Sunday 11 September 2011

BOS JADI SUPIR

“Pindah duduk ke depan No”, kata si bos, kemudian di jawab : “Biar pak saya duduk disini saja tegas Sudarno yang sudah sedari Jakarta menempati tempat duduk di kiri belakang mobil sedan dinas yang belum lama diperoleh sebagai Inventaris cabang.

Di era tahun delapan puluhan cabang-cabang bukan cabang utama di instansi kami, hanya mendapatkan mobil dinas Kombi, HIACE berbodi panjang, dan Jeep patrol nisan untuk pemimpin cabang. Mobil sedan belum pernah ada inventaris cabang sebelumnya. Tahun itu kantor pusat memberikan mobil dinas berupa sedan, kebetulan mendekati lebaran.

Sudarno (bukan nama sebenarnya), setiap lebaran mesti mudik, kebetulan se arah dengan kota pemimpin Cabang. Arah perjalanan adalah: pemimpin cabang mudik ke kota “C” dan Sudarno mudik ke kota “B”. Untuk ke kota “C” harus lebih dahulu melalui kota “A” dan “B”.

Beberapa hari sebelum libur resmi, keluarga bapak pemimpin sudah mudik dengan kendaraan pribadi dibawa supir. Si bos cabang, baru mudik persis dinihari kalender merah, agar masih tetap dapat mengelola cabangnya. Sebelum berangkat kontak-kontakan dengan pimpinan cabang lain di Jakarta. Ternyata ada seorang pemimpin cabang berasal dari kota “A” yang juga akan mudik, keluarganya sudah juga mudik duluan. Rencanapun disusun, mudik bareng se mobil biar efisien. “Udah pakai mobil cabang kami saja” kata si bos, langsung disepakati oleh rekan se level. Al hasil mudik bareng orang tiga dalam mobil sedan dinas yang belum genap tiga bulan nongkrong di cabang. Sudarno ikut dalam rombongan, karena sebelum kesepakatan ada pemimpin cabang lain yang akan bareng, Sudarno sudah diajak duluan oleh bosnya, untuk nemani dalam perjalanan. Sebenarnya kalau boleh memilih, Sudarno enggan mudik bareng se mobil dengan bos. Jelas akan kikuk, nanti dalam perjalanan akan salah tingkah. Tapi ajakan bos setengah instruksi, karena bos perlu teman dalam perjalanan.

Perjalanan santai penuh tawa dan sukaria, sebab kedua bos yang duduk berdampingan, terus memecah kesepian dengan berbagai anekdot dan juga kisah tentang rekan-rekan sekerja lainnya, mereka ada di mana, sudah apa jabatan dan berapa banyak anaknya, demikian antara lain obrolan mereka seputar koleganya. Maklum perjalanan dari Jakarta ke kota “C” jarak tempuh saat puncak arus lebaran bisa-bisa 30an jam. Di saat si bos sudah mulai kecapean rekan sesama pemimpin cabang itu ganti duduk dibelakang setir. Sayang Sudarno tidak punya ketrampilan mengemudi, maklum ke kantor yang bersangkutan pakai Vespa, belum musim pegawai biasa punya mobil waktu itu. Saya ingat dulu di daerah, ada seorang teman, mampu beli mobil, yang bersangkutan disamping karyawan ia juga pengusaha. Kalau teman saya itu bawa mobil ke kantor, parkir jauh dari kantor dan diupayakan agar tidak banyak karyawan mengetahui kalau ia punya mobil, tak pantas waktu itu pegawai bukan pejabat punya mobil.

