Friday 6 July 2018

Puasa Ramadhan lalu

Ramadhan baru saja kita lalui dua Jum'at, dengan aneka pengalaman spiritual masing-masing ketika Ramadhan. Tiap individu memiliki pengalaman berbeda, mungkin:
*. Ada yang tidak tuntas menjalankan puasa, karena sakit, atau halangan syar’ie lainnya.
*. Ada yang merasa hampir puas, karena seluruh rangkaian ibadah Ramadhan beserta ibadah ikutannya terselenggara dengan baik.
*. Ada juga yang pertengahan, ibadah puasa tak satupun jebol, tapi ibadah ikutannya tak dapat mengikutinya.
*. Mungkin macam-macam lagi pencapaian yang anda dapatkan, anda dan Allah saja yang mengetahuinya.
Mungkin timbul pertanyaan di dalam hati, apakah puasa yang kita laksanakan dengan ibadah-ibadah ikutannya di terima Allah atau tidak.
Ini mungkin rujukan hadist yang agaknya layak kita jadikan referensi. Hadist Riwayat Ahmad, At Tirmizy dan Ibnu Majah ketika Aisyah r.a. bertanya kepada Nabi Muhammad s.a.w. perihal tafsir dari surat Al- Mukminun ayat 60. yang berbunyi:
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوا وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya”
Aisyah r.a. bertanya “Ya Rasulullah, apakah yang dimaksud ayat ini ialah orang-orang yang biasa mabok-mabok minum khamar, dan mencuri?.
Menanggapi pertanyaan ini Rasulullah bersabda: “Bukan wahai Putri As-Shiddiq! Akan tetapi itu adalah orang-orang yang rajin berpuasa, mendirikan shalat dan bersedekah, walau demikian mereka senantiasa khawatir bila amalan mereka tidak diterima Allah, karenanya mereka bersegera dalam mengamalkan kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya”.
Jadi soal ibadah kita diterima atau ditolak oleh Allah s.w.t. serahkan bulat-bulat kepada Allah urusannya asalkan dalam beribadah kita telah memenuhi kriteria “Wal amalu bit tanjil”, beramal sesuai dengan kafiat, atau taca cara yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya, diikuti dengan ikhlas karena Allah semata.
Menilik ayat di atas dan hadist berkenaan dengan itu, maka wajar agaknya jika kita merasa khawatir kalau-kalau ibadah kita tertolak.
Tetapi rupanya orang-orang yang merasa khawatir ibadahnya tertolak itulah, justru merekalah yang diterima ibadahnya.
Dlm keseharian kadang qt miris mendengar ada yg berani menyatakan amal seseorang tak sah dan ditolak, karena begini, begitu. Satu dan lain tak sefaham dg faham si pembuat pernyataan.
Sebaliknya qt juga miris bila mendengar ada orang yg memastikan kalau melakukan tata cara beramal seperti yg diajarkan menurut fahamnya pasti diterima Allah.
Padahal jelas soal diterima atau ditolak amal baik seseorang hak mutlak Allah. Panduan yg diberikan kpd qt hanyalah:
1. Ikhlas hanya untuk Allah. Kadar keikhlasan itu sendiri sangat abstrak yg kita sendiripun ndak tau, terpulang kpd Allah lagi apakah qt sdh benar2 ikhlas.
2. Mengikuti petunjuk Rasulullah. Karena qt hidup sdh 14 abad lebih dari Rasulullah, maka acuan i'tibak petunjuk Rasulullah, tentu dg jalan merifer kpd para ulama terdahulu dan pada ustadz/ustadzah yg datang kemudian kpd qt.
Ustadz/ustadzah itu dg macam2 keahlian dan kekhususan ilmu mereka mentransfer ilmunya dari referensi yg digunakannya, kadang berbeda pendapat, beda sudut pandang dll.
Sehubungan dg itu tidak ada kata lain "hanya kpd Allah kembali qt serahkan, apakah amal baik dan ibadah qt diterima atau ditolak Allah"
Puasa Ramadhan lalu
Ramadhan baru saja kita lalui dua Jum'at, dengan aneka pengalaman spiritual masing-masing ketika Ramadhan. Tiap individu memiliki pengalaman berbeda, mungkin:
*. Ada yang tidak tuntas menjalankan puasa, karena sakit, atau halangan syar’ie lainnya.
