Saturday 10 September 2011

BILA TAWAKAL TERLAMBAT DATANG

Manusia tercipta terdiri dari jiwa dan raga. Bahasan ini difokuskan mengenai jiwa. Di dalam jiwa terdapat akal dan tawakal, keduanya berperan mengendalikan perilaku manusia. Akal berkembang seiring dengan pertumbuhan fisik seorang anak manusia dibentuk oleh berbagai faktor yang mempengaruhinya. Demikian juga tawakal disamping kwalitasnya berkembang selaras dengan kedewasaan seseorang, juga terasah oleh beberapa faktor pendukung lainnya.

Faktor pendukung berkembangnya akal antara lain ialah:

1. Faktor Usia. Manusia ketika keluar dari perut ibunya belum mampu berbuat apapun kecuali menggerakkan raganya sembari menangis. Sejalan dengan bertambahnya usia berangsur angsur tambah kemampuan akalnya untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Masalah pertama yang dihadapinya adalah lapar, dengan menangis kelaparan itu teratasi karena beberapa lama kemudian ada yang memberikan makanan entah oleh ibunya langsung atau oleh orang lain sementara ibunya belum dapat menolongnya. Masalah kedua dihadapi bayi adalah hasil dari penyelesaian masalah lapar, beberapa lama setelah menerima makanan sekaligus minuman berupa susu atau sejenis, sebagian dikeluarkan berupa kencing atau buang air besar. Keadaan ini membuat rasa tidak enak di badan, upaya untuk mengatasinya yang hanya dapat dilakukan dengan menangis. ternyata setelah menangis, juga datang orang membantu membersihkan badan dari lekatnya kencing atau kotoran dan mengganti pembungkus badan. Beberapa lama itu dilakukan dengan pola yang sama, hari demi hari kemampuan fisik dan kecerdasan semakin meningkat, dimulai mengerti keadaan sekeliling, mengenal siapa yang sering mendampingi, memberi minuman yang sekaligus makan (untuk bayi). berangsur timbul kecerdasan, tetapi akal belum tumbuh. Allah swt memberikan petunjuk tentang proses perkembangan manusia setelah lahir dari perut ibunya di dalam surat An-Nahl 78 sebagai berikut:

Wallahu akhrajakum min buthuni ummahatikum la ta’lamuu na syaian waja’ala lakumussam’a wal abshara wal afidata la’allakum tasykurun (Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur).

Pertama diberikan Allah pendengaran, dengan pendengaran dapat mengikuti bunyi-bunyi yang ada disekelilingnya, sehingga si bayi dapat menirukan bunyi itu selanjutnya mengerti akan makna bunyi itu.

Kedua diberikan Allah penglihatan, si bayi mulai dapat memantau, siapa yang merawatnya mengenali wajah siapa yang selalu mendekati dirinya selanjutnya ia meletakkan ketergantungan masalahnya kepada orang tersebut.

Ketiga, diberikan Allah hati, untuk menaruh kasih sayang kepada siapa yang mendekat kepadanya, atau kurang senang terhadap sesuatu.

Bertambah usia yang bersangkutan, bertambahlah apa yang dialaminya, baik pengalaman yang menyenangkan dan pengalaman yang menyakitkan. Keseluruhan pengalaman tersebut didapat seiring dengan berjalannya usia akan terakumulasi membentuk akal untuk memilih mana yang baik dan buruk mana yang menguntungkan dan yang merugikan. Akal terbentuk untuk memilih untung rugi, menyenangkan dan menyusahkan dan kadang kurang terbentuk untuk memilih baik dan buruk. Disimpulkan demikian karena, diantara manusia tidak segan-segan melakukan sesuatu yang oleh sebagian orang dianggap buruk asalkan baginya menguntungkan, menyenangkan. Pemilihan baik dan buruk adalah wilayah taqwa, wilayah hidayah (petunjuk) Allah, hanya didapat oleh orang-orang yang bertawakal.

