Thursday 15 September 2011

DAMPAK SINETRON KE PELAYANAN KESEHATAN DI DESA SANGAT TERPENCIL

“Kami hidup di negara Republik Indonesia, harus mendapat perlakuan yang sama dengan pelayanan pemerintah terhadap penduduk ibu kota”. Demikian statemen seorang penduduk, ketika saya menjemput anak sulung saya selesai bertugas sebagai dokter di desa sangat terpencil di suatu wilayah di negeri ini.

Pelayanan kesehatan kini diakui sudah semakin baik, bila dibandingkan ketika saya masih kecil tempo doeloe, walau beberapa hal terasa lebih baik yang doeloe. Masa kecilku, seluruh kabupaten asal kelahiranku tidak ada dokter yang menetap. Rumah sakit umum yang tersedia dilayani seorang mantri (mungkin setara dengan perawat sekarang). Secara periodik beberapa bulan sekali datang dokter berkunjung ke kabupaten kami dari ibu kota propinsi.

Kini di desa sangat terpencil tempat tugas anak sulung saya saja, di sebuah kecamatan yang berpenduduk 21.500 jiwa mendiami 9 desa dan 33 dusun, luas wilayah 1.422Km2, tersedia sebuah PUKESMAS dengan dua orang dokter umum dan seorang dokter gigi.

Tempo doeloe, masa kecilku berobat ke rumah sakit umum setidaknya seingatku tidak bayar.

Belakangan biaya kesehatan sangat tinggi. Apalagi bila pembandingnya dibawa ke kota Jakarta. Untung buat saya dan isteri dengan status pensiun masih dibantu oleh yakes untuk berobat jalan dengan plafond dan kalau dirawat inap ada semacam batasan tarif yang kini nampaknya sudah tidak pas lagi dengan tarif rumah sakit yang paling murahpun di Jakarta pusat. Namun sangat disyukuri, kalau masuk dirawat inap, setidaknya tidak harus setor dulu.

Otonomi daerah terasa kental di desa sangat terpencil dimana anak sulung kami berdinas PTT (Pegawai Tidak Tetap), persis ia bertugas di kecamatan itu, bupati setempat mencanangkan pengobatan gratis dari seluruh warga, sesuai janji kampanye rupanya. Program tersebut tentu mendapat sambutan dari warga. Dari sudut dokter program itu terasa sedikit agak merepotkan. Sebelum program gratis itu saja, perilaku masyarakat di desa sangat terpencil khusus di daerah anak sulung kami itu bertugas, sudah demikian rupa menginginkan pelayanan lebih, dari dokter. Beda dengan anak kami yang bungsu bertugas sebagai dokter PTT juga di desa sangat terpencil di kabupaten lain, sejalan dengan otonomi daerah, perlakuan pelayanan kesehatan di tempat tugas anak bungsu kami, yaitu hanya gratis kalau yang punya kartu “Jamkesmas”.

Pelayanan lebih yang diminta masyarakat di kecamatan dengan pelayanan gratis untuk semua warga tersebut adalah bilamana ada warga yang sakit, mereka minta agar dokter datang ke rumah mereka, kadang sakitnya tidak begitu berat. Kalau sakitnya berat yang harus dirawat inap penduduk minta supaya ambulance milik puskesmas menjemput mereka. Di Puskesmas tersedia ambulance dan speed boat, karena memang daerah tersebut transportasi dari/ke perkampungan diantaranya ada yang hanya dapat didatangi dengan jalan sungai.

Ketika saya mengantar anak saya ke desa sangat terpencil itu, baru beberapa minggu ada kejadian penting yaitu masyarakat berdemonstrasi ke kantor kecamatan. Masyarakat memprotes dokter tidak mau datang ke rumah seorang penduduk. Lantaran dokter tidak datang ke rumah pasien, seorang anak penduduk meninggal dunia tidak sempat dapat pertolongan medis. Rupanya si dokter kebetulan seorang wanita, konon tidak dapat memenuhi permintaan penjemputnya disebabkan malam itu demam dan cuaca hujan. Rumah yang harus didatangi harus ditempuh dengan sepeda motor jalan tanah yang tentu licin waktu hujan.

Beberapa bulan anak sulung kami berstatus tugas di kecamatan tersebut, terjadi lagi peristiwa yang lebih hebat lagi. Anak kami tidak berada di lokasi lantaran sedang tugas ke kota kabupaten. Kini rumah si dokter wanita akan dibakar masa, pemicunya juga karena dokter tidak bersedia datang malam hari itu ke rumah pasien. Keluarga pasien datang membawa sepeda motor menjemput dokter untuk datang ke rumah mereka karena ada keluarganya yang sakit. Lantaran si dokter tidak berkenan ikut, mungkin karena pertimbangan keamanan. Penjemput tadi datang lagi dengan membawa rombongan sepeda motor lebih banyak dan berusaha akan membakar rumah dinas dokter. Untung masyarakat sekitar/tetangga rumah dinas dokter cukup sigap. Si dokter wanita disembunyikan/diungsikan. Ketika pulang penjemput pertama, ditenggarai ada gelagat kurang baik. Rombongan yang berencana membakar rumah dinas dokter, akhirnya mengurungkan niatnya, antara lain setelah mengetahui bahwa rumah tersebut sudah tidak ada penghuni, juga tentu berkat langkah persuasif dari aparat.

