Saturday 3 March 2012

TERSURAT KARENA BUAYA

Tersebut seorang Raja yang sedang betahta tetapi belum mendapatkan tanda ada putera mahkota. Sementara usia sang Raja sudah semakin renta. Raja berikut akan sulit kalau bukan putera mahkota. Tahun ketujuh Raja sudah sejak dinobatkan, belum juga ada tanda lahir seorang putera mahkota. Dengan begitu kalau Raja mangkat atau lengser akan dinobatkan Raja baru mungkin bukan dari garis keturunan langsung Raja yang bertahta saat ini, akan diangkat melalui pemilihan para bangsawan kerajaan.
Alih-alih tahun kedelapan masa tahta sang Raja, tampak tanda isteri paduka mulai mengandung, betapa sukacita seluruh negeri, karena tak akan sulit lagi memilih Raja pengganti. Sebab dengan pemilihan melalui para bangsawan, sangat dimungkinkan saling rebut pengaruh, bukan tidak mungkin mengganggu keamanan dan ketertiban di dalam kerajaan. Benar kata pepatah “Gajah sama Gajah berkelahi semut mati ditengah-tengahnya”. Lain halnya bila ada putera mahkota, walau ia masih belum dewasa, katakanlah masih anak-anak dan bahkan belum bisa berkata-kata alias masih bayi, kerajaan dapat dipimpin oleh raja sementara suatu wali negeri,sampai menunggu si bayi dewasa.
Kandungan permaisuri semakin hari berangsur syarat. Tak sabar Raja mengundang para tabib untuk merawat dan tak ketinggalan pula orang pandai didatangkan untuk meramal, apakah calon bayi lelaki atau perempuan dan bagaimana nasib keberuntungannya.
Ahli nujum kerajaan, meramalkan bahwa putera mahkota, sejak bayi sampai usia duabelas tahun akan dalam bahaya. Putera mahkota terancam dimangsa oleh Buaya. Sangat terkejut seluruh kerabat keraton mendengar ramalan itu. Sebab mereka adalah kerajaan yang tidak bisa memisahkan diri dari sungai dan laut. Justru letak keraton sendiri adanya di tepi sungai. Urat nadi perekonomian kerajaan ditentukan oleh sungai, sebab segala kebutuhan hidup dan lalu lintas niaga dan orang harus diangkut melalui sungai. Bagaimana mungkin seorang Raja pesisir nantinya tidak berhubungan dengan sungai, tempat habitat hewan bernama Buaya itu.
Raja mengadakan sidang darurat menyongsong kelahiran calon putera mahkota, tak lupa diundang para peramal kerajaan. Dalam urun rembuk pembesar kerajaan yang dihadiri juga sejumlah paranormal langganan kerajaan yang kesohor itu, setelah hampir saja menemukan jalan buntu salah seorang paranormal terkemuka “Ki Ngoceh Nguyu di Papan” mengatur sembah untuk bicara di dalam majelis tersebut.
“Ampun beribu ampun yang dipertuan Raja bertuah.
Izinkan hamba yang hina dina ini mengatur sembah.
Maafkan atas kelancangan hamba ingin bermadah.
Hamba usul begitu lahir putera mahkota diboyong pindah.

Demikian persembahan usul dari “Ki Ngoceh Nguyu Di Papan” salah satu paranormal terkemuka di kerajaan itu.

Raja yang sudah sekian lama menunggu permaisuri mengandung, kemudian setelah tua renta istri mengandung tentu dengan hati berbunga-bunga mengharapkan kehadiran bayi. Saya sendiri pernah merasakan, tentang bagaimana menerima kelahiran anak saya yang pertama. Saking bahagianya sepertinya setiap orang ketemu mau rasanya memberi orang itu berita tentang kelahiran anak saya. Benar juga waktu itu harus ke apotik duapuluh empat jam, kira-kira pukul 5 pagi, menebus obat resep dokter, buat anak saya yang baru beberapa jam lahir itu. Langsung saya ceritakan ke pelayan apotik bahwa anak saya telah lahir, lelaki, lengkap dengan panjang dan beratnya serta waktu kelahirannya. Walau si petugas apotik sepertinya sama sekali tidak menanggapi pemberitahuan itu, saya tetap saja cerita. Untung petugas apotik ndak bilang “maaf ndak nanyak”. Oleh karena itu saya maklum jika si Raja tentu gundah hatinya anak yang akan lahir tiba-tiba diusulkan pindah dengan begitu harus berpisah. Usul ini tentu berat rasanya untuk dikabulkan. Sang Raja masih ingin agar ada usul lain yang tidak memisahkan ia dengan anaknya nanti tetapi si anak dapat dijamin keamanannya dari bahaya serangan Buaya.

