasil usaha yang tidak halal akan hilang, termasuk uang. Menurut  si Ustadz ini tidak benar, hanya cerita yang dibuat-buat untuk menakut-nakuti  saja. Tidak ada dasar dalilnya. Si Ustadz rupanya sudah banyak kali berangkat haji memimpin rombongan.
Ketika saya berangkat haji tahun 1991, ada suami isteri di dalam rombongan kami, sesampainya di Madinah, uang living cost sebsar SR 1.700 untuk masing-masing orang dan bekal suami USD 3.000 dan Isteri USD 3.000,- raib di dalam kamar  pemondokan, diketahui setelah pulang shalat Isya dari masjid hari pertama di Madinah yang dijadwalkan 8 hari itu. Serta merta orang cukup berpangkat dan jabatan tinggi itu jadi tidak berduit. Sedangkan jamaah haji tahun itu ketika menetap di Madinah mulai hari kedua begitu juga di Makkah hari kedua, makanan dan minuman harus diusahakan sendiri dengan living cost dibagikan ketika di Pondok Gede Jakarta sebesar SR 1.700. Selama di Arafah dan Mina makan minum disediakan Pemerintah. Dengan standar minum dan makan yang sederhana uang living cost itu saja, untuk makan-minum dan biaya lainnya selama berada di tanah suci ketika itu lebih dari 40 hari, apalagi pake sangu masing-masing USD 3.000. jauh lebih dari cukup.
Komunikasi kala itu belum selancar sekarang, langsung teman sekloter saya itu menghubungi tanah air untuk minta dikirimi uang. Beberapa hari kemudian mendapat kabar bahwa uang telah dikirim dari Indonesia melalui bank sebesar USD 3.000. Anehnya setiap beliau menanyakan ke bank mendapat jawaban kiriman belum datang. Kemudian sehari sebelum pulang ke tanah air, iseng-iseng yang bersangkutan bersama saya datang ke bank AL-RAJHI, ternyata uangnya sudah ada dan dapat diterima. Sayangnya diterima uang sudah tinggal menunggu pulang, kurang dari 24 jam, praktis uang tersebut tidak dapat dipergunakan untuk biaya hidup selama di Madinah dan Makkah. Solider para jamaahlah yang membantu kehidupan suami isteri ini selama menjalankan ibadah haji, saya tidak mendapat berita bahwa beliau ada meminjam dari jemaah lain. Kasihan sekali keadaan Bapak dan Ibu ini, selama dalam menjalankan ibadah, padahal di tanah air ia termasuk orang terpandang dan berpunya. Di dalam tata pergaulan di tanah air mereka suami isteri tidak pula ada cacat dan cela. Sementara ada komentar-komentar miring dari sesama jamaah tentang kedaan tersebut, dikaitkan bahwa uang tidak halal dan lain sebagainya. Komentar yang agak ringan adalah “Allah memberi pelajaran kepada yang bersangkutan bagaimana rasanya hidup tidak punya”. Sengsara memang, bagaikan pepatah “sudah jatuh ketimpa tangga digigit anjing pula”. Untuk minum segelas kopi saja yang bersangkutan disedekahi oleh jamaah lain. Dikaitkan dengan penjelasan Ustadz Taufik Nuh di atas, kehilangan uang tersebut banyak faktor penyebabnya, mungkin nyimpannya yang kurang taktis, misalnya disatu wadah. Sedangkan kiriman tak kunjung datang itu mungkin karena komunikasi ketika itu masih belum secanggih sekarang. Ketika itu belum dikenal ATM, kalau sekarang sudah gampang, tinggal mampir di ATM banyak tersebar di daerah perhotelan dan pertokoan.
Analog dengan keadaan sepasang suami isteri yang saya ceritakan di atas, mirip dengan itu terjadi pada diri kami suami isteri, berangkat umrah 22 Juli 2012 menumpang pesawat “SQ” (Singapore Air Lines). Dari Jakarta mampir sejenak di Singapura untuk salin pesawat. Sekira Pukul 18an waktu Jeddah kami tiba di tengah lapangan terbang, kemudian diangkut mobil jauh sekali menuju ke terminal, mungkin lebih dari setengah jam. Setelah selesai urusan keimigrasian, kami menuju ke tumpukan barang. Betapa terkejutnya, sampai habis semua barang penumpang, kopor saya dan kopor isteri tidak ada. Sedangkan kopor dari 3 orang rombongan kami lainnya ada. Langsung hal itu dilaporkan ke pengaduan bagasi hilang dan mendapat tanda terima. Untungnya di tas punggung saya masih tersedia pakaian dalam dua helai, celana panjang satu helai, demikian juga isteri saya. Sedang kopor yang berisi masing-masing 4 stel separangkat pakaian, sandal 3 pasang, alat kesehatan berupa tes gula darah, obat-obatan diabet dan vitamin, serta dua kotak susu Deabetasol, semuanya sampai berita ini saya turunkan belum diperoleh kabarnya.
