Wednesday 21 September 2011

TUA SEHARI

Botol itu kesenggol ketika saya ambil sedikit isinya, untung reflek, saya tangkap dan tegakkan kembali, kalaulah terlambat sedikit saja tentu isinya banyak yang terbuang. Untuk menghindari terjadi kedua kali tumpah, saya pindahkan isinya ke botol-botol kecil, ternyata banyak juga jadinya, tujuh botol. Pikir saya jika saya memerlukan hanya menggunakan salah satu botol, kalaupun kesenggol lagi paling top tumpahnya sebotol kecil. Hal itu saya ceritakan kepada seorang teman. Teman ini dengan cekatan mengomentari, semestinya tidak perlu kau pindahkan ke sejumlah tujuh botol kecil, cukup pindahkan ke satu botol kecil saja, minyak gosok yang lain biarkan saja tetap di botol besar. Bila isi botol kecil sudah hampir habis, isi lagi.

Benar juga pendapat teman saya ini, tetapi kayaknya apa yang telah saya lakukan juga tidak salah. Pendapat teman tadi lebih irit wadah yaitu hanya dua, satu botol besar satu botol kecil. Juga menyimpannyapun tak banyak gunakan tempat. Ee sikap sayapun tak juga salah, sebab dengan botol-botol kecil mudah menyimpannya, jika minyak gosok tersebut ternyata mujarab dan ada orang yang memerlukan, tinggal ambil botol kecil langsung berikan, tanpa harus menyalin lagi.

Dilain kesempatan, dia menceritakan, “saya diutus oleh institusi saya bekerja untuk hadiri pertemuan disuatu rapat penting di sebuah hotel, dimana yang menjadi peserta adalah berbagai instansi dan institusi. Rata-rata setiap institusi mengirimkan 3 orang. Mengetahui kenyataan ini saya coba mencari-cari teman lain dari cabang lain dalam daftar hadir, ternyata tidak ada teman sekantor lainnya yang diutus menemani saya. Orang lain kurang berbobot maka untuk rapat seperti ini instansinya mengirimkan tiga orang”.

Pokoknya ini teman pembawaan dan pembicaraannya tidak pernah mau kalah. Jangankan kalah draw saja kayaknya ia tidak mau. Apapun dia harus lebih, harus ter, kita cerita apapun ia lebih ia tetap di atas. Mungkin pembaca banyak ketemu sosok teman seperti ini, atau coba introspeksi mungkin justru yang “paling terdekat dengan diri kita” yaitu diri sendiri punya hoby seperti ini. Di kampung kami orang yang mempunyai kebiasaan demikian dijuluki “Tua sehari”. Dijamin pribadi seperti ini kurang disukai banyak orang, dicibirkan orang, jauh ditunjuk dengan telunjuk, dekat dicibir dengan bibir, begitulah ungkapan yang tepat buat pribadi ini, tapi orang ini ada. Kegemaran penempatan diri diatas orang lain itu, sering juga diistilahkan sebagai “pembual”. Tapi pembual ada kalanya bukan bertujuan untuk meninggikan diri, tapi sebagai media hiburan. Justru pembual berkonotasi hiburan ini banyak disenangi teman-teman, kehadirannya disetiap kesempatan santai ditunggu, untuk pelipur lara.

Dikalangan persahabatan ngobrol di kampung kami, memang tersedia semacam kompetisi siapa yang paling besar bualnya. Tapi soal membual ini dilakukan bukan untuk membangga diri, atau untuk menempatkan diri paling, atau ter dari orang lain. Lazim untuk pengisi waktu ketika misalnya ronda malam kampung. Sementara memecah keheningan berjaga di pos roda, biasanya anggota jaga gantian sebesaran bual. Aturan mainnya, pendengar bual tidak boleh mengatakan “masa?” atau kata-kata lain yang menunjukkan ketidak yakinan atas bualan temannya, walau boleh bertanya. Paling mantap ia kembali menjual bualnya, kalau dapat mengalahkan bual teman yang tadi membual yang pertama. Pendengar lain yang menentukan bualan siapa malam itu yang paling pembual dan disini yang dinilai juga unsur lucunya, maklum sekaligus menghibur sambil memecah kesunyian berjaga malam di pos ronda. Orang yang sering menang dalam berbual ini juga mendapat julukan dari komunitas kampung “Tua sehari”, dari siapapun itu lebih unggul lantaran lahirnya kedunia sekurangnya lebih tua sehari dari orang lain. Istilah “tua sehari” ini diberikan kepada orang yang pembawaannya dari segala macam keadaan tidak mau dikalahkan orang lain, termasuk dalam membual dalam arti hiburan tadi tidak terkalahkan.