Lama sudah sidang kerajaan digelar namun tidak ada usul cemerlang yang keluar dari para pembesar kerajaan, dan semuanya tidak berani menjamin keamanan, sebab sudah terbayang bahwa bercermin ke anak-anak, baik bangsawan maupun rakyat biasa, kelaziman penduduk tinggal ditepi sungai. Sudah sejak kecil mainnya di air, mandi berenang di dalam sungai. Akan aneh malah, di seantero kerajaan itu, bila sorang anak sejak pandai bermain, tapi tidak pandai berenang. Kelak kalau putera mahkota sudah beranjak anak-anak, tentu ia akan minta kepada dayang, inang pengasuh dan pengawalnya ingin bermain di sungai seperti anak-anak lain, seperti anak-anak bangsawan lain kerabat kerajaan. Itulah yang dikhawatirkan oleh para punggawa dan pembesar kerajaan.

Dengan berat hati kemudian sang Raja menanyakan kelanjutan usul “Ki Ngoceh Nguyu di Papan”.

Dengan penuh hormat, ahli nujum terkemuka tersebut menyampaikan usulnya dihadapan sidang kerajaan, didengarkan dengan penuh khidmad seluruh hadirin, berucaplah dia:

“Mengungsikan putra mahkota tahun terbilang.
Hanya sampai ancaman bahaya terlewatkan.
Dengan para pengawal ke puncak gunung Gantang.
Sampai umur tigabelas, setidaknya lewat sebulan.”

Mengertilah Raja dan seluruh pembesar kerajaan bahwa pengungsian itu hanya untuk melewatkan “umur bahaya” menurut ramalan yaitu 12 tahun. Kalau sudah melewati itu diharapkan sudah tidak berbahaya lagi, untuk sipnya dilewatkan setahun tambah sebulan.

Sesuai keputusan sidang kerajaan, dengan berat hati Raja membuat keputusan dan menitahkan, agar segera persiapkan satu team pengawal untuk menemani putera mahkota dalam pengungsian nanti. Gunung Gantang yang letaknya puluhan kilometer ke arah daratan dari keraton kerajaan “Muara Bentang”. Postur gunung dari kejauhan persis seperti “Gantang” ditiarapkan (alat takaran di masyarakat Melayu, sejenis literan). Adapun ukuran “Gantang’ adalah empat “Cupak”. Satu “Cupak” empat Kaleng susu kental manis “Cap Junjung” Jadi satu “Gantang” setara dengan 16 Kaleng susu tersebut. Tapi ini hanya memberikan nama pada gunung yang bentuknya mirip “Gantang” tiarap itu. Gunung tinggi menjulang. Karena bentuknya itu gunung itu terjal, untuk kepuncaknya harus dengan membuat jalan undak-undakan berkeliling. Oleh karena itu logikanya Buaya tidak mungkin sampai dapat kesana dan memangsa putera mahkota. Beberapa bulan lagi kelahiran putera mahkota, sudah dibuat undakan jalan ke puncak gunung dan telah dipersiapkan segala fasilitas, seperti pemandian, istana kecil dan rumah tempat para pengawal, inang pengasuh.

Begitu putera mahkota meluncur ke dunia semakin yakin sang Raja akan kebenaran ramalan ahli nujum kerajaan, sebab benar saja anaknya adalah lelaki. Zaman itu peramalan belum secanggih sekarang, dimana zaman kini anak belum lahir beberapa bulan sudah diketahui lelaki atau perempuan dengan alat USG (Ultra Sonographi). Satu-satunya untuk mengetahui anak dalam kandungan kala itu adalah ahli nujum, kadang benar tak jarang meleset juga.

