Friday 14 September 2012

MENGHARAPKAN PEMBALASAN MANUSIA, AKAN KECEWA

Ghibah adalah terminologi agama Islam yang maknanya kurang lebih: “memperbincangkan aib/kekurangan seseorang dibelakang  orang yang diperbincangkan”. Peng ghibah diancam oleh Allah antara lain dengan bagaikan memakan bangkai saudara sendiri, seperti tersurat di dalam Al-Qur’an surat Al Hujurat ayat 12
Bagaimanapun kerasnya larangan ghibah, tetapi ada lima  ghibah yang dibolehkan, yaitu: bila dalam keadaan:
1.    Terzalimi, yaitu menceritakan bagaimana modus operandi orang yang menzalimi tersebut, agar orang lain berhati-hati bila berinteraksi dengan orang itu agar tidak akan terzalimi seperti yang ia alami.
2.    Meminta konfirmasi,  agar mendapatkan data benar akan suatu kejadian dan keadaan yang dilakukan atau dialami seseorang, dimana konfirmasi itu diminta dari pihak ketiga supaya informasi diterima lebih akurat.
3.    Kesaksian, seseorang dalam memberikan kesaksian, boleh menceritakan apa yang dilihatnya, apa yang didengarnya apa yang dirasakannya atau apa yang diketahuinya tentang seseorang yang dirinya diminta untuk memberikan kesaksian atas seseorang yang bersangkutan, walau harus membuka aibnya dibelakang si tersaksi atau di depan si tersaksi.
4.    Contoh dalam memberikan da’wah, dengan maksud agar jangan melakukan sesuatu keburukan yang pernah dilakukan seseorang, dengan demikian dapat menyelamatkan ummat lebih besar.
5.    Menyebutkan ciri seseorang dimana bila tidak dengan menyebutkan ciri itu tidak jelas siapa yang dimaksud. Misalnya seseorang bertanya si Anu yang mana, dijawab dengan memberikan cirinya, misalnya “hitam manis”, “tangannya agak belang”, “yang jarinya ada enam” dan lain-lain.
Entah terkelompok yang mana ghibah halal yang kutulis berikut ini. Bahwa ketika kami berada di tanah suci pada suatu bulan Ramadhan, ada saja perbincangan sesama teman sekelompok disela-sela ibadah yang demikian padat. Salah seorang diantara kami serombongan, hampir setiap pembicaraannya bahwa dirinya mempunyai power hebat, lantaran banyak kenalan pejabat. Sementara yang bersangkutan setiap kesempatan selalu bicara bahwa seluruh kegiatannya termasuk membantu orang lain “Lillahi Ta’ala” (semata-mata mengharap redha Allah). Karena powernya itu banyak sudah orang yang sukses berhasil menyandang jabatan, banyak orang yang sukses dalam usaha satu dan lain karena lantaran dianya menghubungkan/memberi jalan kepada si sukses. Suatu ketika ia menceritakan bahwa orang yang pernah ditolongnya itu, ketika berhasil memegang jabatan penting, sama sekali tidak ingat lagi dengan dirinya. Sebelum mendapat apa yang dia maui, sangat intens berhubungan dengannya, sampai-sampai mobil dikirim dengan sopirnya beberapa bulan untuk dipersilahkan dipakai kemana saja. Setelah jatuh dari jabatan orang tersebut kembali menghubungi dirinya, selanjutnya tidak direken olehnya. Semua cerita ini, saya berusaha menjadi pendengar yang baik, saya tetap menahan diri walau sesekali bapak yang satu ini sering menyindir saya, memberikan pernyataan atau pertanyaan misalnya apakah saya sudah melaksanakan shalat dengan baik, apakah saya sudah dapat menikmati shalat, apa saja kegiatan saya yang baik untuk ummat. Terus terang saya jawab bahwa,  mungkin saya belum dapat menikmati shalat, mungkin shalat saya belum khusu’. Rasanya belum banyak yang kubuat untuk kemaslahatan ummat.
Rupanya ia mendengar kabar pula bahwa awak ini bukan lulusan sekolah agama, disiplin ilmu awak ini bukan ilmu agama. Ia juga rupanya mendengar kabar pula bahwa diri ini sesekali menjadi khatib di masjid, bahwa diri ini menjadi wakil ketua sebuah masjid di Jakarta Pusat bahwa diri ini pernah menjadi ketua pembangunan masjid dan kini megah terbangun. Agaknya kegusaran beliau tentang saya adalah mengapa orang bukan berlatar belakang pendidikan agama, ikutan menjadi khatib, ikutan kadang diberi kesempatan caramah. Diapun termasuk kesal dengan beberapa tokoh kondang penceramah agama dan banyak jamaahnya yang menurutnya bukanlah berlatar belakang pendidikan agama.
Kumenahan diri karena mempertahankan ibadah puasa, dan menjaga jangan sampai timbul berseberangan omongan yang runcing di tanah suci. Aku selalu mengingat pesanku sendiri kepada anakku di meja makan di rumah kami. Kepada anakku; kupetikkan cerita di negeri China seorang asisten hakim berperkara dengan sorang pembeli kain, ditoko kain. Persoalannya sepele hanya soal perkalian harga kain delapan meter dikalikan empat. Menurut pembeli harga kain adalah 30, penjualan menghitung 32, terjadi perdebatan sengit didengar oleh asisten hakim yang kebetulan lewat, selanjutnya menengahi sesuai ilmu matematik si asisten hakim 8 x 4 adalah 32. Begitu meruncingnya suasana perdebatan akhirnya diusulkan dibawa kepengadilan. Di pengadilan nanti, akan ketemu dengan hakim yang mengadili tidak lain atasan asisten hakim dan sekaligus gurunya. Sebelum dibawa kepengadilan pembeli kain dan si asisten hakim bertaruh dan menetapkan saksi sebagai berikut:
