Monday 19 September 2011

TEMU KANGEN

Secara kodrati manusia memang diciptakan berbeda-beda, bulan Qktober 2011 menurut khabar bahwa jumlah penduduk dunia akan mencapai 7 M. Jikapun ada diantara penduduk dunia itu yang mirip satu dengan yang lainnya tetapi sudah dapat dipastikan tidak akan sama persis. Itu salah satu kehebatan kekuasaan Allah menciptakan manusia, biar orang terlahir kembar sekalipun tetap dapat dibedakan satu dengan yang lainnya.

Perbedaan itu tidak berhenti dari wajah, postur saja, tetapi juga tingkat intelejensi, selanjutnya nasib dan keberuntungan masing-masing. Lantaran nasib dan keberuntungan terjadilah perbedaan; orang ada yang kaya, ada yang miskin, ada yang sedang-sedang saja. Ada orang yang tinggi kedudukannya dalam masyarakat, ada orang yang jabatannya tinggi di dalam suatu institusi dan bahkan dalam suatu negara.

Era internet ini cukup memberikan peluang antar kita sesama tukar buah fikiran dan angan, tukar gagasan dan cita-cita, saling tanggapi insya Allah menuju kebaikan. Kebetulan saya adalah penulis dalam blog spot “syarif arbi. blogspot.com.”, banyak pembaca yang menanggapi tulisan itu, baik teman dalam satu komunitas maupun jaringan face book umumnya. Untuk itu saya ucapkan terimakasih. Kebetulan ketika masih diusia produktif dulu saya sempat bekerja di berbagai sektor seperti wiraswasta, perusahaan swasta, pegawai negeri dan surat kabar sebagai wartawan dan RRI sebagai penyiar, terakhir di Bank milik negara. Itu sebabnya diri ini banyak tergabung di komunitas-komunitas tersebut. Sebelum pensiun di BUMN merajut karier menjadi dosen dan penulis buku, kini telah menerima “Serdos”, bila panjang umur akan masih cuap-cuap sampai umur 65 tahun. Ini akan menjadi motivasi untuk saya menulis lebih banyak lagi buku, sekarang sudah 5 judul buku saya, terpublikasi. Tambah lagi komunitas yaitu penulis dan dosen.

Salah seorang satu komunitas tempat saya pernah bekerja dulu, diantaranya mengomentari blog saya, ia menulis di face book yang intinya “kini kita sudah pensiun, tidak ada lagi sekat pembatas antara yang pangkat tinggi dan pangkat rendahan”. sementara rekan lain di komunitas yang sama mengomentari bahwa antara lain “Ternyata bila terjadi temu kangen antara sesama komunitas kita, masih kentara pembedaan antara Bapak/Ibu yang dulunya berpangkat dan berjabatan tinggi, dengan kita-kita golongan rendahan ini”.

Dikesempatan ini saya akan berikan contoh suatu komunitas yang sejalan dengan kehendak rekan saya yang menulis di face book tersebut.

2 September 2011 saya memuhrimkan isteri saya memenuhi undangan “TEMU KANGEN” yang dilakoni oleh ES EM PE sebuah kota kecil di perbatasan Jawa timur dan Jawa Tengah. Tidak mengerti saya alasannya kenapa temu kangen itu terlaksana di “Wonosari” kebun teh milik PTP, suatu kawasan agro wisata yang cukup sejuk dan nyaman. Yang jelas bahwa itu adalah temu kangen yang ke empat mereka selenggarakan. Isteri saya baru diundang kali ini, lantaran rupanya panyelenggara selama ini kehilangan jejak. Maklum isteri saya, setelah menikah dengan saya mengikuti saya berdinas ke kota lain dari kelahirannya. Terminal akhir nampaknya di Jakarta. Undangan telah disebar sepuluh bulan yang lalu, nampaknya jikalah tidak ada kemudharatan yang berat sulit untuk tidak dipenuhi undangan ini.

Yakin saya, bahwa bagaimanapun akrab pertemanan ketika ES EM PE doeloe, dengan rentang waktu selama 41 tahun dari tahun 1970 sampai dengan 2011, tidak akan saling mengenal lagi biarpun berjumpa. Alamat isteri saya beberapa bulan terakhir didapatkan dan juga nomer HP, melalui ibu mertua di kampung isteri saya. Dengan telepon selular itulah mereka selama sepuluh bulan belakangan berkomunikasi. Keberangkatan kami tanggal 2 pagi dari Sukarno-Hatta Jakarta menuju Juanda Surabaya. Walau saya pernah berdinas di Surabaya selama 12 tahun, Surabaya sekarang, saya juga sudah keder. Oleh karena itu janjian lewat HP, isteri saya minta ke panitia agar dapat bareng berangkat tolong mampiri di bandara. Setelah di atur-atur salah seorang teman istri saya bernama “Musriyah” yang menyanggupi menjemput ke bandara.