Berangkat dari keyakinan itu, tidak menunggu berlama-lama bayi dengan permaisuri segera dievakuasi ke gunung “Gantang”. Raja dan beberapa pembesar kerajaan sempat mengiringi rombongan mengantar sampai ke puncak gunung. Saking memikirkan pemerintahan yang harus tetap ada Raja di istana, kalau tidak, Raja mau rasanya berlama lama di istana kecil di puncak gunung Gantang. Hanya sepuluh hari, rajapun kembali ke istana di tepi sungai, untuk mengatur roda pemerintahan. Namun setiap bulan disempatkannya untuk menjenguk putera mahkota, umumnya hari Sabtu atau Minggu, ketika bulan purnama.

Hari berganti minggu, minggu menyusun bulan, bulan menyusul tahun, tidak terasa si putera mahkota yang mendapat gelar kerajaan “Tuanku Pembawa Tuah”, sudah menjelang usia dua belas tahun. Berbagai daya dan diplomasi, dilakukan para pengawal dan punggawa kerajaan untuk memberikan alasan kenapa diusia itu calon Raja belum diperkenankan untuk pergi ke istana di tepi sungai. Istana hanya dapat kelihatan dari atas puncak mahligai istana di puncak gunung “Gantang”. Pantangan dijaga secara ketat sampai saatnya nanti ke istana menggantikan ayahanda diumur tigabelas tahun lewat sebulan.

Suatu hari tiba-tiba “Tuanku Pembawa Tuah”, mengemukakan keinginannya untuk melihat hewan yang bernama Buaya. Kontan permintaan itu sangat mengagetkan ayahanda dan seluruh pembesar kerajaan, mengingatkan mereka akan ramalan belasan tahun yang lalu. Tentu saja permintaan itu tidak dikabulkan, setidaknya sebelum berusia di atas 12 tahun.

Inang pengasuh tidak kurang akal, diberikanlah contoh hewan yang bernama “Buaya” itu seperti cecak yang kebetulan banyak di dinding istana di puncak gunung “Gantang”. Adalah tukang dongeng istina “Wak Buhau” selalu berdongeng menjelang tidur, sambil memberi pengetahuan bagi calon Raja dengan berbagai jenis flora dan fauna termasuklah di dalamnya diantaranya menceritakan tentang bentuk hewan yang bernama “Buaya”. Hewan tersebut ada bergigi tidak berlidah, ekornya bergerigi hidupnya di darat dan banyak di air. Cecak yang dialihkan perhatian para punggawa kerajaan tidak memuaskan rasa keingintahuan dari calon Raja. Sebab dilihatnya Cecak berlidah, melekat di dinding dan di loteng. Katanya Buaya tidak berlidah, tubuhnya besar lebih panjang dari manusia.

Disebabkan desakan terus menerus keinginan putera mahkota, tidak tahan akan desakan itu Raja yang tak tega dan juga untuk menyenangkan hati anaknya, menitahkan ahli patung istana, untuk membuat mainan berupa patung buaya dari kayu “Pelaik”. (Sejenis kayu yang sangat ringan, mudah dibentuk, mengapung diatas air. Kayu ini tahan terhadap air, biasa dibuat tutup botol, karena sifatnya yang liut). Banyak tumbuh dihutan kerajaan “Muara Bentang”. Hutan di kerajaan ini dilestarikan belum dirambah untuk lahan kelapa sawit.
Betapa senangnya hati putera mahkota dipenuhinya keinginan itu, setiap hari ia asyik bermain dengan patung Buaya itu. Apalagi patung bisa mengapung di atas air, sesekali dibawa berenang bersama dikolam pemandian istana kerajaan di atas gunung Gantang. Selesai dipergunakan bermain, patung “Buaya” digantungkan di dinding, sampai diturunkan kembali ketika akan dipergunakan utuk bermain.