Contoh bual hiburan itu, suatu malam di pos ronda bang “Anis” dan bang “Uning” sedang berbual. Yang mula menjual bualnya bang Anis: “Setelah shalat subuh saya dengan isteri pergi memancing ke pesisir pulau. Tiga jam kemudian terasa pancing mulai dimakan ikan. Isteri saya pegang kemudi sampan, pancing saya tarik ulur mengikuti jalannya ikan agar pancing tidak putus dan ikan dapat ditangkap (istilah kampung kami “ngajar” yaitu mengikutkan berenangnya ikan sambil memendekkan senar pancing agar ikan berangsur mendekat ke permukaan sambil menunggu ikan letih, ngajar semakin lama kalau ditenggarai ikan besar). Bukan main lama ngajar ikan itu sampai masuk waktu zuhur baru berhasil menaikkan ikan ke perahu. Rupanya pantas aja lama sekali ngajarnya, ikan “Senangin” besar sekali panjangnya saja sepanjang perahu kami, hampir magrib kami baru sampai di pantai”.

Apapun yang dibualkan bang Anis, pendengar lainnya kudu terima ndak boleh protes, mengatakan “bohong” ndak masuk akal dan lain perkataan yang dapat dipersamakan dengan itu. Tapi boleh bertanya misalnya ikan sebesar itu dimuat dalam perahu bagaimana bang Anis dan Isterinya duduk, apa ngak repot. Bagaimana menaikkan ikan ke perahu di laut walaupun tenang tetap aja bergelombang. Senar model apa pancing bang Anis, demikian terms and conditions kompetisi ini. Dengan piawai bang Anis melayani pertanyaan, juga jawabannya ndak boleh diprotes tapi boleh tetap ditanya. Justru salah satu faktor yang dinilai di dalam kompetisi ini adalah kecekatan dalam menjawab pertanyaan. “Bang-bang, bagaimana cara abang dan isteri naikkan ikan ke perahu”? Tanya seorang pendengar. Dengan sigap bang Anis menjawab: “Begitu diketahui kilasan ikan dipermukaan laut, ikannya sangat besar, kami segera menenggelamkan perahu, pelan-pelan ikan dihalau masuk ke dalam perahu barulah perahu kami timbulkan dengan membuang air dari dalam perahu”. Penanyapun terdiam dan tidak boleh berkata “bang Anis bohong” atau “akh ndak masuk akal”. Penanya lain nyeletuk “rupanya besar ukuran perahu bang Anis”, “ndak juga, cuma kurang lebih delapan belas hasta” jawab bang Anis. “Joran pancingnya besar bang, dibuat dari bahan apa?”. Sekaligus bang Anis menjelaskan “jorannya terbuat dari semambu Marau (sebangsa rotan besar) sedang senarnya nilon “cap kepala” dipesan dari anak kami dari luar negeri”. “Bang Anis, apa kiatnya agar mancing mudah dapat ikan”? tanya salah seorang selanjutnya. Dalam hal ini bang Anis sedikit agak mistis. “Joran pancing biar “penganyeran” (mudah dapat ikan bila digunakan mancing) ada itungannya”. Hadirin jadi pengen tau itungan itu, maklum kalau sudah berbau mistis orang banyak suka. “Sebelum joran dipotong, bang Anis meneruskan. “Dihitung dengan kepalan tangan mulai dari “Cap”, “Jangking”, “Mengkiding”, “Melalang” dan terakhir “Melangut” lalu diulangi seberapa panjang yang dikehendaki, setelah panjangnya cukup pada hitungan “Cap”, atau “jangking” berhenti karena itu yang paling baik. Kurang baik kalau sampai kembali kehitungan “melalang” dan “melangut. Sekurangnya hitungan dapat ditolerir Mengkiding”. Kalau “melangut” amalat dari mulai pancing dilempar kelaut sampai pulang pancing ndak disentuh ikan. Kalau “mengkiding”, Ikan akan takut/bergidik melihat umpan pancing dan lari jauh-jauh dari area pemancngan”.

Alhasil bang Anis berhasil meyakinkan penanggap bualnya pergi memancing mendapatkan ikan “Senangin” panjangnya sekurangnya hampir delapan belas hasta. Pendengar membayangkan kalau panjang ikan delapan belas hasta lebarnya mungkin lebih lebar dari sampan bang Anis. Tentu ikan berat sekali, tentu perahu bang Anis akan tenggelam kalau cerita itu benaran. Apa boleh buat aturan main hanya boleh bertanya, tidak boleh membantah, protes apalagi mengatakan bohong.