Karena yakin tidak akan kenal, maka sebelum berangkat janjian warna pakaian. “Baik nanti saya mampiri di bandara, semoga saya dapat masuk ke ruang kedatangan”. Begitu penegasan Ibu Musriyah. Setelah pesawat mendarat, kami berdua yang memang bepergian kemanapun seluruh Indonesia (jika saya diundang mengajar hampir selalu ditemani isteri), kami tidak berbagasi, biar berat, hanya tas punggung dan tas jinjing. Setelah beberapa tindak kami memasuki atap bandara dari aspal lapangan terbang, HP isteri memperdengarkan bunyi ada penelepon, begitu diangkat, suara salam orang yang berada disebelah sama dengan suara telepon, rupanya suara di HP itu adalah suara penelpon disamping kami beriring jalan. Ibu Musriyah masuk sampai ke ruang kedatangan, tenyata beliau mengalungkan tanda pegawai Angkasa Pura. Sama sekali tidak ada kesulitan, langsung kami keluar bandara dan menuju kendaraan yang sudah disiapkan ibu Musriyah langsung menuju Wonosari.

Lalu lintas Surabaya-Malang benar-benar sudah padat berbeda sekali dengan belasan tahun yang lalu, dimana saya dulu sekolah dengan afiliasi sekolah ke perguruan tinggi negeri yang ada di Malang, Malang-Surabaya sudah rute perjalanan saya ketika itu. Juanda Wonosari baru dapat didatangi setelah dua setengah jam perjalanan mobil yang kami tumpangi. Yang hebatnya, sebenarnya ada pertigaan yang seharusnya sudah langsung bisa masuk ke Wonosari, tapi oleh petugas kepolisian tidak diperkenankan belok langsung, diberi pembatas dengan tali Rafia. Kami harus lebih dahulu melaju ke arah Malang sampai lebih dari satu jam, sementara arah yang berlawanan dengan kami suasananya lengang. Adalah nampaknya manajemen lalu lintas yang salah atur. Kendaraan yang seharusnya sudah mengurangi jumlah kendaraan yang menuju Malang, bertambah begitu banyak hanya pawai untuk mengeliligi kota saja. Andaikan kendaraan yang ke Wonosari dipekernankan belok, tentu jumlah kendaraan menuju Malang sudah berkurang dan lancar.

Setibanya di Wonosari, peserta diterima di ruang pertemuan semacam aula, di depan ruangan telah menanti petugas membuat pas photo terbaru para alumni, suami tidak diminta ber photo demikian juga istri dari alumni. Kepada para alumni dibagikan kaos seragam, dibedakan motip yang lelaki dan yang perempuan. Semula saya tidak mengerti untuk apa dibuat pas photo itu, setelah malam hari baru saya paham maksudnya. Ada suatu acara khusus menayangkan perbandingan photo antara photo 41 tahun yang lalu dengan photo sekarang. Kedua gambar di tayangkan melalui proyektor dalam ukuran layar lebar. Betapa riuh rendah suasana gembira, lucu haru, menyaksikan photo, peristiwa yang surprise itu. Riuh rendah dan gembira bercampur lucu karena melihat photo zaman lampau. dimana masing-masing orangpun barang kali tidak punya arsip lagi. Terharu, teringat nostalgia masa lalu, photo hitam putih dengan dandanan tempo doeloe kemudian salut kepada penyelenggara yang demikian susah payah telah mencari arsip entah bagiamana caranya. Diantara photo tersebut ada yang hanya wajahnya saja yang tampak lantaran sudah terkena noda. sebab beritanya tahun 1976 Kawedaan Jatirogo tempat SMP mereka berada pernah dilanda banjir hebat, sehinga itu photo kena banjir. bagaimanapun salut yang tinggi untuk panitia. Saya kebetulan ditunjuk diatara 5 orang dewan juri yang menentukan photo siapakah yang paling berubah dan photo siapa pula yang tetap ada kemiripin setelah selama 41 tahun itu. Kepada yang paling tersebut mendapatkan hadiah menarik.

Hadir pula ditengah-tengah alumni yang sedang temu kangen itu dua orang guru mereka yang usianya sudah benar-benar sepuh, tapi masih sempat menyampaikan kesan-kesan di dalam acara yang digelar malam harinya. Ternyata dengan sudah dileselangarakan empat kali pertemuan temu kangen ini juga, para alumni itu belum sempat benar-benar akrab dalam artian mengenal masing-masing, apalagi mengenal suami atau istri pasangan dari alumni. Salah satu acara dipajang sepuluh pasang suami isteri yang istrinya atau suaminya adalah alumni. Sementara sekelompok orang melakukan pencocokan. ternyata lebih dari 50% tidak cocok. Itulah sebabnya mereka bersepakatan bahwa tahun depan akan dilaksanakan lagi temu kangen ke lima, mengambil tempat di tempat yang sejuk di bilangan Jawa Barat. Kesan saya benar-benar acara yang disusun panitia bukan saja menarik tetapi dapat memberikan pelajaran dan patut dicontoh di pertemuan temu kangen entitas lainnya. Bukan mustahil berawal dari pertemuan ini dapat dirajut hubungan lebih baik lagi untuk kemaslahatan semua pihak, baik bisnis maupun persaudaraan lain.

