Tuesday 12 November 2019

SIKAP terhadap Al-Qur'an

Di kampung kelahiranku (setidaknya 60 tahunan yang lalu), anak lelaki belum di khitan jika belum hatam membaca Al-Qur’an.

Belajar membaca Al-Qur’an kala itu tidak semudah sekarang, masih harus dibaca ayat demi ayat. Mula mula zus 30, surat-surat pendek dan kemudian baru mulai membaca zus satu dan seterusnya, dikaji ayat demi ayat sampai lancar membacanya, dituntun guru ngaji. Pengkajian ayat demi ayat ini istilah kampungku “menderas”.

Di sebelah kanan atau kiri anak yang menderas, duduk  sang guru ngaji, tersedia sebilah rotan yang ujungnya dibelah empat, siap diraih sang guru untuk dipukulkan ke lantai bahkan ke tubuh muridnya bila berkali-kali “bebal” (tak dapat membaca dengan baik) bila si guru sudah berulang mengajarkan.

Sbgmn anak lelaki ber-hatam Al-Qur'an ktk akan dikhitan,  anak perempuan sblm dilangsungkan akad nikah, terlebih dahulu diupacarai ber hatam Al-Qur'an. Upacara TAHTIM istilahnya itu berlangsung, si gadis melantunkan ayat2  dibaca dari kitab Al-Qur'an, disaksikan hadirin dihadapan penghulu dan wali nikah.

Proses belajar mengaji betul2 disakralkan, wujud penghormatan kitabullah ini. Tak heran memakan waktu berbilang bulan baru hatam.
Setiap hatam satu zus, orang tua mengapresiasi anaknya dg upacara membuat nasi ketan kuning dg lauk khusus panggang ayam (ayam kampung tentunya, karena ktk itu blm tersedia ayam potong seperti sekarang). Nasi kuning panggang ayam itu dimakan sekeluarga bersama guru ngaji. Lumayan ada juga biaya ngaji. Guru sii ndak di honor, murid biasanya bergiliran nyiapkan minyak tanah untuk penerangan rumah guru tempat mengaji. Harap maklum ktk itu listrik msh barang lux. Usai ngaji, murid2 ngambil air dari sumur, mengisikan tong, tempayan air guru ngaji, zaman itu blm ada PDAM.

Setelah selesai belajar mengaji, , anak-anak pengajian menutup kitab Al-Qur’an dan membawanya ke rak yang disediakan ditempat ngaji atau di Langgar/Surau (masjid kecil) atau mungkin juga dirumah tuan guru ngaji. Kitab dibawa dengan penuh hormat, sebelum diletakkan, Al-Qur’an lebih dahulu dijunjung di atas kepala kemudian sblm ditempatkan ke rak di cium barulah dususun di tempatnya.

Begitulah proses belajar mengajar dan etika penghormatan yang diajarkan sejak dini thdp Al-Qur'an.

Tak heran penduduk seantero negeri, juga menyimpan Al-Qur’an dirumahnya ditempat yang terhormat, biasanya diletakkan di tempat yang tinggi di atas penempatan buku-buku lainnya.

Karena pembelajaran dan sikap penghormatan seperti di atas sudah membudaya dikalangan masyarakat khususnya yang beragama Islam, barang kali itulah sebabnya kelak setelah anak-anak itu menjadi dewasa, penghormatan kepada Al-Qur’an itu tetap merasuk sampai ke tulang sumsumnya barang kali.

Guratan tangan masing-masing anak manusia tidaklah sama. kelak anak-anak sdh hatam Al-Qur'an itu tumbuh berkembang dengan nasibnya masing-masing.

Diantaranya ada yang meraih sukses menjadi orang kaya, orang ternama, atau pejabat atau pengusaha sukses. Namun tidak pula dapat diherankan ada pula yang hidupnya susah, makan pagi mengenangkan petang, ada juga yang terpaksa menjadi maling misalnya.

Tetapi jadi apapun kelak anak-anak itu, mereka sudah dibekali pandai membaca Al-Qur’an, sudah diajari etika penghormatan kepada Al-Qur’an.

Dua orang yang rupanya sudah lama merajut hidup menjadi maling (bahasa setempat pencuri), suatu malam menyatroni sebuah rumah di kampung jiran. Rumah di kampung kami waktu itu, boleh dikata belum ada yang terbuat dari semen (rumah batu bahasa setempat), semua rumah dari bahan kayu. Rumah orang berduit terbuat dari kayu Belian (kayu besi), beratap Sirap. Sedang rumah orang yang kurang mampu biasanya kerangkanya dari kayu Belian tapi dindingnya “Kajang” atapnya “daun nipah”.

Sasaran maling tentu rumah orang berduit, setidaknya barang yang dimaling jika dijual dapat untuk membeli beras. Sebuah rumah yang sudah disurvey di kampung jiran (bukan kampung si maling sendiri), akan disatroni malam nanti.

Rumah satu dengan rumah lainnya tidak dempet seperti di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, tetapi berjauhan. Setiap kamar dan ruangan melekat jendela-jendela.

Maling sudah hapal dan punya keakhlian membuka kunci jendela, pakai slot atau pakai apapun, apalagi rumah yang akan disatroni sudah disurvey memakai kunci model !apa jendelanya.

