Friday 24 February 2012

PiLU MENDENGAR KAMPANYE PEMILU

Sebagian bapak penghadir di suatu ceramah, tak tahan membendung air matanya karena terharu. Satu-satu mengeluarkan saputangan menyeka mata mereka masing-masing. Sementara si pembicara tetap saja meneruskan presentasinya, tidak merasa terganggu atas sebagian hadirin “manula” merespon ceramahnya dengan menyeka mata. Bahkan ada juga yang cegugukan menangis pilu menunduk bersembunyi diposisi pojok.
Antara lain isi pidato tamu dari kota itu adalah: “Kita harus dapat memilih wakil-wakil kita yang duduk di lembaga legislatif yang representatif dan mampu membawakan aspirasi konstituennya. Bila wakil-wakil kita mayoritas di lembaga legislatif, akan mampu memberikan dukungan kepada pihak eksekutif sehingga dapat menjalankan roda pemerintahan dengan effektif”.
Tamu dari kota berkunjung di suatu desa sebagai tamu pak lurah itu, rupanya adalah JURKAM salah satu kontestan PEMILU,......yaa....... sudah era reformasi. Pak lurah mengerahkan penduduk kampung untuk mendengarkan kampanye. Dipilihlah waktu sesudah Isya dan dilaksanakan di ruang kelas bangunan SD setempat dengan penerangan lampu petromak. Agar lebih banyak dapat menampung pengunjung, tiga kelas dibuka sekatnya sehingga menjadi satu ruangan. Pengeras suara pakai inventaris kelurahan dengan tenaga Aki, lumayan lantang kedengaran bukan saja di ruangan, juga sampai ke telinga penduduk sekitar sekolahan dikeheningan malam di desa. Lazim sudah, janjipun diucapkan bahwa “kalau partainya menang desa akan terang benderang oleh listrik”.
Biasalah, istiadat penduduk desa kita di mana saja di tanah air Indonesia ini, sangat-sangat memuliakan tamu. Apalagi orang dari kota, ingin melihat dan ingin jabat tangan ingin mendengarkan apa yang akan diomongkannya. Ala kadarnya mesti disiapkan sekedar makanan, paling tidak makanan kecil. Tapi karena itu orang tamu pak lurah dan kebetulan desapun belum lama panen. Maka diacarakan sesudah mendengarkan ceramah akan makan bersama hadirin yang diundang. Pak lurah sungkan juga kalau tidak menyediakan makan malam sekalian, karena si tamu ada juga sedikit ngasih sumbangan buat kas desa (bukan money politik). Jadi itu duit sekalian digunakan untuk konsumsi.
Pak Jurkam diam-diam rupanya terselip juga dihatinya menyaksikan beberapa bapak tua terharu ketika ia bicara tadi. Dia rasa pembicaraannya tidak ada yang menyedihkan, penuh semangat, sesekali dengan mengacung-ngacungkan tangan ke atas dengan telunjuk dan kepalan. Tapi kenapa itu beberapa bapak tua menangis. Soal petromak hanya disinggung janji akan diganti listrik, bukan menyinggung/mencela mengapa kalau hanya mampu pakai petromak. Apakah mereka tau bahwa janji memasangkan listrik buat desa hanya “janji kampanye”, setelah itu tak ada ujungnya.
Selesai ceramah, dan mulai makan malam diatur “empat setalam” *), pak lurah dengan sang pembicara di talam yang sama dengan dua orang lainnya yaitu sekretaris desa dan satu lagi dari rombongan tamu. Talam lain wakil lurah dengan tamu rombongan dan seterusnya tetua masyarakat sesuai ketuaan dan herarkhi desa. Aturan ini sudah otomatis jalan dengan sendirinya ketika makanan dihidangkan.
Keterangan:
*)Talam adalah tempat menghidangkan makanan, di dalamnya sudah lengkap seperangkat nasi serta lauk pauknya. Menyantap makanan tanpa sendok garpu, tersedia “kobokan (tempat air cuci tangan). Dihidangkan di lantai di atas tikar, setiap talam dilingkari oleh empat orang, duduk bersila, makanya diistilahkan “empat setelam”. Talam dikeluarkan oleh tuan rumah ketika acara makan akan dimulai. Jadi ketika ceramah tidak terlihat makanan.

Sambil menyantap makanan pembicara pun berbisik ke pak lurah: “Maaf pak kalau pembicaraan saya tadi menyinggung perasaan sebagian bapak-bapak tadi yang saya lihat menangis”. Pak Lurah: “Memang pak, beberapa Bapak tadi terharu dan pilu mendengar pidato Bapak, mereka bukannya tersinggung”. Tambah penasaran si “agitator” dalam hatinya apa yang membuat terharu, sedang dia bicara berapi-api. Pembicara penasaran bertanya lagi: “Tentang apa pak lurah kalau boleh saya tau mereka terharu”. Pak lurah menjelaskan: Bahwa di desa ini pernah ada seorang “tuan guru” (seorang panutan yang disegani karena pengetahuan yang tinggi di bidang agama), telah lama meninggal kira-kira limabelas tahun yang silam. Si tamu dari kota itu makin penasaran mendesak pak lurah kepingin tau: “Apa pembicaraan saya tadi ada yang menyinggung “tuan guru” tersebut. Kejar si pembicara. Oh ....Tidak........... tidak, kata pak lurah meyakinkan. “Lalu apa pak lurah”, lanjut pembicara. Dengan sabar pak lurah menjelaskan: “Tuan guru yang sangat dihormati itu bernama ABDUL LATIF”, “Lantas apa hubungan dengan kampanye saya tadi pak lurah”. Tanya sang Jurkam. Pak lurah meneruskan ceritanya: “Dikira bapak tua-tua yang pada nangis itu Bapak kenal akrab dengan tuan guru mereka, sebab Bapak menyebut-nyebut =LEGISLATIF, EKSEKUTIF, RESPRESENTATIF dan EFFEKTIF= dalam pidato Bapak. Ingatan mereka tergugah kepada mendiang “tuan guru” mereka “Abdul Latif”. Apalagi ada tambahan Bapak menyebut-nyebut mayoritas, dikira mereka, bapak juga kenal anak “tuan guru”. dulu berpangkat sersan mayor putra daerah sini yang gugur dalam pertempuran zaman konfrontasi.
Oooh begitu,....... sambil mangguk-mangguk sang tamu sebagai Jurkam tadi merespon keterangan pak lurah. Ternyata para bapak tua tadi tidak paham arti legislatif, eksekutif, respresentatif dan effektif.
Malamnya Jurkam masih harus bermalam di rumah pak lurah, sebab besok siang baru ada tumpangan ke kota dengan perahu bermotor. Sebelum tidur si Jurkam mulai memikirkan nanti kalau kampanye lagi di pedesaan lain seperti ini, harus disesuaikan istilah-istilah yang diperkirakan kurang mengerti maksudnya. Misalnya legislatif diganti menjadi “anggota DPR”. Eksekutif mungkin cocok diterjemahkan menjadi pemegang kendali pemerintahan. Respresentatif agaknya mendekati arti dapat dipercaya dan effektif tak akan jauh kalau diterjemahkan menjadi: tepat, mengena, berhasil guna yang lebih tinggi. Mayoritas akan diterjemahkan dalam jumlah yang lebih banyak dari partai lain.
Cuma masalah janji, sulit juga nanti kalau benar benar menang, apa betul-betul listrik akan jadi terang benderang di desa yang penduduknya lugu itu. Oh itu perkara nanti pikirnya yang penting menang dulu, si Jurkam menentramkan dirinya sendiri.






No comments:

Post a Comment