Thursday 1 March 2012

MANGGA DAN ASAM JAWA

Sambil menunggu anak-anak kami mengikuti prosedur masuk di fakultas kedokteran UI, dengan berbagai test phisik, tentang buta warna, kesehatan sampai mencetak sidik telapak kaki, sehingga cukup lama. Kami beberapa orang tua yang mengantar anak-anak berteduh di bawah rerindangan pohon-pohon akasia tumbuh subur di lahan sekitar kampus UI Depok. Menyeletuklah seorang ayah yang anaknya juga sedang ditest: “Kenapa yang ditanam pohon akasia, bukan pohon mangga”. Sepintas komentar santai pak Adam orang tua calon mahasiswa kedokteran itu, benar juga. Andaikan benar tanaman di sekitar komplek kampus UI depok itu pohon mangga mulai saat itu saja, kini sudah beberapa kali panen mangga sebab sudah tujuh tahun lebih dari sekarang waktu obrolan itu berlangsung.
Bukan asal ngomong beda, saya tidak sependapat dengan pak Adam. “Ini sudah diperhitungkan oleh perancang kampus ini pak”, kataku dihadapan beberapa orang tua calon mahasiswa menjelang siang di halaman kampus UI Depok itu. “Jika pohon mangga yang tumbuh disini, akan terjadi keributan terus menerus setiap panen. Para pihak, termasuk mahasiswa dan mungkin juga penduduk sekitar akan memperebutkan manfaat atas buah mangga”.
Di depan rumah saya tumbuh sebatang pohon mangga, jika musim berbuah bukan main lebatnya. Seiring dengan lebatnya buah itu, keluarga kami benar-benar menjadi tidak tenang. Rumah kami di pinggir jalan di kawasan percetakan negara satu tepat perbatasan antara kelurahan Johar baru Kecamatan Johar Baru dengan kelurahan Paseban kecamatan Senen. Didepan rumah kami tidak ada tetangga, sebab setelah jalan raya langsung rel kereta api memisahkan dengan kelurahan Paseban Kecamatan Senen. Oleh karena itu tetangga hanya di kiri kanan rumah, langsung jalan raya agak rawan keamanan.
Buah mangga kami tidak pernah dijual, kalau sudah layak panen segera buah diturunkan dan dibagikan ke sekitar tetangga. Persoalannya tidak sesederhana itu, mulai dari “pencit” sudah mulai bel rumah berbunyi selang beberapa menit, ada saja yang mengaku isteri atau keluarganya ngidam, sampailah pohon gundul dari buah barulah kami dapat istirahat siang.
Sebetulnya kalau hanya gangguan ini masih dapat kami menahan diri, tapi lama kelamaan ada yang punya cara lain untuk mengambil buah mangga itu. Diantaranya ada sekelompok orang, bukan tetangga dekat, entah dari mana, tiba-tiba membawa galah dan langsung menjuluk buah mangga. Salah seorang tetangga saya yang kebetulan memergoki menegur rombongan itu, sedang kami bertepatan tidak dirumah. Yang terjadi adalah rombongan itu ribut dengan tetangga saya itu, dan mengancam yang tidak menyenangkan. Untung tidak sampai terjadi hal yang tidak diinginkan terhadap tetangga rumah saya itu. Sepulang kami ke rumah mendapat informasi lengkap dari beberapa tetangga.
Kala itu, kami masih dapat bertahan, karena sisa buah mangga yang masih ada tanggung untuk diturunkan. Beberapa hari kemudian datang lagi serombongan orang dengan membawa batu melempari buah mangga. Lemparan batunya diantaranya memecahkan genteng tetangga dan ada diantara batu yang nyasar ke mobil di parkir di depan rumah tetangga.
Itu rupanya sebabnya di zaman penjajahan Belanda pohon “Asam jawa” yang dipilih pemerintah penjajah untuk penghijauan di perkotaan dan sepanjang jalan. Sampai sekarang kita masih dapat saksikan di sepanjang jalan di pulau Madura, dari Surabaya sampai Banyuwangi, sepanjang pantura, dan juga di sebagain jalan di Jakarta.
Komentar anak saya, “bangsa kita ini kalahnya soal perencanaan dibanding orang Belanda”. Orang Belanda kalau membangun gedung, direncanakan untuk tahan ratusan tahun, di Jakarta contoh “Stasiun kota”, di kota lain misalnya Surabaya, terlihat bangunan yang kini digunakan kantor PTP. Bangsa kita bangun gedung sekolah dasar kadang belum sempat diresmikan sudah ambruk. Lagi-lagi anak saya mengomentari, “bagaimanalah Pah nggak ambruk, anggaran pembangunan dari pusat 100 sampai di provinsi tinggal 60 sampai di kabupaten tinggal 40, syukur sampai ke pemborong 25. Jumlah 25 itulah yang dibangunkan, makanya bahannya asal kelihatan dipermukaan dan di photo bagus sudah cukup. Yaah sebentar ambruk”.