Selanjutnya anak kami dengan koleganya mengungsi ke kecamatan lain di lingkup kabupaten tersebut, guna keamanan diri. Saya sempat datang beberapa waktu setelah mendengar kabar tersebut. Saya sempat menganjurkan kepada anak kami untuk kembali ke posnya, karena pihak aparat tentu akan menjaga keamanan. Tetapi kolega mereka yang bertugas di kecamatan lain di kabupaten tersebut tidak memperkenankan mereka untuk kembali ke pos mereka bahkan ada semacam peringatan bahwa apabila melanggar kesepakatan mereka tidak bertanggung jawab, bila terjadi sesuatu.

Pertama kali masuk ke daerah sangat terpencill tersebut, saya mengantarkan anak kami dengan menitipkan kapada Camat dan Kepala Desa dan juga pemuka masyarakat setempat. Oleh kepala puskesmas, saya dan anak dibawa ke kepala dusun yang warga mereka meninggal dikabarkan belum sempat mendapat pelayanan medis karena dokter tidak bersedia datang dan memicu terjadinya demonstrasi. Kepala dusun mengisahkan kembali peristiwa itu, sementara seorang ibu setengah baya di ruang tengah menimpali dengan suara nyaring “Itu dokter tidak menepati sumpah dokter”. Sepertinya ibu itu memahami sumpah dokter, yang dibacakan oleh seseorang yang akan menjalani profesi dokter Indonesia secara resmi. Sumpah Dokter Indonesia didasarkan atas Deklarasi Jenewa (1948) yang isinya menyempurnakan sumpah Hippokrates. Lafal Sumpah Dokter Indonesia pertama kali digunakan pada 1959 dan diberikan kedudukan hukum dengan PP No.69 Tahun 1960. Sumpah mengalami perbaikan pada tahun 1983 dan 1993. Entah butir mana dari sumpah itu dia (ibu itu) maksudkan yang dilanggar itu dokter yang tidak bersedia dijemput ke rumah. Menurut pertimbangan dokter-dokter di daerah sangat terpencil, dalam suasana normalpun (cuaca baik dan lokasi mudah terjangkau) mendatangi pasien ke rumah adalah langkah tidak tepat. Karena jika dokter meninggalkan posnya untuk mengunjungi seorang pasien, akan menghilangkan kesempatan penderita lain yang memerlukan pertolongan yang datang ke puskesmas. Kalau pasien yang datang ke puskesmas maka dokter dapat memberikan pelayanan ke banyak orang dalam tempo yang hampir bersamaan. Antara lain sumpah dokter butir pertama “Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan”. Dimaknai agar mereka dapat berbakti untuk kepentingan kemanusian lebih banyak. Kalau ia pergi meninggalkan pos tentu yang dapat dilayani hanya pasien yang memanggil kerumah itu saja.

Waktu akan pulang lantaran masa tugas selama 12 bulan anak tertua kami berakhir, kami sempatkan diri (saya dan isteri) untuk menjemput anak kami. Adalah mengusik fikiran saya, apa yang menyebabkan penduduk di desa sangat terpencil khususnya tempat tugas anak sulung kami itu berpandangan bahwa mereka harus mendapatkan pelayanan kesehatan; yaitu kalau sakit walau hanya ringan minta dokter datang kerumah, kalau sakit berat yang dikira perlu rawat inap, minta di jemput. Seorang yang menurut hemat kami pendapatnya dapat mewakili pendapat banyak penduduk, karena ia berpendidikan lumayan, setara sekolah menengah atas. Pendapatnya sangat mengejutkan statemen yang bersangkutan seperti saya redaksikan pertama di awal tulisan ini “Kami hidup di negara Republik Indonesia, harus mendapat perlakuan yang sama dengan pelayanan pemerintah terhadap penduduk ibu kota”. Lebih jauh saya cari tau dari mana mereka mendapatkan informasi pelayanan kesehatan untuk penduduk ibu kota itu dan perlakuan seperti apa yang dimaksudkan.

Ternyata informasi mereka peroleh dari tayangan televisi, saat ini acara TV sudah sampai ke desa sangat terpencilpun walau harus dijaring dengan Parabola. Di dalam sinetron TV sering ditayangkan adegan dokter yang berkunjung ke rumah pasien. Sering juga sinetron menayangkan bagaimana mobil langsung ke pelataran parkir UGD rumah sakit. Mobil entah ambulance atau taxi atau mobil pribadi, pasien turun disambut dengan para perawat dengan cekatan dan cepat dilarikan untuk mendapat perawatan. Inilah rupanya yang menjadi acuan mereka, minta perlakuan yang sama. Sepertinya mereka belum begitu paham bahwa yang ditayangkan sinetron itu pemilik mobil adalah keluarga yang sakit, atau taxi. Di daerah sangat terpencil sepertinya tidak begitu dapat membedakan antara taxi dan mobil pribadi, pokoknya dijemput mobil aja. Selain itu mereka berpendapat bahwa apa yang ditayangkan di dalam sinetron itu keadaan sebenarnya. Dan mereka merasa berhak mendapat perlakuan yang sama. Mereka belum mengetahui bagaimana dapur sinetron. Orang yang sakit hanya menjalankan seni peran, begitu pula para dokter dalam sinetron kebanyakan bukan dokter sungguhan.

Keluarga kami kini sangat bersyukur kepada Allah bahwa kedua anak kami telah selesai menjalankan tugasnya sebagai dokter PTT di desa sangat terpencil 2 tahun silam, dengan berbagai suasana yang cukup mendebarkan bagi orang tua yang hanya diamanahi Allah dua orang anak lelaki yang kebetulan keduanya memilih bidang pengabdian menjadi dokter.

No comments:

Post a Comment