2. Faktor Lingkungan. Seorang anak tinggal dikomplek perumahan yang dijaga satpam dilengkapi dengan portal keluar masuk komplek, tentu akan berbeda perkembangan ketrampilannya dengan anak yang dibesarkan di kampung nelayan di tepi laut. Ada seorang anak komplek setelah dewasa ia tidak trampil menaiki sepeda motor tapi dia sangat mahir mengendarai mobil. Sementara anak yang dibesarkan di tepi pantai, keluarga nelayan, adalah wajar dianya ahli mengemudikan perahu, merajut jaring (alat penangkap ikan), mungkin untuk mengemudikan mobil ia harus lebih dahulu belajar setelah dewasa. Orang pantai umumnya keras dan cepat bertindak dan mengambil keputusan. Satu saat kupernah ikut menangkap ikan dengan seorang nelayan. Ketika di darat orang yang kuikuti ini tutur bahasanya begitu sopannya kepadaku, sebab mungkin menyesuaikan karena diriku bukan selingkungan dengannya. Setibanya di laut aku diserahi memegang kemudi perahu, beliau bagian menyusuri pancing renteng yang semalam sebelumnya dipasang di laut berjarak beberapa mil dari pantai. Bukan main kasarnya beliau setelah di laut, instruksinya demikian keras lengkap dengan bentakan untuk mengarahkan saya memainkan kemudi. Ternyata keadaan di laut mewajibkan orang segera mengambil keputusan, mewajibkan instruksi yang tidak pakai diplomasi, sebab kalau tidak, bukan mustahil akan berbahaya, digulung ombak misalnya, atau dicederai oleh ikan yang akan dilepas dari mata pancing. Lingkungan ini telah membentuk sikap dan perilaku beliau terbawa juga di kehidupan di darat. Walau ketika ber-audiance dengan saya sebelum ke laut beliau masih dapat membungkus dirinya, mungkin karena faktor pengalaman yang dimilikinya berhubungan dengan orang dari lingkungan lain.

3. Faktor Pendidikan. Manusia dengan latar belakang keluarga yang berbeda oleh pendidikan akan dapat dibentuk menjadi berperangai yang hampir seragam. Misalkan anak petani asal dari pegunungan, anak nelayan berasal dari tepi pantai, anak orang perkantoran hidup diperkotaan dengan rumah berada di dalam komplek. Setelah melalui pendidikan yang sama misalnya pendidikan militer, mereka akan terbentuk berkepribadian militer yang tegas, disiplin. Walau karakter dasar mungkin masih melekat dimasing-masing individu, tetapi terdapat keseragaman yang dapat dibedakan antara lulusan pendidikan militer dengan lulusan pendidikan pesantren.

4. Faktor Pengalaman. Manusia dibentuk selanjutnya oleh pengalaman yang bersangkutan dalam menjalani hidup ini. Lulusan perguruan tinggi yang sama, akan berbeda keadaan kehidupan masing-masing. Pengalamanlah yang akan menuntun yang bersangkutan untuk merangkai kehidupan masing-masing. Seorang teman setelah tamat sekolah mamasuki dunia jurnalis. Pengalaman telah membentuknya terus menerus sehingga akhirnya menjadi orang terkenal pada bidangnya dan meraih sukses. Sementara ada teman yang lain memasuki dunia kerja formal di BUMN berakhir dengan pensiun ada di level tinggi ada di level sedangan, bahkan ada level bawahan. Untuk mengisi sisa hidupnya dikaitkan dengan pengalaman masing-masing meneruskan kegiatannya yang tidak jauh dengan kegiatan ketika sebelum pensiun.