“Bagaimana jembatan “Kutai” tanyaku kepada anakku”. “Waah itu aye nggak tau Pah”, jawab anakku, apa juga begitu. “Apa mungkin dulu dibangunnya bulan Mei”. Jadi “May be yes may be no”. Celetuk anakku. Tentu maksudnya mungkin saja ada korupsi mungkin juga tidak. Sebab mendengar kabar jembatan itu “roboh dini”, seharusnya umur teknisnya masih panjang. Zaman Belanda yang mengerjakan bangunan juga orang Indonesia, hanya arsiteknya saja “Londo” sekarangpun yang mengerjakan bangunan juga orang Indonesia. Sepertinya dulu orang takut korupsi, sekarang pemberani korupsi, itu mungkin akar masalahnya. Mungkin sudah saatnya perlu di survey kapan Indonesia ini mulai terjangkit wabah korupsi. Untuk apa.......? Kalau sudah ketahuan sejak kapan bangsa ini mulai kejangkitan virus korupsi, kita gunakan program “Go back”, sebagaimana program komputer yang kena virus. Dengan program “Go Back” seluruh pekerjaan kita termasuk virus yang ada di dalam komputer kita, tidak nampak lagi. Kita mulai lagi memasukkan data baru.
Kembali soal tanaman penghijauan dipilih orang Belanda “Asam Jawa” untuk ditanam di pinggir jalan, satu dan lain dengan perencanaan yang matang sebab pohon “Asam jawa” daunnya mesti kecil-kecil tapi cukup rimbun dan lebat, pohonnya besar, akarnya kuat tahan ratusan tahun, tidak tinggi menjulang, tetapi juga tidak rendah. Buahnya kecil-kecil, kalau orang berteduh di bawah pohon “Asam jawa”, ketiban buahnya tidak berbahaya. Tidak mungkin terjadi orang rebutan untuk mengambil buahnya kalau sedang berbuah, karena pengguna “Asam Jawa” tidak banyak orang yang memakannya langsung, kecuali setelah dibuat bumbu masak. Sekarang yang ditanam Akasia, pohon yang cepat tumbuh, tapi mudah roboh, sering jadi bahan berita wartawan TV di Jakarta jika lagi musim hujan, ada pohon tumbang menimpa mobil, memacetkan jalan dan bahkan merenggut nyawa pengendara yang sedang melintas.
Agar tidak pusing, tiga tahun lalu pohon mangga di depan rumah saya itu, di tebang disisakan sekitar dua meter dari tanah. Kini tunggul pohon itu sudah tumbuh dengan beberapa cabang dan menjadi lagi pohon mangga yang rindang pucuk tertingginya sudah setara atap rumah. Tapi entah kenapa tak muncul lagi buahnya sudah berapa kali bersalin musim. “Merajuk” kata sebagian teman saya yang tergelitik melihat pohon mangga tak berbuah itu. Bagi kami biar tidak berbuah juga sudah syukur dapat jadi rimbun-rimbunan rumah. Kalau berbuahpun akan jadi masalah, lebih baik tidak berbuah.
Dari dialog kami santai di halaman kampus UI Depok dan apa yang keluarga kami alami menanam pohon mangga di depan rumah, dapat dipahamkan, kenapa di jalan raya dan di taman-taman tidak di tanam pohon-pohon yang buahnya dapat dimanfaatkan. Orang Belanda agaknya sudah mengetahui persis psyhology bangsa kita ini, sehingga memilih “Asam Jawa”. Bangsa ini suka berebut, berujung ribut walau sesuatu bukan haknya, walau buah yang diperebutkan itu yang bersangkutan tidak ikut menanam dan merawat. Bangsa kita juga bukan tidak tau, psychology bangsa sendiri maka memilih Akasia, agar tidak berbuah jadi lantaran kerusuhan. Tapi ternyata Akasia pohon yang mudah roboh tidak seperti “Asam Jawa”. Dengan menanam Akasia yang mudah roboh itu kan dalam waktu singkat akan ada penanaman kembali, yaah itung-itung ada proyek..........Batangnya dapat dikomersiilkan, pembibitan jalan terus terciptalah angka-angka dalam anggaran dan seterusnya. Belum lagi proyek penyiangan dahan-dahan pohon Akasia, setiap tahun dilakukan. Selentingan kabar di Radio bahwa dahan-dahan kayu dan potongan pohon tersebut diminati sangat oleh pengusaha “Tahu” untuk bahan bakar pengganti minyak. Pengusaha tahu jelas membayarnya, uangnya sulit mengembalikan ke kas daerah atau negara sepertinya belum ada akunnya. Kembali lagi itung-itung sebagai hasil sampingan. Jadi sungguh penghijauan dengan Akasia banyak juga multiplier effeknya.
Lain lagi dengan psychology orang di tanah Arab sana, contoh di Madinah, sepanjang jalan di dalam kota ditanam pada jalur pemisah jalan pohon kurma di tata apik. Pelepah yang tua dipotong begitu rapi sehingga seperti hiasan. Bagaimana ketika pohon kurma berbuah, jadikah pemicu kerusuhan? Ternyata tidak, karena orang sudah terpola tidak mau mengambil yang bukan haknya. Selain itu taman, milik kerajaan, buah-buah yang ditanam di taman sepanjang jalan milik kerajaan. Nampaknya orang lebih tunduk kepada Raja ketimbang pemerintahan yang dipilih rakyat. Haruskah bangsa ini jadi kerajaan? Supaya ndak ada DPR, dengan demikian banyak biaya yang dapat dihemat, kebijakan pemerintah tak banyak yang terhambat. Tapi sulit juga yaa...... kalau kebetulan Rajanya adil dan arif beruntung rakyat akan sejahtera, tetapi kalau Rajanya zalim susah diganti, ndak ada pemilu lima tahun sekali. Setiap pemilu lumayan rakyat dimanjakan, sekurang-kurangnya ditebar janji memberikan harapan. Setidaknya dapat kaos oblong lusinan dan sedikit tambahan uang hadir kampanye buat bayar kontrakan.

No comments:

Post a Comment