*. Ada yang merasa hampir puas, karena seluruh rangkaian ibadah Ramadhan beserta ibadah ikutannya terselenggara dengan baik.
*. Ada juga yang pertengahan, ibadah puasa tak satupun jebol, tapi ibadah ikutannya tak dapat mengikutinya.
*. Mungkin macam-macam lagi pencapaian yang anda dapatkan, anda dan Allah saja yang mengetahuinya.
Mungkin timbul pertanyaan di dalam hati, apakah puasa yang kita laksanakan dengan ibadah-ibadah ikutannya di terima Allah atau tidak.
Ini mungkin rujukan hadist yang agaknya layak kita jadikan referensi. Hadist Riwayat Ahmad, At Tirmizy dan Ibnu Majah ketika Aisyah r.a. bertanya kepada Nabi Muhammad s.a.w. perihal tafsir dari surat Al- Mukminun ayat 60. yang berbunyi:
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوا وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya”
Aisyah r.a. bertanya “Ya Rasulullah, apakah yang dimaksud ayat ini ialah orang-orang yang biasa mabok-mabok minum khamar, dan mencuri?.
Menanggapi pertanyaan ini Rasulullah bersabda: “Bukan wahai Putri As-Shiddiq! Akan tetapi itu adalah orang-orang yang rajin berpuasa, mendirikan shalat dan bersedekah, walau demikian mereka senantiasa khawatir bila amalan mereka tidak diterima Allah, karenanya mereka bersegera dalam mengamalkan kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya”.
Jadi soal ibadah kita diterima atau ditolak oleh Allah s.w.t. serahkan bulat-bulat kepada Allah urusannya asalkan dalam beribadah kita telah memenuhi kriteria “Wal amalu bit tanjil”, beramal sesuai dengan kafiat, atau taca cara yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya, diikuti dengan ikhlas karena Allah semata.
Menilik ayat di atas dan hadist berkenaan dengan itu, maka wajar agaknya jika kita merasa khawatir kalau-kalau ibadah kita tertolak.
Tetapi rupanya orang-orang yang merasa khawatir ibadahnya tertolak itulah, justru merekalah yang diterima ibadahnya.
Dlm keseharian kadang qt miris mendengar ada yg berani menyatakan amal seseorang tak sah dan ditolak, karena begini, begitu. Satu dan lain tak sefaham dg faham si pembuat pernyataan.
Sebaliknya qt juga miris bila mendengar ada orang yg memastikan kalau melakukan tata cara beramal seperti yg diajarkan menurut fahamnya pasti diterima Allah.
Padahal jelas soal diterima atau ditolak amal baik seseorang hak mutlak Allah. Panduan yg diberikan kpd qt hanyalah:
1. Ikhlas hanya untuk Allah. Kadar keikhlasan itu sendiri sangat abstrak yg kita sendiripun ndak tau, terpulang kpd Allah lagi apakah qt sdh benar2 ikhlas.
2. Mengikuti petunjuk Rasulullah. Karena qt hidup sdh 14 abad lebih dari Rasulullah, maka acuan i'tibak petunjuk Rasulullah, tentu dg jalan merifer kpd para ulama terdahulu dan pada ustadz/ustadzah yg datang kemudian kpd qt.
Ustadz/ustadzah itu dg macam2 keahlian dan kekhususan ilmu mereka mentransfer ilmunya dari referensi yg digunakannya, kadang berbeda pendapat, beda sudut pandang dll.
Sehubungan dg itu tidak ada kata lain "hanya kpd Allah kembali qt serahkan, apakah amal baik dan ibadah qt diterima atau ditolak Allah"
Guna penyerahan diri qt kpd Allah baik qt camkan surat Luqman 22:
وَمَنْ يُّسْلِمْ وَجْهَهٗۤ اِلَى اللّٰهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى ۗ وَاِلَى اللّٰهِ عَاقِبَةُ الْاُمُوْرِ
"Dan barang siapa berserah diri kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul (tali) yang kukuh. Hanya kepada Allah kesudahan segala urusan."
Smg ibadah puasa dan seluruh ibadah pengiringnya yg qt lakukan di bln Ramadhan lalu diterima Allah. Aamiin. Barakallahu fikum. Wslm. M. Syarif 

No comments:

Post a Comment