Thursday 13 September 2012

Seri Umrah: KAMERA TIDAK LAGI DIAWASI KETAT


Kurang dua minggu jadwal berangkat umrah Ramadhan 1433 H, kami mempersiapkan untuk mencari HP yang sederhana, tanpa kamera. Sebab atas dasar pengalaman beberapa waktu lalu, soal kamera jadi sangat dilarang untuk masuk Masjid Nabawi dan Masjidil Haram. Jatuh pilihan pada “Samsung” type lama yang tidak ada kamera tidak ada radio,  hanya dapat  SMS an dan teleponan.
Bicara di telepon pakai nomor Indonesia, sesama jamaah umrah di tanah suci mahal, apalagi ke Indonesia. Sms an saja Rp 7.000.- udah itu sering pula masuk sms dari operator setempat, setiap dia masuk sepertinya mengambil pulsa kita. Itu HP Indonesia saya ndak diapa-apakan,  tidak  dipakai bicara atau sms pulsanya habis sendiri.
Oleh karena itu untuk berkomunikasi sesama jamaah umrah, sebaiknya begitu sampai di Saudi  segera beli nomor Arab, masukkan ke HP anda. Dengan operator di Saudi satu kali SMS ke tanah air hanya dikenakan SR 0,25 sekitar Rp 700,-. Bicara langsung juga tarifnya jadi murah ketimbang bila masih memakai nomor operator  Indonesia.
Sepertinya Ramadhan 1433H kemarin itu, masuk Masjid Nabawi bawa hp berkamera dan bahkan bawa kamera saja tidak diperiksa dengan ketat. Walau terdengar dipihak jamaah perempuan di Masjid Nabawi ada seorang ibu Indonesia yang membawa HP berkamera tidak diperkenankan masuk bersama Hpnya, sehingga HP harus ditinggal di pintu masuk disimpan di penitipan, sementara isi kamera yang sudah ada oleh keamanan wanita masjid  yang selalu pakaian hitam muka bercadar itu di delete.
Saya sendiri ketika di Masjid Nabawi, sama sekali tidak berani memotret walau setelah hari kedua saya lihat banyak jamaah dari negeri lain memotret di dalam masjid. Kamera yang ada bersama HP berkamera disimpan di hotel.
Mengamati tidak ketat lagi larangan membawa kamera, bahkan ketika di Masjidil Haram, banyak saya lihat di depan petugas keamanan sekalipun jamaah dari berbagai bangsa mengabadikan jamaah mereka di depan Ka’bah, di jalur sa’i, tidak saja dengan kamera bahkan dengan video. Maka kami juga ikutan diantaranya di depan Ka’bah, hasil jepretan tetap dalam keadaan takut-takut seperti ini:
 


Foto diambil seusai shalat subuh dua hari sesudah lebaran, di pelataran Ka’bah.
Semoga informasi ini ada gunanya buat yang akan berangkat haji tahun ini. Tapi bagaimanapun keadaan disana tetap saja kita harus hati-hati,  sepertinya petugas keamanan mereka tidak sama menerapkan “Protap” atau “Juklak”.  Sebagai contoh dalam group kami berlima. Soalnya  ketika berangkat kami menggunakan fasilitas  “Visa Mujamalah”, menurut apa yang dikemukakan oleh  orang yang mengurus kami berangkat dan ikut bersama kami itu, bahwa proses perolehan visa kami berlima dengan mendapatkan rekomendasi dari pejabat tinggi Arab Saudi (surat rekomendasi dalam bahasa dan aksara Arab diperlihatkan ke saya).  Visa tersebut hanya selama 15 hari, sedangkan kami tinggal di Saudi 34 hari.  Jelas tertulis di dalam paspor visa selama 15 hari itu. Persoalannya muncul pada waktu melewati petugas imigrasi masuk ruang tunggu bandara Jeddah, ketika akan pulang ke Jakarta. Saya dan isteri saya serta seorang Ibu melalui gerbang sebelah kanan. Sementara orang yang ngurus kami berangkat dan seorang Bapak segroup kami orang berlima itu, masuk di jalur sebelah kiri kami. Ternyata saya melihat sendiri formulir pass masuk mereka disobek-sobek oleh petugas imigrasi menjadi racikan-racikan kertas sambil kelihatannya petugas itu berang. Kami segera berlalu, saya dan isteri pass masuk itu diambil oleh petugas dikembalikan hanya paspor, sedang ibu yang satu lagi pass masuknya dikembalikan kepada yang bersangkutan.  Setelah hampir setengah jam barulah kedua orang bapak dari group kami berlima itu muncul di ruang tunggu, rupanya kedua bapak ini dibawa ke kantor imigrasi, dipersoalkan over stay selama lebih dari 15 hari. Beruntungnya kedua bapak ini mahir berbahasa Arab. Alangkah istimewanya dan tidak tau apa yang terjadi kalau yang dibawa ke kantor imigasi di ruangan lain itu adalah saya dengan isteri yang tak paham bahasa Arab, sementara rombongan lain sudah lolos, dan susah mencari tau kemana kami berada. Tidak dapat membayangkan. Ini membuktikan mereka tidak memberlakukan hal yang sama untuk setiap orang, mereka tidak sama menerapkan “Protap” atau  “Juklak” atau  “Buku pedoman kerja”.  Kadang ada orang yang mengkaitkan bahwa kalau seseorang yang ditanah air sering mempersulit orang  maka disanapun akan menemukan kesulitan, wallahu alam bisshawab.
Begitulah antara lain berangkat ke negeri yang bagaimanapun perlakuan para petugas imigrasinya, bagaimanapun pendatang dicuekin, tetap saja jamaah yang sudah datang akan mengulang, jamaah yang belum pernah datang selalu berusaha untuk ke sana. Dalam pada itu  saya tetap menghimbau gunakanlah jalur resmi yaitu travel untuk umrah dan kalau untuk haji melalui pelaksana yang sudah mendapat ijin pemerintah atau yang paling aman melalui pemerintah walau harus menunggu, apa boleh buat.

No comments:

Post a Comment