Monday 4 August 2014

PENGOJEK KESAL




Pagi buta bang Ndin seusai sholat subuh dari masjid dekat rumah, kemudian  mampir kerumah sebentar sekedar ngopi dan sarapan sedapatnya dan ganti pakaian dinas, langsung bang Ndin berangkat menuju perapatan dengan sepeda motor kesayangannya. Ada 3 langganan anak sekolah yang dilayani bang Ndin (antar-jemput) dengan bayaran Rp 100 ribu sebulan, karena sekolah mereka dekat saja ndak sampai 5 Km. tapi untuk anak klas 2 ed de, cukup jauh. Sebenarnya kalau keburu waktunya banyak saja orang tua murid (tetangga) ingin menitipkan anak mereka untuk diantar,  tetapi kan untuk melayani 3 anak itu saja sudah pas waktunya mulai dari jam pantas berangkat sampai waktu pagar sekolah ditutup (menerima murid masuk). Itulah sebabnya maka bang Ndin hanya melayani pelanggan tetap 3 antaran dan selebihnya mangkal di perempatan, menunggu langganan lepas. Maklum yang namanya “langganan lepas” kadang benar-benar lepas, orang yang sudah biasa menggunakan jasa bang Ndin, kadang kalau pas mereka perlu, bang Ndin sedang ngantar orang lain, yaah langsung diantar oleh ojek pesaing yang sama-sama mengais rejeki melalui “roda dua berknalpot” itu. Mereka bersatu di pangkalang tapi  bersaing mengantar penumpang.
Uang harian akhir-akhir ini terkumpul, setelah dipakai buat rokok dan bensin, hanya sekitar Rp 35 ribu buat “Ita”  isteri yang sudah dinikahinya beberapa tahun dan belum ada tanda-tanda punya anak. Tahun-tahun lalu agak lumayan kadang sampai Rp 60 sampai Rp 70 ribu sehari. Itulah sebabnya barangkali belakang keharmonisan keluarga muda ini sedikit ada gangguan.
Sering terjadi dialog yang condong debat antara suami istri itu:
I: Bayangkan bang, beras perak aja sekarang udah 7 ribu, gula 13 ribu, belum lagi kopi, belum belanjaan sayur, gas, listrik dan cadangan bayaran kontrak (maksudnya kos). kalau gini terus jangankan bakal kontrak, buat sehari-hari aja kembang kempis bang.
S: Sekarang tukang ojek udah makin banyak, penumpang makin kurang, dulu pelanggan ojek, sekarang udah punya motor sediri. ya dapatnya Cuma segitu, nanti buat kontrak kan udah ada 300 ribu  dari orang tua si bocah yang diantar, tinggal cari 400 ribu lagi, sabar ajalah.
I: Sabar si sabar bang, tapi kalau begini terus untuk ari-ari aja ngak cukup bagaimana nyisihkan untuk 400 ribu lagi bang, coba abang itung sendiri.
Serba salah bagi bang Ndin, menyanggah omelan isterinya, kerena kenyataannya uang segitu hampir tak bersisa buat biaya hidup hari-hari bagi mereka berdua yang pindah ke Jakarta mengadu nasib sejak beberapa tahun lalu. Mau pulang kampung, harus ditimbang beribu kali, malunya itu. Apalagi setiap lebaran pulang dengan sepeda motor yang sekaligus alat mengais rezeki itu. Orang kampung sudah menilai “sukses hidup di Jakarta”. Orang kampung ndak banyak tau bahwa mereka menempati rumah setara kos-kosan bulanan 700 ribu sebulan.
Tahun-tahun awal agak lumayan, belum banyak orang berprofesi menjadi pengojek, penumpang masih banyak. Sekarang penumpang berkurang karena untuk memiliki sepeda motor cukup dengan uang muka 500 ribu sudah dapat punya motor sistem TENMOT (Telat Nyicil Motor di Comot). Penghasilan tukang ojek jadinya berkurang drastis.
Hari terus bergulir, tapi pendapatan tiap hari tetap saja antara 30-40 ribu, rata-rata 35 ribu. Tentu saja tak menyurutkan Ita memberikan motivasi buat suaminya agar tetap semangat dan intinya pendapatan hanya rata-rata 35 ribu dibawah anggaran biaya. Pernah sekali diusulkan agar sang suami pindah lokasi mangkal, jangan di perempatan dekat rumah. Si suami tidak menerima saran itu karena di perempatan/pangkalan lain, mereka juga punya group belum tentu mau menerima kehadiran bang Ndin.
Lama kelamaan pas menjelang lebaran, karena terus-terusan mendapat omelan si istri, ditambah lagi omelan tentang persiapan duit bakal lebaran, bakal buat oleh-oleh mudik dan banyak lagi bumbu omelan, akhirnya  bang Ndin mulai kesal. Sore itu tiga hari menjalang malam takbiran bang Ndin nyetor duit ke istrinya tujuh setengah juta. Nampak Juga kaget diwajah istri menerima uang tersebut, karena ndak sari-sarinya ndak biasanya, tumben kata orang Jakarta itu duit banyak sekali.
Keesokan harinya, pulang dari masjid, seperti biasa bang Ndin mereguk kopi seduhan istrinya sambil menyedot Ji Sam Soe. Yang tidak biasa setelah itu bang Ndin tetap pake sarung, tidak segera pakai jaket dan helem seperti biasanya. Istripun jadi nanya, ngak narik Bang???(makasudnya narik ojek). Kini bang Ndin diam tak menjawab. Karena beberapa kali ditanya, akhirnya di jawab narik pakai apa (jawab singkat bang Ndin singakt). Ita langsung pergi ke halaman parkir, dia lihat beberapa motor di halaman kos-kosan itu tapi sepeda motor milik mereka tidak ada. Balik Ita  keruang kosan mereka, “motor kita kemana Bang”. “Ya itu kemarin yang udah kau terima tujuh setengah juta, kan cukup buat bekal mudik”.
Begitulah potret kekesalan bang Ndin karena setiap hari didera omelan si istri Ita, karena deraan keterbatasan penghasilan. Bang Ndin rencana mudik lebaran tahun ini naik kereta, soal pulang ke Jakarta lagi atau tidak nantilah dipikirkan lagi setelah lebaran. Kalaupun pulang ke Jakarta lagi ambil Motor baru TENMOT dan cari kosan yang murahan dikit, toh ada 300ribu sebulan sekedar kamar, biar si Ita tinggal dulu aja di kampung, begitu rencana A bang Ndin, rencana B netap di kampung kembali jadi huruh tani dan kerja srabutan.
Nama adalah hayalan saya semata, fiktif, begitu juga jalan ceritanya 100% karangan. jika terjadi kesamaan kebetulan belaka tidak bermaksud melecehkan atau menyinggung.

No comments:

Post a Comment