Tuesday 23 April 2024

TAFSIR & KEPENTINGAN

Oleh: M. Syarif Arbi. No: 1.244.04-10.2024 Sekitar tahun 70an listrik untuk penerangan rumah, jangankan di desa, di kota besar saja di pinggiran kotanya rumah2 penduduk masih diterangi lampu templok (nempel di dinding energi minyak tanah). Sesekali diawal malam, pakai lampu Strongking atau Petromak. Bila lampunya meredup, padahal minyaknya masih cukup, tandanya tu lampu kurang angin di tengkinya. Lampu diturunkan dari gantungan untuk di pompa. Jika dipompa di gantungan, resiko bergetar khawatir kaos lampunya sobek karena terbuat dari bahan yang gampang rontok. Setelah lampu turun di lantai barulah di pompa dengan posisi menjengking. Sering ku plesetkan lampu “strom – king” karena di stroom sambil menjengking. Di Era “strom king” seorang pemuda perantau mengontrak rumah di pinggiran kota sebutlah kota besar ke 2 di Indonesia, selama 4 tahun. Ketika itu “uang masih besar”, nilai kontrak Rp 20 ribu untuk empat tahun atau Rp 5 ribu setahun. Dapat 17 bulan kontrak dijalani ada program LMD (listrik masuk desa). Si pemuda menghubungi pemilik rumah, minta izin memasukkan listrik atas biaya sendiri. Al kisah listrikpun menyala, nyetel TV tidak usah pake AKI lagi, tetanggapun senang dapat ikutan nonton TV, termasuk pemilik rumah yang sekaligus merupakan tetangga. Kurang lebih 2 bulan menikmati listrik, pemilik abis nonton TV (waktu itu TV belum siaran semalam suntuk), minta waktu untuk ngomong. Setelah berbasa basi sejenak tentang kenikmatan listrik, inti pembicaraan; pemilik rumah minta agar si pemuda membayar lagi tambahan harga kontrak yang tersisa 2 tahun. Argumentasi pemilik rumah: “Nilai harga kontrak rumah yang sudah ada listriknya, lebih tinggi dari nilai rumah yang belum ada aliran listriknya”. Pemuda pengontrak merasakan apa yang dikemukakan oleh pemilik rumah; adalah tidak adil karena: 1. Pemasangan listrik sudah atas persetujuan pemilik rumah, tanpa syarat kalau nanti rumah sudah berlistrik harga kontrak akan naik. 2. Biaya pemasangan listrik ditanggung oleh si pemuda pengontrak. Selanjutnya si pemuda pengontrak berpendapat: Pertama; “seharusnya waktu kontraklah yang diperpanjang secara proporsional dengan biaya yang dikeluarkan untuk memasukkan listrik”. Namun pihak si pemuda sengaja tidak mengajukan syarat tersebut ketika minta izin. Menganggap sudahlah…….. kan untuk kenyamanan sendiri. Tak repot lagi ngurus “lampu templok” dan “Pelita”. Tak usah disibukkan ngecas Aki untuk nonton TV. Kedua; “kalaulah ingin menaikkan tarif kontrak, hendaknya diberlakukan masa kontrak yang akan datang setelah habis masa kontrak 4 tahun,…….. bolehlah diberlakukan tarif rumah yang sudah berlistrik”. Perbedaan penafsiran ini, tak putus oleh dua pihak yang berbeda tafsir ini, maka dibawalah persoalan ke ketua RT setempat. Keputusan ketua RT, sependapat dengan pemilik rumah kontrakan, sambil mengungkapkan data beberapa rumah di wilayahnya dengan kondisi ada penerangan listrik yang setara luasnya dengan rumah yang di kontrak si pemuda; harga kontraknya lebih tinggi. Kebenaran di dunia ini sangat amat tergantung dari siapa yang menafsirkan dipengaruhi kepentingan pihak penafsir. Pengaruh keakraban si pemilik kontrakan yang belakangan diketahui masih kerabat dekat ketua RT, ikut menentukan kemana ketua RT berpihak. Sedangkan si pemuda pengontrak adalah pendatang, perantau yang se waktu2 akan pindah. Kebenaran di dunia ini nisbi, kadang dapat diputar balik “yang benar bisa saja jadi dipersalahkan, sebaliknya yang salah bisa saja dibenarkan”. Makanya Allah mengingatkan janganlah menentukan kebenaran hanya lantaran memperturutkan hawa nafsu, tidak mengikuti petunjuk Allah, berakibat akan binasalah langit dan bumi ini serta semua isinya. Surat Al-Mu'minun (23) Ayat 71: وَلَوِ ٱتَّبَعَ ٱلْحَقُّ أَهْوَآءَهُمْ لَفَسَدَتِ ٱلسَّمَـٰوَٰتُ وَٱلْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ ۚ بَلْ أَتَيْنَـٰهُم بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَن ذِكْرِهِم مُّعْرِضُونَ “Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu”. Setiap diri mau tidak mau dalam hidup ini sering dihadapkan kepada masalah, semoga ketika menafsirkan sesuatu kasus yang dihadapi, kita senantiasa dalam petunjuk Allah, tidak berkiblat kepada hawa nafsu, agar tidak terkena ancaman Allah tsb. آمِيّنْ... آمِيّنْ... يَا رَ بَّ العَـــالَمِيْ اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ بارك الله فيكم وَ الْسَّــــــــــلاَمُعَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ M. Syarif Arbi. Jakarta, 15 Syawal 1445 H. 24 April 2024.

No comments:

Post a Comment