Kegelapan malampun tiba, maklum dikampungku 60 an tahun yang lalu belum masuk PLN, seperti disinggung di atas. Mengendap ngendaplah dua orang ini disamping sebuah rumah panggung. Rumah panggung cukup tinggi, sebagai ilustrasi bahwa kolong rumahnya dengan leluasa masuk hewan Sapi, bahkan ada yang membuat kandang sapi di bawah rumah.

!Untuk dapat meraih jendela, salah satu maling lebih dulu duduk berjongkok, kemudian maling yang satunya menginjakkan kakinya ke kedua belah bahu maling yang jongkok, barulah perlahan-lahan maling yang jongkok berdiri, sambil tangan maling yang satunya memegang bangunan rumah.

Setelah sampai dijendela, mulailah dilaksanakan membuka jendela. sementara maling yang ditanah menunggu kode dari bunyi kain sarung yang ditarik, untuk memberi isyarat berhasil, untuk memberi isyarat akan turun, untuk memberi isyarat dalam bahaya dan lain sebagainya, merekalah yang mengatur sandi tersebut.

Belum berapa lama maling yang bertugas masuk rumah melewati jendela, terdengar kode agar menyiapkan pundak untuk mendarat kembali. Dengan penuh heran maling yang nunggu di tanah bertanya dalam hati, ndak ada kode bahaya, tapi tiba2 minta turun. Sudahlah diikuti saja, langsung berdiri di tempat naik tadi, dan kaki partnerpun mendarat dibahu dan perlahan-lahan diturunkan.

Heran tak ada satu bendapun yang dibawa teman dari rumah satronan. Dengan berbisik pelan "maling operasional" mengajak “cepat-cepat kita hengkang, nanti saya ceritakan”.

Sampai ditempat aman, berceritalah maling ini kepada temannya. Bahwa “jendela yang dimasuki itu rupanya ada meja, di atas meja tersebut terdapat  sebuah Al-Qur’an yang terletak di atas meja, agaknya baru selesai dibaca. "Hampir saja aku menginjak Al-Qur’an itu ketika mau melangkahi meja. Pikiranku jadi ragu untuk meneruskan masuk ke ruangan dalam rumah. Dadaku bergemuruh, jantungku terasa berdegub kuat dan tubuhku gemetar, jangan-jangan aku telah terlajur melakangkahi Al-Qur-an.  Karena itulah nampaknya usaha kita malam ini kalau diteruskan akan membawa melapateka buat kita”, kata maling itu kepada temannya. Meskipun dia kini berprofessi sebagai maling, namun penghormatan terhadap Al-Qur’an yang sudah tertanam sejak kecil  dan kekhawatiran kewalat akan
Al-Qur’an membuat si maling mengurungkan niatnya untuk mencuri setidaknya pada malam itu, tergugah penghormatan thdp kitab Suci Al-Qur’an.

Baik kita renungkan, penghormatan terhadap Al-Qur’an begitu besar oleh penduduk negeri ini, terutama bagi yang memeluk agama Islam, apa lagi yang menjalankan seluruh ibadah dalam agama Islam. Bagi yang Islamnya belum dapat beribadah dengan intensifpun, akan menaruh hormat kepada Al-Qur’an, akan merasa terpanggil untuk setidaknya ber do’a agar kemuliaan Al-Qur’an tetap terjaga.  Allah memang ada menjamin akan memelihara Al-Qur’an itu sampai hari kiamat.
اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاِ نَّا لَهٗ لَحٰـفِظُوْنَ
"Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya."
(QS. Al-Hijr ayat 9)

Tapi tidak ada jaminan bahwa Al-Qur’an akan terjaga terus di bhumi Nusantara ini, kalau ummatnya tidak berperan aktif menjaganya, dengan mengamalkan kandungan Al-Qur’an itu.

Di dunia ini sudah dapat kita saksikan suatu negeri yang tadinya sangat Qur’ani, menjadi negeri yang tidak Qur’ani lagi bahkan penduduk yang meng-imani Al-Qur’an menjadi termarginalkan. 

Untuk mengawal Al-Qur’an mungkin salah satunya adalah membuktikan, bahwa pengamal-pengamal Al-Qur’an mempunyai akhlak mulia yang patut diteladani, sehingga Insya Allah orang yang belum kenal Al-Qur’an akan tertarik mengenalnya dengan cara yang benar, bukan sebaliknya mengambil Al-Qur'an sepenggal-sepenggal tanpa menyakininya, malah mungkin menistakannya.

Wajar jika ada pihak yang diduga menistakan Al-Qur’an, penduduk negeri yang sejak kecil menghomati Al-Qur’an akan terpanggil untuk membela Al-Qur’an, setidaknya mengkonfirmasi, apakah benar Al-Qur’an sudah dinistakan?.

Tak heran bila ada yg mencoba menista Al-Qur’an anak bangsa ini yg ibadahnya minimalpun akan terusik apalagi yg ibadahnya kuat.

Barakallahu fikum
وَ الْسَّــــــــــلاَمُ
M. Syarif arbi.

No comments:

Post a Comment