Thursday 29 September 2011

KEMARAU

Sudah hampir berakhir bulan September 2011, hujan belum banyak turun menyirami bumi nusantara. Banyak berita bahwa di beberapa daerah di Indonesia masyarakat sudah kekurangan air, banyak pula panen gagal, tanah menjadi retak. Konon lagi mengairi sawah, untuk keperluan minum saja di banyak desa sudah mulai kesulitan. Bila datang bantuan tangki air bersih pendudukpun antri menjejerkan jerigen.

Teringat masa kecilku, kota kami terletak di sebuah delta muara sungai bertatapan langsung dengan laut. Delta, kata para ahli dulunya terbentuk dari tumpukan lumpur di muara sungai. Kini dua anak sungai mengelilingi delta kami itulah sebagai sumber air tawar buat penduduk yang mendiami delta kelahiranku. Masa kecil kami belum secanggih sekarang, belum tersedia aqua, air minun tawar yang dijual di dalam galon, kemasan cup semacam sekarang.

Menurut data statistik bahwa hujan rata-rata dalam sebulan daerah kami itu adalah 16 hari. Kalaulah hujan itu sesuai statitistik maka tak akan mengalami kesulitan air minum, tapi musim kadang hujan terus menerus beberapa bulan, dulu-dulu di bulan yang akhirnya “ber”. Sementara berbulan-bulan hujan tak datang. Jika hujan tidak turun selama lebih dari dua minggu saja, sekarang ini pihak perusahaan air minum daerah sudah kesulitan bahan baku, sebab air laut sudah masuk ke kedua sungai yang mengelilingi delta dimana dari sungai itulah sumber air minum diolah. Menyikapi hal itu, maka “orang berpunya”, membangun rumah dengan menyiapkan bak penampungan air tertutup di kolong bangunan rumahnya untuk cadangan bila hujan terhenti agak lama, musim kemarau. Itu sebabnya di daerah kami walau hujan bagaimana lebatpun jarang terjadi banjir di jalan raya, karena hampir setiap rumah membuat bak penampungan air hujan. Jadi air hujan terserap ke rumah-rumah penduduk. Banjir hanya terjadi bila air laut naik disaat bersamaan hujan di hulu belum teduh. Dahulu belum ada perusahaan mengolah air minum, setidaknya ketika kota kelahiranku kutinggalkan tahun 1969 belum ada yang namanya PDAM.

Jika musim kemarau panjang, berjangkitlah penyakit muntah berak, ketika saya masih kecil dikenal dengan penyakit kolera. Wabah kolera mesti banyak membawa korban karena ketika itu belum ada pengobatan infus seperti sekarang. Penderita kadang tak bertahan, lantaran banyak mengeluarkan cairan, juga belum dikenal oralit. Dokter belum tersedia di kota kabupaten kami, hanya dilayani mantri. Pernah sebuah keluarga dengan anak lebih sepuluh orang menjadi korban kolera yang masih bertahan hanya ayahnya. Sepulang mengebumikan keluarganya yang terakhir si ayah tak dapat menahan stressnya. Dihunusnya “Mandau” ia pergi ke halaman rumahnya sambil berteriak menengadah ke langit “Tuhan kalau berani jangan hanya dengan anak dan istriku, kini hadapi aku”. Tetangga tentu tak berani mendekat, mandau terhunus, senjata kebanggaan kampung kami yang pada zamannya dipakai “ngayau” (memenggal kepala orang, kampung lain), buat mas kawin diera pra-agama berbudaya. Setelah yang bersangkutan pingsan barulah beberapa tetangga menghampirinya melucuti senjata beliau.

Lain lagi kisahnya seorang pemuda, ianya disuruh emaknya mencari air minum. Sebab kalau sekedar buat mandi dan cuci dan keperluan MCK masih dapat menggunakan air sungai yang sudah mulai payau mendekati asin. Kalau air sungai itu diminum akan mengakibatkan penyakit disamping memang rasanya ndak enak. Air tawar masih tersedia nun di hulu sungai, dengan mendayung perahu mudik ke hulu agak setengah hari. Masa itu belum diproduksi galon plastik, jerigen plastik dan ember plastik. Yang ada adalah tempayan (sejenis tempat penampungan air terbuat dari tembikar). Pendek kisah, pemuda tersebut memasukkan beberapa buah tempayan ke dalam perahu, selesai sholat subuh iapun mulai mengayuh perahunya menuju hulu sungai. “Ke kepala pulau” katanya bila kebetulan ada orang menyapanya ketika melewati “lanting orang” (lanting = bangunan kamar mandi ditepi sungai diletakkan di atas batang kayu yang timbul di air, mengapung mengikuti pasang surut air). Penyapa sebenarnya sudah tau kemana orang yang disapanya dengan melihat perlengkapannya yaitu untuk mengambil air tawar, biasa keramahan di kampung kurang pas jika ada orang lewat tidak disapa atau ditanya walau hanya sekedar basa-basi.