Yang sangat menarik dalam pertemuan itu dicapai kesepakatan bahwa, mereka sesama alumni dalam penyapaan sesamanya tetap menggunakan penyapaan ketika SMP dulu. Tidak menggunakan kata pengganti panggilan penghormatan misalnya Mas, Pak, Mbak atau Ibu. Ini dimaksudkan agar terjalin keakraban sesama mereka. Tentu kami para suami atau para istri alumni tidak ikut dalam kesepakatan mereka itu. Sebab akan tidak enak, karena kebetulan diantara alumni itu juga banyak yang menduduki posisi penting dalam masyarakat. Sesuai ungkapan saya diawal tulisan bahwa memang manusia akhirnya berbeda karena nasib dan keberuntungan. salah satu diantaranya ada yang meraih pangkat Jendral di Angkatan Bersenjata kita, ada yang menduduki jabatan tinggi di kementerian dan tidak sedikit yang sukses dalam berkarya sebagai wirausaha.

Ini tentu tidak dapat disamakan dengan reuni atau temu kangen sebuah institusi/instansi yang memang sejak semula ketika kita masuk misalnya, sudah ada orang yang lebih senior, walau nantinya seletah dia pensiun kita yang menggantikan kedudukannya. Tetap saja bahwa ia adalah senior kita. begitu hukum organisasi berlangsung. Setelah kita menjadi senior masuk pula angkatan baru yang menjadi junior kita dan seterusnya. Cuma yang perlu dijaga, biarpun kita tadinya berjabatan tinggi, kalau sudah berada di forum komunitas pensiunan, pandai-pandai merangkai diri, sebab kita bukan lagi atasan junior kita. Insya Allah jika pandai menempatkan diri junior kita juga akan memahami bagaimana sepantasnya bersikap kepada kita. Bukankah kita sering dengar teori status. Nah kalau itu kita terapkan selamat badan dimanapun duduk.

Seorang dosen ketika mengajar di depan kelas, statusnya sebagai dosen punya kewenangan tertentu diantaranya memberikan instruksi kepada mahasiswa untuk hal-hal sesuai dengan semestinya mata kuliah yang diasuhnya. Dalam pada itu ketika hendak pulang, terjadi hujan lebat, seorang mahasiswi akan pulang tidak dapat tumpangan, sementara sulit mendapatkan kendaraan umum. Si dosen bermurah hati memberikan tumpangan kebetulan arah pulang sama. Kini statusnya sudah berubah, si dosen pemilik mobil dan si mahasiswi penumpang kendaraan. Instruksi sudah beda kalaupun ada, si mahasiswi juga harus tau diri sebagi penumpang. Kebetulan setelah sampai di halaman rumah mahasiswi, hujan makin menjadi-jadi, dikhawatirkan akan banjir, terpantau disiaran radio lokal. Si mahasiswi menawarkan masuk kerumah menunggu sampai hujan teduh dan banjir mulai surut. Status sudah berubah lagi si dosen bukan lagi dosen, bukan lagi pemilik mobil, tapi seorang tamu yang harus tau diri sopan santun seorang tamu. Si mahasiswi juga bukan lagi mahasiswi tapi seorang tuan rumah (sahibul bait) bagaimana seharusnya bersikap menghormati tamu. Dalam konteks seperti ini ada pepatah orang tua kita dulu “hidup dikandung adat mati dikandung tanah”.

1 comment:

  1. Saya tidak menyangka apabila Temu Kangen yang baru lalu ternyata menginspirasi tulisan anda. Saya juga merasa senang karena apa yang kami siapkan ternyata telah meninggalkan kesan yang menyenangkan dan mengena di hati yang hadir.
    Seorang teman beberapa hari yang lalu mngirim sms kpd saya minta dicopykan lagu2 beserta teks yang saat Temu Kangen lalu rame2 dinyanyikan dan bercerita bahwa dia masih sering senyum2 sendiri mengingat momen2 dalam temu Kangen yang baru lalu. Beberapa teman lain menuliskan hal yang hampir sama dalam Kesan dan Pesan bahwa dengan terus memelihara rasa kangen (untuk bertemu kembali) akan menambah panjang umur. Entah teori dari mana?!

    ReplyDelete