Friday 12 November 2021

Rasa Hormat Urungkan Niat Jahat

Di kampung kelahiranku (waktu itu 70 tahunan yang lalu), anak lelaki belum di khitan jika belum khatam membaca Al-Qur’an. Hal tsb agaknya memotivasi anak seusia SR (Sekolah Rakyat = SD sekarang) untuk rajin belajar membaca Al-Qur'an. Supaya tidak malu dengan teman sebaya, diri sdh besar belum di khitan. Juga akan senang sekali diupacarakan khatam Al-Qur'an. Upacara khataman Al-Qur'an istilah setempat "Tahtim Al-Qur'an". Di upacara "Tahtim" di undang tetua2 kampung, saudara2 dan family, karib kerabat dan tetangga. Digelar selamatan, kemewahan upacara tergantung ekonomi Ortu. Anak yang "Tahtim", membaca Al-Qur'an sebagian dari Jus 30 diikuti dengan rangkaian do'a, didampingi guru ngaji, dihadapan para undangan. Belajar membaca Al-Qur’an kala itu tidak semudah sekarang, masih harus dibaca ayat demi ayat. Mula mula Jus 30, setelah lancar kadang sebagian surat sampai hafal. Kemudian baru mulai membaca Jus satu dan seterusnya, dikaji ayat demi ayat sampai lancar membacanya, dituntun guru ngaji. Pengkajian ayat demi ayat ini istilah kampungku disebut “menderas”. Di sisi anak yang menderas duduk sang guru ngaji, tersedia sebilah rotan yang dibelah empat, siap diraih sang guru untuk dipukulkan ke lantai bahkan ke tubuh muridnya bila berkali-kali “bebal” (tak dapat membaca dengan baik) pada hal sudah berulang diajarkan. Setelah selesai mengaji malam itu, anak-anak pengajian menutup kitab Al-Qur’an dan membawanya ke rak yang disediakan di rumah guru ngaji. Kitab dibawa dengan penuh hormat, sebelum diletakkan di tempatnya, Al-Qur’an lebih dahulu dijunjung di atas kepala kemudian di cium. Begitu etika penghormatan yang diajarkan sejak dini. Belajar ngaji waktu kami kecil dulu, tidak bayar, beberapa hari sekali kami dibekali Ortu sebotol minyak tanah bakal pengisi "Pelite" (bahasa setempat) lampu penerangan buat mengaji terbuat dari kaleng yang di atasnya diberi bersumbu. Masing2 murid di depan rehalnya (tempat meletakkan Al-Qur'an) di pasang satu "Pelite". Usai mengaji Pelite masing-masing dipadamkan. Sebelum pulang, murid2 mengisikan tempat2 air di rumah guru ngaji diangkut dari sumur atau dari sungai (akan hal ledeng waktu itu belum kebayang). Pulangnya menerobos kegelapan malam lazimnya kira2 sejam-an sesudah isya itu, murid2 ngaji berbekal suluh terbuat dari daun kelapa kering yg diikat. Karena pembelajaran tidak mudah, meskipun relatif murah, maka penghormatan thdp Al-Qur'an begitu tinggi. Penghormatan kepada Al-Qur’an itu telah merasuk sampai ke relung hati. Sebagaimana dimaklumi bahwa guratan tangan masing-masing anak manusia tidaklah sama. Kelak anak-anak sepengajian itu tumbuh berkembang dengan nasibnya masing-masing. Diantaranya ada yang meraih sukses menjadi orang kaya ternama, atau pejabat atau pengusaha sukses. Namun tidak pula dapat diherankan ada pula yang hidupnya susah, makan pagi mengenangkan petang, ada juga ekstrimnya terpaksa menjadi maling misalnya, untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jadi apapun kelak anak-anak itu, mereka sudah dibekali membaca Al-Qur’an, sudah diajari etika penghormatan kepada Al-Qur’an. Dua orang yang rupanya sudah lama merajut hidup menjadi maling (bahasa setempat pencuri), suatu malam menyatroni sebuah rumah di kampung jiran. Rumah di kampung kami waktu itu, boleh dikata belum ada yang terbuat dari semen (rumah batu bahasa setempat), semua rumah dari bahan kayu. Rumah orang berduit terbuat dari kayu Belian (kayu besi), beratap Sirap. Sedang rumah orang yang kurang mampu biasanya kerangkanya dari kayu Belian tapi dindingnya “Kajang” (terbuat dari daun nipah muda disusun) atapnya “daun nipah tua, disusun dg bingkai manggar kelapa” . Sasaran maling tentu rumah orang berduit, setidaknya barang yang dimaling jika dijual dapat untuk membeli beras. Sebuah rumah yang sudah disurvey di kampung jiran (bukan kampung si maling sendiri), akan disatroni malam nanti. Rumah satu dengan rumah lainnya tidak dempet seperti di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, tetapi