Friday 19 January 2018

Kenapa kurang tertarik jadi pengusaha dan konsomptif

Bapak si DIDI & ANAK Mak SERINAM.
Yang seumurku smg masih ingat buku bacaan waktu di kelas 3 SR. Ketika itu kebanyakan murid SR (sekolah rakyat) baru lancar membaca di kelas 3, mungkin lantaran blm ada PAUD dan TK. Masuk SR pun rata-rata udh umur 6 thn lebih bahkan 7 th stlh di tes phisik oleh sekolah, waktu mendaftar si anak hrs sdh dpt memegang kuping kiri dg tangan kanan, memegang kuping kanan dg tangan kiri melalui tengah kepala.
Buku bacaan kami murid SR mengenalnya buku "SI DIDI".
Di antara redaksi buku bacaan itu yang masih ku ingat:
* Ini si Didi .......
* Si Didi duduk.......
* Itu bapak si Didi ......
* Bapak si Didi pulang dari pasar .....(dilengkapi gambar si bapak pake kopiah naik sepeda)
* Ia membeli pisang ........(di stang sepeda dlm gambar tergantung sesisir pisang).
Apakah ini asal muasal kenapa generasi ku kebanyakan berpola pikir suka membeli ketimbang menjual. Karena dicontohkan oleh bapak si Didi "membeli pisang". Jadi segala produk baik pertanian, industri semuanya lebih baik membeli dari pada memproduksi sendiri.
Ada si contoh perilaku "niaga" y.i. cerita di serial bacaan SR waktu itu, kisah Anak Mak Serinam". Samar samar dlm ingatanku ceritanya begini:
Mak Serinam punya seorang anak lelaki usia belasan tahun. Mak Serinam nyuruh anaknya pergi ke pasar di kota untuk menjual dua ekor ayam jago. Dikisahkan bahwa si anak tergolong dungu. Lantaran tau keterbatasan anaknya; mak Seriman mengarahkan anaknya dg serangkaian dialog. Bila nanti ketemu orang atau calon pembeli di kota nanti.
Kalau nanti ada yg nanya "kau anak siapa". Jawabnya "anak mak Serinam".
Selanjutnya bila orang bertanya "apa yang engkau bawa" jawablah "dua ekor ayam"
Jika ditanya "berapa harga ayam itu" jawablah "tiga ringgit seekor ndak boleh kurang".
Singkat kisah dengan pakain serapi mungkin (dlm gambar nampak berkopiah). Putra mak Serinam pun menuju kota, dengan mencangking 2 ekor ayam 1 di kiri dan 1 dikanan dlm ayaman daun kelapa pas untuk ayam mendekam.
Eeee di perjalan hampir masuk kota dia ketemu 2 orang Opas agaknya sdg patroli jalan kaki. Apakah mungkin terlihat canggung dan agak asing, Opas menghentikan langkah anak mak Serinam. Opas bertanya "hei anak muda kamu mau kemana" langsung di jawab "anak mak Serinam". Opas ngulangi pertanyaan mengira tanyanya pertama kurang jelas dijawab "dua ekor ayam". Kini giliran Opas yg satunya nanya kamu akan kemana dijawab "3 ringgit seekor ndak boleh kurang".
Kedua Opas bingung sebab diulangi bertanya jawabnya tetap ngulang: "anak mak Serinam", "dua ekor ayam", "3 ringgit seekor ndak boleh kurang".sambil berpandang-pandangan kedua Opas memutuskan untuk mengamankan anak mak Serinam ke Pos Opas.
Cerita ini memberikan kesan
Potret seorang remaja desa digambarkan dungu. Padahal dlm kenyataannya remaja desa itu potensial, cerdas, hanya saja seangkatanku banyak yg tdk memiliki kesempatan dan fasilitas shg banyak terhenti hanya tamat SR.
Kesan kedua anak usia bawah 10 th diberikan gambaran bahwa membawa produk asli desa ke kota itu tidak gampang.
Selain itu cerita ini memasukkan pemahaman bahwa berjualan itu tidak mudah. Berwirausaha itu tidak gampang. Tidak semudah membeli. Itu sebabnya barangkali kebanyakan rekan seangkatanku yg lanjut sekolah di atas SR memilih bidang mencari nafkah bukan wirausaha tetapi banyak yg jadi pegawai, buruh.
Dari kisah Bapak si Didi dan anak mak Serinam ini setidaknya dpt di petik dua hal:
Pola pikir membeli sdh diajarkan sejak dini
Menjadi penjual atau berwirausaha adalah sulit.
Bacaan cukup mewarnai pola prilaku, apalagi anak seusia dibawah 10 tahunan.
Ada cerita untuk anak bawah umur di negeri lain, berupa bagaimana menghadapi tantangan hingga berhasil.

No comments:

Post a Comment