Saturday 21 September 2019

HUTANG

Kehidupan sbg karyawan di sektor formal, jumlah penghasilan sdh terukur, tunduk kpd waktu dan posisi. Waktu terima penghasilan tiap bulan hampir pasti. Besarannya penghasilan berapa, orang lain dpt me reka2 sesuai pangkat jabatan (posisi). Kadang besarnya penghasilan tak ditentukan prestasi. Rajin malas sama penghasilan dimiliki.

Karyawan dimaksud, bila berkehendak memiliki sesuatu melebihi skala gaji, hurus ditempuh dg jalan mengangsur. Dikenal dg KREDIT. Di negeri yg taun depan pasti lebih mahal dari tahun2 lalu, membeli barang investasi dg kredit sangat menguntungkan.

Ku pernah membeli rumah KPR type 70,  40 tahun lalu dg masa cicilan 15 tahun harga rumah waktu itu 2 juta 998 ribu rupiah. Cicilan per bulan 26 ribu 680 rupiah.
Tahun pertama, cicilan terasa bgt berat, tahun kedua sdh mulai terbiasa, tahun ketiga nilai cicilan mulai terasa kecil, tahun ke empat cicilan dmkn terasa ringan. Tahun kelima sdh sanggup dilunasi semua. Karena nilai uang bgt turun, sdgkan nilai kredit tetap terpatok pada nominal.

Dikalangan kolegaku dulu ada semacam semboyan "Hidup tanpa berhutang bagaikan langit tiada berbintang". Oleh sebab itu rekan sekerjaku dulu, hidup dihiasi dg hutang berbagai jenis keperluan hidup selain KPR, juga sepeda motor dan barang2 dlektronik, perlengkapan rumah tangga semua dicover dg pembayaran menyicil alias kredit.

Kredit dg lembaga tertentu, relatif lbh mudah mentrasirnya, bila umpamanya si penerima kredit sblm lunas meninggal dunia. Bahkan di akad kredit tercatat siapa ahli waris, yg akan bertanggung jawab atas hutang.
Persoalan akan rumit bila hutang piutang bukan dg lembaga resmi, antar pribadi, semakin rumit lagi bila tanpa adanya saksi. Padahal masalah hutang dalam kaedah agama, bila seorang meninggal dunia blm selesai hutangnya adlh menjadi masalah besar.

Kesimpulan ku bahwa bukan penganut agama yg sama dg ku saja yg menanamkan keyakinan pada umatnya bahwa hutang itu jadi masalah kalau sampai mati belum lunas.

Ketika ku masih tugas dulu, seorang penerima kredit (ybs tdk seagama dg ku), suatu hari ku di tlp oleh keluarga ybs untuk datang kerumah debitur tsb. Rupanya ybs terbaring sakit, di hadapan istri dan anak2nya ybs menegaskan bahwa dianya punya hutang di instansi tempatku bekerja dan minta kalau dia mati agar dilunasi. Tak berapa lama ssdh dibitur meninggal dunia, ahli warisnya melunasi hutang almarhum. Saluut ku kpd nasabahku yg walau tak seagama dg ku, bgt hati2nya masalah hutang.

Di agamaku:
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda : Jiwa seorang mukmin itu terkatung-katung dengan sebab utangnya sampai utang dilunasi.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ ‏ “‏ نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam Musnad-nya (II/440, 475, 508); Imam at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 1078-1079); Imam ad-Darimi dalam Sunan-nya (II/262); Imam Ibnu Mâjah dalam Sunan-nya (no. 2413); Imam al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 2147).

Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 6779).

Agaknya agar kita yg masih bugar, mari kita ingat2 apa kita masih ada hutang. Daripada ditagih di akhirat lbh baik selesaikan di dunia, atau wasiatkan ke ahli waris kpd siapa dan berapa hutang anda. Sepertinya baik disimak kisah mengenai hutang berikut ini:

Dari Jabir bin Abdillah RA., berkata, “Seorang laki-laki meninggal dunia dan kami pun memandikan jenazahnya, lalu kami mengafaninya dan memberi wangi-wangian. Kemudian kami letakkan untuk dishalatkan oleh Rasulullah SAW. di tempat khusus jenazah. Kemudian azan shalat pun berkumandang. Beliau pun datang bersama kami dengan melangkah pelan kemudian bersabda, ‘Barang kali rekan kalian ini punya utang?’

Mereka menjawab, ‘Ya, dua dinar !’ Maka Rasulullah pun mundur, beliau berkata, ‘Shalatkanlah rekan kalian ini.’

Lalu berkatalah salah seorang dari kami bernama Abu Qatadah,  “Wahai Rasulullah utangnya yang dua dinar itu atas tanggunganku!’

Maka Rasulullah SAW. berkata kepadanya, “utang itu menjadi tanggunganmu? Tertanggung dari hartamu? Dan si mayit terlepas daripadanya?”

Abu Qatadah menjawab, “Ya!”

Maka Rasulullah SAW. pun menyalatinya dan setiap kali Rasulullah bertemu dengan Abu Qatadah beliau selalu berkata, “Apakah utang dua dinar itu telah engkau lunasi?” Hingga pada akhirnya Abu Qatadah mengatakan, “Aku telah melunasinya wahai Rasulullah.” Maka Rasulullah berkata, “Sekarang barulah segar kulitnya!’” (HR. Ahmad, Hakim dan Baihaqi).

Masalah membayar hutang tekait erat dg KEMAMAUAN dan KEMAMPUAN. Diantara dua faktor ini Kemauan (niat sungguh2) adlh yg paling penting. Bila ada kemauan in sya Allah kan terbentang jalan.

Smg Allah melindungi kita semua dari lilitan hutang yg tak terselesaikan.

Aamin.
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ
Barakallahu fikum
وَ الْسَّــــــــــلاَمُ
M. Syarif arbi.

No comments:

Post a Comment