Sedang tawakal disamping dipengaruhi faktor yang sama dengan akal ditambah adanya faktor hidayah sehingga dapat dibahas sebagai berikut:

1. Faktor Usia, tawakal muncul dari faktor usia ini terlambat bila dibanding dengan akal. Jika akal sejak usia anak-anak sudah mulai muncul walaupun kecerdasan anak setiap orang berbeda. Persisnya sejak usia kapan sudah mulai tumbuh akal seorang anak, ini wilayah ahli untuk menelitinya. Keseharian bila diperhatikan seorang anak, sudah mampu menggunakan akalnya untuk menolong dirinya misalnya untuk mengambil mainan di tempat yang tinggi, ia pergunakan alat untuk meninggikan tubuhnya atau tongkat untuk menjoloknya. Selanjutnya anak tumbuh menjadi remaja dan dewasa, akal pun berkembang sejalan dengan usia, tetapi tawakal mungkin baru muncul setelah anak memasuki akil baligh. Dengan akal orang hanya memperhitungkan untung dan rugi, tidak perduli dengan keuntungan dirinya apakah orang lain menjadi rugi. Dengan tawakal seseorang akan mempertimbangkan apakah tindakannya yang diperhitungkan dengan akal menguntungkan itu tidak menyebabkan orang lain menjadi rugi. Kalau tawakal ini terlambat datangnya, yang terjadi seorang yang sudah masuk dalam kelompok remaja masih saja mencuri jambu tetangga. Kalau betul-betul terlambat sampai sudah menjadi pemegang amanah masyarakat, timbullah yang namanya “Korupsi”. Karena makna tawakal yang kita pinjam dalam tulisan ini kira-kira adalah “menyerahkan diri sepenuhnya urusan hidup dan mati kepada Allah”. Orang yang Korupsi pada dirinya ada semacam kekhawatiran untuk kehidupan masa yang akan datang, sehingga ia segera memanfaatkan kesempatan untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya bakal persiapan dimasa depan. Jikalah ada tawakal dalam dirinya ia tidak akan melakukan tindakan yang ia mengetahui bahwa akan merugikan orang lain, kalaupun mempersiapkan harta untuk masa depan, dengan cara yang tidak merugikan orang lain.

2. Faktor Lingkungan, besar sekali mempengaruhi tawakal sesorang. Di dalam lingkungan dimana setiap hari tertontonkan kegemerlapan suasana kemewahan hidup semata. Pembicaraan di dalam lingkungan hanya soal karier dan kesuksesan mengumpulkan harta. Orang yang bersangkutan sebagian terpacu untuk hidup menyaingi masyarakat di lingkungannya. Tingkat ketawakalan itupun tidak dapat tumbuh dengan subur. Berbeda dengan seseorang yang dibesarkan dilingkungan yang setiap hari syarat dengan nuansa kerohanian, syarat dengan sikap hidup orang yang bersahaja. Setiap orang bekerja dengan giat sesuai kemampuan masing-masing tetapi tetap dalam koridor agama, insya Allah sebagian besar orang yang tumbuh dilingkungan ini akan menjadi seorang yang tingkat ke tawakalannya demikian tinggi.

Seorang pemuda yang belum lama tamat perguruan tinggi pernah bertutur “saya dulu ketika mahasiswa sering bersuara lantang dalam demonstrasi dan di barisan paling depan menyuarakan berantas korupsi”. Tapi kini pak setelah saya bekerja, apa boleh buat lingkungan saya membuat saya harus ikut. Kalau saya tidak ikut saya terpental, bagaimana anak dan isteri saya”. Dialog ini saya terima dari seorang pemuda yang sudah berdinas di suatu instansi beberapa tahun di suatu kabupetan terpencil di Republik ini. Waktu itu saya ikut rombongan pengusaha. Si Pengusaha adalah audience pelatihan diselenggarakan di ibu kota provinsi dari kabupaten tersebut dimana saya diundang sebagai pembicara. Kabupaten dapat didatangi dengan speed boat jarak tempuh 10 jam. Seusai pelatihan si pengusaha mendapat kabar bahwa komoditi yang dibawa anak buahnya ditahan di suatu pos. Masalahnya, jumlah komoditi yang termuat dalam dokumen jauh lebih kecil dari fisik yang ada. Penahanan adalah suatu tindakan yang benar, terjadilah negosiasi antara pengusaha dan pihak yang menahan. Pemuda tadi mengemukakan kepada saya di kesempatan terpisah dengan atasannya. Si pemuda mengetahui bahwa saya hanya pengikut dari rombongan pengusaha tadi. Rupanya di dalam praktek, jumlah komoditi yang dibawa selalu lebih kecil dari fisik, kilah pengusaha: “kalau dokumen sama persis dengan komoditi kami pengusaha tak dapat untung bahkan merugi”. Ini yang terjadi di negeri ini entah sampai kapan. Penyebabnya itu tadi banyak diantara kita baik pejabat, pengusaha maupun masyarakat biasa tawakalnya terlambat datang. Kadang datangnya tawakal sudah masuk usia pensiun, barulah masing-masing menjadi “penua masjid”. Mungkin jika di masyarakat kita sejak muda orang sudah menjadi “pemuda masjid”, perilaku korupsi dan sejenisnya akan berkurang.