Kondisi itu saya nikmati, ternyata pakaian sedikit itu menenteramkan dan praktis,  tidak susah memilih pakaian, karena hanya tinggal 2 pakaian luar dan tiga pakaian dalam.  Satu dipakai satu dicuci begitulah seterusnya sampai akhirnya pulang ke tanah air. Tidak seperti jika di rumah, kadang harus memilih pakaian yang mana yang akan dikenakan lantaran ada beberapa pilihan. Anggota rombongan juga bukannya tidak berempati, diantaranya ada yang memberi kain pelekat, setelan pakaian shalat. Maklumlah pakaian orang lain tentu tidak selamanya pas dibadan awak dan tentu tetap tidak nyaman. Ada juga ikhtiar membeli pakaian Arab dan pakaian ala Timur Tengah lainnya, tapi juga masih terasa ribet. Akhirnya kembali ke pakaian dua helai baju dan dua helai celana dipakai bergantian, sedangkan pakaian dalam ada 3 helai, lumayan sering ganti pakaian dalam supaya terhindar keringat buntet. Seperti biasa ada saja yang mengomentari seperti komentar saya sebutkan buat sepasang suami isteri yang kehilangan uang itu. Kasarnya kopor dan barang didalamnya tidak halal, makanya hilang. Saya ingat lagi isi khutbah ustadz Taufik Nuh, untuk menenangkan diri supaya tidak panas kuping kalau ada yang ngasih  komentar miring.
Ceritanya itu koper ketika chek in bukan kami sendiri yang langsung ke counter, rupanya lima potong barang dari kami berlima dijadikan satu nama di satu tiket, setidaknya untuk koper saya dan koper isteri atas nama pimpinan rombongan. Ketika sampai di Jakarta sudah susah untuk mengklaimnya, kebetulan yang menjadi pimpinan rombongan itu, entah kenapa ketika sampai di Jeddah, bukannya nunggu anggota rombongan keluar dulu, sebagaimana lazimnya pimpinan rombongan umrah/haji yang pernah saya ikuti, dianya langsung keluar dan kami mengurus diri sendiri. Setelah diketahui koper tidak ditemukan baru ia kembali lagi masuk. Setelah sampai di Indonesia kami sudah susah mengurusnya, karena yang kehilangan saya dan isteri, resi bagasi nama orang lain. Entahlah;  “tau ah  gelap”, istilah anak sekarang. Sejak di negeri orang, saya ingat sebuah syair yang dilantunkan tetua kami orang Kalimantan Barat bagian selatan, menasihati bila anak cucunya kehilangan barang, juga untuk putus pertunangan,  lirik syairnya begini:
Burung Elang terbang berempat
Tertembak satu patah sayapnya
Barang yang hilang tak akan dapat
Carilah  lain akan penggantinya

Bagaimanapun bila pembaca menemukan kopor itu dan kebetulan membaca artikel ini. tolong beritahukan atau bila mungkin kirimkan ke alamat, siapa ngerti itu kopor jatuh dihutan atau di rimba atau dimana saja. Buka saja itu koper ada fotocopy pasport dari pemiliknya lengkap dengan alamat. Isinya si tidaklah materiil, hanya pakaian diantaranya udah lama dipakai dan peralatan kesehatan dan obat-obatan, tapi kalau ketemu nilai nostalgianya lumayan.

Tapi benarkah bahwa bila barang tidak halal, dalam perjalanan ibadah haji/umrah akan hilang??
