Tuesday 26 August 2014

MINYAK JELANTAH




Kata “Jelantah”, sudah populer di seluruh wilayah Republik Indonesia. Dalam kamus bahasa Indonesia “Jelantah” diartikan “minyak kelapa yang sudah dipakai untuk menggoreng” Ternyata cita rasa minyak jelantah itu cukup nikmat, tergantung bekas dipakai untuk menggoreng apa;  minyak tersebut. Kalau minyak jelantah bekas menggoreng cumi-cumi, maka cita rasa cumi-cumi melekat pada minyak jelantah tersebut, begitu juga bekas menggoreng ayam, daging sapi atau ikan asin. Cukup enak buat sarapan pagi, dulu masih sekolah di kampung untuk akan berangkat ke sekolah, buru-buru minyak jelantah dicampur dengan nasi dingin, atau kalau masih ada waktu nasi digoreng dengan minyak jelantah. Nikmaaat.
Belakangan, banyak informasi yang mengingatkan akan bahaya minyak jelantah, bila dikonsumsi akan menimbulkan penyakit seperti; peningkatan kolesterol darah, keracunan, serta terbentuknya sel kanker. Minyak jelantah mengandung asam lemak jenuh yang tinggi yang berbahaya bagi tubuh. Kandungan kolesterol baik (HDL) semakin berkurang sementara kolesterol buruk (LDL) semakin meningkat. Hal ini dapat memicu berbagai penyakit seperti hipertensi, penyumbatan peredaran darah, penyakit jantung, dan  stroke. Bahkan lebih dari itu, minyak jelantah dapat menyababkan kanker colon pada usus besar. Ngeriii.
Minyak jelantah pun dapat merusak nutrisi baik yang dikandung makanan. Contohnya ikan salmon yang mengandung Omega-3, nutrisi yang bermanfaat untuk menurunkan kolesterol dalam darah, akan hilang khasiatnya jika digoreng dengan minyak jelantah karena komposisi ikatan rangkapnya menjadi rusak. Pemanasan pada minyak selama 30 menit dengan suhu di atas 125 derajat celcius dapat menyebabkan munculnya senyawa-senyawa baru yang beracun bagi tubuh dari pemutusan rantai-rantai asam lemak.
Keadaan seharian kita sampai saat ini kita temui dimana-mana makanan “gorengan” dan sudah menjadi kebiasaan kita untuk melahapnya. Bahkan, seorang teman ada yang harus makan nasi dengan gorengan. Gorengan, mulai dari bakwan, pisang goreng, tahu isi, dll selalu memanjakan kita dengan rasanya yang lezat dan renyah.
Coba kita perhatikan dengan sedikit saksama tukang gorengan di sepanjang jalan. Warna minyaknya yang mendidih selalu berwarna hitam pekat. Semakin pekat warnanya konon akan semakin gurih rasa gorengannya. Ya, itulah minyak jelantah yang sudah digunakan berulang kali. Demi alasan penghematan, minyak jelantah digunakan terus-menerus. Alhasil, kesehatan tubuh yang memakan gorenganlah yang menjadi korbannya. Jika Anda menyukai gorengan, waspadalah terhadap gorengan berwarna gelap dan bertekstur lebih keras dari biasanya karena mungkin minyak yang digunakan adalah minyak jelantah.
Begitu agaknya kajian manusia, semakin maju teknologi dan semakin bertambah ilmu pengetahuan, sepertinya hidup ini semakin mengerikan. Orang akan lebih takut terhadap suatu bahaya, kalau sudah diketahui sebelumnya akan datangnya bahaya. Sebaliknya bila suatu bahaya itu tidak diketahui sebelumnya, kemudian baru diketahui persis saat terjadinya bahaya orang tidak akan takut, tinggal menerima dan merasakan saja bahaya yang datang.
Manusia dirancang oleh Allah, mempunyai pencernaan yang lain dari makhluk-makhluk lainnya, itu salah satu kekuasaan dan kebesaran Allah bila kita maulah sedikit merenung. Mari kita lihat contoh kecil; pencernaan “ayam”, dia makan apa saja mulai dari rumput, nasi basi, makanan bekas dan bahkan kotoran, termasuk minyak jelantah. Tidak pernah terdengar ayam terkena kanker atau tiba-tiba stroke.
Mungkin bandingan tadi tidak sebanding, binatang tidak bergigi dibanding manusia yang bergigi. Kita coba membanding dengan binatang yang langsung berdekatan dengan model pencernaan manusia. Seperti orang hutan, orang hutan minum langsung dari alam, tanpa harus dimasak, orang hutan makan tanpa terlebih dahulu dimasak. Orang hutan juga sanggup makan makanan yang dimakan manusia, dengan tidak terlalu harus ketat dengan syarat-syarat kesehatan. Ternyata tetap saja beda tingkat kemampuan manusia imun terhadap kemungkinan sakit karena makanan, dibanding hewan yang pencernaannya mirip manusia ini.
Sekarang kita bandingkan antara manusia dengan manusia. Di Jakarta ada manusia yang mendapat julukan “manusia gerobak”. Mereka manusia biasa, punya keluarga, istri dan anak. Dengan gerobak mereka bergerak dari satu tempat ke tempat lain, kadang ada yang punya anak balita, diangkut kesana kemari dengan gerobak, mereka dimana kemalaman disitulah dia tidur berkasurkan aspal beratapkan langit. Allah memberikan kekebalan kepada mereka lain dengan kekebalan yang dimiliki orang gedongan. Orang gedongan rentan dengan gigitan nyamuk, berpotensi kena demam berdarah, sementara “manusia gerobak”, sepertinya bersahabat dengan nyamuk. Demikian juga angin malam dan kondisi gizi makanan dan kesehatan minuman mereka, jauh dari persyaratan kesehatan. Tetapi sampai saat ini keberadaan “manusia gerobak”, begitu banyak terlihat di Jakarta.
Kita kembalikan kepada kebesaran Allah. Jika tanpa perlindungan Allah segelas air yang kita minum walau sudah dimasak dan diupayakan sedemikian rupa syarat-syarat kesehatan tetap saja akan dapat membahayakan kesehatan.

Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; (Al- Qur’an; At Taghaabun ayat 11)
Dari ayat ini sesungguhnya bilalah tidak karena perlindungan dari Allah, maka apa saja yang kita makan kita minum, udara yang kita hirup terutama di Jakarta pekat dengan polusi, mesti di dalamnya terdapat hal yang membahayakan tubuh manusia. Allah telah memeliharakan kita dengan melengkapi tubuh kita semua dengan kekebalan sesuai dengan kebutuhan masing-masing orang. Manusia gerobak, diberikan tingkat kekebalan yang lebih dari manusia gedongan. Kami dulu semasa zaman susah, sangat kenyang makan sarapan pagi dengan kuah minyak jelantah, Alhamdulillah kini sudah bertahan lebih enampuluh tahun. Ini merupakan salah satu bentuk keadilan Allah, subhanallah.



1 comment:

  1. Tulisan ini cuma cari pembenaran dr suatu kesalahan.. Mirip koruptor yg lg bela diri.

    ReplyDelete