Pukul empat dinihari mobil sampai dikota “A”, penumpang se level si bos tiba di tempat tujuan. Kebetulan yang pegang kemudi giliran si Bos. Rekan sesama pemimpin ini turun sambil ambil bagasi di belakang mobil, seraya mengajak mampir sebentar. Si bos menolak tawaran ini, “kalau mampir nanti malah capek biar istirahat sekalian sampai di rumah”. Sementara Sudarno tetap saja berada di dalam mobil dan merasa kikuk kalau sekedar ikut ambilkan barang di bagasi atau salaman, sebab merasa bukan se level kebetulan baru ketika akan berangkat mengenal kawan si bos ketika dikenalkan “ini Sudarno, pegawai”. Sudarno memilih pura-pura tertidur, memang suasana pukul empat dinihari, setelah puluhan jam perjalanan wajar jika duduk di belakang di sedan baru dengan udara sejuk kalau tertidur. Si bos juga enggan menggugah membangunkannya. Biar pikirnya ntar dalam perjalanan kalau ia bangun segera disuruh pindah kedepan, sebagaimana dialog yang saya petik di awal tulisan ini.

Kebetulan saya hidup di zaman mudah cari kerja tidak seperti sekarang, pernah bekerja sebagai pegawai swasta, pernah bekerja sebagai pegawai negeri dan pernah menjadi wartawan. Sebagai ilustri budaya level di instansi yang kisahnya saya angkat ini, kalau saya bilang sedikit agak borjuis. Level karyawan adalah terdiri dari yang paling bawah yaitu setingkat pelayan “office boy” berikutnya pegawai pelaksana disebut “tata usaha” mereka ini dijuluki pegawai. Level berikut adalah staff yaitu mulai dari pembantu kepala bagian sampai kepala bagian. Level keempat kelompok pemimpin, mulai dari wakil pemimpin sampai pemimpin cabang. Level ke lima di kantor pusat adalah semacam kepala divisi di bawah direksi. Di cabang, kesenjangan pandang level ini demikian tercipta. Level Sudarno yang pegawai tata usaha itu dengan pemimpin cabang, begitu jauh.

Syukur saya pernah masuk di level lumayan di institusi ini, lagi sebagai ilustrasi; saya pernah dimutasikan ke suatu cabang di kota yang tidak terlalu besar. Jalan di kota itu lumayan belum mengenal macet walau jalan raya kota itu tidak begitu besar, jika mobil dengan bodi sepanjang HIACE kalau mutar arah sering harus berhenti, kemudian mundur lagi baru maju. Di institusi yang kesenjangan level begini bila suaminya berpangkat golongan “empat a”, isterinya kadang merasa golongan “empat b” pokoknya lebih tinggi deh dari suaminya. Kadang ikut merintah bawahan suaminya. Juga kalau menyebut pegawai kantor, suka menyebut itu “pegawai suami saya”. Di Cabang kota kecil tadi saya pernah dipercaya sebagai kepala bagian yang tugasnya antara lain mengatur penggunaan kendaraan dinas. Sebelum saya pindah ke cabang itu, telah tercipta tradisi; setiap ibu-ibu pejabat (mulai dari ibu yang dijuluki staff sampai ke pemimpin cabang) berarisan harus di jemput dengan mobil kantor. Istimewanya lagi dalam penjemputan itu rutenya harus sesuai tingkat kepangkatan semacam azas senioritas. Misalnya yang ikut arisan itu ada 9 orang isteri pejabat, (untuk memudahkan saya berikan bayangan bagi pembaca bahwa mereka beralamat di jalan urutan 1 s/d 9 dengan beda jenjang kepangkatan). Ibu A pangkat suaminya tertinggi beralamat di jalan nomor 4. Ibu B suami berpangkat di bawah ibu A tinggal di jalan nomor 7 Ibu C pangkat suaminya di bawah ibu B alamat di jalan no 3. Ibu D, E, F.G pangkat suaminya di bawah ibu C alamat masing-masing di jalan nomor 1, 5, 8, dan 9. Terakhir ibu H dan Ibu I pangkat suami paling buncit tinggal di jalan nomor 2 dan 6. Ketika menjemput si supir harus lebih dahulu menjemput Ibu I di jalan nomor 6, selanjutnya ke Ibu H di jalan nomor 2, baru ke ibu D dijalan nomor 1 ibu E di jalan nomor 5, Ibu F di jalan nomor 8 Ibu G di jalan nomor 9. Setelah itu barulah menjemput Ibu C di jalan nomor 3 Ibu B dijalan nomor 7 dan terakhir Ibu A di jalan nomor 4. Perlakuan itu berubah ketika mengantar pulang, Ibu A di jalan nomor 4 di dahulukan dan seterusnya dengan azas senioritas. Betapa itu mobil mondar mandir. Ibu yang pangkat suaminya lebih rendah dijemput lebih awal, kemudian hilir mudik jalanan menjemput ibu-ibu yang pangkat suaminya lebih tinggi. Sebaliknya ketika pulang arisan ibu yang pangkat suaminyanya lebih tinggi diantar pulang duluan, ibu yang pangkat suaminya lebih rendah walau sudah melewati rumahnya belum turun. Kalau sudah ada acara arisan berarti satu mobil dan satu orang sopir hampir sehari beroperasi dengan tugas jemput antar arisan.