3. Faktor Pendidikan, berpengaruh kuat juga membentuk ketawakalan seseorang, jika pendidikan yang dimasuki dalam kelompok pendidikan menjurus ke kerohanian, misalnya pendidikan agama, umumnya akan mencetak manusia yang bertawakal tinggi. Walau banyak ditemui kasus bahwa orang yang berpendikan formal bidang agama tapi melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji, bahkan Korupsi. Ini pertanda bahwa ketawakalan pada dirinya hanya sebatas sebagai pengetahuan tidak masuk ke dalam jiwa. Dalam pada itu tidak sedikit orang yang disiplin ilmu pendidikannya bukan bidang kerohanian, tetapi tingkat ketawakalannya cukup tinggi.

4. Faktor Pengalaman, kadang pengalaman memberikan pelajaran yang sangat membekas dihati manusia. Seseorang yang tadinya sangat rendah tawakalnya entah bagaimana mendapatkan sesuatu cobaan yang sangat berat, kemudian melakukan pendekatan diri kepada Allah dan kemudian terangkat cobaan tersebut, sehingga yang bersangkutan mulai bertawakal dan semakin dalam ketawakalannya ia merasakan semakin ringan beban hidupnya. Ada diantara orang yang sukses dalam berkarier, sehingga seolah dunia ini dapat digengamnya. Suatu ketika mendapat cobaan sakit. Semula ia berfikir bahwa dengan kekayaannya semua dapat diatasi, ia pergi berobat ke negeri mana saja yang direferensikan orang ada tabib yang ahli. Tetapi sakit tidak kunjung sembuh juga, walau sudah hampir ludes semua harta. Akhirnya iapun sadar bahwa sesungguhnya manusia ini tidak berdaya, uang bukan segalanya. Syukur ia masih sempat menyadari kemudian menyerahkan diri kepada Allah dan ada diantaranya orang yang demikian berakhir dengan dikembalikan Allah kesehatannya, ada juga yang berakhir dengan maut.

5. Faktor Hidayah, sangat menentukan dalam kadar ketawakalan seseorang. Setiap manusia terlahir ke dunia ini sama-sama memperoleh hidayah Allah yaitu: Insting, Indra, Ilmu, Ilham. Tiga dari keempat “I” tersebut serba sedikit telah disinggung dan diuraikan di atas.

Sejak bayi manusia sudah diberikan oleh Allah hidayah berupa “insting” dan perkara ini bukan saja anak manusia yang mendapatkan hidayah insting, seluruh mahluk Allah menerima hidayah ini. Misal anak bebek, walau ditetaskan oleh induk ayam, mereka tetap menuruti insting berenang ke air. Asal sebatang pohon walaupun bibitnya ditanam di tanah yang miring ia akan tumbuh Vertikal. Anak manusia yang baru lahir mendapatkan insting sejalan dengan usianya. Ini hidayah Allah dalam wujud insting. Insting dapat dikembangkan dengan latihan, sehingga sesorang lebih trampil menggunakan instingnya dari orang lain yang kurang mengasah kemampuan insting tersebut.