Persis diusia putera mahkota yang kedua belas tahun, diadakan upacara ulang tahun ke dua belas, dihiaslah istana dan antara lain dekorasinya patung Buaya dilekatkan di dinding persis di atas kepala putera mahkota menerima ucapan selamat. Entah apa sebabnya, mungkin ada sedikit gempa ringan ketika itu, mungkin hanya beberapa skala rekhter. Patung Buaya terpeleset dari sangkutannya dan jatuh persis menimpa kepala putera mahkota. Lantaran kejatuhan patung buaya tersebut, putera mahkota langsung jatuh sakit, selanjutnya seorang tabibpun tidak dapat menyembuhkannya dan akhirnya meninggal dunia. Jadi juga putera mahkota mati kena Buaya, walau tidak dimangsa oleh buaya benaran. Itu mungkin suratan mati harus karena “Buaya” walau hanya patung “Buaya”.

Saya pernah punya seorang teman, ketika bertugas mengawal uang di pesawat terbang kecil isi 9 orang, pesawat jatuh dan tujuh penumpang lainnya meninggal seketika, sedang teman saya ini bersama seorang anak kecil terjatuh di atas lumpur di tepi pantai dan akhirnya disadarkan oleh ombak, dapat bangun merangkak menuju pantai, walau beberapa bagian tubuhnya patah dapat tertolong oleh nelayan dan selamat dari maut waktu itu. Teman ini suka bercanda kadang di kantor seperti jatuh dari kursi atau kepleset, tapi hanya pura-pura, sekedar menghibur rekan sekantor barang kali. Beberapa tahun sesudah sembuh akibat jatuh dari pesawat terbang, suatu siang terdengar yang bersangkutan jatuh dari kursi kerjanya, lantaran sering bercanda rekan sekantor tidak begitu memperhatikan. Tetapi karena lama tidak bangun maka ada yang coba menghampirinya, ternyata beliau benar-benar sudah meninggal dunia. Rupanya teman ini ditaqdirkan meninggal karena jatuh, selamat ia jatuh dari pesawat tapi benar-benar meninggal terjatuh dari kursi.

Kisah “Mati kena Buaya” di atas hanya dongeng yang tidak terjadi sebenarnya, apalagi orang yang beriman seharusnya tidak percaya dengan ramalan orang akan masa depan. Jangankan masa depan yang jauh, sedangkan esok hari saja manusia tidak ada yang mengetahui. Allah s.w.t. mengingatkan kita :
Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok*. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Qs: Lukman 34)
* Maksudnya: manusia itu tidak dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan diusahakannya besok atau yang akan diperolehnya, namun demikian mereka diwajibkan berusaha.
Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya, meriwayatkan dari salah seorang isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:
Barangsiapa mendatangi tukang ramal lalu menanyakan kepadanya tentang sesuatu perkara dan dia mempercayainya, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh hari.
Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Barangsiapa mendatangi seorang dukun dan mempercayai apa yang dikatakannya, maka sesungguhnya dia telah kafir dengan wahyu yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan diriwayatkan oleh keempat periwayat dan Al-Hakim dengan menyatakan: Hadits ini shahih menurut kriteria Al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Barangsiapa mendatangi tukang ramal atau dukun, lalu mempercayai apa yang diucapkannya, maka sesungguhnya dia telah kafir dengan wahyu yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Abu Ya’la pun meriwayatkan hadits mauquf dari Ibnu Mas’ud seperti tersebut di atas, dengan sanad jayyid.
Al-Bazzar dengan isnad jayyid meriwayatkan hadits marfu’ dari Imran bin Hushain:
Tidak termasuk golongan kami orang yang melakukan atau meminta tathayyur, meramal atau meminta diramalkan, menyihir atau minta disihirkan; dan barangsiapa mendatangi tukang ramal lalu mempercayai apa yang diucapkannya, maka sesungguhnya dia telah kafir dengan wahyu yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Yang dapat diambil pelajaran bahwa kehidupan ini sudah ditentukan taqdirnya oleh yang maha kuasa, bagaimanapun akan terjadi sesuai taqdir itu, walau manusia tidak dapat mengetahui taqdir tersebut oleh sebab itulah senantiasa harus berusaha.
Untung dan rugi sudah tersurat
Sebelum ajal berpantang mati
Adapun ikhtiar sebagai syarat
Akhirnya taqdir akan didapati




No comments:

Post a Comment