Bila ternyata keputusan pengadilan menetapkan 8 x 4 adalah 30, maka asisten hakim harus bersedia menanggalkan jabatannya sebagai asiten hakim. Jika ternyata keputusan hakim bahwa 8 x 4  hasilnya 32, si pembeli kain bersedia kepalanya dipenggal. Singkat kisah, setelah di pengadilan ternyata keputusan hakim memenangkan pembeli kain yaitu 4 x 8 = 30. Konsekwensinya jabatan harus ditanggalkan, si asisten hakim turun pangkat jadi murid biasa lagi.
Untuk menghibur diri, si asisten mengajukan cuti mudik selama sebulan. Seijin gurunya yang juga hakim itu, iapun mudik dititipi dua pesan oleh guru yaitu: pertama, apapun yang terjadi dalam perjalanan jangan sampai berteduh di bawah pohon. Kedua bagaimanapun kondisi yang akan dihadapi nanti dalam perjalanan ataupun sampai tiba di kampung jangan sampai membunuh orang. Terjadi juga dipanas yang terik dalam perjalanan, ada keinginan untuk berteduh sejenak di bawah pohon, tetapi ingat pesan guru, iapun berlalu dari sebatang pohon yang rindang, belum lama pohon itu ditinggalkan tiba-tiba datang awan gelap membawa hujan dan yang terjadi pohon tersebut dalam sekejap hangus disambar petir.
Tengah malam ia sampai di rumah, sudah di gedor pintu dan dengan segala upaya, ternyata dari dalam rumah tidak ada tanda-tanda kehidupan. Satu satunya jalan masuk dengan mencongkel jendela dan berhasil masuk. Ketika menuju kamar yang hanya ditutup oleh kain gorden itu, betapa gemuruhnya darah mantan asisten hakim ini, betapa tidak dilihatnya di tempat peraduannya ada dua orang yang sedang berselimut. Reflek dihunusnya pedangnya dan segera akan dihunjamkannya ke salah satu sosok tubuh yang ia kenal bukan isterinya. Secepat itu pula ia ingat pesan guru bahwa jangan sampai membunuh orang, pedang yang siap ditancapkan itu berhenti kurang beberapa inci saja dari tubuh calon korban. Rupanya pemilik tubuh, secara insting karena dirinya terancam, sontak tersentak bangun dan membuka selimutnya. Ternyata tubuh yang ada di dalam selimut itu adalah saudara perempuan isteri si mantan asisten hakim, menemani saudaranya tidur, selama ditinggal suaminya.
Kejadian ini membuat si murid sadar betul,  betapa arifnya sang guru dan demikian tinggi ilmu si guru sehingga dapat menyelamatkan murid dari sekurangnya dua malapetaka yang jelas akan timbul kalaulah pesan guru tidak ditaati. Sesampainya di padepokan setelah habis cuti hal itu diceritakan kepada guru. Sekaligus ia menanyakan tentang putusan yang menyebabkan ia dikalahkan dengan pembeli kain. Guru akhirnya membuka tabir keputusan 4 x 8 kenapa harus 30, bukan 32 sesuai kaidah matematik. Kata si guru, jika benar-benar ditegakkan kebenaran yang memang benar 32 maka jauh lebih banyak risikonya, kepala seseorang akan terpenggal. Sedangkan jika putusan jatuh ke “30” risikonya hanya turun jabatan, yang kelak dimungkinkan untuk diraih kembali.
Dalam konteks ini, kupesankan ke anakku sambil makan bersama di meja makan, bahwa nanti di masyarakat, atau di kantor kau akan temukan bahwa atasan punya keputusan yang secara nalar, teori dan ilmu yang kau miliki tidak benar. Sebaiknya jangan disanggah dihadapan pagawai-pagawai lain, dalam rapat misalnya, hendaknya secara diplomasi dan kalau perlu biarkanlah lebih dahulu. Sebab risikonya jauh lebih besar, seorang atasan biasanya tetap mempertahankan dirinya dalam kondisi-kondisi tertentu. Begitu juga dalam pergaulan masyarakat, kadang kita melihat seharusnya 32 tetapi kenyataannya 30, timbanglah risikonya untuk menegakkan bahwa benar 32.
Kembali keteman seperjalanan tadi yang sering memancing bersimpangan pembicaraan dan senantiasa menyebut-nyebut kebaikannya pada orang. Alhamdulillah selama Ramadhan dapat ku pertahankan nasehatku kepada anakku, apapun yang diajaknya untuk bersilang pendapat aku memilih mengiyakan atau setidaknya diam.  Suatu sore setelah Ramadhan selesai, ybs ngurang nguring bahwa seorang yang pernah dibantunya, tidak dapat membantunya dengan berbagai alasan. Konon katanya ia telah memberikan bantuan untuk menghubungkan yang bersangkutan mendapatkan job yang baik di perusahaan multinasional yang berada di Saudi. Tetapi giliran dirinya minta bantuan ketika dirinya berada di Saudi, berbagai alasan orang tadi tidak dapat membantu. Akhirnya saya mengeluarkan statement yang rupanya tidak dapat disanggah yang bersangkutan demi kredibiltasnya sebagai seorang yang mengerti agama, seorang yang jebolan sekolah agama, tidak seperti saya dari sekolah umum. Saya katakan : “Itulah risikonya kalau membantu seseorang minta pembalasan dari manusia, pasti akan kecewa. Tidak akan kecewa seseorang bila membantu sesama mengharapkan pembalasan dari Allah”.
Jadi perbuatan mengharapkan balasan di dunia, lebih dominan dari pembalasan di akhirat adalah tidak hanya monopoli orang awam, tetapi juga orang yang lumayan pemahamannya mengenai agama. Pembicaraan yang mengandung dosa dan kemungkaran bukan saja dibicarakan orang ketika berada di daerah ribuan mil jauhnya dari tempat suci, tetapi malah di daerah yang disucikan di daerah yang Ka’bah dapat ditempuh dengan menghitung langkah dan diwaktu yang seyogyanya hanya pembicaraan-pembicaraan yang baik saja yang terungkap. Itulah sebabnya barangkali Allah menyindir dalam surat Al-Fathir ayat 32

32. Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.
Tiga katagori manusia memahami Al-Qur’an dalam mengamalkan Al-Qur’an dari kesimpulan ayat di atas:
Pertama: menganiaya diri mereka sendiri, yaitu manusia yang sudah memahami Al-Quran, tetapi dengan sengaja melanggar apa yang difahaminya itu. Seharusnya ia faham bahwa perbuatan baik akan batal/hilang pahalanya bila disebut-sebut. Seperti diingatkan secara tegas oleh Allah didalam surat Al Baqarah ayat 264. Amalnya katanya “lillahi ta’ala” ternyata berlatar belakang banyak untuk mencari keuntungan dunia berlipat dan bahkan ada campur unsur bohong guna meraih keuntungan itu,  dengan mengatas-namakan Allah.
Kedua: Ada manusia pertengahan, melaksanakan apa yang diajarkan Al-Quran, sementara sesekali melanggarnya. Kelompok ini imannya turun naik, tergantung situasi dan kondisi, dalam situasi tertentu dia melaksanakan apa yang dipahami dari ajaran Al-Quran, di situasi lain bukan mustahil untuk sementara dilanggarnya apa yang telah dipahaminya dari Al-Quran.
Ketiga; Manusia yang seutuhnya menjalankan isi Al-Qur’an itu, karena memang isi Al-Qur’an itu semuanya menyuruh untuk berbuat kebaikan serta mencegah dan melarang untuk berbuat kemungkaran. Manusia kelompok ini tanpa reserve melaksanakan semua ajaran Al-Quran yang dipahaminya walau untuk itu ia mendapatkan risiko, ditengah-tengah masyarakat yang belum Qur’ani ini.

No comments:

Post a Comment