Di Masjidil haram suatu hari setelah shalat Ashar, saya dan isteri sejak dari pemondokan ketika berangkat shalat dzuhur memasang niat akan tawaf sunat. Sesuai niat, sajadah buatan Madinah yang kami beli untuk shalat  masing-masing selembar serta sandal kami bungkus dalam kantong plastik kresek dan diletakkan disuatu tempat yang sudah diingat betul-betul tempat tersebut. Karena tawaf sangat tidak praktis jika sambil membawa barang. Betapa terkejutnya kami ketika selesai tawaf dicari barang tersebut sudah tidak  ditemukan lagi. Untung selesai tawaf menjelang berbuka puasa, sekalian kami berbuka puasa di masjid sambil nunggu matahari sudah terbenam supaya pulang nyeker tidak terlalu panas dan mampir di penjual sandal yang jauhnya dari masjid kurang lebih 650 langkah. Kami beli lagi masing-masing sepasang sandal. Pulang ke pemondokan untuk makan malam sebelum berangkat shalat Isya dilanjutkan shalat tarawih. Peristiwa tersebut sama sekali tidak bocor ke jamaah lain. Kalau sampai ada yang dengar, dikomentari lagi, karena dibeli dengan uang haram. Maklum diri ini mantan pegawai, pegawai selalu di idenktikkan dengan korupsi. Padahal tidaklah semua pegawai itu korupsi, masih banyak dan mungkin lebih banyak yang bersih ketimbang yang kotor. Cuma lantaran nila beberapa titik rusaklah santan sebelanga. Ingat aku ayahku dulu, waktu itu aku masih kecil, tapi sudah cukup sanggup untuk mengingat. Uang disaku bajunya  ada Rp 200 (dua ratus rupiah), pulang turnei (turba istilah sekarang), tugas mengunjungi desa-desa, itulah antara lain tugas ortuku sebagai pegawai pemerintah di bawah lambang  “Api Nan tak kunjung Padam”, yang kemudian apinya padam juga, nampaknya padam ditiup “Gus Dur”, ketika beliau  jadi  Presiden. Ayahku pulang turnei ketika itu menyangkutkan bajunya berisi uang itu di kapstok. Ketika ibuku akan mencuci baju, ayah berpesan tolong keluarkan uang duaratus jangan sampai tercuci, nanti siang kumasuk kantor akan dikembalikan, sisa uang jalan. Uang duaratus rupiah waktu itu, masih kuat daya belinya, dapat dua buah mesin jahit merk Butterfly yang harganya hanya Rp 80,- (delapan puluh rupiah). Kutahu harga mesin jahit lantaran itu orang tuaku, kalau lagi tidak dinas memberikan penerangan ke desa-desa sepulang kantor nyambil menerima jahitan, beliau sempat bekerja sama dengan seorang tentara berpangkat pembantu letnan sama-sama jadi penjahit. Begitulah potret pegawai negeri dan tentara jaman dulu cari uang halal, biar banting tulang nyambil kerja sampingan,  kadang kusaksikan mereka lembur sampai lewat tengah malam. Kini potret itu tentu masih ada tidak monopoli orang jaman doeloe. Mungkin masih banyak orang yang mengembalikan sisa uang jalan. Masih banyak orang yang mengembalikan sisa anggaran. Sedikit banyak nasihat berupa tabiat yang diteladankan ayahku itu mungkin ada juga sedikit melekat dihatiku dan kucoba untuk mempraktekkannya. Insya Allah koporku, sandalku dan modalku berangkat umrah bersumber dari yang halal.
Shalat Magrib dengan isya di Makah dan Madinah berjeda kurang lebih 2 jam, tidak seperti di tanah air hanya sejam. Jadi cukup waktu untuk makan dan beristirahat sejenak. Kami berangkat lebih awal dari biasanya, untuk mencoba merunut dari awal tempat masuk ke mesjid dan meletakkan dua helai sajadah dan dua pasang sandal itu. Manusia begitu kental, sehingga untuk sementara niat mengetes “halal-haramnya” sajdah dan sandal kami itu diurungkan sampai selesai shalat Isya dan Tarawih. Setelah Isya dan Tarawih penelusuran kami teruskan dan Alhamdulillah barang tersebut masih terletak ditempatnya tidak bergeser sedikitpun. Oh  Alhamdulillah, kalau begitu ini bukan dibeli dengan uang haram, kataku sambil melirik isteriku.
Kejadian serupa terjadi lagi tentang sandal, saya simpan dikotak penitipan sandal di lantai bawah  kotak nomor 76. Kami bertahan dari Dzuhur sampai sesudah Ashar, ketika saya akan pulang sandal tersebut sudah tidak ada lagi di tempatnya. Kembali lagi saya bercanda,  haram lagi rupanya itu sandal, tadinyakan sudah halal.. Isteri saya ikut melihat disekitar kotak tersebut, rupanya ada seseorang yang sengaja meminjamnya untuk menuju tempat wudhu dan tidak mengembalikan ketempat asal dan meletaknya tidak jauh dari kran zam-zam yang biasanya untuk minum.  Jadi tidak jadi lagi sandal ini haram.  Sandal yang saya beli SR 10 di Madinah itu terbawa sampai kerumah sekarang. Sengaja saya pilih agak lain modelnya supaya tidak banyak yang menyamainya, kebetulan ketika di masjidil harampun belum pernah ketemu yang sama modelnya. Maklum sedikit agak trauma membawa sandal di kopor 3 pasang, padahal dengan niat untuk disedekahkan kelebihan sandal itu, telah hilang bersama kopornya.
