Friday 23 March 2012

Effektifkah Bantuan Langsung Sementara?

Berbekal dari keinginan untuk membantu sesama, pernah suatu ketika saudara saya yang kebetulan ekonominya agak mapan, memberikan bantuan sejumlah tertentu kepada kerabat kami yang kebetulan kurang beruntung, katakalah hidup di bawah garis kemiskinan. Setelah melihat keadaan rumah tangga dari keluarga kerabat kami kurang mampu tersebut, saudara saya itu memberikan bantuan sejuta rupiah tahun 90an. Bantuan tunai itu dimaksudkan oleh pemberi bantuan untuk dapat dijadikan sebagai modal usaha. Bertepatan, kerabat yang dibantu berprofesi sebagai nelayan. Jumlah bantuan uang tunai itu bukan tidak dengan anasilis ringan, peruntukannya dimaksudkan untuk membeli alat penangkap ikan baru, serta memperbaiki perahu.
Jumlah bantuan tersebut oleh saudara saya dikemukan sebagai pinjaman, dikembalikan dengan tanpa bunga dalam jangka waktu setahun. Penegasan ini sekedar untuk memberikan semangat kepada yang bersangkutan agar benar-benar memanfaatkan uang tersebut, sebab diakadkan sebagai pinjaman, bukan hadiah. Dalam pada itu, saudara saya ini karena untuk jumlah sejuta rupiah tersebut walau di tahuan 90an bukanlah jumlah yang sangat material baginya, jadi sebenarnya ia tidak mengharapkan lagi pengembalian. Dia sangat berbesar hati kalaulah kerabat ini dapat terangkat ekonominya. Diniatkan oleh saudara saya itu kalau nanti ia mengembalikan langsung dihibahkan kembali untuk tambahan modal usaha yang bersangkutan.
Apa yang terjadi, setelah dana tunai tadi diterima, ........... mungkin atas desakan keluarga yang sudah lama ingin punya TV. Maka yang pertama masuk ke rumah mereka adalah TV. Berikut membeli keperluan-keperluan lain yang tidak ada hubungan dengan paralatan penangkapan ikan dan bahkan sebagian dipergunakan untuk memperbesar belanja dapur alias kebutuhan konsumtif. Cita-cita punya TV sudah lama dipendam, demikian juga sepertinya belum pernah punya uang tunai sejuta rupiah, apa saja makanan dan pakaian yang sederhana yang selama ini belum dimakan atau belum pernah dipakai, uang itupun dipergunakan. Pikir keluarga mereka sudahlah, menangkap ikan dengan peralatan yang ada ini saja dulu ndak apa-apa, selama ini juga toh masih hidup sampai sekarang, dengan peralatan seadanya.
Uangpun akhirnya habis, belum setahun TV yang ada di rumah harus keluar lagi, untuk dijual tentu dengan harga murah tidak seperti ketika membeli, guna tambahan uang menyambung hidup. Al hasil hutang sejuta rupiah habis beigitu saja. Itulah salah satu contoh bantuan langsung uang tunai kepada penduduk yang terlanjur berada di bawah garis kemiskinan, tidak dapat menaikkan keadaan perekonomian mereka, bahkan kalau uangnya hanya 150 ribu rupiah akan habis pada hari itu juga.
Contoh lain, tetangga saya belum lama ini saking sudah kesulitan mengurus kebersihan rumah tangganya, akhirnya pada suatu hari menerima kehadiran seorang yang ingin bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Ibu setengah baya yang melamar jadi pembantu itu mengaku punya anak satu yang baru ditinggal suaminya meninggal dengan momongan seorang cucu dari mantu lelaki yang baru meninggal tersebut. Dikabarkan bahwa si “Bibi” tinggal di rumah kontrakan 300 ribu rupiah sebulan. Disepakati honor membantu setengah hari untuk nyuci, ngepel dan beres-beres rumah 450 ribu rupiah sebulan. Eee belum genap empat hari kerja di tetangga saya itu, si “Bibi” pinjam uang 100 ribu, untuk tambahan bayar kontrakan kamar, katanya. Si tetangga saya dengan yakin meminjami uang seratus ribu, itung-itung nanti dipotong gaji bulanan. Tapi apa yang terjadi yang bersangkutan terus tidak masuk lagi.
Tidak juga si “Bibi” dapat dipersalahkan mutlak, memang begitulah keadaan rakyat miskin di Indonesia ini. Si “Bibi” tadi dijamin termasuk orang yang tidak mendapat jatah, kalaupun pemerintah memberikan BLSM, karena walau ia penduduk asli di negeri sendiri tapi tidak punya KTP, sedangkan BLSM harus orang miskin terdaftar. Untuk terdaftar harus penduduk, untuk dianggap penduduk kalau ada KTP yang masih berlaku. Kenapa ia tidak punya KTP padahal nenek moyangnya, enyak babenya orang betawi asli, bahkan masih ada tanah warisannya yang tidak punya sertifikat di DKI. Kenapa sampai si “Bibi” tidak punya KTP. Karena untuk memperpanjang KTP, katanya si “Bibi” ia dimintai untuk nyiapkan uang ratusan ribu, dari mana uang segitu, untuk makan saja terpaksa pinjam sana pinjam sini, kalau perlu ngutang dengan sedikit agak bohong, akhirnya KTP nya mati.
Kalaupun si “Bibi” tadi mendapat BLSM tentu akan habis sehari untuk memenuhi kebutuhan hidup. Orang yang lama ndak pegang duit, begitu ada duit, segala yang lewat dibeli, karena selama ini sudah ingin betul makan KFC, ingin betul makan bakso dan seterusnya, uang seratus lima puluh ribu rupiah hampir dapat dipastikan tidak akan dapat bertahan sampai seminggu.
Beginilah potret langsung masyarakat miskin di Indonesia, khusus di ibokota Jakarta. mereka bukan saja miskin harta tapi miskin identitas dan juga miskin akses mendapatkan pelayanan masyarakat. Adalah merupakan tugas utama bagi Gubernur baru yang terpilih nanti, untuk meniadakan kemiskinan pelayanan masyarakat.
Jalan keluar yang harus dilakukan pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan adalah memberikan lapangan kerja kepada seluruh rakyat Indonesia, supaya mereka mempunyai daya beli. Untuk lapangan kerja, masih banyak peluang pemerintah untuk membangun perkebunan di seluruh wilayah Indonesia dengan perkebunan milik negara jangan selalu mengandalkan pihak swasta atau diberikan kepada asing. Tenaga kerja adalah rakyat Indonesia sendiri, demikian juga pertambangan milik negara, perusahaan perikanan milik negara. Semua perusahaan milik negara itu untuk lapangan kerja bagi rakyat indonesia. Sehingga benar-benar seluruh kekayaan alam Indonesia dapat dimanfaatkan oleh rakyat sendiri, bukan oleh negara asing.

2 comments:

  1. Memang tidak mudah mengangkat masyarakat miskin,tapi bagaimanapun itu tugas pemerintah.

    ReplyDelete
  2. Memang tidak mudah mengangkat masyarakat miskin,tapi bagaimanapun itu tugas pemerintah.

    ReplyDelete