Monday 18 August 2014

SUKA NAMBAH, SEPI PELANGGAN




“Itu tukang daging yang satunya hanya  ada satu-satu pembeli yang mampir, sedang tukang daging di depannya sibuk sekali”. Tanyaku kepada istriku, ketika suatu pagi ngikuti dia belanja ke pasar tradisional.
“Bapak itu, dulu juga rame. tapi belakang pembeli banyak yang pindah ke tukang daging didepannya, termasuk saya kalau lagi pengen beli daging”. Jawab istriku setengah berbisik.
Tentu jawaban itu belum jelas buatku, saya pengen tau penyebabnya. Istriku memberi isyarat nanti akan dijelaskan dalam perjalanan pulang atau sudah sampai di rumah. Sebab ndak enak nanti kedengaran orang sesama belanja atau yang ngeri kalau terdengar situkang daging yang letaknya hanya satu blog dari tempat kami membeli ikan basah. Benar juga pikirku, diakan pegang pisau tajam.
Sampai dirumah sambil sarapan pagi, kutagih penjelasan perkara tukang daging yang sepi itu. Dijelaskan istriku bahwa rupanya perangai si tukang danging itu suka nambah daging untuk pembeli. “Kok aneh, suka nambah, mestinya pembeli harus berterima kasih”. Potong ku ndak sabaran. Selanjutnya istriku menjelaskan bahwa ternyata tambahannya dengan daging yang kualitasnya dibawah kualitas yang diminta pembeli. Daging kan harganya ditentukan oleh kualitasnya, contohnya daging Has luar lain harganya dengan daging Has dalam. Misalnya Has dalam 120 ribu, daging biasa 100 ribu, daging tetelan paling 80 ribu. Seharusnya tukang daging professional sudah mahir memotongkan daging sesuai pesanan pelanggan; misalnya pelanggan minta setengah kilo. Kelihatannya dia sengaja memotongkan kurang beberapa grams dari setengah kilo, sekali potong sudah hampir pas, atau kalaulah lebih sedikit atau kurang sedikit. Ini si tukang daging yang satu ini, kalau motong daging mesti kurang. Kekurangannya tadi ditambahkannya dengan memotongkan daging yang berkualitas di bawah pesanan pembeli. Kalau ketemu ibu-ibu  yang cerewet, itu ibu tidak mau, minta daging itu dikeluarkan dari timbangan dan minta dipotongkan dagang yang sama. Baik untuk ibu yang cerewet, maupun untuk ibu-ibu yang tidak erewet peristiwa itu dianggap besaaar dan jadi topic pembicaraan disertai pesan “jangan beli disitu”.
Untuk menjadi seorang pedagang utamanya pedagang eceran memang diperlukan beberapa perilaku untuk menjaga kepuasan pelanggan, menarik pelanggan dan memelihara pelanggan agar menjadi pelanggan yang setia. Salah satunya ialah kejujuran disamping keramahan-tamahan terhadap palanggan.
Apa yang dilakukan oleh tukang daging ini, tujuan utamanya tentu untuk menaikan keuntungan, walau cuma sedikit dan juga untuk menyeimbangkan agar daging yang kualitas rendah sedikit demi sedikit ikut terjual. Tapi resikonya ia kemudian menerima kenyataan, sepi pembeli dan bukan mutahil jadinya terpaksa menutup lapak.
Bila kita merujuk kepada sejarah peradaban manusia dengan mengimani apa yang diberitahukan oleh agama, ketidak jujuran dalam berniaga bukanlah kereasi baru manusia zaman kini, tetapi sudah berlangsung sejak zaman nabi Syu’aib As pada kaum Madyan. Peristiwa itu diabadikan Allah dalam Al-Qur’an diantaranya  pada surat Al-A’raf, ayat 85. Kaum Madyan, tetap membangkang dan bahkan menantang Allah. “Datang perintah Ilahi untuk membinasakan kaum Madyan sebagai balasan pendurhakaan mereka, maka Allah menyelamatkan Syu’aib dan orang-orang yang beriman bersamanya sebagai rahmat dari-Nya. Maka Allah membinasakan orang-orang kafir dan merekapun disambar petir yang keras disertai gempa yang kuat yang menjadikan mereka mati tertelungkup dan selesailah urusan mereka dan lenyaplah bekas-bekas mereka sehingga seakan akan mereka tidak pernah berdiam dirumah-rumah merteka”[1]
Dewasa ini di Negara kita, sudah lama pedagang berperilaku bagaikan ummat nabi Syu’aib As., tetapi Alhamdulillah siksa Allah membinasakan ummat ini seperti kaum Madyan belum terjadi. Satu dan lain karena terkabulnya salah satu do’a Rasulullah Muhammad yang meminta agar, ummat ini tidak dihukum langsung didunia ini sabagaimana Ummat nabi Nuh dilanda banjir, Ummat nabi Luth dengan membalikkan kulit bumi tempat mereka berdiam dan Ummat nabi Syu’aib dengan petir yang mematikan.



[1] Zaid Husein Alhamid. Kisah 25 Nabi & Rasul . Pustaka Amani Jakarta 1983. p.82

No comments:

Post a Comment