Setelah suasana hening tidak ada lagi tanya jawab, giliran “bang Uning” menjual bualannya. Sambil membetulkan sarung yang dibekali “kak Uning” istrinya, ia memulai bualannya: “Uning kau” (panggilan julukan untuk istrinya di masyarakat kampung. Biasanya jika suaminya dipanggil bang Uning istrinya juga disapa kak Uning untuk orang sebaya, sedang untuk generasi berikut pak Uning dan mak Uning memanggil mereka). “Uning kau sambil merepet (setara dengan ngomel bahasa Indonesia), “percuma punya tanah luas, untuk masak, serai aja harus beli. Coba ni ada serai yang saya beli dari pasar sebatang dua tanam di belakang sana”. “Petang hari kubawa cangkul untuk nanam serai di belakang rumah kami. Eee ketika baru cangkul diayunkan ke tanah, tiba-tiba kebentur benda keras “kletek” suaranya melengking. Pelan pelan kukais-kaiskan cangkul supaya ndak beradu langsung dengan tu besi. Makin kukais besinya makin muncul agak panjang dan besar. Makin penasaran aku dibuatnya, sementara matahari makin condong. Belum kudapat wujud benda itu. Jangan-jangan harta karun pikirku, tapi baiklah lanjutkan nanti lepas magrib. Hal tersebut Uning kuberitahu, dia juga semangat maklum ada dugaan dapat rezeki harta karun, atau apalah benda berharga mungkin rezeki si cabang bayi anak kami pertama yang akan lahir empat bulan lagi. Selepas magrib dengan suluh dari daun kelapa yang selalu siap beberapa potong nyandar dibalik pintu, Uning kau menyalakan suluh, sementara aku terus mengais-ngais dengan cangkul dan juga linggis. Jerih payah kami rupanya tidak sia-sia, nampak wujud besi itu ternyata kuping kuali. Bukan main besar kuping kuali itu, lebarnya kuping kuali kurang lebih sebesar lingkaran drum muat tigaratus liter. Kami makin penasaran apa ada kuali sebesar itu, tapi penasaran kami terobati sendiri, ini mungkin kuali orang zaman dulu, lazimnya ada harta lain sebagai turutannya, maka penggalian kami teruskan sampai menjelang fajar. Ternyata itu kuali benar benar lebar, garis tengahnya kami ukur duapuluh empat hasta. Wah ini penemuan hebat, walau ndak dapat harta karun, penemuan ini besok pasti mendatangkan rezeki. Biasa kalau ada hal yang aneh banyak orang ingin nonton tentu dapat dipungut karcis masuk ke belakang rumah kami. Belum lagi kalau banyak pengunjung, nanti Ngah Denok si penjual cendol akan buka jualan di halaman rumah akan dapat dikenakan retribusi paling tidak 5%. Belum lagi Pak Cik Midin jual bubur ayam dan pedagang lainnya, pokoknya jadi ramailah halaman rumah kami”.

Suasana makin larut malam, penanggap bualan juga mungkin sudah mulai ngantuk, untung ekspresi dan bahasa tubuh bang Uning menuturkan bualnya lumayan baik, mereka tetap betah menunggu sampai akhir kisah. Setelah selesai banyak juga pertanyaan antara lain: tentu tanah galiannya banyak, dibuang kemana, apakah selanjutnya kuali temuan itu diangkat, apa mampu cuma berdua dengan isteri yang sudah hamil 5 bulan mengangkat itu kuali, apa sempat dicuci dan lain pertanyaan lainnya. Semua pertanyaan dijawab oleh bang Uning. Ketika sampai pada pertanyaan “Nanti bang Uning akan gunakan buat apa itu kuali, apa di pakai sendiri atau di jual kilion sebagai besi tua” Bang Uning langsung menjawab “Untuk menggoreng ikan hasil pancingan bang Anis kalian, tentu muat karena panjangnya cuma delapan belas hasta”. Suasanapun riuh rendah oleh deraian tawa para peronda malam itu. Walau tidak diumumkan pemenangnya, komunitas ronda malam menobatkan bang Uning sebagai orang yang berhak mendapat julukan “TUA SEHARI”. Cerita itu juga sampai kepada penduduk kampung esok lusanya, makin terkenallah bahwa bang Uning dapat julukan “Tua Sehari”

No comments:

Post a Comment