Hampir dzuhur si pemuda sampai di perbatasan air tawar dan air payau. Kadung sudah jauh berkayuh, sekalianlah pikir pemuda tadi, melanjutkan ke hulu sungai lagi agak seperempat jam supaya air benar-benar tawar. Sesampai di air tawar segera perahu ditambatkan di dahan pohon diteluk sungai. Delapan tempayan besar dan kecil diisi semua dengan air tawar, sebelum melepas tambatan sipemuda beristirahat sejenak sambil membuka upih bekal nasi dan lauk pauk dari ibunda. (upih= kulit pelepah pohon pinang setelah dilepas kulit luarnya. Bagian dalamnya enak dibungkuskan ke nasi buat bekal perjalanan jauh, apalagi kalau nasi beras baru). Selesai makan siang tak lupa berwudhu dan shalat dzuhur di perahu tertambat. Selesai shalat tali dilepas dari dahan pohon, perahu milir tidak begitu menggunakan tenaga, ikut arus, walau muatan syarat tak begitu mengalami kesulitan, tinggal arahkan kemudi. Baru dua tanjung satu teluk diliwati, tiba-tiba terdengar guntur diiringi petir. Pemuda tadi memilih untuk berhenti, maka diteluk depan ia kembali istirahat menambatkan perahu di dahan pohon yang menjuntai kesungai. Sejurus kemudian hujan turun dengan lebatnya, sementara pandangannya dilayangkannya ke langit disekitar kampung. Yakinlah ia bahwa musim kemarau telah berakhir. Dalam keadaan hujan yang masih lebat itu, tanpa pikir panjang semua isi delapan tempayan ditumpahkan ke sungai, sebab percuma pikirnya, berat-berat membawa toh dirumah emak sudah menampung air hujan yang segar buat minum. Begitu hujan reda dan langitpun berangsur terang, waktu sudah menjelang ashar. Tali tambatan perahu dilepas, dengan tanpa beban si pemuda mengemudikan perahunya mengikut arus. Teluk dan tanjung sungai dilalui, semakin dekat dengan kampung, udara semakin menyengat panas, sedang matahari merah kekuningan menjelang senja. Pangkalan perahu semakin mendekat terlihat emak baru saja naik dari lanting. Al hasil perahupun ditambatkan dan emakpun dengan yakin anaknya membawa delapan tempayan air cukup untuk buat masak dan minum beberapa pekan, kalaupun hujan tak juga turun. Alangkah terkejutnya si pemuda setelah diketahuinya bahwa di kampug setetes hujanpun tak ada yang turun. Apalagi si emak yang sedari tadi berharap juga sambil mendo’a agar anaknya selamat dalam perjalanan, maklum berangkat sendiri. Emak menyembunyikan kekesalannya setelah diceritakan apa yang dialami anaknya. Tapi yang sangat kesal/kecewa si pemuda atas kesia-siaan yang dialaminya hari ini, bayangkan sudah capek tidak membawa hasil. Pikiran kekecewaannya ini rasanya harus membalas dendam, tapi dendam kepada siapa?. Magribpun tiba, ia segera mengambil wudhu dengan air sungai yang payau itu, sebagaimana layaknya seorang yang akan shalat, ia berpakaian serapi mungkin, pakai sarung baju teluk belanga dengan kopiah almarhum ayahnya yang biasanya hanya hari raya saja ia pakai. Setelah sajadah dibentangnya iapun mengangkat takbir, setelah takbir ia tidak melanjutkan shalatnya. Emaknya kaget melihat perilaku anaknya itu. “Eee kenapa kau ini nak” tanya emaknya. “Biar buat stand satu satu”, jawab si anak. “Apa maksud kau”, lanjut emak. “Tadi siang Tuhan memberi pengharapan buat saya mak, sekarang saya balas beri harapan pada Tuhan, dengan rencana shalat tapi ndak jadi”. Pahamlah si emak rupanya si anak ingin balas dendam pada Tuhan yang siang tadi memberi tanda hujan di tempat ia mengambil air tawar, ternyata setelah pulang didapatinya hujan tidak turun dirumahnya. Sekarang ia membalas pura-pura akan shalat kemudian tidak jadi. Emak sebentar tertegun sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Rupanya si anak ingin membalas dendam kepada Tuhan. Kemudian se emak menasihati anaknya, pada pokoknya beliau nasihatkan:

1. Ketahuilah bahwa apapun yang diciptakan Allah tidak ada yang sia-sia. Kemarau diciptakan merupakan rahmat Allah untuk sebagian makhluknya. (penulis: tentu maksud emak tadi kalau tidak ada kemarau panjang, bagaimana petani garam dapat mengkristalkan air laut menjadi garam. Kemarau sangat ditunggu petani tembakau).

2. Sesuatu yang engkau anggap baik, belum tentu baik buatmu dan sesuatu yang kau anggap buruk belum tentu tidak baik buatmu.

Emak juga menjelaskan bahwa kalau sekedar untuk masak dan minum agak dua hari kita masih punya. Jadikan pengalaman ini menjadi pelajaran buat kemudian hari.

Kejadian ini setidaknya berhikmah menjadi pelajaran buat si pemuda kalau mendengar kabar akan sesuatu yang menggembirakan jangan langsung percaya dan menyia-nyiakan kesempatan yang sudah ada. Dari peristiwa ini timbul pepatah “Mendengar guntur di langit air di tempayan ditumpahkan” pepatah pusaka melayu ini mengandung makna, jika diperoleh kabar tentang akan datang rizki, atau keberuntungan jangan buru-buru gembira, apalagi langsung memboroskan cadangan/persediaan yang sudah ada.

No comments:

Post a Comment