berjauhan. Setiap kamar dan ruangan melekat jendela-jendela. Maling sudah hafal dan punya keahlian membuka kunci jendela, pakai slot atau pakai apapun, apalagi rumah yang akan disatroni sudah disurvey memakai kunci apa jendelanya. Kegelapan malampun tiba, maklum dikampungku 70 an tahun yang lalu belum masuk PLN, mengendap ngendaplah dua orang ini disamping sebuah rumah panggung. Rumah panggung cukup tinggi, sebagai ilustrasi, bahwa kolong rumahnya dengan leluasa masuk hewan Sapi, bahkan ada yang membuat kandang sapi di bawah rumah. Untuk dapat meraih jendela, salah satu maling lebih dulu duduk berjongkok, kemudian maling yang satunya menginjakkan kakinya ke kedua belah bahu maling yang jongkok, barulah perlahan-lahan maling yang jongkok berdiri, sambil tangan maling yang satunya memegang bangunan rumah. Setelah sampai di jendela, mulailah dilaksanakan membuka jendela. sementara maling yang di tanah menunggu kode dari bunyi kain sarung yang ditarik, untuk memberi isyarat berhasil, untuk memberi isyarat akan turun, untuk memberi isyarat dalam bahaya dan lain sebagainya, merekalah yang mengatur sandi tersebut. Belum berapa lama maling yang bertugas masuk rumah melewati jendela, terdengar kode agar menyiapkan pundak untuk mendarat kembali. Dengan penuh heran maling yang nunggu di tanah bertanya dalam hati, ndak ada kode bahaya, tapi tiba tiba minta turun....... Sudahlah diikuti saja, langsung berdiri di tempat naik tadi, dan kaki partnerpun mendarat dibahu dan perlahan-lahan diturunkan. Heran tak ada satu bendapun yang dibawa teman dari rumah satronan. Dengan berbisik pelan maling "operasional" mengajak “cepat-cepat kita hengkang, nanti saya ceritakan”. Sampai di tempat aman, berceritalah maling ini kepada temannya. Bahwa “jendela yang dimasuki itu rupanya ada meja, dg sinar redup lampu templok tak jauh dari jendela kulihat di atas meja tersebut terdapat sebuah Al-Qur’an yang terletak di atas meja. Hampir saja aku menginjak Al-Qur’an itu ketika mau melangkahi meja. Pikiranku jadi ragu untuk meneruskan masuk ke ruangan dalam rumah. Dadaku bergemuruh, jantungku terasa berdegub kuat dan tubuhku gemetar, jangan-jangan aku telah terlanjur melangkahi Al-Qur-an. Ku teringat waktu belajar ngaji dulu, ssdh selesai ngaji Al-Qur'an dijunjung, dicium. Karena itulah nampaknya usaha kita malam ini kalau diteruskan akan membawa melapateka buat kita”, kata maling itu kepada temannya. Meskipun dia kini berprofesi sebagai maling, namun penghormatan terhadap Al-Qur’an yang sudah tertanam sejak kecil dan kekhawatiran kewalat akan al-Qur’an membuat si maling mengurungkan niatnya untuk mencuri setidaknya pada malam itu, diingatkan oleh kitab Suci Al-Qur’an. Baik kita renungkan, penghormatan terhadap Al-Qur’an begitu besar oleh penduduk negeri ini, terutama bagi yang memeluk agama Islam, apa lagi yang menjalankan seluruh ibadah dalam agama Islam. Bagi yang Islamnya belum dapat ibadah dengan intensifpun, akan menaruh hormat kepada Al-Qur’an. اِنَّهٗ لَـقُرْاٰ نٌ كَرِيْمٌ  "Sesungguhnya Al-Qur'an yang sangat mulia," (QS. 56 = Al-Waqi'ah ayat 77). Demi kemuliaan Al-Qur'an, sebelum memegang suatu jabatan, jadi kelaziman di negeri ini, pejabat ybs bersumpah dengan menjunjung Al-Qur'an. Kenyataannya sebagian oknum pejabat tsb tega melanggar sumpahnya. Agaknya kalah oknum ini dg maling yg diceritakan di atas dlm memuliakan Al-Qur'an. Atau karena pejabat ybs tdk belajar membaca Al-Qur'an dengan "Pelite", berikut diajari menghormati Al-Qur'an. Harapan kita semoga para pejabat kita yg tlh bersumpah dengan memuliakan Al-Qur'an, setiap kali mendapat "godaan", atau bila ingin mencuekan janji2, teringat akan sumpahnya menjunjung Al-Qur'an. Ingat......!!! maling aja urung meneruskan niat jahat lantaran ingat Al-Qur'an padahal dianya butuh pengganjal perut. Sedangkan pejabat hidup sdh serba cukup. آمِيّنْ... آمِيّنْ... يَا رَبِّ الْعٰلَمِيْن اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْن بارك الله فيكم M. Syarif Arbi. Jakarta, 7 Rabiul Akhir 1443 H. 12 November 2021. (863.11.21).

No comments:

Post a Comment