Selanjutnya hidayah diberikan kepada manusia berikutnya adalah “Indra”. Semua manusia yang normal memperoleh hidayah ini, dapat dipergunakan untuk membantu manusia meneruskan kehidupan. Indra manusia akan bertambah atau berkurang kepekaannya sejalan dengan usia dan selaras dengan pemanfaatan dan juga perawatan.

Hidayah berikutnya adalah “Ilmu”, dengan ilmu manusia memperoleh kemudahan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Ilmu adalah hidayah Allah yang harus dicari dan di ikhtiarkan. Ilmu itu bersumber dari pengalaman manusia, pengalaman orang terdahulu dihimpun sebagai sumber ilmu bagi generasi berikutnya. Seorang penemu yang temuannya menjadi sumber ilmu, melakukan upaya yang gigih terus menerus, kemudian menemukan sesuatu yang berguna bagi manusia baik untuk tujuan baik mapun tujuan jahat. Temuan itu dikoleksi menjadi ilmu. Pada dasarnya ilmu itu sendiri datangnya dari hidayah Allah setelah para penemu berikhtiar, merenung dan mungkin bertapa atau melakukan penelitian atau percobaan, dengan menggunakan akal yang diberikan Allah hanya kepada manusia. Binatang tidak diberikan akal, makanya si burung pipit sejak dari dulu sampai sekarang membuat sarang tetap saja dari rumput dengan model yang sama. Sementara manusia dulu berumah di dalam batu atau gua sekarang batu-batu dibuat rumah dan bahkan sekarang sedang dikembangkan botol plastic dibuat dinding rumah (hemat dan tahan gempa).

Terakhir hidayah Allah itu adalah “Ilham”. Diberikan kepada seluruh manusia, sedangkan wahyu hanya diberikan kepada nabi dan rasul. Ilham diperoleh seseorang dalam menuntun hidup yang bersangkutan. Ada jenis ilham yang diperoleh setelah dengan susah payah berikhtiar untuk menyelesaikan suatu masalah. Ada jenis ilham yang datang memberikan petunjuk untuk melakukan sesuatu. Contoh para seniman mendapat ilham menciptakan sesuatu karya yang semula belum ada orang lain menciptanya. Seorang pengarang mendapatkan ilham dalam menuangkan buah pikirannya di atas kertas. Ada lagi jenis ilham yang datang melalui mimpi. Kejadian sungguhan; seorang anak setingkat esempe bukan pemeluk agama Islam, berteman akrab dengan sebayanya yang ta’at sholat. setiap pulang sekolah temannya mampir ke masjid untuk melaksanakan sholat zuhur, sementara dia menunggu di luar masjid sambil membaca apa saja yang bisa dibaca dari buku pelajaran atau apa saja. Suatu malam ia bermimpi datang sesorang berpakaian serba putih mengajarkan ia tentang Islam. Ilham ini diturutinya dan kini yang bersangkutan menjadi seorang muslim melalui ilham di dalam mimpi. Ini adalah hidayah Allah yang hanya diberikannya kepada orang yang dikehendaki-Nya.

Dari telaah di atas dapat dipahami bahwa hidayah akan diperoleh manusia, ada yang azali ada yang ikhtiari. Wilayah kita adalah “hidayah ikhtiari” yaitu menggapai hidayah Allah dengan berupaya yang sungguh-sungguh. melalui mengasah kemampuan insting, merawat dan memanfaatkan indra dengan baik, mencari ilmu pengetahuan, berdo’a dan mohon petunjuk dari Allah dalam menghadapi setiap masalah, berkawan dengan orang yang sholeh.

Tulisan ini diturunkan semasa di negeriku masih terlalu banyak orang yang “terlambat datang tawakalnya” sehingga mereka rakus menumpuk harta bila ada kesempatan, walau dengan cara yang tidak benar. Semoga era ini cepat berlalu setidaknya generasi yang akan datang.

No comments:

Post a Comment