Beberapa kali arisan setelah saya dipercaya sebagai kepala bagian yang tugasnya antara lain mengatur kendaraan, itu saya rubah. Supir saya instruksikan untuk menjemput Ibu yang paling jauh dulu kemudian ibu-ibu yang paling dekat sesuai kepraktisan. Demikian pula mengantar pulang sesuai kepraktisan, siapa yang lebih dahulu dilalui kendaraan diturunkan. Perubahan tidak selalu mudah, tentu supir dimarahi, saya sudah bekali si driver, kalau di tanya ini perintah kepala bagian umum. Rupaya ganti istri saya dimarahi oleh salah seorang ibu yang agaknya selama ini penggagas teknik antar jemput arisan ini. Istri saya sudah saya berikan redaksi jawaban kalau dimarahi. “Saya adalah isteri (sebut nama saya) bukan isteri kepala bagian umum”. Sampai saya mutasi 4 tahun kemudian dari cabang ini tidak ada seorang ibu anggota arisan yang menemui saya menyatakan keberatan atas perubahan itu. Saya ambil langkah ini dengan keyakinan bahwa secara prosedur saya tidak menyalahi, sekurang-kurangnya belum dikodifikasikan standar prosedur operasi antar jemput arisan, sehingga saya masih punya wewenang membuat pola yang praktis. Saya yakin pemimpin cabang saya yang kebetulan sama waktunya dimutasikan ke cabang itu, akan mendukung kebijakan saya yang muaranya menuju efisiensi. Kalaupun disalahkan saya selalu siap jikapun harus dimutasi antar cabang atau intern cabang.

Demikian ilustrasi di institusi ini, makanya Sudarno merasa sangat risih kalau disuruh duduk sejajar dengan bosnya di dalam kendaraan mobil sedan itu. Ia lebih memilih tetap merasa lebih sopan bila tetap duduk di tempat duduk di belakang bos dan posisi di sebelah kiri, untung ia tidak sambil membuka tangannya lebar di sandaran jok. Dia belum dapat penataran tatakrama untuk duduk di mobil sedan bersama orang yang dituakan. Dia belum mengerti kalau yang duduk di jok belakang disebelah kiri itu biasanya bos, sedangkan kalau ditumpangi mobil bos, harus mengambil posisi disamping beliau, agar beliau tidak dikira orang yang melihat sebagai sopir. Jika si bos membawa ajudan posisi duduk adalah ajudan disamping supir, setelah membukakan pintu untuk bos, si ajudan baru naik. Waktu turun ajudan segera turun dan membukakan pintu buat bos. Tata nilai kesopanan yang dianut berbeda antara apa yang semestinya secara umum seperti harapan bos dan apa yang dipahami Sudarno.

Matahari sepenggalah naik, sampai juga mobil ke kota B tujuan Sudarno, iapun turun dengan tas yang sedari Jakarta ikut bersamanya di tempat duduk di belakang sedan itu, dengan membungkuk penuh sopan ia mengucapkan terimakasih banyak sambil mempersilahkan si bos sudi kiranya untuk mampir agak sejenak dikediaman orang tuanya. Sementara si bos mbatin sambil meneruskan perjalanan ke kota C kurang lebih 3 jam lagi, tentang ia menjadi supir pegawainya kurang lebih lima jam dari kota A ke kota B.

No comments:

Post a Comment