Wednesday 31 August 2011

JOMPO KEDEPAN

Beberapa hari setelah idul fitri, kami sekeluarga mampir di rumah orang tua sahabat saya di bilangan pesisir pantai “Pantura”, dalam perjalan kami ikut-ikutan mudik. Luar biasa sambutan kedua sepuh yang memapak kami sekeluarga dari halaman. Kedatangan kami tidak diketahui sebelumnya maklum kejadian itu di era belum ada “hape”. Tatapan mata kedua mertua sahabat saya itu ke anggota rombongan kami turun satu persatu dari kendaraan bagaikan tidak berkedip. Rupanya harapan beliau di dalam rombongan kami itu ada ikut anak atau menantu atau cucunya. Betapa besar rupanya angan beliau di hari seperti ini hadir anak dan cucunya yang mukim di Surabaya.

Harapan seperti itu baru dirasakan oleh seorang teman saya nulis di face book, “Dulu saya mudik kumpul di rumah orang tua bersama saudara dan anak-anak, rasanya biasa saja. Sekarang giliran anak dan mantu serta cucu kumpul di rumah di suasana lebaran, bukan main rasanya bahagia atas nikmat yang diberikan Allah terasa luar biasa, tidak ternilai”.

Begitulah agaknya perasaan dikandung sanubari sepasang jompo yang mertua teman saya itu. Kedatangan kami sedikit membawa bahagia, sekaligus membuat ia kecewa, karena anak dan mantunya serta cucunya satupun tidak ada yang ikut, Nampak berkaca di mata beliau “sudah lama tidak ada kabar, biasanya lebaran gini datang” kata si bapak disela pembicaraan. Maklum anak beliau yang diperisteri sahabat saya itu satu-satunya. Saya tak siap mengarang pesan dari sahabat saya itu, sebab kebiasaan kami setelah pulang mudik baru kunjung ke sahabat sekota, kebetulan belakangan sebelum berangkat belum pernah ketemu, sebab kami bukan sekantor.

Demikianlah perasaan orang tua, utamanya disaat lebaran begini. Kejadian ini membuat saya berandai-andai tentang masa depan.

Budaya bangsa ini sudah tergerus oleh arus budaya asing, kadang justru budaya asing yang di stempel “realistis dan logis”, lebih diterima anak muda. Kelak bilamana angkatan-angkatan kita tua belum juga mati, jika kurang pandai mendidik anak-anak kita ada harapan akan menghuni “panti jompo”.

Kecendrungan itu didukung pula oleh kondisi; kadang anak bekerja di kota lain bahkan di negara lain dari orang tua mereka. Kehidupan mencari nafkah dewasa ini membuat orang bekerja demikian sibuk. Bila orang tua sakit, jika zaman angkatan ayah-ayah kita, anak berusaha untuk menjenguk orang tuanya walau untuk itu harus meninggalkan pekerjaan, jika sakit berat biar berlainan kota juga berusaha datang. Kelak dengan pola pikir yang “realistis dan logis”, jika orang tua sakit mungkin anaknya tidak lagi menyempatkan diri untuk datang, segera masuk ke bilik ATM mentransfer uang ke saudara sekediaman dengan orang tua mereka. Kemudian menghubungi per HP bahwa “saya tidak sempat datang,
sibuk sekali itu ada uang untuk ongkos berobat”. Orang tua dikunjungi dengan melalui telepon seluler. Alam pikiran “realistis dan logika” memang melegalisasi sikap ini, alasannya: orang sakit perlu pengobatan dan perawatan oleh tenaga medis. Sedang si anak mungkin bukan tenaga medis, kalaupun pulang toh tidak dapat merawat, mending dikirim biaya. Tetapi kehadiran anak sibiran tulang, apalagi dalam sakit berat dan mungkin menjelang maut, sangat didambakan. Boleh jadi sakit berat akan menjadi ringan dan tidak jarang menjadi sembuh jika si anak datang menjenguk ketika sakit.

Harapan hidup orang Indonesia, menurut data Biro Pusat Statistik, dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Bahkan pada 2025 nanti, harapan hidup orang Indonesia diproyeksikan bisa mencapai rata-rata 73 tahun. Kalaulah anda tergolong manusia panjang umur sampai ke lebih dari delapan puluhan tahun, ada harapan sudah kurang berdaya. Paling hebat lagi bila diusia tersebut masuk ke pikun, maka jika nasib kurang baik, ada harapan dimasukkan oleh anak cucu ke panti jompo. Anak cucu bila sudah tidak lagi berpegang kepada kaidah agama dan budaya bangsa kita maka kondisi tersebut besar kemungkinan terjadi. Agama memerintahkan anak untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Budaya kita menganggap tabu memindahkan tanggung jawab pemeliharaan orang tua kepada pihak lain sebutlah panti jompo. Tapi anak-anak yang sudah dangkal pemahaman agama dan tipis keterikatan pada budaya, menganggap panti jompo adalah pilihan untuk orang tua yang sudah berusia lanjut atau tidak berdaya. Lebih realistis dan logis, alasan mereka di panti jompo ada tenaga khusus yang dapat merawat dan membantu memenuhi kebutuhan si “jompo”. Tiap bulan masing-masing anak iuran untuk pembayaran biaya di panti jompo. Orang tua tidak merepotkan anak-anak, tidak mengganggu aktifitas.

Kita tidak mengetahui taqdir yang akan datang buat diri kta masing-masing, apakah kita sampai keusia menjadi pikun sehingga merepotkan anak cucu. Atau sebelum merepotkan sudah dipanggil pulang kehadirat Allah. Tidak ada yang mengetahui urusan itu. Sebab urusan maut tidak dapat diundurkan atau dimajukan dan itu rahasia Allah.

Hanya saja sebagai ikhtiar untuk menghindari panti jompo itu ada do’a yang diajarkan oleh Rasulullah Muhammad s.a.w. dipetik syarah Mukhtaarul Ahaadiits halaman 1070-1071. Allahumma au’dzubika minal a’jzi wal kasali wal bukhli wal harami wa a’zabul qabri ......

(Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada Mu dari ketidak mampuan, dari kemalasan, kekikiran, ketuaan (pikun) dan siksa kubur).

Tulisan ini kuturunkan pada hari idulfitri 1432H. Semoga menjadi bahan renungan bagi pembaca yang masih punya ORTU. Taqabalallahu minna waminkum taqabbal yaa kariim. Minal aidzin wal faidzin. Mohon maaf lahir dan batin.

No comments:

Post a Comment