Keberangkatan kami semula direncanakan 17 Juli 2012 beberapa hari sebelum megang puasa, tetapi diundur beberapa kali akhirnya jadi pada tanggal 22 Juli 2012. Adikku dari Kalbar mendengar pengunduran itu  ada SMS setelah melihat running text  pada layar TV bahwa pemerintah melarang Haji perseorangan. Tentu segera kujawab bahwa itukan haji, sedangkan kami umrah, bukan haji insya Allah belum dilarang. Akan tetapi memang sulit untuk mendapatkan visa, itulah sebabnya berangkatnya jadi beberapa kali mundur.
Nampaknya pengalaman saya ini tidak elok bila dialami lagi oleh handai tolan, untuk berumrah dengan tidak menggunakan travel resmi, sebab banyak sekali kejadian yang kurang enak, walau harus diakui ada juga yang istimewa mungkin tidak didapat bila dengan menggunakan travel resmi. Tapi bila dimatrix jauh lebih aman dan nyaman dengan menggunakan travel resmi. Dikatakan murah juga tidak, di dalam cabin pesawat saja kita telah banyak ketemu rombongan travel resmi yang berpakaian seragam, tukar menukar informasi ternyata tarifnya unda undi. Ketika di tanah suci ketemu lagi dengan jamaah travel resmi dari seluruh penjuru tanah air, mereka sambil menunggu shalat dapat tukar informasi. Misalnya dalam masa sebulan seperti kami ada yang justru tarifnya lebih rendah dari kami, walau juga ada yang lebih tinggi, dengan fasilitas yang hampir bersamaan.
Antrian haji belakangan ini mulai dari tiga sampai lima tahun sejak mendaftar, banyak membuat orang yang ingin berangkat segera  mencari jalan pintas. Bukannya tidak ada yang berhasil, tapi sebaiknya dipikir  berulang-ulang, terutama bagi yang ada sekikit ngidap gejala penyakit jantung. Anjuran saya sebelum menentukan pilihan berangkat umrah, apalagi haji,  cari informasi sebanyak-banyaknya, tetapi bagaimanapun jangan menggunakan travel yang tidak resmi.  Soal haji,  di masjidil haram saya bertemu dengan orang sesama umrah ramadhan yang batal berangkat haji dimusim haji yang lalu, sedangkan uang sudah disetorkan ke pihak yang konon sanggup memberangkatkan haji.  Ibadah haji batal tapi uang sampai ia bercerita tersebut belum diterimanya kembali, masih banyak persoalan. Dengan geram ia katakan bahwa ia tidak akan ikhlas dunia akhirat. 
Tapi ada juga yang ikhlas, dia katakan kepada penyelenggara haji yang batal dan belum mengembalikan uangnya itu “sudahlah uang saya tidak usah dikembalikan ke saya, nanti berikan saja ke anak yatim”.  Rupanya alasannya dengan sudah diniatkan untuk anak yatim, bila si penyelenggara itu tidak menyampaikannya maka ia sama dengan memakan harta anak yatim. Orang yang memakan harta anak yatim, si bapak tadi yakin betul dengan apa yang diimaninya dari agamanya bahwa si pemakan harta anak yatim akan  terisi perutnya dengan bara api neraka.  Percumakan ibadah sampai memumutkan/memudarkan warna lusinan sajadah lantaran sujudnya. Percumalah tiap tahun berhaji, percumalah berumrah berulang mandi, bila nanti perut dengan bara neraka penuh terisi.
Agaknya yang bernama Syaitan, bukan hanya bergayut di pejabat punya dasi.
Bukan hanya berada di telunjuk para petinggi,
Bukan hanya berada diujung pulpen penanda tangan keputusan dan disposisi.
Syaitan tidak hanya mukim di palu hakim atas perkara yang sedang diadili
Syaitan tidak hanya berada di sela-sela pasal-pasal kitab hukum suatu negeri. 
Tapi Syaitanpun berada juga di sela-sela lebatnya jenggot syang Kiayi,
Syaitanpun juga berada diantara butir tasbih ahlul  zikri.
Syaitanpun siap bersemayam di peci putih seorang haji.
Rupanya manipulasi bukan hanya para pejabat, punya hak monopoli.

Manusia lupa bahwa:
 
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.
(Alqur’an  Ali Imran 185)

No comments:

Post a Comment